Mayoritas operasi transportasi rel di Indonesia berfokus di Jawa, untuk angkutan penumpang dan barang. Di Sumatra, jalur kereta apinya terpisah antara Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung, sedangkan ada proyek kereta api di Kalimantan dan Sulawesi. Sebagai bagian dari program strategis nasional, Indonesia diharapkan mampu menyelenggarakan kereta api di seluruh pulau utama. Menurut rencana tersebut, rel kereta api sepanjang 3.200 km akan mempersatukan pulau-pulau tersebut setelah merdeka.
Karena dipengaruhi oleh operasi perkeretaapian pada zaman kolonial Belanda, kereta api di Indonesia memilih menggunakan sepur kanan, meski jalan raya menggunakan lajur kiri.
Infrastruktur perkeretaapian di Indonesia dimiliki negara, dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan. Perusahaan kereta api Indonesia adalah BUMN PT Kereta Api Indonesia (KAI), beserta anak perusahaannya di segmen komuter KAI Commuter, dan patungan di segmen KA bandara KAI Bandara. Operator lainnya adalah Servo Railway, LRT Jakarta, dan MRT Jakarta. Monorel Jakarta yang sedianya juga merupakan operator swasta, mengoperasikan rencana monorel yang akhirnya gagal dilanjutkan proyeknya. Operator membayar track access charge kepada Pemerintah, dan Pemerintah memberikan infrastructure maintenance and operation kepada operator.
Regulasi perkeretaapian Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007, yang resmi menghapus status KAI sebagai operator tunggal, dan berstatus sebagai "penyelenggara prasarana dan sarana perkeretaapian atas nama Pemerintah". Dengan demikian, pengesahan undang-undang tersebut resmi mengakhiri monopoli perkeretaapian oleh KAI.
Pada 2020, kereta api di Indonesia mencatatkan 186,1 juta penumpang berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020.[1]
Ide untuk membangun kereta api di Indonesia telah muncul sejak tahun 1840-an.[2] Pembuatan jalur kereta api di Indonesia awalnya merupakan permintaan dari Raja Willem I. Tujuan pembangunannya untuk keperluan militer di Kota Semarang dan pengangkutan hasil bumi ke Gudang Semarang. Gagasan ini baru diwujudkan dengan pembentukan perusahaan kereta api bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), ditandai dengan pengesahannya sebagai badan hukum pada 27 Agustus 1863. Tujuan dari pembangunan kereta api di Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu) adalah untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi. Kereta api pertama di Hindia Belanda dimulai dengan peletakan batu pertama pembangunan jalur kereta api di segmen pertama jalur kereta api Samarang–Vorstenlanden (Yogyakarta), pada tanggal 17 Juni 1864 di Kemijen, Semarang Timur, Semarang, yang menjadi lokasi Stasiun Samarang (km 0). Pembangunan tersebut ditandai dengan upacara yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J.W. Sloet van de Beele. Pada 10 Agustus 1867, jalur tersebut selesai dibangun.[2][3][3]
Selanjutnya, sisa konsesi awal dari jalur kereta api ini juga dikerjakan, yaitu Tanggung–Gundih–Solo–Yogya NIS, serta membuat jalur cabang dari Kedungjati–Stasiun Ambarawa. Samarang–Vorstenlanden resmi dibuka pada 10 Juni 1872, dan keseluruhan lintas pertama (Samarang–Vorstenlanden dan Kedungjati–Willem I) selesai pada 21 Mei 1873.[4][5]
