Makam Ratu Mas Malang
Makam Ratu Mas Malang, Makam Antakapura (bahasa Kawi: "istana kematian" atau "istana tempat menguburkan jenazah"), atau Makam Gunung Kelir (bahasa Jawa: ꦥꦱꦫꦺꦪꦤ꧀ꦒꦸꦤꦸꦁꦏꦼꦭꦶꦂ, translit. Pasaréan Gunung Kelir) adalah situs cagar budaya peninggalan dari Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang terletak di Padukuhan Gunung Kelir, Kalurahan Pleret, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini berada di puncak bukit Gunung Sentana, dengan ketinggian + 99 meter di atas permukaan laut (mdpl). Keberadaannya berkaitan dengan tokoh yang dimakamkan di tempat ini, yaitu Ratu Mas Malang dan Ki Panjang Mas. Mas Malang adalah putri dari Ki Wayah, seorang dalang wayang gedog, serta salah satu selir Amangkurat I. Sebelum menjadi selir, dia adalah istri dari Dalang Panjang, salah satu dalang terkenal di daerah Kesultanan Mataram. Makam ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun, yaitu sejak Mas Malang meninggal tahun 1665 hingga selesai pada 11 Juni 1668. Konstruksi dinding bangunannya berasal dari dari balok-balok batu putih, sedangkan nisannya terbuat dari batu andesit. Secara keseluruhan, kondisi fisik kompleks permakaman ini sudah rusak, terutama disebabkan oleh faktor alam. Keadaan bangunanBerdasarkan data dalam Laporan Studi Teknis Arkeologis yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta (saat ini BPK Wilayah X) tanggal 27 September–12 Oktober 2004, kompleks Makam Ratu Mas Malang secara administratif terletak di puncak Gunung Sentana,[a][1] Padukuhan Gunung Kelir, Kalurahan Pleret, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan ketinggian + 99 mdpl.[2][3][4] Priswanto dan Alifah menambahkan jika kondisi fisik kompleks permakaman ini secara umum mengalami kerusakan, terutama disebabkan oleh faktor alam, yaitu gempa bumi yang terjadi pada 10 Juni 1867 dan 27 Mei 2006 maupun mikroorganisme (alga, lumut daun, dan lumut kerak) yang merusak dinding makam.[4][5] Babad Momana mencatat bahwa makam ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun, yaitu ketika Mas Malang meninggal tahun 1665 hingga 11 Juni 1668.[6][7] Amangkurat I menamakan tempat itu dengan nama Antakapura (bahasa Kawi) yang berarti “istana kematian” atau “istana tempat menguburkan jenazah”,[8] sedangkan masyarakat sekitar menamakannya dengan nama Makam Gunung Kelir karena terdapat guratan-guratan di dinding makam yang menyerupai kelir dalam pementasan wayang kulit.[2][9] Situs cagar budaya[10] ini secara keseluruhan memiliki luas sebesar + 32 meter x 33 meter2.[11] Jumlah keseluruhan nisan yang berada di dalamnya mencapai 28 buah[12] dan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu halaman depan sebanyak 19 buah, halaman inti sebanyak delapan buah (salah satunya makam Mas Malang), dan halaman belakang sebanyak satu buah (makam Dalang Panjang).[1][8] Prasetyo dalam laman resmi BPCB Yogyakarta mengungkap bahwa konstruksi dinding makam tersebut terbuat dari balok-balok batu putih, sedangkan mayoritas jirat yang berada di makam itu terbuat dari batu andesit, dengan rincian 14 buah berbentuk kurung kurawal dan satu buah berbentuk jajaran genjang. Lebih lanjut, Prasetyo menambahkan bahwa nisan-nisan lain yang berupa tumpukan batu putih tidak memiliki jirat.[13] Situs lain yang berada satu kompleks dengan permakaman ini adalah Sendang Maya.[14] Situs yang terdiri atas dua kolam itu berada di sebelah timur laut makam dan berfungsi sebagai penampung air hujan.[15] Kolam yang berada di dalam dinding keliling berukuran + 3,5 meter x 5 meter, sedangkan yang berada di luar dinding keliling berukuran + 6 meter x 6 meter.