Penyakit kulit berbenjol
Penyakit kulit berbenjol atau penyakit kulit menggumpal (bahasa Inggris: lumpy skin disease, disingkat LSD) adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh Lumpy skin disease virus. Penyakit ini dicirikan dengan adanya nodul-nodul yang keras pada kulit di hampir seluruh bagian tubuh. Hewan rentanSapi dan kerbau domestik asia merupakan hewan-hewan yang terinfeksi secara alami. Infeksi eksperimental pernah dilakukan pada jerapah dan impala. Sementara itu, oriks di Afrika Selatan, oriks arab di Arab Saudi, dan springbok di Namibia pernah menunjukkan tanda klinis.[1] LSD tidak dapat menular ke manusia.[2] Tanda klinisMasa inkubasi penyakit berdasarkan infeksi eksperimental adalah 4–14 hari dan pada kondisi lapangan bisa mencapai lima pekan.[3] Demam muncul pada 6–9 hari setelah inokulasi virus, sedangkan lesi kulit muncul pertama kali setelah 4–20 hari. Untuk keperluan lalu lintas hewan, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) menstandarkan masa inkubasi menjadi 28 hari.[1] Saat melakukan investigasi wabah, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) merekomendasikan untuk mempertimbangkan masa inkubasi selama lima pekan.[4] Tanda-tanda klinis pertama yang dapat diamati di antaranya adalah pembengkakan kelenjar limfa subskapularis dan prefemoralis, demam tinggi di atas 40,5 °C yang terjadi hingga selama satu pekan, terkadang muncul leleran dari mata dan hidung, serta penurunan produksi susu yang drastis.[3] Lesi kulit berupa nodul dan papula muncul dalam jumlah banyak, dengan benjolan yang keras, datar, berbatas jelas, dan berdiameter antara 0,5 hingga 5 cm. Nodul melibatkan lapisan dermis dan epidermis, tetapi kadang juga dapat mencapai subkutan dan jaringan otot lurik di bawahnya. Nodul juga dapat muncul di membran mukosa di saluran pernapasan hingga mengakibatkan pneumonia, sementara nodul-nodul di membran mukosa mata, hidung, mulut, rektum, hingga alat kelamin dapat mengalami ulser dan menghasilkan sekresi. Akibatnya, leleran mata, hidung, dan air liur dapat mengandung virus LSD. Pada salah satu atau kedua kornea mata dapat ditemukan lesi ulseratif yang dapat mengakibatkan kebutaan. Pada fase kronis, lesi ditandai dengan jaringan infark dengan bagian tengah yang nekrosis dan dikelilingi jaringan granulasi yang berangsur-angsur mengalami fibrosis.[5][6] Sapi betina dapat mengalami mastitis dan keguguran, sementara sapi jantan dapat mengalami orkitis.[7] Manifestasi klinis sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya; terkadang lesi kulit bersifat berat, ringan, atau bahkan subklinis.[8] Sapi dengan produksi susu yang tinggi, terutama sapi-sapi keturunan Eropa, lebih berat terdampak.[9] Berdasarkan infeksi eksperimental, hanya 40–50% sapi terinfeksi yang menunjukkan tanda klinis.[10][11] Morbiditas (tingkat serangan) LSD berkisar dari 5 hingga 45%, sementara tingkat kematian kasusnya di bawah 10%.[1] Angka kesakitan dan kematian pada kerbau jauh lebih rendah daripada sapi.