Tuberkulosis
Tuberkulosis (Tuberculosis, disingkat Tbc), atau Tb (singkatan dari "Tubercle bacillus") atau kematus[7]merupakan penyakit menular yang umum, dan dalam banyak kasus bersifat mematikan. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium tuberculosis (disingkat "MTb" atau "MTbc").[8] Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru, tetapi juga bisa berdampak pada bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi TB aktif batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui udara.[9] Infeksi TB sebagian besar bersifat tanpa gejala dan laten (sering disebut TB laten). Namun, satu dari sepuluh kasus infeksi laten berkembang menjadi penyakit aktif (TB aktif). Bila tuberkulosis tidak diobati, maka lebih dari 50% orang yang terinfeksi bisa meninggal. Sebelum ditemukannya antibiotik yang ampuh untuk menangani TB (sekitar tahun 1900 awal) diperkirakan 1 dari 7 orang di dunia meninggal karena penyakit ini. Gejala klasik infeksi TB aktif yaitu batuk kronis dengan bercak darah pada sputum atau dahak, demam, berkeringat di malam hari, dan berat badan turun. (dahulu TB disebut penyakit "konsumsi" karena orang-orang yang terinfeksi biasanya mengalami kemerosotan berat badan). Infeksi pada organ lain menimbulkan gejala yang bermacam-macam. Diagnosis TB aktif bergantung pada hasil radiologi (biasanya melalui rontgen dada) serta pemeriksaan fisik dan dilakukan kultur mikrobiologis. Sementara itu, diagnosis TB laten bergantung pada tes tuberkulin kulit/tuberculin skin test (TST) dan tes darah (IGRA). Pengobatan TB aktif memerlukan pemberian beberapa antibiotik secara teratur dalam jangka waktu 6 sampai 12 bulan. Orang-orang yang melakukan kontak juga harus menjalani tes penapisan dan diobati bila perlu. Dengan perkembangan antibiotik yang ada saat ini pengobatan TB yang dilakukan dengan baik akan memberikan tingkat kesembuhan diatas 90 %. Namun, apabila pengobatan tidak dilakukan dengan teratur dan dengan jangka waktu yang diperlukan, bakteri TB tersebut bisa kembali kambuh dan beradaptasi menjadi resisten terhadap antibiotik. Resistansi antibiotik merupakan masalah yang besar pada penanganan epidemi TB. Infeksi tuberkulosis resisten multi-obat (atau sering disebut TB MDR) memerlukan pengobatan yang jauh lebih berat dengan dosis obat yang jauh lebih tinggi dan tingkat kesembuhan yang jauh lebih rendah. Untuk mencegah TB, semua orang harus menjalani tes penapisan penyakit tersebut dan mendapatkan vaksinasi basil Calmette–Guérin. EpidemiologiTB kini menjadi penyebab kematian nomor dua setelah pandemi Covid-19 akibat penyakit menular pada tahun 2022. Setelah terjadi tren penurunan angka orang yang menderita TB secara global dari tahun 2010, angka ini kembali menaik sejak tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 dimulai. Sekitar 10,6 juta orang menderita TB dengan angka kasus TB baru yang dilaporkan adalah sebesar 7,5 juta pada tahun 2022. Angka ini merupakan angka terbesar sejak 1995 yang kemungkinan berasal dari orang-orang yang memiliki TB di tahun-tahun sebelumnya selama pandemi Covid-19 yang menyebabkan terhambatnya penemuan kasus, diagnosis, dan pengobatan TB. Walaupun demikian, dampak lain dari adanya pandemi Covid-19 adalah penurunan angka kematian TB dengan adanya PPKM yang membatasi transmisi TB pada tahun 2020 dan 2021. Pada tahun 2022, angka kematian global akibat TB (termasuk orang dengan HIV) adalah sebesar 1,30 juta yang dikatakan menurun dibandingkan tahun 2020 dan 2021. Mayoritas orang yang meninggal akibat TB adalah orang yang negatif-HIV (sekitar 1,13 juta), sementara diperkirakan terdapat 167.000 kematian pada ODHA dengan TB. Di samping itu, diperkirakan sebanyak 410.000 orang yang terinfeksi TB termasuk ke dalam golongan TB resisten multiobat (TB-MDR) atau TB resisten rifampisin (TB-RR) pada tahun 2022. Sementara orang yang menerima pengobatan jauh lebih kecil, yaitu sekitar 175.650 orang. Dari segi geografis, daerah dengan kasus TB paling tinggi berada di Asia Tenggara (46%) diikuti Afrika (23%), Pasifik Barat (18%), diikuti Mediterania Timur (8,1%), Amerika (3,1%), dan Eropa (2,2%). Tingginya angka kasus TB di Asia Tenggara kemungkinan disebabkan oleh tiga negara yang tergolong ke dalam tiga puluh negara dengan beban kasus TB tertinggi, yaitu Indonesia (beban kasus TB tertinggi kedua, sebesar 10% kasus global), Filipina (beban kasus TB tertinggi keempat, sebesar 7,0% kasus), dan Myanmar. Selain itu, ketiga negara ini juga berperan dalam peningkatan kasus TB global tertinggi dengan penambahan 0,4 juta kasus pada tahun 2022.