Penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan telah beberapa kali menyebar dan mewabah di Indonesia. Periode pertama persebaran penyakit ini terjadi pada tahun 1887 hingga 1983. Indonesia mendeklarasikan diri bebas dari PMK sejak 1986 yang kemudian diakui secara internasional pada 1990. Namun, pada bulan Mei 2022, kasus PMK kembali dilaporkan dan menyebar kembali ke berbagai wilayah di Indonesia.
Persebaran pertama
Penyakit mulut dan kuku pertama kali dilaporkan di Malang pada tahun 1887 akibat impor sapi dari Belanda. Penyakit ini lalu menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, seperti Jakarta (dilaporkan pada 1889), Aceh (1892), Medan dan Kalimantan (1906), serta Sulawesi (1907). Pada tahun 1952, Balai Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku (kini bernama Pusat Veteriner Farma) didirikan di Surabaya. Lembaga ini ditugaskan untuk memproduksi vaksin PMK dan dijadikan sebagai laboratorium referensi untuk pengujian PMK.[1] Pemerintah kemudian melaksanakan vaksinasi massal sejak tahun 1974. Program vaksinasi—yang menggunakan serotipe O1/BFS—diutamakan di daerah sumber ternak, yaitu Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan.[2][3]
Kasus PMK tidak lagi dilaporkan pada tahun 1980 dan Pulau Jawa direncanakan untuk bebas dari penyakit ini pada tahun 1984. Namun, wabah PMK kembali timbul pada 1983 di Kabupaten Blora dan menyebar hingga ke Banten dan beberapa daerah di Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Sebanyak 13.987 sapi dan kerbau dilaporkan terinfeksi dengan angka kematian 1%. Selain itu, domba dan babi juga dilaporkan terserang penyakit ini. Isolat virus pada wabah ini adalah O ISA 3/83 atau O java 83. Pada periode 1983 sampai 1985, vaksinasi diselenggarakan dengan menggunakan isolat ini. Kasus PMK dapat dikendalikan dan tidak lagi dilaporkan sejak tiga bulan setelah vaksinasi terakhir.[3]
Masa bebas
Indonesia mendeklarasikan diri bebas dari PMK pada 1986 melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 260/Kpts/TN.510/5/1986. Status bebas ini diakui secara internasional melalui Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) Nomor XI Tahun 1990. Sejak saat itu, Indonesia dinyatakan sebagai negara bebas PMK tanpa menerapkan vaksinasi.[4] Untuk memastikan status bebas PMK ini, Pusat Veteriner Farma, sebuah unit kerja di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian melaksanakan surveilans secara rutin dalam rangka membuktikan status bebas PMK dan mendeteksi secara dini keberadaan PMK di Indonesia.[5][6][7]
Pada dasawarsa 2010-an, rencana pemerintah untuk mengimpor hewan rentan PMK (sapi dan kerbau) serta produk hewan (daging dan jeroan) dari negara yang belum berstatus bebas PMK memunculkan kekhawatiran dari beberapa pihak, seperti perhimpunan peternak dan pengamat.[8] Sebelumnya, Indonesia hanya mengimpor hewan dan produk hewan dari negara berstatus bebas PMK, misalnya Australia. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan impor berbasis negara memberi keterbatasan dan menimbulkan ketergantungan kepada negara tertentu.[9] Perubahan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan dari UU Nomor 18 Tahun 2009 menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 memungkinkan Indonesia melakukan impor dari zona bebas penyakit hewan. Ketentuan impor yang sebelumnya hanya berbasis negara berubah menjadi berbasis zona dalam suatu negara. Pemerintah kemudian mengimpor daging kerbau beku dari India yang belum berstatus bebas PMK, tetapi memiliki zona bebas PMK dan memiliki program pengendalian resmi yang diakui WOAH. Selain itu, daging kerbau beku yang diimpor tergolong komoditas aman untuk PMK karena telah memenuhi persyaratan teknis berupa daging tanpa tulang dan tanpa kelenjar limfa, telah dimaturasi dalam suhu 2 oC selama minimum 24 jam, dan memiliki nilai pH kurang dari 6,0 pada saat diuji di tengah kedua otot longissimus dorsi.[10] Dokumen analisis risiko yang disusun oleh Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan Karantina Hewan menyimpulkan bahwa estimasi risiko masuknya PMK dari India ke Indonesia melalui daging kerbau tanpa tulang adalah "dapat diabaikan".[11]
Pada tahun 2015, pengujian yudisial dilakukan terhadap UU Nomor 41 Tahun 2014. Muatan yang diuji adalah ketentuan impor berbasis zona. Terhadap pengujian ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu negara hanya dapat dilakukan dalam keadaan mendesak dan dengan menerapkan pengamanan maksimum.[12][13][14]
Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2016 menyatakan bahwa risiko masuknya virus PMK melalui pemasukan daging ilegal di Entikong, perbatasan darat Indonesia–Malaysia, adalah sangat rendah.[15][16] Hingga tahun 2021, Indonesia masih dinyatakan sebagai negara bebas PMK berdasarkan Resolusi WOAH Nomor 88 Tahun 2021.[17]
Persebaran kedua
Pada akhir bulan April dan awal Mei 2022, wabah PMK dilaporkan di Jawa Timur. Sebanyak 1.247 ternak di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto terserang penyakit ini.[18][19] Kejadian serupa dilaporkan di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, dengan 1.881 sapi terinfeksi.[20] Dalam notifikasinya ke WOAH, Indonesia menyatakan kasus di Jawa Timur dimulai pada 12 April 2022, sedangkan kasus di Aceh dimulai pada 22 April 2022.[21][22]
Pada 9 Mei 2022, Menteri Pertanian menetapkan Kabupaten Aceh Tamiang dan beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Timur sebagai daerah wabah PMK.[23][24] Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Pada 4 Juli, Kementerian Pertanian menetapkan 20 provinsi sebagai daerah wabah PMK, yaitu Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau.[25] Per bulan Desember 2022, PMK telah tercatat di 27 provinsi di Indonesia.[26][27]
Penyebab masuknya penyakit
Virus PMK diduga masuk ke Indonesia akibat penyelundupan hewan ternak seperti kambing dari negara yang belum bebas PMK, yaitu Thailand, ke pelabuhan tikus di pesisir timur Pulau Sumatra.[28][29] Meskipun demikian, terdapat dugaan bahwa PMK telah terdeteksi di Indonesia sejak tahun 2015 setelah ditemukan hasil uji positif pada babi asal Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan Kota Tangerang, Provinsi Banten.[30] Serotipe dan garis keturunan virus PMK yang ditemukan di Indonesia pada wabah tahun 2022 adalah O/ME-SA/Ind-2001e yang berasal dari India dan beredar di beberapa negara Asia Tenggara.[31][32]
Tanggapan
Sebagai respons atas mewabahnya PMK, Kementerian Pertanian mengatur lalu lintas hewan rentan PMK dan produk turunannya untuk mencegah meluasnya wabah serta membuat prosedur operasional baku tentang pengendalian dan penanggulangan PMK.[33] Wabah yang berlangsung menjelang Iduladha juga membuat Majelis Ulama Indonesia membuat fatwa mengenai hukum dan panduan pelaksanaan ibadah kurban saat kondisi wabah PMK.[34] Pada 24 Juni 2022, Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (Satgas PMK) yang ketua tim pelaksananya adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).[35] Satgas PMK lantas menerbitkan protokol kesehatan pengendalian PMK dan sejumlah pengendalian lalu lintas hewan dan produk hewan rentan PMK berbasis zonasi.[36] Kepala BNPB sendiri menetapkan status keadaan tertentu darurat PMK sehingga pendekatan yang dilakukan adalah penanggulangan bencana.[37][38]
Pada 12 Juni, sepuluh ribu dosis vaksin PMK dari Prancis didatangkan untuk memulai program vaksinasi di Indonesia.[39] Dua bulan kemudian, pemerintah Australia memberi bantuan satu juta dosis vaksin PMK.[40] Selain vaksinasi dan pengobatan, kebijakan untuk mengendalikan PMK adalah pemotongan bersyarat terhadap hewan yang terinfeksi. Pemerintah memberikan bantuan kepada pemilik ternak yang dipotong sebesar Rp10 juta untuk sapi, Rp2 juta untuk babi, dan Rp1,5 juta untuk kambing atau domba.[41]Komisi IV DPR-RI dan Ombudsman RI beberapa kali mengkritik pemerintah terkait penanganan PMK.[42][43][44] Sementara itu, akibat wabah ini, Australia dan Malaysia untuk sementara menghentikan impor hewan ternak dari Indonesia.[45] Indonesia juga tak lagi dicantumkan dalam daftar negara bebas PMK dalam Resolusi WOAH Nomor 89 Tahun 2022.[46]
Berikut ini adalah jenis vaksin PMK yang telah disetujui untuk digunakan di Indonesia. Semuanya merupakan jenis vaksin inaktif.[47][48]
Nama produk
Kandungan serotipe virus
Negara asal
Aftogen Oleo
O
Argentina
Aftomune
O dan A
Brasil
Aftopor
O dan A
Prancis
Aftosa
O dan A
Argentina
Aftovac Oleosa
O dan A
Brasil
CAVac FMD
O
RRT
Decivac FMD DOE
O
Jerman
Monovalen Futvac FMD
O
India
Rakhsa Ovac Monovalent
O
India
Schelkovo FMD Monovalent
O
Rusia
Referensi
Catatan kaki
^"Sejarah Pusvetma". Pusat Veteriner Farma. Diakses tanggal 27 Desember 2022.