Islam adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Barat. Menurut sensus Kementerian Dalam Negeri (Juni 2021), terdapat 5.230.000 pemeluk Islam di provinsi tersebut dan membentuk 96.83% dari total penduduk.[1]
Sejarah
Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya Majapahit. Para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat saja.
Ketika Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan bahwa pengislaman ini merupakan upaya Sunan Ratu Giri dari Gresik yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen berjalan dengan lancar, sehingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adat istiadat lama.
Sunan Ratu Giri memerintahkan Islam disebarkan ke seluruh pelosok Nusantara. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentaranya ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makasar, Tidore, Seram, dan Galeier. Kemudian putra Susuhunan, Pangeran Prapen dikirim ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan pagan, masyarakat Lombok kembali kepada ajaran pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat mengungsi ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. L.C. Van den Berg menyatakan bahwa, berkembangnya bahasa Kawi sangat memengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara. Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai Jejawaan. Dengan modal bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin bahasa Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada, dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan lain sebagainya.[2]
Demografi
Distribusi geografis
Tabel ini menyajikan populasi Muslim menurut kota/kabupaten di Nusa Tenggara Barat.[3]
Referensi