[10] Situasi Tuberkulosis di IndonesiaIndonesia (10%) termasuk ke dalam negara kedua dari tiga puluh negara dengan beban kasus TB global tertinggi didahului India (27%) dan diikuti Tiongkok (7,1%), Filipina (7,0%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,5%), Bangladesh (3,6%), dan Republik Demokratik Kongo (3,0%).[10] Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2022, jumlah semua kasus TB yang ditemukan adalah sebanyak 677.464 kasus. Angka ini meningkat dengan cukup tinggi bila dibandingkan dengan laporan pada Profil Kesehatan Indonesia tahun 2022 dan 2020 berturut-turut, dengan temuan sebanyak 397.377 dan 351.936 kasus.[11] Di Indonesia, kasus tuberkulosis tertinggi ditemukan di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang banyak, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Jumlah kasus tuberkulosis dari ketiga provinsi tersebut mencapai 44% dari seluruh kasus yang ditemukan di Indonesia.[12] Jika ditinjau dari jenis kelamin, kasus tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 58,0% laki-laki dan 42,0% perempuan. Sedangkan, jika dilihat dari usia, pada tahun 2021 kasus tuberkulosis banyak ditemukan pada usia produktif, yaitu rentang usia 45—54 tahun sebanyak 16,8% diikuti rentang usia 25—34 tahun dan 55—64 tahun dengan masing-masing sebanyak 15%.[11] Pada penghujung tahun 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)[13] menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara kedua terbanyak pengidap penyakit ini[14] Tanda dan gejalaDari kelompok yang bukan pengidap HIV namun kemudian terinfeksi tuberkulosis, 5-10% di antaranya menunjukkan perkembangan penyakit aktif selama masa hidup mereka.[16] Sebaliknya, dari kelompok yang terinfeksi HIV dan juga terinfeksi tuberkulosis, ada 30% yang menunjukkan perkembangan penyakit aktif.[16] Tuberkulosis dapat menginfeksi bagian tubuh mana saja, tapi paling sering menginfeksi paru-paru (dikenal sebagai tuberkulosis paru).[17] Bila tuberkulosis berkembang di luar paru-paru, maka disebut TB ekstra paru. TB ekstra paru juga bisa timbul bersamaan dengan TB paru.[17] Tanda dan gejala umumnya antara lain demam, menggigil, berkeringat di malam hari, hilangnya nafsu makan, berat badan turun, dan lesu.[17] Dapat pula terjadi jari tabuh yang signifikan.[16] Tuberkulosis paruBila infeksi tuberkulosis yang timbul menjadi aktif, sekitar 90%-nya selalu melibatkan paru-paru.[18][19] Gejala-gejalanya antara lain berupa nyeri dada dan batuk berdahak yang berkepanjangan. Sekitar 25% penderita tidak menunjukkan gejala apapun (yang demikian disebut "asimptomatik").[18] Kadang kala, penderita mengalami sedikit batuk darah. Dalam kasus-kasus tertentu yang jarang terjadi, infeksi bisa mengikis ke dalam arteri pulmonalis, dan menyebabkan pendarahan parah yang disebut aneurisma Rasmussen. Tuberkulosis juga bisa berkembang menjadi penyakit kronis dan menyebabkan luka parut luas di bagian lobus atas paru-paru. Paru-paru atas paling sering terinfeksi.[17] Alasannya belum begitu jelas.[8] Kemungkinan karena paru-paru atas lebih banyak mendapatkan aliran udara[8] atau bisa juga karena drainase limfa yang kurang baik pada paru bagian atas.[17] Tuberkulosis ekstra paruDalam 15–20% kasus aktif, terjadi penyebaran infeksi hingga ke luar organ pernapasan dan menyebabkan tuberkulosis jenis lainnya.[20] Tuberkulosis yang terjadi di luar organ pernapasan disebut "tuberkulosis ekstra paru".[21] TB ekstra paru umumnya terjadi pada orang dewasa dengan imunosupresi dan anak-anak. TB ekstra paru muncul pada 50% lebih kelompok pengidap HIV.[21] Lokasi TB ekstra paru yang bermakna termasuk: pleura (pada TB pleuritis), sistem saraf pusat (pada meningitisTB), dan sistem kelenjar getah bening (pada skrofuloderma leher). TB ekstra paru juga dapat terjadi di sistem urogenital (yaitu pada tuberkulosis urogenital) dan pada tulang dan persendian (yaitu pada penyakit Pott tulang belakang). Bila TB menyebar ke tulang maka dapat disebut "TB tulang",[22] yang merupakan salah satu bentuk osteomielitis.[8] Ada lagi TB yang lebih serius yaitu TB yang menyebar luas dan disebut sebagai TB diseminata, atau biasanya dikenal dengan nama tuberkulosis milier.[17] Di antara kasus TB ekstra paru, 10%-nya biasanya merupakan TB milier.[23] Etiologi (penyebab) dan Faktor RisikoMikobakteriaPenyebab utama penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu sejenis basil aerobik kecil yang non-motil.