Masjid Jogokariyan (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦗꦒꦏꦂꦪꦤ꧀, translit. Masjid Jagakaryan) adalah masjid di Jalan Jogokaryan, Mantrijeron, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi masjid ini juga berdekatan dengan Pondok Pesantren Krapyak[1] yang sama-sama memiliki nilai sejarah panjang, terutama jika dikaitkan dengan keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid Jogokariyan didirikan oleh pengurus Muhammadiyah Ranting Karangkajen sebagai media dakwah untuk memperkuat dan menginternalisasi nilai-nilai keislaman ke dalam diri penduduk di sekitar masjid.
Sejarah
Masjid Jogokariyan awal mula dibangun pada tahun 1966. Pembangunan Masjid Jogokariyan tidak terlepas dari dinamika sosial yang terjadi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu itu, Sultan Hamengkubuwono membuka Kampung Jogokariyan karena sesaknya ndalem Beteng Baluwerti di Keraton. Maka, bergodo-bergodo Prajurit Kesatuan Keraton dipindahkan ke selatan benteng, tepatnya di utara Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan. Tempat itu kemudian dijadikan tempat tinggal para prajurit keraton yang sesuai dengan Toponemnya dinamakan “Kampung Jogokariyan”.[2]
Dalam perkembangannya, Sultan Hamengkubuwono VII juga membuat kebijakan yang berhubungan dengan relokasi prajurit keraton. Bedanya, Sultan Hamengkubuwono VII memindahkan mereka ke Kampung Krapyak karena adanya penyempitan jumlah prajurit keraton yang semula 750 orang menjadi hanya 75 orang. Jumlah tersebut dipekerjakan keraton untuk kepentingan upacara saja, bukan lagi untuk perang.[3] Para prajurit kemudian banyak yang kehilangan jabatan dan pekerjaan sebagai abdi dalem. Selama menjadi abdi dalem, mereka yang awalnya gemar berjudi dan mabuk-mabukan kini harus mengganti matapencahariannya sebagai petani. Di Kampung Jogokariyan, mereka juga diberikan sepetak tanah oleh keraton. Banyak di antara mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya itu hingga kemudian memutuskan untuk menjual sawah mereka kepada pengusaha batik dan tenun. Majunya usaha batik dan tenun di Kampung Jogokariyan adalah awal mula dari potret buram kehidupan para mantan abdi dalem keraton. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi buruh di pabrik-pabrik tenun dan batik tersebut. Para keturunan mereka pun demikian, banyak yang menjadi buruh di bidang industri itu. Mereka menjadi miskin di tanah mereka sendiri seiring semakin majunya usaha batik dan tenun milik para pendatang.[3]
Bersamaan dengan fenomena tersebut, muncullah gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang salah satunya menjadikan Kampung Jogokariyan sebagai basis pergerakannya. Gerakan PKI disambut dengan sangat antusias oleh para mantan abdi dalem yang kebanyakan adalah petani dan buruh yang kehidupan ekonomi-nya jauh dari dikatakan baik. Hingga pada tahun 1965, meletus gerakan G30S yang banyak menangkap serta memenjarakan warga-warga sipil yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Momentum tersebut adalah masa dimana Kampung Jogokariyan dikenal sebagai sarang Komunisme. Selain komunis, mereka juga dikenal sebagai penganut agama Islam abangan yang lebih banyak mempraktikan ajaran Islam kejawen. Hal itu merupakan pengaruh dari lingkungan keraton yang menjadi basis kehidupan mereka sebelum pindah ke Kampung Jogokariyan.[4]
