Provinsi dengan laporan kasus dalam 20 tahun terakhir.
Provinsi dengan laporan kasus terakhir tahun 2003.
Provinsi dengan laporan kasus terakhir tahun 1986 dan 1989.
Provinsi yang dinyatakan bebas antraks.
Di Indonesia, antraks—penyakit akibat infeksi bakteri Bacillus anthracis pada manusia dan hewan, terutama herbivor—telah dilaporkan sejak masa kolonial saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Spora B. anthracis mampu bertahan selama puluhan tahun di tanah sehingga daerah yang pernah melaporkan kasus penyakit ini digolongkan sebagai daerah endemik dan kasus antraks dapat muncul sewaktu-waktu di daerah-daerah tersebut.
Kejadian antraks pada manusia ditangani oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan kesehatan, yang biasanya menetapkan kemunculan penyakit ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). Sementara itu, kasus pada hewan ditangani oleh instansi pemerintah yang menangani urusan peternakan dan kesehatan hewan.
Daftar kejadian
Antraks diduga masuk ke Hindia Belanda melalui impor sapi perah asal Eropa dan sapi ongole asal Asia Selatan yang didatangkan pada abad ke-19.[1] Urutan kejadian antraks di Indonesia secara kronologis dituangkan dalam tabel berikut ini.
Sulawesi Selatan (Gowa, Pinrang, Maros, Sidenreng Rappang), Sulawesi Barat (Polewali Mandar), Gorontalo (Kota Gorontalo, Kab. Gorontalo, Bone Bolango); Jawa Timur (Pacitan)
Jawa Timur, DI Yogyakarta, NTT, Sulawesi Selatan, Gorontalo
77 kasus pada manusia di Gorontalo (45 orang), Jatim (25 orang), DIY (4 orang; 1 meninggal karena antraks meningitis), Sulsel (2 orang), dan NTT (1 orang)
Pada tahun 2003, Kementerian Pertanian menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa Provinsi Papua bebas dari penyakit antraks.[15]
Pengendalian penyakit
Pada setiap kejadian atau dugaan antraks pada hewan harus segera dilaporkan kepada Dokter Hewan yang berwenang dan Dinas Peternakan setempat. Hal ini karena dampaknya bisa sangat luas apabila dilakukan penanganan yang salah.
Untuk memutus rantai penularan, bangkai ternak tersangka antraks dan semua material yang diduga tercemar misalnya karena pernah bersinggungan dengan hewan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur dalam-dalam serta bagian atas dari lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area penguburan hendaknya diberi tanda supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar menjauhi lokasi penguburan.[16][17]
^Direktorat Kesehatan Hewan (2019). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan 2018. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 16–17.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kementerian Pertanian (2003), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/PD.640/7/2003 tentang Pernyataan Provinsi Papua Bebas dari Penyakit Anthrax, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia
^Dharmojono. 2000. Anthrax, Penyakit Ternak Mengejutkan Tetapi Tidak Mengherankan. Infovet Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan; Ed 67, Pebruari 2000.
Subdirektorat Zoonosis (2017). Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Antraks(PDF). Jakarta: Subdirektorat Zoonosis, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.