[17] Berbagai karakter klinis unik patogen ini disebabkan oleh tingginya kandungan lipid yang dimilikinya.[24] Sel-selnya membelah setiap 16 –20 jam. Kecepatan pembelahan ini termasuk lambat bila dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang umumnya membelah setiap kurang dari satu jam.[25] Mikobakteria memiliki lapisan ganda membran luar lipid.[26] Bila dilakukan uji pewarnaan Gram, maka MTB akan menunjukkan pewarnaan "Gram-positif" yang lemah atau tidak menunjukkan warna sama sekali karena kandungan lemak dan asam mikolat yang tinggi pada dinding selnya.[27] MTB bisa tahan terhadap berbagai disinfektan lemah dan dapat bertahan hidup dalam kondisi kering selama berminggu-minggu. Di alam, bakteri hanya dapat berkembang dalam sel inang organisme tertentu, tetapi M. tuberculosis bisa dikultur di laboratorium.[28] Dengan menggunakan pewarnaan histologis pada sampel dahak yang diekspektorat, peneliti dapat mengidentifikasi MTB melalui mikroskop (dengan pencahayaan) biasa. (Dahak juga disebut "sputum"). MTB mempertahankan warna meskipun sudah diberi perlakukan larutan asam, sehingga dapat digolongkan sebagai Basil Tahan Asam (BTA).[8][27] Dua jenis teknik pewarnaan asam yang paling umum yaitu: teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen, yang akan memberi warna merah terang pada bakteri BTA bila diletakkan pada latar biru,[29] dan teknik pewarnaan auramin-rhodamin lalu dilihat dengan mikroskop fluoresen.[30] Kompleks M. tuberculosis (KMTB) juga termasuk mikobakteria lain yang juga menjadi penyebab TB: M. bovis, M. africanum, M. canetti, dan M. microti.[31] M. africanum tidak menyebar luas, tetapi merupakan penyebab penting Tuberkulosis di sebagian wilayah Afrika.[32][33] M. bovis merupakan penyebab umum Tuberkulosis, tetapi pengenalan susu pasteurisasi telah berhasil memusnahkan jenis mikobakterium yang selama ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang ini.[8][34] M. canetti merupakan jenis langka dan sepertinya hanya ada di kawasan Tanduk Afrika, meskipun beberapa kasus pernah ditemukan pada kelompok emigran Afrika.[35][36] M. microti juga merupakan jenis langka dan sering kali ditemukan pada penderita yang mengalami imunodefisiensi, meski demikian, patogen ini kemungkinan bisa bersifat lebih umum dari yang kita bayangkan.[37] Mikobakteria patogen lain yang juga sudah dikenal antara lain M. leprae, M. avium, dan M. kansasii. Dua jenis terakhir masuk dalam klasifikasi "Mikobakteria non-tuberkulosis" (MNT). MNT tidak menyebabkan TB atau lepra, tetapi menyebabkan penyakit paru-paru lain yang mirip TB.[38] Faktor risikoAda beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang lebih rentan terhadap infeksi TB. Di tingkat global, faktor risiko paling penting adalah HIV; 13% dari seluruh kasus TB ternyata terinfeksi juga oleh virus HIV.[39] Masalah ini umum ditemukan di kawasan sub-Sahara Afrika, yang angka HIV-nya tinggi.[40][41] Tuberkulosis terkait erat dengan kepadatan penduduk yang berlebihan serta gizi buruk. Keterkaitan ini menjadikan TB sebagai salah satu penyakit kemiskinan utama.[18] Orang-orang yang memiliki risiko tinggi terinfeksi TB antara lain: orang yang menyuntik obat terlarang, penghuni dan karyawan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan yang memadai, minoritas suku yang berisiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani orang-orang tersebut.[42] Penyakit paru-paru kronis adalah faktor risiko penting lainnya. Silikosis meningkatkan risiko hingga 30 kali lebih besar.[43] Orang-orang yang merokok memiliki risiko dua kali lebih besar terkena TB dibandingkan yang tidak merokok.[44] Adanya penyakit tertentu juga dapat meningkatkan risiko berkembangnya Tuberkulosis, antara lain alkoholisme[18] dan diabetes mellitus (risikonya tiga kali lipat).[45] Obat-obatan tertentu, seperti kortikosteroid dan infliximab (antibodi monoklonal anti-αTNF) juga merupakan faktor risiko yang semakin penting, terutama di kawasan dunia berkembang.[18] Meskipun kerentanan genetik[46] juga bisa berpengaruh, tetapi para peneliti belum menjelaskan sampai sejauh mana peranannya.[18] MekanismePenularanKetika seseorang yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, bicara, menyanyi, atau meludah, mereka sedang menyemprotkan titis-titis aerosol infeksius dengan diameter 0.5 hingga 5 µm. Bersin dapat melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis.[47] Tiap titis bisa menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini sangat rendah. (Seseorang yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja bisa langsung terinfeksi).