Konsesi untuk jalur Batavia–Buitenzorg dimuat dalam Gouvernement Besluit 27 Maart 1864 No. 1.[5] Josef Osdar dari harian Kompas menyebut bahwa izin tersebut dilaksanakan tahun 1869 atau lima tahun setelah izin diberikan, serta menyebut, "NIS(M) akan membangun rel kereta lebar sepur 1435 milimeter (mm) sedangkan pemerintah kolonial Belanda menginginkan 1067 mm." Alasannya, NIS bermaksud memonopoli angkutan perkebunan, dan berkeinginan untuk menggabungkan lintas tersebut dengan lintas Samarang–Vorstenlanden.[8] Pada tanggal 31 Januari 1873, lintas tersebut mulai beroperasi menggunakan sepur 1.067 mm.[5]
Lain halnya dengan Staatsspoorwegen (SS), yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial pada 1875 untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi NIS terkait masalah keuangan. Di tengah-tengah masalah keuangan NIS, ada minat swasta untuk melaksanakan konsesi jalur kereta api. Namun mereka memilih jenis trem karena dinilai mampu menekan biaya pembangunan.[9] SS dibentuk untuk melaksanakan konsesi jalur kereta api Jawa, dengan lintas pertamanya Surabaya–Pasuruan dan Bangil–Malang.[10] Perusahaan ini berkeinginan agar kereta api di lintas milik negara menggunakan 1.067 mm. SS juga berkeinginan agar rencana Batavia–Buitenzorg dapat dilanjutkan dengan lintas SS, Bogor–Bandung–Banjar–Yogyakarta, kemudian sampai di Jawa Timur.[8]
Pada masa berjayanya transportasi rel di Indonesia, tercatat per tanggal 31 Desember 1928, total keseluruhan kilometer rel kereta dan trem Hindia–Belanda (Sumatra, Jawa, dan Sulawesi) adalah 7.293 km dimana untuk Pulau Jawa dan Madura adalah 5.473 km dengan rincian: 2.802 km rel ukuran 1.067 mm; 205 km ukuran 1.435 mm; 120 km ukuran 600 mm; dan 2.258 km rel trem ukuran 1.067 mm (pengecualian untuk trem kota Jakarta), sementara itu Dinas Kehutanan dan tanaman ladang (industri gula) juga telah membangun jalur rel ladang (lori) sepanjang kurang lebih 7.000 km dengan 6.500 km-nya disumbang jalur ladang industri gula.[14] Namun disayangkan total kilometer ini akan menyusut seiring penutupan atau penonaktifan jalur rel pasca Depresi Besar serta pendudukan Jepang di Hindia-Belanda.
Pendudukan Jepang dan pascakemerdekaan
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan pendudukan Jepang membentuk jawatan bernama Rikuyu Sokyoku untuk mengoperasikan kereta api yang direbut. Banyak jalur kereta api dibongkar untuk kepentingan perang.
Lintas dan jenis
Moda kereta api di Indonesia sangat beragam mulai dari kereta api konvensional menjadi kereta kecepatan tinggi. Moda-moda ini kebanyakan terpusat di Pulau Jawa.[15]
Rel berat
Panjang rel kereta api di Indonesia telah mencapai 110 km pada tahun 1870. Rel kereta api di Indonesia bertambah panjangnya menjadi 405 km pada tahun 1880 dan menjadi 1.427 km pada tahun 1890. Rel kereta api di Indonesia telah mencapai panjang 3.338 km pada tahun 1900.[16] Panjang rel kereta api di Indonesia mencapai 6.811 km pada tahun 1939. Lebar sepur yang digunakan pada masa ini bervariasi. Ada yang lebarnya 600 mm, 750 mm dan 1.067 mm. Lebar sepur 600 mm digunakan khusus digunakan pada beberapa lintas cabang dan trem kota di Indonesia. Sementara lebar sepur 750 mm hanya digunakan di Aceh.[17] Sejak tahun 1972, rel kereta api di Indonesia dengan lebar sepur 600 mm mulai diganti secara berangsur-angsur dan sepenuhnya tidak digunakan lagi pada tahun 1979.[18] Indonesia saat ini menggunakan rel dengan lebar sepur 1.067 mm.[19]