[16] Sendang tersebut dikelilingi dinding batu bata yang sama dengan Makam Ratu Mas Malang, serta memiliki ketinggian + 3 meter dan ketebalan 2,1 meter.[8] Surakso Sardjito, juru kunci makam, yang diwawancarai oleh Rohman menuturkan bahwa sendang tersebut awalnya akan digunakan oleh Amangkurat I untuk memakamkan Mas Malang, tetapi tanahnya terus mengeluarkan air ketika digali.[16] Amangkurat I akhirnya memakamkan wanita itu di kompleks permakaman yang sama dengan Dalang Panjang.[15] Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya mencatat terdapat sebuah balok batu andesit yang ditemukan di kompleks permakaman ini.[17] Penduduk setempat memercayai batu yang dinamakan dengan Watu Jonggol dan mempunyai dua tonjolan di kedua ujungnya itu adalah kotak wayang milik Dalang Panjang.[18] Sardjito memperkuat pernyataan tersebut dengan menambahkan jika siapa pun yang cakupan tangannya mampu mencapai keseluruhan panjang batu tersebut, keinginannya akan terkabul.[15][19]
Asal-usul pendirianMenurut Adrisijanti, keberadaan situs ini berkaitan dengan Ki Dalem atau Ki Panjang Mas dan Ratu Mas Malang.[20] Mas Malang merupakan putri dari dalang wayang gedog bernama Ki Wayah, yang kemudian dijadikan selir oleh Amangkurat I.[8] Beberapa sumber menyebutkan Mas Malang mempunyai nama asli Retno Gumilang atau Nyai Truntum.[19][21][22] Sebelum diangkat menjadi selir, dia merupakan istri dari Dalang Panjang,[20] salah satu dalang di wilayah Kesultanan Mataram yang hidup sejak pemerintahan Susuhunan Anyakrawati atau Panembahan Seda ing Krapyak.[3][4][23][24] Dalang Panjang memiliki nama asli Soponyono, sedangkan asalnya dari Keresidenan Pati.[19] Beberapa sumber lisan menyatakan jika dia merupakan murid dari Sunan Kalijaga, tetapi klaim tersebut tidaklah benar.[b][20] Sampai saat ini, Dalang Panjang dijadikan sebagai sanad spiritual dan keilmuan bagi para maestro pedalangan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.[25][26] Menurut kisah tutur yang diceritakan secara turun-temurun, nama Panjang Mas didapatkannya setelah melakukan pementasan wayang di Pantai Selatan. Penguasa Pantai Selatan lantas memberinya baki panjang yang terbuat dari emas karena dia tidak mau diberi imbalan berupa uang.[19] Hadiah itulah yang menyebabkan dirinya dikenal dengan nama Ki Panjang Mas.[27] Dalang Panjang mempunyai olah napas panjang dan suara yang merdu, sehingga suluknya tidak terputus-putus atau tersengal-sengal. Lebih lanjut, dia juga berprofesi sebagai penulis yang membuat peraturan mengenai tata cara meruwat. Dia membuat peraturan bahwa siapa pun yang ingin melakukan upacara ruwatan di daerah Mataram harus meminta izin kepadanya. Selain itu, dia juga mengganti pertunjukan wayang beber dengan wayang kulit dalam upacara ruwatan. Sebagai seorang dalang, Dalang Panjang memiliki rombongan pengrawit dan sinden. Salah seorang sindennya adalah istrinya sendiri, wanita yang memiliki bentuk tubuh nyaris sempurna jika ditilik dari sisi katuranggan (ilmu mengenai sifat suatu benda, manusia, dan hewan berdasarkan penampilan fisiknya).[28] Hal inilah yang menyebabkan Amangkurat I terpikat kepada Mas Malang.[27] Keterangan dalam Babad Tanah Jawi: Javanese Rijskroniek menunjukkan jika Amangkurat I awalnya memerintahkan pasukannya untuk mencari wanita yang akan dijadikan sebagai selir baru.[29] Amangkurat I lantas bertemu dengan Dalang Wayah yang mempunyai seorang putri, tetapi telah diperistri oleh Dalang Panjang dan hamil dua bulan.