Di Indonesia, flu burung ditemukan pada akhir tahun 2003. Kasusnya kemudian meluas ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dalam empat tahun, penyakit ini mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian unggas. Infeksi pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 2005 dan terakhir pada 2017. Saat ini, tiga provinsi di Indonesia, yaitu Maluku, Maluku Utara, dan Papua, telah ditetapkan sebagai zona bebas flu burung pada unggas.
Kasus pada hewan
Pada bulan September dan Oktober 2003, terjadi wabah kematian unggas pada peternakan ayam di Jawa Timur dan Jawa Barat yang kemudian diidentifikasi sebagai infeksi virus influenza A subtipe H5N1.[1] Pemerintah Indonesia secara resmi mendeklarasikan berjangkitnya flu burung pada 3 Februari 2004. Infeksi dilaporkan di sembilan provinsi, yaitu Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Bali.[2] Pada 10 Juli 2007, pemerintah menyatakan bahwa flu burung telah mewabah di 31 provinsi.[3] Pada masa itu, Indonesia masih terdiri dari 33 provinsi (Kalimantan Utara baru diresmikan pada tahun 2012) sehingga provinsi yang masih belum dinyatakan tertular flu burung hanya Gorontalo dan Maluku Utara. Provinsi Gorontalo kemudian ikut tertular pada Maret 2011.[4] Dalam rentang waktu empat tahun, yaitu sekitar Desember 2003 hingga Desember 2007, wabah flu burung mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian unggas di seluruh Indonesia, baik akibat penyakit maupun pemusnahan.[5] Sementara itu, kerugian ekonomi akibat wabah ini antara tahun 2004 hingga 2008 diperkirakan sebesar Rp4,3 triliun.[6]
Hingga tahun 2008, semua virus H5N1 di Indonesia digolongkan dalam klad 2.1 dengan tiga turunan, yaitu 2.1.1, 2.1.2, dan 2.1.3.[7] Virus klad 2.1.3 selanjutnya menyebar di banyak daerah di Indonesia. Pada bulan September 2012, isolat virus subtipe H5 dari bebek di Jawa Tengah dilaporkan berhubungan erat dengan klad 2.3.2.1 yang sebelumnya baru ditemukan di Vietnam, Tiongkok, dan Hong Kong.[8][9] Pada bulan Desember 2016, ditemukan virus subtipe H9N2 di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, yang mengakibatkan flu burung patogenisitas rendah (LPAI) pada ayam petelur dengan tanda klinis berupa gangguan pernapasan dan penurunan produksi telur.[10]
Beberapa provinsi ditetapkan sebagai zona bebas dari flu burung pada unggas. Maluku[11] dan Maluku Utara[12] mendapatkan status bebas pada tahun 2016, sedangkan Provinsi Papua pada tahun 2017.[13] Selain itu, sejak tahun 2008 pemerintah juga menerbitkan sertifikat kompartemen bebas flu burung bagi unit usaha peternakan unggas.[14][15]
Kasus pada manusia
Pada 21 Juli 2005, tiga kasus fatal terjadi di Tangerang, yang disebabkan oleh flu burung subtipe H5N1. Berbeda dengan kasus lainnya di Asia Tenggara (Vietnam, Thailand, dan Kamboja), kasus ini dianggap unik karena para korban tidak banyak berhubungan dengan unggas. Selain di Tangerang, terdapat dua klaster keluarga yang lain, yaitu di Jakarta Selatan dan Lampung.[16] Pada akhir tahun 2005, Indonesia mencatat 20 kasus dengan 13 kematian.[17][18] Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus flu burung di Indonesia berjumlah 200 dengan kematian sebanyak 168 orang. Kasus terakhir dilaporkan pada tahun 2017.[19]
Tahun
Jumlah kasus
Jumlah kematian
2005
20
13
2006
55
45
2007
42
37
2008
24
20
2009
21
19
2010
9
7
2011
12
10
2012
9
9
2013
3
3
2014
2
2
2015
2
2
2016
-
-
2017
1
1
Jumlah
200
168
Kontroversi
Untuk menangani wabah flu burung, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan beberapa lembaga internasional, salah satunya adalah WHO. Pada awalnya, Indonesia mengirimkan semua spesimen klinis flu burung pada manusia kepada laboratorium referensi WHO di Atlanta dan Hong Kong untuk mengonfirmasi diagnosis dan kepentingan penilaian risiko. Namun, pada Desember 2006, Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan saat itu menyatakan bahwa Indonesia tak akan lagi mengirimkan spesimen virusnya pada WHO,[20] karena ketidakpuasan terhadap sistem yang dijalankan WHO dan meminta penerapan kedaulatan suatu negara atas bahan biologis, transparansi sistem global, dan ekuitas di antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.[5][21] Keputusan ini mengejutkan komunitas internasional karena mengganggu sistem yang telah dibangun oleh Global Influenza Surveillance Network (GISN) yang dikoordinasikan oleh WHO. Dalam tulisan ilmiahnya, seorang ahli politik internasional dari Australia menilai tindakan Siti Fadilah memiliki tujuan politis tertentu.[20] Indonesia kemudian setuju untuk mengirimkan kembali spesimen-spesimen virus flu burungnya kepada WHO setelah terbentuk resolusi tentang mekanisme berbagi virus dan berbagi manfaat yang lebih transparan.[5][22]