Wudu (Arab: الوضوء al-wuḍū', Urdu: وضو wazū') atau abdas (Persia: آبدست ābdast, Turki: abdest) adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air.[1] Seorang Muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat. Berwudu juga dapat dilakukan dengan debu yang disebut tayammum.[1] Sejarah pensyariatan wudu terdapat dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Ma'idah ayat 6, bersamaan dengan perintah salat fardu, yaitu enam bulan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.[2] Persyaratan untuk melaksanakan wudu ada lima, dengan enam hukum fardu. Selain itu, terdapat delapan hal yang membatalkan wudu.[3]
Persyaratan
Sebelum melaksanakan salat, tiap muslim wajib melakukan wudu. Caranya adalah dengan membersihkan bagian tubuh tertentu menggunakan air. Wudu mejadi syarat wajib sebelum melaksanakan salat wajib maupun salat sunah. Syarat pelaksanaan wudu adalah berislam, berakal sehat, menggunakan air suci,[4] dan tidak berpenghalang.[5] Makna berakal sehat ialah mampu membedakan antara hal yang baik dengan hal yang buruk. Sementara itu, air suci adalah air yang belum pernah digunakan untuk kegunaan lain, misalnya air hujan, air laut, air sungai, salju yang mencair, dan air dari tangki atau kolam besar. Penghalang di dalam wudu adalah najis atau hadas. Penghalang ini terbagi menjadi dua yaitu penghalang lahir dan penghalang biologis. Penghalang lahir misalnya kotoran yang menempel di sela-sela kuku, sedangkan penghalang biologis misalnya haid dan nifas bagi wanita. Syarat tambahan diberikan kepada orang dengan penyakit yang membuatnya selalu berhadas. Bagi penderita penyakit selalu berhadas, wudu dilakukan setiap memasuki waktu salat. Penyakit berhadas ini misalnya keputihan dan tidak mampu menahan buang air kecil.[6]
Tata cara
Wudu dimulai dengan niat kemudian membaca Basmalah dilanjutkan dengan membasuh kedua telapak tangan. Selanjutnya berkumur membasuh hidung lalu bagian muka, kedua telapa tangan hingga mencapai siku, mengusap bagian kepala dan telinga lalu diakhiri dengan membasuh kedua telapak kaki hingga tumit. Pelaksanaan wudu ini dilakukan secara berurutan dan di dahulukan bagian kanan masing-masing 1x akan tetapi kalau di rasa belum sempurna bisa di ulangi sampai batasnya 3x.[7]
Pembatalan
Wudu dapat menjadi batal akibat beberapa hal. Penyebab paling umum adalah keluarnya kotoran dari anus atau alat kelamin. Penyebab berikutnya adalah tidur dengan posisi tubuh tengkurap atau kaki terangkat. Wudu juga dapat batal akibat orang yang berwudu kehilangan akal sehat akibat mabuk, sakit, epilepsi, atau gila. Batalnya wudu juga disebabkan karena bersentuhan langsung antara kulit dengan kulit pada orang yang bukan mahram. Keberadaan atau ketidakberadaan hawa nafsu tidak mempengaruhi pembatalan wudu. Kondisi terakhir yang dapat membatalkan wudu adalah menyentuh lubang anus sendiri maupun orang lain baik dalam keadaan hidup atau telah meninggal.[8]
Keluar kencing, tinja dan air mani
Menurut ijmak, air kencing dan kotoran yang keluar dari kemaluan dan anus hukumnya membatalkan wudu. Sesuatu yang lain selain keduanya apabila keluar dari kemaluan dan dubur juga membatalkan wudu. Hanya Mazhab Maliki yang berpendapat bahwa keluarnya sesuatu selain air kencing dan kotoran dari kemaluan dan dubur tidak membatalkan wudu. Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa air mani yang keluar telah membatalkan wudu. Sedangkan Mazhab Syafi'i berpendapat keluarnya air mani tidak membatalkan wudu, tetapi mewajibkan wandi wajib. Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa air kecing, kotoran dan air mani membatalkan wudu.[9]
Menyentuh kemaluan sendiri
Para imam mazhab menyepakati bahwa wudu tidak batal ketika seseorang menyentuh kemaluannya sendiri bukan dengan tangan. Namun, mereka berbeda pendapat tentang pembatalan wudu akibat menyentuh kemaluan dengan tangan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukumnya membatalkan wudu dengan menggunakan sisi tangan bagian manapun. Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa wudu batal jika menyentuh kemaluan tanpa penghalang menggunakan tangan bagian dalam. Pembatalan wudu ini berlaku pada kondisi adanya syahwat maupun tidak. Wudu tidak batal jika bagian tangan yang menyentuh adalah punggung tangan. Mazhab Hambali berpendapat bahwa menyentuh kemaluan dengan tangan telah membatalkan wudu dengan menggunakan bagian tangan yang manapun. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa pembatalan wudu hanya terjadi ketika memiliki syahwat saat tangan menyentuh kemaluan.[9]
Menyentuh kemaluan orang lain
Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menyentuh kemaluan orang lain tidak membatalkan wudu. Hal ini berlaku kepada orang yang menyentuh dan orang yang disentuh. Pemberlakuan ini untuk anak-anak maupun dewasa yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wudu tidak batal ketika kemaluan disentuh oleh anak kecil. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa menyentuh kemaluan orang lain tidak membatalkan wudu siapapun yang disentuh.[10]
Sementara itu, Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang disentuh kemaluannya tidak batal wudunya. Hanya Mazhab Maliki yang berpendapat bahwa wudu orang yang disentuh kemaluannya menjadi batal.[11]
Pembatalan yang disepakati
Ada beberapa perkara atau hal yang dapat membatalkan sahnya wudu dan telah disepakati, di antaranya adalah:
Keluar sesuatu dari lubang kelamin dan anus, berupa tinja, kencing, kentut (buang angin),[12][13] dan semua hadats besar seperti keluarnya air mani, madzi, jima', haid, nifas,[14]
Menyentuh kawasan sekitar kemaluan (qubul) atau anus (dubur) dengan telapak tangan atau jari-jari tanpa ada penghalang[17][18]
Pembatalan yang diperselisihkan
Ada beberapa perkara atau hal yang dapat membatalkan sahnya wudu namun masih diperselisihkan di antaranya adalah:
Sentuhan laki-laki pada wanita yang mahram atau bukan tanpa penghalang,[17] kemudian ada hadits yang menjelaskan bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudu,[19]
Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan bagian dalam,[17][20]
Air yang telah berubah warna, rasa dan bau dan menjadi pekat karena sesuatu telah direndam di dalamnya,
Air dengan jumlah sedikit (kurang dari 1000 liter) yang terkena sesuatu yang tidak bersih seperti urin, darah atau minuman anggur atau ada seekor binatang mati di dalamnya,
Air yang tersisa setelah binatang haram meminumnya seperti anjing, babi atau binatang mangsa,
Air yang tersisa oleh seseorang yang telah mabuk karena khamr (minuman keras).
Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudu atau mandi.
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudu` untuk salat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudu sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tetapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tetapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudu atau mandi.
Mahzab Al-Malikiyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudu atau mandi, dan tidak dibedakan apakah wudu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis), dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang.
Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan.
Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
Mahzab Asy-Syafi`iyyah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudu atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudu.
Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudu, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila, dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh.
Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudu atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tetapi tidak mensucikan.
Mahzab Al-Hanabilah
Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian, dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudu. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudu.
Hukum wudu
Wajib
Pelaksanaan wudu wajib dilakukan oleh umat Muslim, ketika hendak melakukan ibadah salat, thawaf di Ka'bah,[27][28] dan menyentuh al-Qur'an. Berwudu untuk menyentuh al-Qur'an menurut pendapat para ulama empat madzhab adalah wajib, berdasarkan salah satu surah dalam al-Qu'ran, yang berbunyi:
Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Waaqi'ah [56]:77-79)
Sementara itu ada ayat lainnya yang mewajibkan seorang Muslim untuk berwudu sebelum hendak melakukan salat. Allah berfirman:[4]
"Wahai orang-orang yang beriman jika kalian berdiri untuk (mendirikan) salat maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku dan basuhlah kepala-kepala kalian den (cucilah) kaki-kaki kalian hingga kedua mata kaki..." (QS. Al-Maidah [5]:6)
Sedangkan menurut pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci (bersih), yakni dengan bentuk faa’il (subjek/pelaku) bukan maf’ul (objek). Kenyataannya Allah berfirman: "Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan", yakni dengan bentuk maf’ul (objek) bukan sebagai faa’il (subjek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”[29] Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[30]
Sunnah
Wudu bersifat sunnah apabila akan mengerjakan hal-hal berikut ini:
Membaca doa setelah berwudu. Doa setelah berwudu yaitu:[18]
"Asyhadu al laa ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhuu wa rasuluuluhu, Allahummaj 'alni minat tawwabiina waj-'alnii minal mutathahhiriina waj-'alnii min 'ibaadikash shaalihiin."
yang artinya ialah:
"Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri dan jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang saleh."