Dibangunnya Masjid Jogokariyan di tengah latar belakang penduduk yang demikian dinilai sebagai upaya untuk menanamkan kembali nilai-nilai Islam yang kaffah kepada penduduk di Kampung Jogokariyan. Sebelumnya, di kampung tersebut belum memiliki masjid. Segala aktivitas keagamaan dilakukan di sebuah langgar kecil berukuran 3 x 4 meter persegi yang berada di pojok kampung atau tepatnya terletak di RT 42 RW 11 (sekarang menjadi rumah keluarga Bapak Drs. Sugeng Dahlan). Akibatnya, ketika hari-hari istimewa bagi pemeluk agama Islam tiba, seperti bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, suasana di langgar dan di Kampung Jogokariyan sangat sepi. Dibangunnya Masjid Jogokariyan pada tahun 1966 bertujuan untuk menghidupkan kembali nuansa Islami di Kampung Jogokariyan.[butuh rujukan]
Proses Pembangunan Masjid
Proses pembangunan Masjid Jogokariyan tidak terlepas dari kontribusi para pengrajin batik dan tenun yang ada di Kampung Jogokariyan. Mereka yang tergabung dalam kelompok Koperasi Batik “Karang Tunggal” dan Koperasi Tenun “Tri Jaya” di awal bulan Jui 1966 telah berhasil membeli tanah wakaf seluas 600 m2 yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Jogokariyan. Para pengusaha batik dan tenun itu sebagian besar adalah simpatisan partai politik MASYUMI dan pendukung kegiatan dakwah Muhammadiyah.[5] Beberapa nama yang berjasa dalam mencetuskan gagasan pembangunan masjid adalah H. Jazuri yang juga seorang pengrajin batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di Kampung Jogokariyan. Dalam sejarahnya, H. Jazuri mencetuskan gagasan pembangunan masjid tersebut ke beberapa tokoh masyarakat seperti Bapak Zarkoni, Bapak Abdulmanan, Bapak H. Ahmad Said, Bapak Hadits Hadi Sutarno, Kanjeng Ratu Tumenggung Widyodiningrat, Ibu Margono, dan lain-lain. Setelah terjadi kesepahaman antar-tokoh masyarakat tersebut, mereka kemudian mencari tanah wakaf seluas 600 m2 untuk didirikan masjid.[6]
Pada waktu itu, para panitia pembangunan masjid berpikir bahwa masjid itu akan lebih baik apabila dibangun di tempat yang strategis, tepatnya di perempatan yang ada di tengah-tengah Kampung Jogokariyan. Namun demikian, tanah strategis itu ternyata dimiliki oleh Bapak Yudo Mardoyo yang memiliki ahli waris bernama Bapak Sukadis. Dalam waktu yang bersamaan, Bapak Sukadis hendak kembali ke Kampung Jogokariyan setelah pensiun menjadi pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia di Temanggung. Setelah melalui beberapa kali diskusi, Bapak Sukadis bersedia untuk bertukar tanah dengan masjid. Rumahnya dibangun masjid, kemudian panitia harus membangunkan rumah permanen di tanah yang hendak ditukar. Akhirnya, pada tanggal 20 September 1965, dilakukan peletakan batu pertama di tanah tersebut dengan luas bangunan masjid berukuran 9 x 9 m2 ditambah serambi 9 x 6 m2 sehingga memiliki luas total 15 x 9 m2 yang terdiri dari ruang utama dan serambi. Dalam perkembangaannya, pada bulan Agustus 1967, bersamaan dengan momentum merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid Jogokariyan diresmikan oleh Ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kota Yogyakarta.[7]
Dari masa ke masa, ternyata jamaah Masjid Jogokariyan menjadi semakin banyak. Para pengurus masjid mencari cara agar infrastruktur masjid mampu memenuhi antusiasme penduduk yang ingin datang ke masjid. Akhirnya, di sebelah selatan masjid dibangunlah sebuah aula berukuran 19 x 6 m2 yang di tengah bangunan aula tersebut terdapat halaman kecil. Semakin lama, bangunan masjid tetap tidak mencukupi luapan jama’ah hingga dibangunlah serambi selatan dengan atap seng dan serambi utara dengan atap aluminum krei.