LRT dan MRT
Monorel
Pada tahun 2004, pernah ada proyek pembangunan Monorel Jakarta.[20] Proyek ini sudah dianggap bermasalah sejak pertama kali dilaksanakan. Selama masa proyek, kontrak pembangunannya beralih kepemilikan tiga kali hingga 2005, dan kemudian dihentikan pada 2008 dengan hanya menyisakan tiang-tiangnya, Proyek ini kemudian dilanjutkan lagi 2013,[21] tetapi batal lagi pada 2015 karena sengketa hukum, masalah keuangan, serta konflik dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.[22] Gubernur DKI saat itu Basuki Tjahaja Purnama akhirnya mengonfirmasi bahwa proyek ini tak akan dilanjutkan lagi.[23]
Proyek ini berakhir dengan kegagalan; 90 tiang monorel yang berlokasi di Kuningan menjadi bukti kegagalan proyek ini.[24]
Kereta gerak udara
Kereta kecepatan tinggi
Perkeretaapian khusus
Regulator dan operator
Regulator
Regulator perkeretaapian Indonesia adalah Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA). Direktorat jenderal ini dibentuk 5 Agustus 2005 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, dengan tujuan memfokuskan diri untuk meregulasi kebijakan Kementerian Perhubungan di bidang transportasi perkeretaapian.[25] Direktur Jenderal yang pertama adalah Soemino Eko Saputro, dahulunya pernah menjabat sebagai Dirut Perumka. Saat menjabat, Saputro terseret kasus korupsi pengadaan KRL bekas Jepang, yang menyebabkan negara rugi Rp20 miliar.[26]
Pasca menyerahnya Belanda kepada Jepang, seluruh operator perkeretaapian Belanda di Pulau Jawa ditampung dalam suatu wadah bentukan Jepang dengan nama Rikuyu Sokyoku. Selain mengoperatori perkeretaapian, wadah ini juga bertugas mengoperatori seluruh jenis moda transportasi darat non-militer.
Pasca kemerdekaan
Operator perkeretaapian Indonesia pada masa kemerdekaan (1945-1949) adalah Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) dan Staatsspoorwegen Verenigd Spoorwegbedjrift (SS/VS). Pada awal tahun 1950—menyusul pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, DKARI dan SS/VS dilebur menjadi satu dalam wadah baru bernama Djawatan Kereta Api (DKA).[31] Jawatan ini berubah nama menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (1963-1971), Perusahaan Jawatan Kereta Api (1971-1991), Perusahaan Umum Kereta Api (1991-1999), dan PT Kereta Api (1999-2010), PT Kereta Api Indonesia (2010-sekarang).
Sejak 1950 hingga 2007, KAI memegang monopoli sebagai operator tunggal perkeretaapian Indonesia. Namun, seiring ditetapkannya regulasi terbaru, yakni Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian, pemerintah membuka keran lebar bagi seluruh sektor supaya turut mengembangkan perkeretaapian. Hingga saat ini telah hadir pula beberapa entitas anak PT KAI yang turut menjadi operator, seperti PT Kereta Commuter Indonesia (mengoperasikan KRL dan sebagian KA komuter), PT Kereta Api Logistik (mengoperasikan KA Logistik), PT Kereta Api Pariwisata (mengoperasikan KA Wisata), dan PT Railink (patungan dengan PT Angkasa Pura II mengoperasikan KA Bandara).[32] Adapun operator non-KAI, antara lain PT Mass Rapid Transit Jakarta (Perseroda) (mengoperasikan MRT Jakarta), dan PT Jakarta Propertindo (mengoperasikan LRT Jakarta).
