Beberapa acara penting perayaan ini adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup Nabi Islam Muhammad dan rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung dan, puncaknya adalah dengan diadakannya perayaan Grebeg Maulud sebagai bentuk syukur pihak istana dengan keluarnya sejumlah gunungan untuk diperebutkan oleh masyarakat.
Sejarah
Etimologi
Kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama "sekaten" adalah adaptasi dari istilah bahasa Arab, syahadatain, yang berarti "persaksian (syahadat) yang dua". Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah Sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), dan Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan).[1]
Perayaan
G.P.H. Puger, salah seorang sentana dalem Kesunanan Surakarta Hadiningrat, awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak.[2] Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman.
Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali Sanga.[3]
Prosesi
Miyos dan kondur gangsa
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan sekaten. Iring-iringan ini bermula dari kompleks Keraton (Bangsal Ponconiti di Yogyakarta, atau Kori Kamandhungan di Surakarta) menuju Masjid Agung (Masjid Gedhe Kauman di Yogyakarta atau Masjid Agung Keraton Surakarta di Surakarta) dengan dikawal oleh bregada. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir (malam 12 Rabiulawal), kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Keraton.[4][5][6]
Kedua set gamelan tersebut adalah:
Di Keraton Ngayogyakarta terdapat gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Naga Wilaga. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Pagongan Kidul, sedangkan Kanjeng Kyai Naga Wilaga ditempatkan di Bangsal Pagongan Lor.[7]
Di Keraton Surakarta terdapat gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Guntur Sari. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Pradangga Kidul, sedangkan Kanjeng Kyai Guntur Sari ditempatkan di Bangsal Pradangga Lor.[8]
Di Keraton Yogyakarta, acara kondur gangsa diawali dengan kedatangan Sri Sultan di Masjid Gedhe untuk menyebar udhik-udhik kepada rakyat di depan bangsal pagongan. Setelah ditebar, Sultan akan masuk ke dalam masjid untuk kembali menyebar udhik-udhik, yang kali ini ditebar untuk para abdi dalem. Setelah itu, Sultan akan duduk bersama dengan para abdi dalem di serambi masjid untuk mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi Islam Muhammad, yang dibacakan dalam bahasa Jawa oleh abdi dalem kanca kaji.[9][5] Sultan mengenakan sumping melati pada telinga kirinya. Hal ini bermakna bahwa Sultan senantiasa mendengar aspirasi dan pendapat rakyat serta melaksanakan harapan tersebut. Setelah pembacaan riwayat selesai, Sri Sultan bersama rombongan kembali ke keraton, diikuti dengan pengembalian gamelan sekati.[10]
Di Keraton Surakarta, setiap dua gamelan sekaten diperdengarkan, sebagian pengunjung Masjid Agung berebut janur kuning yang terpasang di dekat Bangsal Pradangga. Para pengunjung menganggap janur kuning tersebut membawa berkah. Di samping itu, terdapat ritual lain yang disebut ngunyah kinang, yang dijual di pelataran masjid. Pengageng Parentah Keraton Surakarta, K.G.P.H. Dipokusumo, mengatakan bahwa nginang melambangkan suruh yang berarti diperintah untuk membaca syahadat.[11]
Numplak Wajik
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Numplak Wajik diadakan di bangsal Magangan pada jam 16.00. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi), dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Numplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: "Lompong Keli", "Tundhung Setan", "Owal awil", atau lagu-lagu rakyat lainnya.[12][13]
Grebeg Maulid
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis pada hari ulang tahun Nabi Muhammad) mulai pukul 08.00 hingga 10.00 WIB, dengan dikawal oleh bermacam-macam bregada (kompi) prajurit Kraton.[14]
Di Yogyakarta terdapat bregada Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Surakarsa, dan Bugis.[15]