[5] Terlebih lagi, Masjid Jogokariyan ternyata tidak memiliki halaman, bahkan untuk meletakan alas kaki jamaah pun tidak ada. Ta’mir kemudian memutuskan untuk membeli tanah milik Hj. Sukaminah Hadist Sutarno seluas 100 m2. Dengan demikian, luas tanah Masjid Jogokariyan menjadi 760 m2 hingga pada tahun 1978. Lebih lanjut lagi, pada tahun 2009, Ibu Hj, Sukaminah Hadits Hadi Sutarno juga menawarkan kembali agar tanah beliau di depan masjid dibeli oleh Masjid Jogokariyan. Begitu pula dengan Bapak Hery Wijayanto yang menawarkan tanah rumahnya untuk dibeli masjid. Dua bidang tanah tersbeut dibeli dengan harga 485 juta yang kemudian didirikan Islamic Center Jogokariyan. Islamic Center tersebut terdiri dari tiga lantai dimana di lantai ke-3 terdapat 11 kamar penginapan di lantai ke-2 terdapat meeting room yang digunakan sebagai badan usaha masjid. Hal itu dilakukan oleh ta’mir dalam rangka menjadikan Masjid Jogokariyan sebagai masjid yang mandiri secara finansial.[6]
Asal-Usul Nama “Jogokariyan”
Nama “Masjid Jogokariyan” dipilih oleh para pendiri dan perintis dakwah karena beberapa alasann. Penelitan yang ada mengungkapkan bahwa, alasan-alasan pemilihan nama tersebut antara lain:[5]
- Berpegang pada Sunnah Rasulullah SAW, ketika memberi nama pada masjid, hal yang Beliau lakukan adalah membubuhkan nama kampung atau lokasi keberadaan masjid tersebut. Sebagai misal, Masjid Kuba di Madinah yang berada di Kampung Kuba. Demikian halnya dengan Masjid Bani Salamah yang berada di Kampung Bani Salamah. Bahkan, akibat adanya peralihan arah kiblat, masjid tersebut juga berganti nama menjadi Kampung Kimblatain.[butuh rujukan]
- Para pendiri Masjid Jogokariyan berharap masyarakat lebih mudah menemukan lokasi atau keberadaan masjid itu. Pemberian nama “Jogokariyan” sebagaimana nama kampungnya secara otomatis akan langsung mengasosiasikan masjid tersebut dengan wilayah teritorialnya. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah untuk menemukan lokasi dakwah Masjid Jogokariyan.[butuh rujukan]
- Pemilihan nama “Jogokariyan” diyakini akan mampu merekatkan dan mempersatukan masyarakat Jogokariyan yang sebelumnya terpecah belah karena perbedaan aliran dan gerakan politik. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, masyarakat Jogokariyan pernah terlibat dalam gejolak politik di masa Demokrasi liberal yang puncaknya adalah tragedi 30 September 1965. Pemberian nama “Jogokariyan” dimaksudkan untuk menghancurkan perbedaan pandangan tersebut dan menyatukan penduduk berbasis kultur kampung.[butuh rujukan]
Gambaran Umum
Masjid Jogokariyan memiliki visi, yaitu “Terwujudnya masyarakat sejahtera lahir batin yang diridhoi Allah melalui kegiatan kemasyarakatan yang berpusat di masjid”. Sementara itu, misi dari Masjid Jogokakariyan adalah menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan masyarakat; memakmurkan kegiatan ubudiyah di masjid; menjadikan masjid sebagai tempat rekreasi rohani jama’ah; menjadikan masjid tempat merujuk berbagai persoalan; dan menjadikan masjid sebagai pesantren dan kampus masyarakat.[2]
Jangkauan syiar Masjid Jogokariyan mencakup empat RW (Rukun Warga) yaitu RW 9 dan 12 serta 18 RT (Rukun Tetangga) yaitu RT 30 s.d. 47 dengan estimasi jangkaun 3970 jiwa dan 887 kepala keluarga. Perlu digarisbawahi, 95% penduduk di Kampung Jogokariyan memeluk agama Islamdan sisanya beragama Kristen dan Katolik. Batas wilayah dakwah Masjid Jogokariyan di sebelah utara adalah Kampung Mantrijeron dan Kampung Jageran, sementara di sebelah selatan adalah Kampung Krapyak Wetan dan di sebelah timur adalah Jalan Parangtritis.[6]