[30][31] Amangkurat I tidak menghiraukan hal itu dan memerintahkan pasukannya untuk membawa paksa wanita itu ke istana.[32] Johannes Jacobus Meinsma mengatakan bahwa Amangkurat I begitu mencintainya, sehingga Mas Malang kemudian diangkat sebagai selir kinasih (selir yang paling disayang)[33] dengan gelar Ratu Wetan.[8][12] Namun, wanita tersebut dianggap telah merusak rumah tangga kerajaan.[34] Hermanus Johannes de Graaf membantah hal ini dalam bukunya berjudul Runtuhnya Istana Mataram. Berdasarkan pengamatannya, Amangkurat I sebenarnya tidak mengabaikan selir dan permaisurinya yang lain, tetapi perhatiannya memang lebih banyak dipusatkan kepada Mas Malang.[35] Hal inilah yang menyebabkan Mas Malang dijuluki dengan Ratu Malang, yang berarti “yang melintang di jalan”.[36] Singkat cerita, Mas Malang akhirnya melahirkan bayi laki-laki hasil hubungannya dengan Dalang Panjang sekitar tahun 1649, yang diberi nama Pangeran Natabrata atau Raden Resika.[30] Amangkurat I lantas diam-diam memerintahkan pasukannya membunuh Dalang Panjang dan menguburkannya di puncak Gunung Sentana[3][23] untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan.[8][12] Namun, Margana yang diwawancarai oleh Sabandar memiliki versi berbeda terkait pembunuhan Dalang Panjang. Dia menuturkan bahwa Amangkurat I mengundang Dalang Panjang, Mas Malang, serta rombongan pengrawit dan sindennya untuk mengadakan pementasan wayang di istana. Dalang Panjang dan seluruh rombongannya itu kemudian dibunuh pada pertengahan acara, kecuali Mas Malang. Wanita ini akhirnya bersedia menjadi selir karena tidak mempunyai pilihan lain.[29] Babad Tanah Jawi selanjutnya menyebutkan bahwa Amangkurat I merebut Mas Malang secara paksa dari tangan Dalang Panjang, sehingga tidak mengherankan jika dia membunuh laki-laki yang dicintai oleh selirnya itu.[37] Namun, Daghregister 1677, catatan pemerintah Belanda yang didapatkan dari penuturan salah seorang pengawal istana, menyebut bahwa Dalang Panjang meninggal secara wajar. Setelah menjadi janda, Amangkurat I menjadikan Mas Malang sebagai selirnya.[30] De Graaf dan Ricklefs di sinilah meragukan pernyataan tersebut. Keduanya beranggapan bahwa Amangkurat I memiliki dosa yang terlalu banyak, sehingga pembunuhan yang dilakukannya terhadap Dalang Panjang bukanlah sesuatu yang mengherankan.[c][37] De Graaf berpendapat jika berita resmi pejabat istana lebih dapat dipercaya, sedangkan cerita tutur itu lebih baik dikesampingkan.[38] Mas Malang lama-kelamaan akhirnya mengetahui bahwa suaminya telah dibunuh oleh prajurit istana. Wanita tersebut selalu mengigau dan sedih setiap mengingatnya.[39] Tidak berselang lama kemudian, dia meninggal karena muntaber, tetapi ada pula yang menyebutkan bahwa dia diracun oleh orang-orang istana yang tidak menyukainya.[32] Amangkurat I di sisi lain juga mencurigai bahwa selir kinasih itu diguna-guna karena tubuhnya mengeluarkan cairan menyengat sebelum meninggal.[30][40] Dia juga menganggap bahwa igauan Mas Malang yang mengatakan "dalem, dalem, dalem..." adalah para kerabat dan selir yang iri dengannya.[33][41] Sementara Amangkurat I memerintahkan pasukannya untuk membangun makam bagi wanita yang dicintainya itu di Gunung Sentana, dia juga memerintahkan agar para abdi dalem dan selir yang dicurigainya dibunuh tanpa ampun.[42][43] Mereka dibunuh secara perlahan dengan cara diikat dan dikurung dalam suatu rumah, serta tidak diberi makan dan minum selama berhari-hari hingga mati karena lemas.[29] Semua korban itu turut dimakamkan di Gunung Sentana.