[48] Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam frekuensi sering, atau selalu berdekatan dengan penderita TB, berisiko tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka infeksi sekitar 22%.[49] Seseorang dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap tahun.[50] Biasanya, hanya mereka yang menderita TB aktif yang dapat menularkan penyakit ini. Orang-orang dengan infeksi laten diyakini tidak menularkan penyakitnya.[8] Kemungkinan penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain jumlah titis infeksius yang disemprotkan oleh pembawa, efektivitas ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka waktu paparan, tingkat virulensi strain M. tuberculosis, dan tingkat kekebalan tubuh orang yang tidak terinfeksi.[51] Untuk mencegah penyebaran berlapis dari satu orang ke orang lainnya, pisahkan orang-orang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan mereka dalam rejimen obat anti-TB. Setelah kira-kira dua minggu perawatan efektif, orang-orang dengan infeksi aktif yang non-resisten biasanya sudah tidak menularkan penyakitnya ke orang lain.[49] Bila ternyata kemudian ada yang terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga sampai empat minggu hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi cukup infeksius untuk menularkan penyakit tersebut ke orang lain.[52] PatogenesisSekitar 90% orang yang terinfeksi M. tuberculosis mengidap infeksi TB laten yang bersifat asimtomatik, (kadang disebut LTBI/Latent TB Infections).[53] Seumur hidup, orang-orang ini hanya memiliki 10% peluang infeksi latennya berkembang menjadi penyakit Tuberkulosis aktif yang nyata.[54] Risiko TB pada pengidap HIV untuk berkembang menjadi penyakit aktif meningkat sekitar 10% setiap tahunnya.[54] Bila tidak diberi pengobatan yang efektif, maka angka kematian TB aktif bisa mencapai lebih dari 66%.[50] Infeksi TB bermula ketika mikobakteria masuk ke dalam alveoli paru, lalu menginvasi dan bereplikasi di dalam endosom makrofag alveolus.[8][55] Lokasi primer infeksi di dalam paru-paru yang dikenal dengan nama "fokus Ghon", terletak di bagian atas lobus bawah, atau di bagian bawah lobus atas.[8] Tuberkulosis paru dapat juga terjadi melalui infeksi aliran darah yang dikenal dengan nama fokus Simon. Infeksi fokus Simon biasanya ditemukan di bagian atas paru-paru.[56] Penularan hematogen (melalui pembuluh darah) ini juga dapat menyebar ke lokasi-lokasi lain seperti nodus limfa perifer, ginjal, otak dan tulang.[8][57] Tuberkulosis berdampak pada seluruh bagian tubuh, meskipun belum diketahui kenapa penyakit ini jarang sekali menyerang jantung, otot skeletal, pankreas, atau tiroid.[58] Tuberkulosis digolongkan sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan radang granulomatosa. Sel-sel seperti makrofag, limfosit T, limfosit B, dan fibroblast saling bergabung membentuk granuloma. Limfosit mengepung makrofag-makrofag yang terinfeksi. Granuloma mencegah penyebaran mikobakteria dan menyediakan lingkungan khusus bagi interaksi sel-sel lokal di dalam sistem kekebalan tubuh. Bakteri yang berada di dalam granuloma menjadi dorman lalu menjadi sumber infeksi laten. Ciri khas lain granuloma adalah membentuk kematian sel abnormal (nekrosis) di pusat tuberkel. Dilihat dengan mata telanjang, nekrosis memiliki tekstur halus, berwarna putih keju dan disebut nekrosis kaseosa.[59] Bakteri TB bisa masuk ke dalam aliran darah dari area jaringan yang rusak itu. Bakteri-bakteri tersebut kemudian menyebar ke seluruh tubuh dan membentuk banyak fokus-fokus infeksi, yang tampak sebagai tuberkel kecil berwarna putih di dalam jaringan.[60] Penyakit TB yang sangat parah ini disebut tuberkulosis milier. Jenis TB ini paling umum terjadi pada anak-anak dan penderita HIV.[61] Angka fatalitas orang yang mengidap TB diseminata seperti ini cukup tinggi meskipun sudah mendapatkan pengobatan (sekitar 30%).[23][62] Pada banyak orang, infeksi ini sering hilang timbul. Perusakan jaringan dan nekrosis sering kali seimbang dengan kecepatan penyembuhan dan fibrosis.[59] Jaringan yang terinfeksi berubah menjadi parut dan lubang-lubangnya terisi dengan material nekrotik kaseosa tersebut. Selama masa aktif penyakit, beberapa lubang ini ikut masuk ke dalam saluran udara bronkus dan material nekrosis tadi bisa terbatukkan. Material ini mengandung bakteri hidup dan dapat menyebarkan infeksi. Pengobatan menggunakan antibiotik yang sesuai dapat membunuh bakteri-bekteri tersebut dan memberi jalan bagi proses penyembuhan. Saat penyakit sudah sembuh, area yang terinfeksi berubah menjadi jaringan parut.