Keberadaan Masjid Jogokariyan selain untuk mensyiarkan nilai-nilai Islam juga berupaya untuk “menyatu” dengan kearifan lokal yang ada di masyarakat setempat. Hal itu tergambar dalam logo masjid yang memiliki tiga unsur bahasa, yaitu Arab, Indonesia, dan Jawa. Menurut penuturan para pendiri, Masjid Jogokariyan ingin membentuk karakter umat yang shalih sutuhnya dengan tidak tercerabut dari unsur-unsur budaya setempat.[2]
Lebih jauh lagi, bangunan Masjid Jogokariyan didirikan di tanah seluas 1478 meter persegi yang terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama bangunan Masjid Jogokariyan memiliki luas 387 m2; lantai 2 memiliki luas 400 m2; dan lantai 3 memiliki luas 170 m2. Selain itu, bangunan Masjid Jogokariyan juga dilengkapi dengan beberapa fasilitas, di antaranya adalah bangunan utama 3 lantai; ruang utama 1 buah; serambi 3 buah; ruang serbaguna 1 buah; ruang tidur/penginapan 3 buah; ruang etalase 1 buah; ruang kantor 1 buah; ruang gudang 3 buah; ruang poliklinik 1 buah; ruang perpustakaan 1 buah; garasi 1 buah; tempat Wudu 5 lokal; kamar mandi 30 buah; ruang dapur 1 buah; menara 1 buah; sound system 1 set; hall 1 buah; Islamic Center 1 buah; hotel kualitas bintang 4 sebanyak 11 kamar; secretariat 1 buah; CCTV 1 set (16 kamera); fingerprint 2 set; mobil operasional masjid 1 buah.[6]
Program
Masjid Jogokariyan merancang beberapa program dengan konsep manajemen masjid. Program-program tersebut dijalankan oleh ta’mir sebagai langkah strategis dan praktis untuk menjadikan Masjid Jogokariyan sebagai pusat peradaban umat. Beberapa penjelasan detail mengenai program-program yang ada antara lain:
Ta’mir dan pengurus Masjid Jogokariyan memiliki peta dakwah yang jelas, wilayah dakwah yang nyata, dan jama’ah yang terdata. Masjid Jogokariyan menginisiasi sensus masjid yang ditujukan untuk mengetahui data-data jama’ah secara detail, mencakup potensi dan kebutuhan, peluang dan tantangan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, serta kekuatan dan kelemahan. Pendataan itu dimaksudkan sebagai database dan peta dakwah agar kegiatan masjid bisa lebih komprehensif. Database yang mereka miliki tidak hanya menyoal hal-hal semacam itu, melainkan juga menyoal siapa saja jamaah yang sudah menunaikan shalat dan yang belum, siapa jama’ah yang shalat berjamaah ke masjid dan yang tidak, siapa jamaah yang berqurban dan berzakat di Baitul Maal Masjid Jogokariyan, serta siapa saja jama’ah yang aktif mengikuti kegiatan di masjid, seperti kajian, dan yang tidak.[8]
Di dalam peta data yang mereka miliki, diperlihatkan peta rumah penduduk Kampung Jogokariyan yang sekaligus menjadi jamaah masjid tersebut. Di dalam peta tergambar beberapa simbol seperti Ka'bah (bagi penduduk yang telah berhaji), unta (bagi yang telah berqurban), koin (bagi yang telah berzakat), peci, dan lain-lain. Peta tersebut juga disimbolkan dengan berbagai warna yang berwarna-warni seperti hijau, hijau muda, kuning, dan seterusnya.[9]
Sementara itu, data-data mengenai potensi tadi dipergunakan oleh Masjid Jogokariyan untuk berbagai keperluan. Masjid Jogoakriyan sengaja tidak membuat unit usaha sendiri di sekitar masjid. Hal itu dimaksudkan untuk tidak menyakiti hati jamaah yang memiliki usaha serupa. Sebagai gantinya, Masjid Jogokariyan selalu memberdayakan warga yang tinggal di sekitar masjid untuk berbagai macam kegiatan. Sebagai misal, setiap minggu, Masjid Jogokariyan selalu menerima ratusan tamu. Untuk keperluan konsumsi, ta’mir masjid memesankannya pada jamaah yang memiliki usaha rumah makan atau catering.