Di Surakarta terdapat bregada Korps Musik, Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Baki, Jayasura, Dwarapati, Jayataka, dan Panyutra.[16]
Gunungan terdiri atas lima jenis, yaitu gunungan kakung, putri, dharat, gepak, dan pawuhan. Di Yogyakarta, gunungan kakung dibuat menjadi tiga yang akan dibagikan di Masjid Gedhe, Kepatihan, dan Pura Pakualaman, sehingga total berjumlah tujuh gunungan. Gunungan yang digotong ke Pakualaman dikawal oleh dua bregada Pakualaman: Lombok Abang (Dragunder) dan Plangkir.[17]
Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan tersebut dikawal dan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.[18]
Prosesi pada Tahun Dal
Tahun Dal dalam penanggalan Jawa terjadi tiap delapan tahun sekali. Pada tahun Dal prosesi sekaten biasanya diadakan lebih besar, khususnya di Keraton Yogyakarta. Perayaan sekaten pada tahun Dal dibuat lebih besar karena menurut perhitungan penanggalan Jawa, kelahiran Muhammad terjadi pada tahun Dal.[19]
Keraton memiliki beberapa tradisi sekaten dan grebeg yang hanya dilakukan pada tahun Dal. Salah satu tradisi khusus tersebut adalah njejak banon atau njejak beteng yang dilakukan oleh Sri Sultan sekembalinya dari Masjid Gedhe. Dalam tradisi ini, Sultan tidak melewati regol Masjid, melainkan melewati jalan lain untuk njejak atau menjebol sebuah tembok. Tradisi njejak beteng diilhami oleh kisah Sultan Hamengkubuwana II yang tidak bisa keluar melalui pintu gerbang utama pada peristiwa Geger Sepoy, sehingga untuk meloloskan diri kemudian menuju arah selatan dengan cara menjebol beteng.[20]
Selain tradisi tersebut, terdapat pula upacara Bethak dan Pisowanan Garebeg Dal. Bethak merupakan prosesi pembuatan nasi oleh para kerabat perempuan Sultan di bangsal Keputren. Biasanya upacara Bethak dilakukan sehari sebelum acara Pisowanan, dimana nasi tersebut akan diserahkan kepada Sultan ketika Pisowanan berlangsung.[21]
Jatuhnya tahun Dal juga mempengaruhi jumlah gunungan yang akan dibawa. Pada tahun Dal, keraton biasanya mengeluarkan lebih banyak gunungan. Di Keraton Yogyakarta, salah satu gunungan tersebut adalah Gunungan Bromo atau Kutug, gunungan yang dihadirkan oleh keraton pada tahun Dal saja. Gunungan Bromo kelak akan dibawa kembali ke dalam keraton setelah didoakan, kemudian diperebutkan oleh para keluarga keraton dan para sentana dalem.[22]
Pasar malam
Sekaten juga dimeriahkan pula oleh pasar malam (biasa disebut "Sekatenan") yang dilangsungkan di alun-alun Utara masing-masing Keraton yang dimana berlangsung selama sekitar 40 hari, dimulai pada awal bulan Sapar (Safar).
Masuknya Belanda ke kedua keraton turut mempengaruhi jalannya prosesi sekaten. Pemerintah Belanda menambahkan pergelaran pasar malam dan pameran seni budaya bersamaan dengan prosesi sekaten pada awal abad ke-20. Digelarnya pasar rakyat dalam prosesi sekaten adalah strategi Belanda untuk memecah perhatian masyarakat terhadap Masjid Agung.[23]
Karena tidak relevan dengan kesakralan Sekaten, pasar malam Sekaten di Yogyakarta akhirnya ditiadakan pada musim Sekaten tahun 2019.[24] Pada tahun 2022, Sekber Keistimewaan DIY, Altar Ria Production, dan Perkumpulan Pengusaha Pasar Malam menyelenggarakan pasar malam lain yang diberi nama "Pasar Rakyat Jogja Gumregah". Pasar ini tak lagi digelar di Alun-alun Utara, tetapi berpindah ke halaman kosong bekas STIE Kerja Sama Yogyakarta.[25][26]
Lihat pula
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Sekaten.
Asiarto, L. (2005). Makna Ritus dalam Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Handipaningrat (1970). "Perayaan Sekaten". Relung Pustaka. Juli 1970.
Puger (2002). Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Saddhono, Kundharu (2009). "Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta: Kajian Alternatif Pengembangan Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah". Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 14 (74).
1 Masuk ke dalam Daftar Benda Cagar Budaya yang Dilindungi Pemerintah Kota Surakarta, 2 Dicoret dari daftar karena usia pembangunan kurang dari 50 tahun Portal Surakarta ·Wikipedia:Buku/Surakarta