[59] DiagnosisTuberkulosis aktifSangat sulit mendiagnosis Tuberkulosis aktif hanya berdasarkan tanda-tanda dan gejala saja.[63] Sulit juga mendiagnosis penyakit ini pada orang-orang dengan imunosupresi.[64] Meski demikian, orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka memiliki penyakit paru-paru atau gejala konstitusional yang berlangsung lebih dari dua minggu maka bisa jadi orang tersebut tertular TB.[64] Gambar sinar-X dada dan pembuatan beberapa kultur sputum untuk basil tahan asam biasanya menjadi salah satu bagian evaluasi awal.[64] Uji pelepasan interferon-γ (IGRAs) dan tes kulit tuberkulin tidak optimal diterapkan di dunia berkembang.[65][66] IGRA memiliki kelemahan yang serupa bila diterapkan pada penderita HIV.[66][67] Diagnosis yang tepat untuk TB dilakukan ketika bakteri “M. tuberculosis” ditemukan dalam sampel klinis (misalnya, dahak, nanah, atau biopsi jaringan). Namun, proses kultur organisme yang lambat pertumbuhannya ini membutuhkan waktu dua hingga enam minggu untuk kultur darah dan dahak saja.[68] Oleh karena itu, pengobatan sering kali dilakukan sebelum hasil kultur selesai.[69] Tes amplifikasi asam nukleat dan uji adenosin deaminase dapat lebih cepat mendiagnosis TB.[63] Meski demikian, tes ini tidak direkomendasikan secara rutin karena jarang sekali mengubah cara pengobatan penderita.[69] Tes darah untuk mendeteksi antibodi tidak begitu spesifik atau sensitif, sehingga tes ini juga tidak direkomendasikan.[70] Tuberkulosis latenTes kulit tuberkulin Mantoux sering digunakan sebagai penapisan bagi seseorang dengan risiko TB tinggi.[64] Orang yang pernah diimunisasi sebelumnya dapat memberikan hasil tes positif yang palsu.[71] Hasil tes dapat memberikan negatif palsu pada orang yang menderita sarkoidosis, Limfoma Hodgkin, dan malagizi. Yang terpenting, hasil tes dapat negatif palsu pada orang yang menderita tuberkulosis aktif.[8] Interferon gamma release assays (IGRAs) untuk sampel darah direkomendasikan pada orang dengan hasil tes Mantoux positif.[69] IGRAs tidak dipengaruhi oleh imunisasi ataupun sebagian besar mikobakteri dari lingkungan, sehingga mereka memunculkan hasil tes positif palsu yang lebih sedikit.[72] Bagaimanapun mereka dipengaruhi oleh “M. szulgai,” “M. marinum,” and “M. kansasii.”[73] IGRAs dapat meningkatkan sensitivitas bila digunakan sebagai tes tambahan selain tes kulit. Tetapi IGRAs menjadi kurang sensitif dibandingkan tes kulit apabila digunakan sendirian.[74] PencegahanUsaha untuk mencegah dan mengontrol tuberkulosis bergantung pada vaksinasi bayi dan deteksi serta perawatan untuk kasus aktif.[18] The World Health Organization (WHO) telah berhasil mencapai sejumlah keberhasilan dengan regimen pengobatan yang dimprovisasi, dan sudah terdapat penurunan kecil dalam jumlah kasus.[18] VaksinSejak tahun 2011, satu-satunya vaksin yang tersedia adalah basil Calmette–Guérin (BCG). Walaupun BCG efektif melawan penyakit yang menyebar pada masa kanak-kanak, masih terdapat perlindungan yang inkonsisten terhadap TB paru.[75] Namun, ini adalah vaksin yang paling umum digunakan di dunia, dengan lebih dari 90% anak-anak yang mendapat vaksinasi.[18] Bagaimanapun, imunitas yang ditimbulkan akan berkurang setelah kurang lebih sepuluh tahun.[18] Tuberkulosis tidak umum di sebagian besar Kanada, Inggris Raya, dan Amerika Serikat, jadi BCG hanya diberikan kepada orang dengan risiko tinggi.[76][77][78] Satu alasan vaksin ini tidak digunakan adalah karena vaksin ini menyebabkan tes kulit tuberkulin memberikan positif palsu, sehingga tes ini tidak membantu dalam penyaringan penyakit.[78] Jenis vaksin baru masih sedang dikembangkan.[18] Kesehatan masyarakatWorld Health Organization (WHO) mendeklarasikan TB sebagai "emergensi kesehatan global pada tahun 1993.[18] Tahun 2006, Kemitraan Stop TB mengembangkan gerakan Rencana Global Stop Tuberkulosis yang ditujukan untuk menyelamatkan 14 juta orang pada tahun 2015.[79] Jumlah yang telah ditargetkan ini sepertinya tidak akan tercapai pada tahun 2015, sebagian besar disebabkan oleh kenaikan penderita HIV dengan tuberkulosis dan munculnya resistansi tuberkulosis multi-obat (multiple drug-resistant tuberculosis, MDR-TB).[18] Klasifikasi tuberkulosis yang dikembangkan oleh American Thoracic Society pada umumnya digunakan dalam program kesehatan masyarakat.[80] Karena kuman TB ada di mana-mana termasuk di Mal, Kantor dan tentunya juga di Rumah Sakit, maka pencegahan yang paling efektif adalah Gaya Hidup untuk menunjang Ketahanan Tubuh kita:
PenangananPengobatan TB menggunakan antibiotik untuk membunuh bakterinya. Pengobatan TB yang efektif ternyata sulit karena struktur dan komposisi kimia dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding sel menahan obat masuk sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif.[81] Dua jenis antibiotik yang umum digunakan adalah isoniazid dan rifampisin, dan pengbatan dapat berlangsung berbulan-bulan.[51] Pengobatan TB laten biasanya menggunakan antibiotik tunggal.[82] Penyakit TB aktif sebaiknya diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik untuk menurunkan risiko berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik.[18] Pasien dengan infeksi laten juga diobati untuk mencegah munculnya TB aktif di kehidupan selanjutnya.[82] WHO merekomendasikan terapi pengawasan langsung (bahasa Inggris: directly-observed therapy), yaitu seorang pengawas kesehatan mengawasi penderita meminum obatnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah penderita yang tidak meminum obat antibiotiknya dengan benar.[83] Bukti yang mendukung terapi pengawasan langsung secara independen kurang baik.[84] Namun, metode dengan cara mengingatkan penderita bahwa pengobatan itu penting ternyata efektif.[85] Kasus baruRekomendasi tahun 2010 untuk pengobatan kasus baru tuberkulosis paru adalah kombinasi antibiotik selama enam bulan. Rifampicin, isoniazid, pirazinamide, dan etambutol untuk dua bulan pertama, dan hanya rifampicin dan isoniazid untuk empat bulan selanjutnya.[18] Apabila resistansi terhadap isoniazid tinggi, ethambutol dapat ditambahkan untuk empat bulan terakhir sebagai alternatif.[18] Penyakit kambuhBila tuberkulosis kambuh, lakukan tes untuk menentukan jenis antibiotik yang sensitif sebelum menentukan pengobatan.[18] Jika multiple drug-resistant TB (MDR-TB) terdeteksi, direkomdendasikan pengobatan dengan paling tidak empat jenis antibiotik efektif selama 8–24 bulan.[18] Resistansi obatResistansi primer muncul saat seseorang terinfeksi jenis TB resisten. Seorang dengan TB yang rentan dapat mengalami resistansi sekunder (didapat) pada saat terapi. Seseorang juga dapat mengalami perkembangan resistansi karena pengobatan yang tidak adekuat, jika obat yang diresepkan tidak dipakai dengan sesuai (karena tidak patuh), atau karena obat yang digunakan berkualitas rendah.[86] TB dengan resistansi obat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara yang sedang berkembang. Pengobatan untuk TB yang resisten terhadap obat akan berlangsung lebih lama dan memerlukan obat yang lebih mahal. MDR-TB (Mulitple Drugs Resistance-TB) sering didefinisikan sebagai resistansi terhadap dua obat yang paling efektif dalam lini pertama pengobatan TB, yaitu rifampisin and isoniazid. Extensively drug-resistant TB juga resisten terhadap tiga atau lebih dari enam kelas pengobatan lini kedua.[87] TB resisten obat total adalah resistansi terhadap semua jenis obat yang selama ini digunakan. TB dengan resisten total terhadap obat pertama kali ditemukan pada tahun 2003 di Italia, tetapi hal ini tidak pernah dilaporkan hingga tahun 2012.[88] Sekarang ini ada kecenderungan untuk mengetahui terlebih dahulu apa betul yang menginfeksi adalah bakteri TB atau bakteri lainnya dan obat apa saja yang masih mempan, oleh karenanya perlu dilakukan kultur bakteri terlebih dulu sebelum dilakukan pengobatan. Pada tahun 2007, WHO merekomendasikan penggunaan media cair untuk kultur bakteri TB agar lebih akurat dan membutuhkan waktu hingga 40 hari.[89] PrognosisPerkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB yang nyata muncul saat basil mengalahkan pertahanan sistem imun dan mulai memperbanyak diri. Pada penyakit TB primer (sejumlah 1–5% dari kasus), perkembangan ini muncul segera setelah infeksi awal.[8] Namun, pada kebanyakan kasus, suatu infeksi laten muncul tanpa gejalan yang nyata.[8] Kuman yang dorman ini menghasilkan tuberkulosis aktif pada 5–10% dari kasus laten ini, dan pada umumnya baru akan muncul bertahun-tahun setelah infeksi.[16] Risiko reaktivasi meningkat sebagai akibat imunosupresi, seperti misalnya disebabkan oleh infeksi HIV. Pada orang yang juga terinfeksi oleh “M. tuberculosis” dan HIV, risiko adanya reaktivasi meningkat hingga 10% per tahun.[8] Studi yang menggunakan sidik DNA dari galur “M. tuberculosis”menunjukkan bahwa infeksi kembali menyebabkan kambuhnya TB lebih sering dari yang diperkirakan.