[9] PenyebabPenyakit kulit berbenjol diakibatkan oleh Lumpy skin disease virus (LSDV) yang termasuk dalam famili Poxviridae. Keluarga virus ini umumnya menimbulkan penyakit-penyakit cacar dan sejenisnya pada beragam spesies hewan. PenularanVirus LSD terutama ditularkan oleh vektor mekanik berupa artropoda, seperti nyamuk dan lalat penggigit. Sebuah studi di Eropa menyimpulkan bahwa jangkauan penyebaran maksimum LSD oleh vektor adalah sejauh 80 km[12]. Penularan jarak jauh terjadi melalui pengangkutan hewan hidup, sedangkan penularan jarak berhubungan dengan daya jelajah vektor. Potensi penularan yang lebih kecil terjadi melalui kontak langsung antara hewan terinfeksi dan hewan sehat, melalui air dan pakan yang terkontaminasi air liur atau leleran hidung hewan terinfeksi, serta melalui perkawinan alami dan inseminasi buatan.[1][13] Penularan iatrogenik dapat terjadi akibat penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi virus.[13]
Virus LSD dapat ditransmisikan dalam kandungan. Induk sapi bunting yang terinfeksi virus LSD dapat melahirkan bayi sapi dengan tanda klinis LSD.[20] Selain itu, virus LSD juga ditemukan dalam air susu sehingga penularan dari induk ke anak dapat terjadi. Susu yang dihasilkan induk yang terinfeksi harus dibuang, dipasteurisasi, atau dipanaskan pada suhu 56 °C selama satu jam atau suhu 64 °C selama 30 menit.[21] DiagnosisDiagnosis bandingDiagnosis banding untuk penyakit ini adalah pseudo-LSD (infeksi Bovine alphaherpesvirus 2), stomatitis papular sapi, dermatofilosis, dermatofitosis, aktinomikosis, aktinobasilosis, gigitan serangga, urtikaria, fotosensitisasi, besnoitiosis, nokardiasis, demodikosis, onkosersiasis, cacar sapi, dan efek samping pemberian vaksin aktif yang dilemahkan.[22][2][23] Pengujian laboratoriumDiagnosis definitif LSD ditegakkan dengan pengujian laboratorium. Spesimen diambil melalui biopsi nodul kulit dan keropeng. Selain itu, darah dari hewan viremia yang mengalami infeksi akut serta cairan hidung dan air liur juga bisa diambil sebagai spesimen.[24] Identifikasi virus untuk mendiagnosis LSD dilakukan dengan isolasi virus dan reaksi berantai polimerase (PCR).[25] Kedua metode ini digunakan untuk mengonfirmasi kasus klinis dan memastikan seekor hewan tidak tertular penyakit sebelum dilalulintaskan.[2] Di sisi lain, metode yang digunakan untuk mendeteksi respons imun yaitu uji netralisasi virus (VNT), uji antibodi fluoresens tidak langsung (IFAT), dan ELISA.[2] Antibodi terhadap virus LSD mulai naik sekitar dua pekan setelah vaksinasi atau infeksi alami (satu pekan setelah munculnya tanda klinis) dan mencapai puncaknya pada 3–4 pekan berikutnya. Kekebalan maternal mulai menurun setelah anak sapi berusia tiga bulan.[9][26] Akan tetapi, titer antibodi tidak dapat secara langsung dihubungkan dengan status imun hewan yang telah terinfeksi atau telah divaksinasi. Hewan yang seronegatif bisa saja pernah terinfeksi sebelumnya dan tidak semua hewan yang divaksin meningkat titer antibodinya,[27][28] sehingga surveilans untuk mengetahui serokonversi pascavaksinasi sebaiknya dilakukan ketika antibodi berada dalam kadar tertinggi, yaitu sekitar 30 hari pascavaksinasi.[29] Uji netralisasi virus (VNT) atau uji netralisasi serum (SNT) merupakan uji antibodi LSD yang terbaik.[30] Meskipun demikian, uji serologis tidak dapat membedakan hewan yang telah divaksin dengan hewan yang terinfeksi secara alami.[29] PencegahanPenyakit kulit berbenjol merupakan salah satu penyakit yang kasusnya diwajibkan oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH).[31] Organisasi ini merekomendasikan persyaratan teknis kesehatan hewan bagi sapi dan kerbau hidup, semen, embrio, susu dan produk susu, kulit, dan produk hewan lainnya sebelum ditransportasikan antarnegara.