Candi Barong diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 masehi, sebagai peninggalan Kerajaan Medang periode Mataram. Candi ini ditemukan kembali pada awal abad ke-20 dalam kondisi runtuh saat perluasan kebun tebu untuk pembuatan pabrik gula oleh seorang Belanda.[1] Nama barong diberikan oleh masyarakat karena terdapat hiasan kala di relung tubuh candi yang menyerupai barongan, makhluk mistis dalam mitologi Jawa. Candi Barong juga memiliki nama lain, yakni Candi Sari Suragedug. Nama ini tertulis di Prasasti Ratu Baka dalam bahasa Sanskerta. Pada prasasti tersebut, diceritakan raja bernama Sri Kumbaja (Mpu Kumbhayoni) membangun tiga buah lingga bernama Krttiwasalingga, Triyarbakalingga, dan Haralingga. Ketika lingga tersebut dibangun dengan pendamping Dewi Sri, Dewi Suralaksmi, dan Dewi Mahalaksmi. Tiga lingga yang disebutkan itu kemungkinan merupakan Candi Barong.[2]
Dalam Prasasti Pereng yang berangka tahun 863 M tertulis Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni memberikan sawah dan dua bukit di Tamwahurang pada tahun 784 Saka atau 860 Masehi. Sawah dan bukit tersebut diberikan untuk pemeliharaan bangunan suci Siwa yang dinamakan Bhadraloka. Menurut pendapat ahli, bangunan tersebut merujuk kepada Candi Barong.[2]
Tapak dan kompleks bangunan
Candi berada di sisi tenggara kompleks Ratu Boko, pada ketinggian 199 m di atas permukaan laut. Di sisi barat daya, di bawah bukit, terletak Candi Banyunibo, candi Buddha. Pada posisi tenggara candi ini, berjarak sekitar 2 km, terletak Candi Ijo. Selain itu, terdapat pula di sekitarnya situs arca Ganesha, Candi Miri, Candi Dawangsari, dan Candi Sumberwatu.[3]
Candi Barong menghadap ke arah barat menyerupai punden berundak. Pada teras pertama dan kedua sudah tidak ditemukan sisa bangunan candi, hanya terdapat sisa lantai dan umpak. Teras kedua merupakan area bukaan yang cukup luas. Sebelum memasuki teras tertinggi terdapat gerbang paduraksa kecil yang mengapit tangga naik.
Pada bagian teras tertinggi terdapat dua bangunan candi untuk pemujaan, diperkirakan kepada Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Masing-masing candi ini mempunyai ukuran kira-kira 8,18 m × 8,18 m dengan tinggi 9,05 m.[3] Bangunan candi-candi utama ini tidak mempunyai pintu masuk, sehingga upacara pemujaan diperkirakan dilakukan di luar bangunan.
Ketika ditemukan, candi ini telah runtuh. Pemugaran dimulai 1987 dengan menyusun kembali dua candi utama. Pemugaran selesai 1992, dilanjutkan dengan pemugaran talud dan pagar. Selama pemugaran ditemukan arca Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Selain itu ditemukan satu arca Ganesha dan beberapa peripih kotak terbuat dari batu andesit dan batu putih. Dalam salah satu pripih terdapat lembaran-lembaran perak dan emas bertulisan, tetapi tulisan itu sudah tak terbaca. Mendampingi pripih ditemukan pula sejumlah perlengkapan rumah, seperti mangkukkeramik, mata panah, guci, dan sendok.[3]
Pemujaan terhadap Wisnu merupakan keistimewaan kompleks candi ini. Umumnya, candi-candi Jawa Tengah memuja Dewa Siwa atau bersifat Siwaistis. Selain itu, struktur berundak dengan pusat pemujaan terletak paling timur juga tidak umum bagi candi-candi dari masa Medang, yang biasanya bangunan utamanya berada di pusat kompleks. Hanya Candi Ijo yang memiliki karakteristik sama. Struktur berundak ini dianggap sebagai ekspresi asli Indonesia. Corak sinkretik juga tampak dari pemujaan terhadap Dewi Sri.
Candi ini mendapatkan nama 'barong' karena bangunan utama candi memiliki hiasan kala dan makara pada setiap relung seperti umumnya candi di Jawa, yang mirip dengan barong.[4]
Galeri
Tangga menuju teras kedua dari teras pertama.
Candi Barong, teras kedua ke teras ketiga.
Pintu gerbang Candi Barong dan dua bangunan candi utama