[90] Infeksi kembali dapat dihitung lebih dari 50% kasus dimana TB biasa ditemukan.[91] Peluang terjadinya kematian karena tuberkulosis adalah kurang lebih 4% pada tahun 2008, turun dari 8% pada tahun 1995.[18] SejarahTuberculosis sudah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman kuno.[18] Deteksi paling awal “M. tuberculosis” terdapat pada bukti adanya penyakit tersebut di dalam bangkai bison yang berasal dari sekira 17.000 tahun lalu.[92] Namun, tidak ada kepastian apakah tuberkulosis berasal dari sapi (bovin), yang kemudian ditularkan ke manusia, atau apakah tuberkulosis tersebut bercabang dari nenek moyang yang sama.[93] Para ilmuwan yakin bahwa manusia terkena MTBC dari binatang selama proses penjinakan. Namun, gen “Micobacterium tuberculosis” complex (MTbC) pada manusia telah dibandingkan dengan MTbC pada binatang, dan teori tersebut telah terbukti salah. Galur bakteri tuberkulosis memiliki nenek moyang yang sama, yang sebenarnya bisa menginfeksi manusia sejak Revolusi Neolitik.[94] Sisa kerangka menunjukkan bahwa manusia prasejarah (4000 Sebelum Masehi) mengidap TB. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam tulang spina mumi-mumi Mesir dari tahun 3000–2400 SM.[95] "Phthisis" berasal dari bahasa Yunani yang artinya “konsumsi,” yakni istilah kuno untuk tuberkulosis paru.[96] Sekira 460 SM, Hippocrates mengidentifikasi bahwa phthisis adalah penyakit yang paling mudah menular pada saat itu. Orang dengan phthisis mengalami demam dan batuk darah. Phthisis hampir selalu berakibat fatal.[97] Penelitian gen menunjukkan bahwa TB telah ada di Amerika dari sekira tahun 100 AD.[98] Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat sering kali menghubungkan tuberkulosis dengan vampir. Jika seorang anggota keluarga meninggal karena TB, kesehatan anggota keluarga lainnya dari orang yang terinfeksi tersebut perlahan-lahan menurun. Masyarakat percaya bahwa orang pertama yang terkena TB menguras jiwa anggota keluarga lainnya.[99] Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan sebagai patologi oleh Dr Richard Morton pada 1689.[100][101] Namun, TB memiliki berbagai gejala, sehingga TB tidak diidentifikasi sebagai satu jenis penyakit hingga akhir 1820-an. TB belum dinamakan tuberkulosis hingga 1839 oleh J. L. Schönlein.[102] Selama tahun 1838–1845, Dr. John Croghan, pemilik Gua Mammoth, membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua dengan harapan menyembuhkan penyakit tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian udara di dalam gua: mereka meninggal setelah satu tahun di dalam gua.[103] Hermann Brehmer membuka sanatorium pertama pada 1859 di Sokołowsko, Polandia.[104] Basilus yang menyebabkan tuberkulosis, “Mycobacterium tuberculosis,” diidentifikasi dan dijelaskan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Dia menerima Penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada 1905 atas penemuan ini.[105] Koch tidak percaya bahwa penyakit tuberkulosis pada sapi (ternak) dan manusia adalah penyakit yang serupa. Keyakinan ini menunda pengakuan bahwa susu yang terinfeksi menjadi sumber infeksi. Kemudian, risiko penularan dari sumber ini sangat jauh berkurang karena penemuan proses pasteurisasi. Koch mengumumkan ekstrak gliserin dari basil tuberkulosis sebagai "obat" untuk tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya “tuberkulin.” Meskipun “tuberkulin” tidak efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk mengetahui adanya tuberkulosis prasimtomatik.[106] Albert Calmette dan Camille Guérin menerima kesuksesan pertama dalam imunisasi anti tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan tuberkulosis galur bovin di-atenuasi, dan vaksin tersebut dinamakan BCG (basil Calmette dan Guérin). Vaksin BCG pertama kali digunakan pada manusia pada 1921 di Prancis.[107] Namun, vaksin BCG baru diterima secara luas di AS, Inggris, dan Jerman setelah Perang Dunia II.[108] Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di perkotaan. Pada 1815, satu di antara empat kematian di Inggris disebabkan oleh "konsumsi." Pada 1918, satu di antara enam kematian di Prancis disebabkan oleh TB. Setelah para ilmuwan menetapkan bahwa penyakit tersebut menular pada 1880-an, TB dimasukkan ke penyakit wajib lapor di Inggris. Kampanye dimulai agar orang-orang berhenti meludah di tempat umum dan orang miskin yang terinfeksi penyakit tersebut ‘didorong’ untuk masuk sanatorium yang menyerupai rumah tahanan. (Sanatorium untuk kelas menengah ke atas menawarkan perawatan yang luar biasa dan pemeriksaan medis terus-menerus.) [104] Sanatorium tersebut seharusnya memberi manfaat "udara bersih" dan pekerjaan. Namun bahkan dalam kondisi terbaik, 50% pasien di dalamnya meninggal setelah lima tahun (“ca.” 1916).