[32] Pemberian vaksin digunakan untuk mencegah penyebaran LSD. Ada dua jenis vaksin LSD, yaitu vaksin homolog yang dibuat dari galur Neethling dan vaksin heterolog yang dibuat dari virus cacar kambing dan virus cacar domba.[33] Efek samping akibat pemberian vaksin homolog antara lain demam, pembengkakan lokal pada lokasi penyuntikan, penurunan produksi susu untuk sementara waktu, dan reaksi umum yang disebut sebagai penyakit Neethling, yaitu munculnya lesi kulit berukuran kecil hingga dua pekan pascavaksinasi; penyuntikan vaksin heterolog jarang menimbulkan efek samping.[34] Karena vaksin yang tersedia saat ini adalah vaksin aktif yang dilemahkan, pemberiannya kadang dapat memunculkan tanda-tanda klinis khas LSD.[35] Sementara itu, vaksin inaktif telah dikembangkan dan bisa saja dipasarkan dalam waktu dekat.[36][37] Penanganan dan pengendalianTidak ada terapi spesifik untuk mengobati LSD. Sediaan topikal dapat diberikan untuk mencegah infeksi bakteri dan invasi larva lalat pada kulit. Obat antiinflamasi nonsteroid dan antihistamin dapat diberikan untuk menurunkan rasa nyeri dan gatal, dan dalam beberapa kasus, seperti pneumonia dan mastitis, pemberian antibiotik dapat menghilangkan infeksi. Antibiotik sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada setiap kasus LSD untuk mencegah timbulnya resistansi antibiotik.[38] Pemusnahan hewan, baik terhadap hewan-hewan yang menunjukkan tanda klinis LSD ataupun terhadap seluruh hewan pada unit epidemiologi tertentu, dapat menjadi kebijakan yang diambil oleh suatu negara saat menghadapi wabah LSD. Pembatasan dan pelarangan lalu lintas hewan ternak juga dapat diterapkan, terutama pada kondisi wabah ketika pemilik hewan berinisiatif untuk menjual ternaknya. Kebijakan-kebijakan tersebut perlu dikombinasikan dengan program vaksinasi. Namun, vaksinasi tidak dilakukan kepada hewan-hewan yang menunjukkan tanda klinis karena ada kemungkinan rekombinasi antara virus vaksin dengan virus lapangan yang mengakibatkan derajat penyakit semakin berat.[39] Untuk pengendalian wabah, vaksinasi perlu dilakukan dengan radius minimum 80 km dari lokasi temuan kasus dan dengan mencakup 80–100% populasi hewan rentan, termasuk anak sapi dan induk sapi yang sedang bunting.[40] Penggunaan insektisida berskala besar tidak dianjurkan karena hal ini akan membunuh serangga lainnya yang bermanfaat bagi lingkungan.[41] EpidemiologiPenyakit ini pertama kali dilaporkan di Zambia pada tahun 1929 dan kemudian menyebar luas ke seluruh wilayah Afrika hingga dinilai endemik di Afrika Sub-Sahara.[42] Laporan pertama LSD di luar Afrika terjadi antara 1988 dan 1989 di Israel.[5] Penyakit ini kemudian menyebar ke Eropa bagian Tenggara, Timur Tengah, dan Asia Tengah. Pada bulan Juli 2019, LSD masuk ke Bangladesh dan selanjutnya ke India dan Tiongkok.[43] Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Myanmar mulai terdampak pada tahun 2020. Pada 2021, penyakit ini menyebar ke negara-negara Asia Tenggara, mulai dari Thailand (Maret 2021) hingga Kamboja, Laos, dan Malaysia (Mei 2021).[44] Pada 2022, Indonesia melaporkan adanya kasus LSD.[45] Di negara-negara endemik, epidemi LSD terjadi dengan interval beberapa tahun.[46] Epidemi lebih mungkin terjadi ketika populasi vektor meningkat dan aktif, yaitu pada kondisi hangat dan basah, serta bergantung pada lalu lintas hewan antarwilayah dan antarnegara.[47] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|