Undangan Shalat Subuh
Dalam rangka meningkatkan niat jamaah untuk beribadah subuh berjamaah di masjid, ta’mir Masjid Jogokariyan memiliki cara tersendiri. Mereka membuat undangan khusus kepada seluruh jama’ah yang disertai dengan nama lengkap mereka. Undangan tersebut berbunyi, “Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Saudara .... dalam acara Salat Subuh Berjama’ah, besok pukul 04.15 WIB di Masjid Jogokariyan.”. Di dalam undangan tersebut juga disertai hadist-hadist mengenai pentingnya beribadah Subuh berjamaah di masjid. Undangan semacam itu terlihat sangat eksklusif dan terbukti mampu meningkatkan jumlah jamaah shalat subuh berjamaah di Masjid Jogokariyan.[4]
Gerakan Sisa Infak Nol Rupiah
Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Jogokariyan sangat berupaya agar saldo infak yang diberikan jamaah habis setiap pekan alias nol rupiah, kecuali apabila ada perencanaan pembangunan atau renovasi tertentu. Para pengurus berpendapat bahwa infak jamaah bukan seharusnya disimpan di dalam rekening, melainkan harus dipergunakan untuk memaslahatan umat agar dapat memiliki nilai guna. Pemanfaatan uang infak pun bermacam-macam, selain untuk operasional masjid, juga digunakan untuk kebutuhan mendesak jamaah atau warga yang tinggal di sekitar masjid. Sebagai misal, apabila ada jamaah yang anaknya perlu membayar uang sekolah, berobat ke rumah sakit, dan lain-lain. Menurut mereka, sangat tidak etis ketika saldo rekening bank masjid menumpuk tetapi di sekeliling mereka masih banyak warga yang mersakan kesulitan hidup.[4]
Gerakan Jamaah Mandiri
Gerakan Jamaah Mandiri diinisasi oleh Masjid Jogokariyan yang bertujuan untuk menghitung jumlah infak ideal yang perlu dibayarkan oleh jamaah. Setiap jamaah akan diberi tahu jumlah uang infaknya tiap pekan, apabila jumlah yang ditentukan sesuai dengan jumlah yang diinfakan, maka jamaah tersebut disebut sebagai jamaah mandiri. Apabila uang infaknya lebih, mereka disebut sebagai jamaah pensubsidi, sedangkan apabila uang infaknya kurang, mereka akan disebut sebagai jamaah disubsidi. Metode semacam itu mampu membuat nominal infak yang diterima oleh Masjid Jogokariyan meningkat sebesar 400% setiap minggu.[9] Ta’mir masjid pun akan memberikan laporan transparan terkait alur pemasukan dan pengeluaran dana, sehingga jamaah akan merasa senang berinfak sekali pun tidak diminta. Hal itu diharapkan oleh ta’mir sebagai upaya agar ketika akan melakukan renovasi masjid, mereka tidak perlu membebani jamaah dengan proposal.[8]
Skenario Planning
Masjid Jogkariyan memiliki strategi dakwah yang terencana dengan tema-tema tertentu setiap periodenya. Sebagai misal, pada periode 2000-2005, strategi dakwah Masjid Jogokariyan bertekad untuk mengubah tradisi kaum abangan di Kampung Jogokariyan menjadi islami murni. Hal itu dimaksudkan karena sebagian besar penduduk Kampung Jogokariyan adalah bekas abdi dalem keraton yang mempraktikan ajaran Islam dengan kultur Jawa. Masjid Jogokariyan juga mengajak anak-anak muda yang gemar bermabuk-mabukan di jalan untuk diarahkan ke masjid. Ta’mir terutama, menjadikan mereka sebagai petugas keamanan masjid. Selain itu, Masjid Jogokariyan juga mengajak anak-anak kecil untuk beraktivitas di lingkungan masjid. Hal itu dimaksudkan agar anak-anak memiliki kecintaan kepada masjid dan hati mereka selalu terpaut kepada masjid. Lebih jauh lagi, di periode tersebut, Masjid Jogokariyan mulai gencar untuk mengajak warga yang tinggal di sekitar masjid untuk shalat berjamaah di masjid.[8]
Pada period tahun 2005-2010, Masjid Jogokariyan merilis program bernama Jogokariyan Darusalam I yang bertujuan untuk membiasakan masyarakat berkomunitas di masjid. Berkat program tersebut, jama’ah shalat subuh meningkat sebanyak 50% atau sebanyak 10 shaff dari jama’ah shalat Jumat. Pada periode tersebut, Masjid Jogokariyan juga berkonsentrasi untuk menyejahterakan jama’ah melalui kegiatan-kegiatan tertentu, seperti lumbung masjid, memperbanyak pelayanan, membuka poliklinik, memberi bantuan beasiswa, memberikan layanan modal bantuan usaha, dan lain-lain.
Sementara itu, pada periode 2010-2015, Masjid Jogokariyan menggagas program Jogokariyan Darusalam II dengan tujuan untuk meningkatkan keagamaan masyarakat. Para pengurus dan ta’mir masjid bertekad untuk menuntaskan masyarakat yang belum menunaikan shalat berjamaah, meningkatkan jama’ah Salat Subuh menjadi 75% atau 14 shaf dari jama’ah Salat Jumat, menjadikan para mantan pemabuk sebagai bagian dari masjid, seperti menjadi relawan, petugas keamanan, dan lain-lain.[9]
Referensi