[104] Di Eropa, angka tuberkulosis mulai meningkat pada awal 1600-an. Angka kasus TB mencapai puncak tertingginya di Eropa pada 1800-an ketika penyakit ini menyebabkan hampir 25% dari keseluruhan kasus kematian.[109] Angka kematian kemudian menurun hingga hampir mencapai 90% pada 1950-an.[110] Peningkatan kesehatan masyarakat secara signifikan mengurangi angka tuberkulosis bahkan sebelum streptomisin dan antibiotik lainnya digunakan. Namun, penyakit tersebut masih merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan masyarakat. Ketika Konsil Penelitian Medis dibentuk di Inggris pada 1913, fokus awalnya adalah penelitian tuberkulosis.[111] Pada 1946, pengembangan antibiotik streptomisin mewujudkan pengobatan dan penyembuhan efektif untuk TB. Sebelum obat ini diperkenalkan, pengobatan satu-satunya (kecuali sanatorium) adalah intervensi bedah. “Teknik pneumotoraks" membuat paru-paru yang terinfeksi kolaps dan memberikan "jeda" sehingga lesi akibat tuberkulosis mulai sembuh.[112] Kemunculan MDR-TB kembali menjadikan pembedahan sebagai opsi dalam standar tatalaksana untuk perawatan infeksi TB. Intervensi bedah saat ini meliputi pengangkatan kavitasi ("bula") patologis di dalam paru-paru untuk mengurangi jumlah bakteri dan meningkatkan pajanan obat bagi bakteri yang masih ada di dalam aliran darah. Intervensi ini secara bersamaan mengurangi jumlah bakteri total dan meningkatkan efektivitas terapi antibiotik sistemik.[113] Meskipun para ahli mengharapkan agar TB dapat diberantas sepenuhnya (bandingkan cacar), munculnya galur resistansi obat pada 1980-an membuat pemberantasan TB menjadi sulit. Kemunculan kembali tuberkulosis mendorong deklarasi emergensi kesehatan global yang dibuat oleh WHO pada 1993.[114] Masyarakat dan budayaOrganisasi Kesehatan Dunia dan Yayasan Bill & Melinda Gates memberi subsidi untuk tes diagnosis cepat yang baru (fast-acting diagnostic test) untuk digunakan di negara berpendapatan rendah dan menengah.[115][116] Sejak 2011, banyak tempat miskin yang hanya memiliki akses ke mikroskopi sputum (pemeriksaan dahak menggunakan mikroskop).[117] Pada 2010, India memiliki jumlah kasus TB tertinggi di dunia. Satu penyebabnya adalah karena pengelolaan penyakit yang buruk oleh sektor pelayanan kesehatan swasta. Program-program seperti Program kontrol TB nasional terevisi membantu untuk mengurangi jumlah TB di antara orang-orang yang menerima layanan kesehatan masyarakat.[118][119] RisetVaksin BCG memiliki keterbatasan, dan riset untuk mengembangkan vaksin TB baru masih berjalan.[120] Sejumlah calon potensial saat ini dalam uji klinis fase I dan II.[120] Dua pendekatan utama dalam uji klinis berusaha untuk memperbaiki kemanjuran efikasi vaksin yang ada. Satu pendekatan melibatkan penambahan vaksin sub-unit ke BCG. Strategi lainnya mencoba untuk menciptakan vaksin baru dan vaksin hidup yang lebih baik.[120]MVA85A adalah contoh dari vaksin sub-unit yang sedang diuji-cobakan di Afrika Selatan. MVA85A didasarkan pada virus vaccinia yang dimodifikasi secara genetik.[121] Harapannya vaksin akan berperan secara signifikan dalam perawatan penyakit laten dan aktif.[122] Untuk mendorong penemuan lebih lanjut, para peneliti dan pembuat kebijakan memperkenalkan model baru yang lebih murah untuk pegembangan vaksin, termasuk hadiah, insentif pajak, dan komitmen pasar lanjutan.[123][124] Beberapa kelompok dilibatkan dalam riset, termasuk Kemitraan Stop TB,[125] the South African Tuberculosis Vaccine Initiative, and the Aeras Global TB Vaccine Foundation.[126] Aeras Global TB Vaccine Foundation menerima hibah lebih dari $280 juta (AS) dari Bill and Melinda Gates Foundation untuk mengembangkan dan melisensi vaksin yang lebih baik untuk melawan tuberkulosis agar dapat digunakan di negara-negara dengan beban yang tinggi.[127][128] Penyakit pada hewanMikrobakteria menginfeksi berbagai hewan, termasuk unggas,[129] binatang pengerat,[130] dan reptil.[131] Subspesies Mycobacterium tuberculosis jarang muncul pada hewan liar.[132] Penyakit tuberkulosis pada hewan di antaranya yaitu tuberkulosis unggas yang disebabkan Mycobacterium avium, tuberkulosis sapi yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis, serta penyakit Johne yang disebabkan oleh Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis. Referensi
|