Penumpang menjadi salah satu sumber pendapatan utama Kereta Api Indonesia. Akibat pandemi koronavirus (COVID-19) tahun 2020, jumlah penumpang yang diangkut PT KAI merosot menjadi 186,1 juta penumpang dengan pendapatan merosot tajam dari Rp17,8 triliun menjadi Rp12,19 triliun imbas dari peniadaan layanan kereta api penumpang jarak jauh masa pembatasan sosial berskala besar.[1][33]
Saat ini kereta api PT KAI dibagi menjadi empat kelas, yaitu kelas 1 (eksekutif), kelas 2 (bisnis), kelas ekonomi premium, dan kelas 3 (ekonomi). Layanan tersebut memiliki perbedaan terutama dari segi kelengkapan fasilitas, jenis penyejuk udara yang digunakan, serta kualitas pelayanan. Kelas eksekutif adalah kelas penumpang tertinggi dengan tarif mahal, dengan fasilitas tempat duduk sebanyak 50 buah per kereta. Dalam keadaan normal, fasilitas AC sentral, rak bagasi, meja lipat, kursi yang dapat diputar dan direbahkan, dan fasilitas hiburan audiovisual merupakan ciri KA eksekutif.[34] Kelas bisnis adalah kelas penumpang di bawah eksekutif, dengan tempat duduk sebanyak 64 buah yang hanya dapat diubah arah hadapnya.[35] Kelas ekonomi adalah kelas dengan kapasitas 80 atau 106 tempat duduk per kereta, dengan fasilitas seluruhnya dasar tanpa penyediaan fasilitas akomodasi lain-lain. Fasilitas dasar yang dimaksud adalah AC Split dan juga stop kontak.[34] Seluruh layanan kereta api tersebut adalah kereta duduk, tidak menyediakan fasilitas kereta tidur sepenuhnya, termasuk kereta kelas eksekutif Luxury yang sebenarnya adalah tempat duduk yang bisa direbahkan hampir 180 derajat.[36]
Pada tanggal 15 Juni 2017, kereta ekonomi premium diperkenalkan oleh PT KAI untuk operasional kereta api angkutan lebaran 2017 dengan nama Mataram Premium (Lempuyangan–Pasar Senen), Mantab Premium (Madiun–Semarang–Pasar Senen), dan GBMS Premium (Surabaya Gubeng–Pasar Senen).[37]
Sebelum Indonesia membuat undang-undang sendiri, regulasi perkeretaapian Indonesia masih menggunakan warisan Belanda, antara lain:[40]
Algemeene Regelen betreffende den Aanleg en de Exploitatie van Spoor en Tramwegen, bestemd voor Algemeen Verkeer in Nederlandsch-Indië
Algemeene Bepalingen betreffendede Spoor en Tramwegen
Bepalingen betreffende den Aanleg en het Bedrijf der Spoorwegen
Bepalingen voor de stadstramwegen
Bepalingen Landelijke Tramwegen
Bepalingen betreffende het Vervoer over Spoorwegen
Industriebaan Ordonnantie
Pada 1992, Presiden Soeharto mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992 menggantikan regulasi-regulasi di atas. Pada akhir Maret 2007, DPR mengesahkan revisi undang-undang ini, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007. Dalam undang-undang ini, investor swasta dan pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengelola angkutan berbasis rel di Indonesia. Dengan demikian, pemberlakuan undang-undang tersebut menghapuskan dominasi dan monopoli Kereta Api Indonesia (KAI) dalam mengoperasikan kereta api di Indonesia.[41]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian secara umum membahas mengenai kereta api dan sarananya. Pada Bab I Ketentuan Umum disebutkan bahwa kereta api adalah sarana perkeretaapian yang memiliki tenaga gerak. Tenaga gerak pada kereta api dapat secara mandiri atau terhubung dengan sarana penggerak lainnya. Kereta api bergerak pada rel yang digunakan khusus untuk perjalanan kereta api. Kondisi yang berlaku padanya adalah akan bergerak atau sedang bergerak. Sementara itu, saran perkeretaapian diartikan sebagai kendaraan yang bergerak di atas rel kereta api. Sarana perkeretaapian dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 dibahas pada Bab VIII Sarana Perkeretaapian. Jenisnya meliputi lokomotif, kereta, gerbong, dan peralatan khusus.[42]
Permasalahan
Perubahan lintasan kereta api
Struktur tanah di Indonesia umumnya terdiri dari bebatuan lempung yang relatif lembek dengan perbukitan yang gundul. Kondisi ini membuat tanah longsor rawan terjadi ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi. Rel kereta api pada lintasan kereta api dapat menjadi miring akibat perubahan permukaan tanah. Daerah di Indonesia yang mengalami permasalahan ini terutama di Jawa Barat.[43]
^"Editorial: Monorail fate", The Jakarta Post, 2008-03-15, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-07, diakses tanggal 2010-07-10Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Beyen, K.H. (1929). De spoor- en tramwegwetgeving in Nederlandsch-Indië. Den Dienst der Staatsspoor-en Tramwegen and de Vereniging van Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegmaatschappijen. hlm. 16–17.
Stroomberg, Dr. J. (Maret 1930). Hindia Belanda 1930. Diterjemahkan oleh Apriyono, Heri. Buitenzorg (Bogor): Division of Commerce Of The Department of Agriculture, Industry and Commerce.