[33] De Graaf memperjelas bahwa tindakan itu dapat dimengerti karena Amangkurat I curiga ketika selirnya itu meninggal dengan memperlihatkan gejala-gejala aneh. Dia lantas risau terhadap hal-hal remeh. Andaikata racun yang memang menjadi penyebabnya, pelakunya tentu harus dicari di kalangan terdekat korban, yaitu para selir yang pernah berkomplot dengan putra mahkota pembangkang (Pangeran Dipati) untuk melawannya.[44] Lebih lanjut, de Graaf menambahkan bahwa di kalangan kerabat istana juga timbul kecurigaan bahwa sang raja akan mengalihkan status putra mahkota kepada Natabrata, sekalipun dia bukan darah Mataram. Kecurigaan tersebut semakin menguat ketika terjadi dua kali percobaan pembunuhan terhadap putra mahkota dengan racun yang dilakukan oleh sang raja sendiri. Percobaan pembunuhan itu menimbulkan perhatian besar sampai ke luar kerajaan. Masuknya Mas Malang ke dalam istana telah menimbulkan intrik politik yang luar biasa, sehingga raja pun menjadi tega untuk melenyapkan putranya sendiri demi kepentingan selir kesayangan dan anak tirinya. Tindakan Amangkurat I itu sungguh sulit dipercaya oleh akal sehat. Sangat masuk akal bahwa peristiwa percobaan pembunuhan itu dicatat oleh pemerintah Belanda di Batavia dalam laporan umum tertanggal 21 Desember 1663, yang berbunyi bahwa kejahatan yang mengerikan itu "akan melampaui segala kekejaman yang telah dilakukan terdahulu".[45] Berdasarkan tradisi lisan yang berkembang di wilayah Pleret, Margana menuturkan bahwa Amangkurat I memang belum menerima kematian Mas Malang.[39] Dia lantas membawa jasad wanita itu ke Gunung Sentana, tetapi tidak menguburkannya, melainkan membaringkan dan merawatnya agar tidak membusuk, bahkan sesekali masih bersetubuh dengan jasadnya.[29][46] De Graaf menerangkan bahwa Amangkurat I membawa putranya, Pangeran Natabrata, untuk menemaninya dan tidak bersedia kembali ke istana.[47] François Valentijn (menteri negeri Belanda) juga sampai membuat sebuah tulisan dalam Oud en Nieuw Oost-Indien (Hindia Timur Dulu dan Sekarang), yang menggambarkan keadaan Amangkurat I pasca ditinggalkan Mas Malang, sebagai berikut.[30]
Setelah sekitar dua minggu berada di makam, Amangkurat I bermimpi bahwa wanita itu telah bersatu dengan suaminya.[39] Ketika terbangun, dia menyadari perbuatannya yang sudah memisahkan Mas Malang dengan suaminya dan menerima kematian selirnya ini.[4] Amangkurat I lantas memerintahkan para prajuritnya untuk menguburkan jasad Mas Malang di tempat tersebut dan kembali ke istana.[12][46] Konon, mata air di Sendang Maya muncul bersamaan ketika jasad Mas Malang hendak dikebumikan di tempat ini. Masyarakat setempat memercayai bahwa air di sendang tersebut memiliki khasiat yang mujarab.[48] Kematian Mas Malang menjadi pukulan berat bagi Amangkurat I. Menurut laporan pejabat Belanda, dia tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik hingga 4–5 tahun sesudahnya, bahkan dia tidak hadir menyambut utusan pejabat tinggi negeri Belanda ketika berkunjung ke Mataram. Tugas-tugasnya sementara digantikan oleh para menteri kerajaan.[30][39] KesusastraanSitus ini dalam sastra Indonesia diangkat menjadi cerita pendek oleh Indra Tranggono dengan judul Makam Para Pembangkang. Cerpen tersebut pertama kali dimuat di Harian Jawa Pos edisi 15 Mei 2005, serta diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen berjudul Menebang Pohon Silsilah oleh Penerbit Kompas pada 2017. Berikut petikan penggalan cerpen tersebut.[49]
Lihat pula
Keterangan
Rujukan
Daftar pustakaArsip
Buku
Buku lama
Jurnal
Buletin
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Makam Ratu Mas Malang.
|