Rukun wudu
Rukun berwudu terdiri dari 6 (enam) perihal yang utama, yaitu:[57]
Niat,[58] adapun bacaan niat wudu(dibaca dalam hati) adalah sebagai berikut:
"Nawaitul wudu'a liraf'il hadatsil ashghari fardha lillahi ta'aala." yang
Adapun artinya adalah:
"Aku niat berwudu untuk menghilangkan hadas kecil, fardu karena Allah."
Membasuh seluruh bagian wajah (meliputi bagian di antara telinga kiri dan telinga kanan, dan antara mulai tumbuhnya rambut di atas dahi hingga ke bawah dagu.[59]
^Hadits Kholid bin Mi’dan bahwasanya nabi ﷺ melihat seorang laki-laki yang pada kakinya ada seukuran dirham yang tidak terkena air (wudlu), maka nabi ﷺ memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulangi wudlu. Hadits shohih riwayat Abu Dawud dan ada tambahan الصَّلاَةَ yaitu (nabi ﷺ memerintahkannya untuk mengulangi sholat, Irwaul Golil no 86).
^Rasulullah ﷺ memberi fatwa kepada seseorang yang ragu apakah dia kentut dalam salat ataukah tidak, “Jangan dia memutuskan salatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid),
^Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari nabi ﷺ bahwa dia bersabda tentang seseorang yang mengeluarkan madzi, “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
^“Ada seseorang yang bertanya pada rasulullah ﷺ, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?” Dia bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Dia bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360.)
^ abcFathul Qarib, bab perkara yang membatalkan wudu
^Hadits Aisyah dia berkata, “Sesungguhnya nabi ﷺ pernah mencium sebagian istrinya kemudian dia keluar mengerjakan salat dan dia tidak berwudhu lagi.” (HR. Ahmad, An-Nasai, At-Tirmizi dan Ibnu Majah). Ini adalah pendapat Daud Azh-Zhahiri dan mayoritas ulama muhaqqiqin, seperti: Ibnu Jarir Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Ibnu Katsir, dan dari kalangan muta`akhkhirin: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil dan selainnya. Adapun sebagian ulama yang berdalilkan dengan firman Allah Ta’ala, “Atau kalian menyentuh wanita …,” (Al-Maidah 5:6) bahwa menyentuh wanita adalah membatalkan wudhu. Maka bisa dijawab dengan dikatakan bahwa kata ‘menyentuh’ dalam ayat ini bukanlah ‘menyentuh’ secara umum, akan tetapi dia adalah ‘menyentuh’ yang sifatnya khusus, yaitu jima’ (hubungan intim). Demikianlah Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib menafsirkan bahwa ‘menyentuh’ di sini adalah bermakna jima’. Hal ini sama seperti pada firman Allah Ta’ala tentang ucapan Maryam, “Bagaimana mungkin saya akan mempunyai seorang anak sementara saya belum pernah disentuh oleh seorang manusia pun dan saya bukanlah seorang pezina.” (Maryam 19:20) dan kata ‘disentuh’ di sini tentu saja bermakna jima’ sebagaimana yang bisa dipahami dengan jelas. Ini juga diperkuat oleh hadits Aisyah riwayat Al-Bukhari dan Muslim bahwa dia pernah tidur terlentang di depan rasulullah ﷺ yang sedang salat. Ketika dia akan sujud, dia menyentuh kaki Aisyah agar dia menarik kakinya. Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudhu, niscaya dia ﷺ akan membatalkan salatnya ketika menyentuh Aisyah. [Lihat An-Nail: 1/195, Fathu Al-Qadir: 1/558, Al-Muhalla: 1/244, Al-Ausath: 1/113 dan Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/286-291]. Catatan: Menyentuh wanita (baik yang mahram maupun yang bukan) tidaklah membatalkan wudhu, hanya saja ini bukan berarti boleh menyentuh wanita yang bukan mahram. Karena telah shahih dari rasulullah ﷺ bahwa dia bersabda, “Seseorang di antara kalian betul-betul ditusukkan jarum besi dari atas kepalanya -dalam sebagian riwayat: Sampai tembus ke tulangnya-, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dari Ma’qil bin Yasar).
^Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seseorang yang menyentuh kemaluannya, apakah dia wajib berwudhu? Maka dia menjawab, “Tidak, itu hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.” (HR. Imam Lima dari Thalq bin Ali) Maka hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu. Tapi di sisi lain dia ﷺ juga pernah bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Imam Lima dari Busrah bintu Shafwan) dan ini adalah nash tegas yang menunjukkan batalnya wudhu dengan menyentuh kemaluan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin adalah pendapat yang memadukan kedua hadits ini dengan menyatakan: Menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu akan tetapi disunnahkan -tidak diwajibkan- bagi orang yang menyentuh kemaluannya untuk berwudhu kembali. Jadi perintah yang terdapat dalam hadits Busrah bukanlah bermakna wajib tetapi hanya menunjukkan hukum sunnah, dengan dalil nabi ﷺ tidak mewajibkan wudhu padanya -sebagaimana dalam hadits Thalq-. Wallahu a’lam bishshawab.
[Lihat Al-Ausath: 1/193, A-Mughni: 1/180, An-Nail: 1/301, Asy-Syarh Al-Mumti’: 1/ 278-284 dan As-Subul: 1/149].
^Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail, “Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami istihadhah.” Di antara dalil lemah tersebut adalah hadits Aisyah tentang sabda nabi ﷺ kepada seorang sahabiah yang terkena istihadhah, “Kemudian berwudhulah kamu setiap kali mau salat.” Hadits ini adalah hadits yang syadz lagi lemah, dilemahkan oleh Imam Muslim, An-Nasai, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dan selainnya. [Lihat Al-Fath: 1/409, As-Sail: 1/149 dan As-Subul: 1/99].
^Sabiq 1990, hlm. 114. : "Berkata Hasan r.a. : "Kaum Muslimin tetap bersembahyang dengan luka-luka mereka." (Riwayat Bukhari).
^Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. Adapun hadits, “Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah), maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.
^Ada beberapa hadits dalam permasalahan ini, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang memandikan mayit maka hendaknya dia juga mandi, dan barangsiapa yang mengangkatnya maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizi)
Akan tetapi hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Az-Zuhri, Abu Hatim, Ahmad, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari. Adapun hadits-hadits lainnya, maka kami sendiri pernah mentakhrij jalan-jalannya dan kami menemukannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang ada dalam permasalahan ini.”
^Muiz 2013, hlm. 7. : "Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadas dan najis. Walaupun tidak berubah rasa, warna, dan baunya, serta masih tergolong air yang suci, namun air ini tidak menyucikan.".
^"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki." (Al-Maidah 5:6).
^Dari rasulullah ﷺ dia bersabda: Salat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima apabila ia berhadas hingga ia berwudu." (H.R. Abu Hurairah).
^Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm, dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain, dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain, dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Dia telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.
^Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah ﷺ pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui dia), lalu dia bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka dia bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain dia bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
^Dari Abi Hurairah bahwa rasulullah {{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bersabda, `Seandainya tidak memberatkan ummatku, pastilah aku akan perintahkan untuk berwudhu` pada tiap mau salat, dan wudhu itu dengan bersiwak. (HR Ahmad dengan isnad yang shahih).
^Dari Tsauban bahwa rasulullah {{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bersabda, `Tidaklah menjaga wudhu` kecuali orang yang beriman`. (HR Ibnu Majah, Al-Hakim, Ahmad dan Al-Baihaqi).
^Dari Al-Barra` bin Azib bahwa rasulullah bersabda, `Bila kamu naik ranjang untuk tidur, maka berwudhu`lah sebagaimana kamu berwudhu` untuk salat, dan tidurlah dengan posisi di atas sisi kananmu.. (HR Bukhari dan Tirmizy).
^Dari Aisyah berkata bahwa rasulullah {{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bila ingin tidur dalam keadaan junub, dia mencuci kemaluannya dan berwudhu` terlebih dahulu seperti wudhu` untuk salat. (HR Jamaah).
^Dari Aisyah berkata bahwa rasulullah {{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bila dalam keadaan junub dan ingin makan atau tidur, dia berwudhu` terlebih dahulu. (HR Ahmad dan Muslim).
^Dari Abi Said al-Khudhri bahwa rasulullah {{Shalallaahu_%27Alayhi_Wasallam}} bersabda, `Bila kamu berhubungan seksual dengan isterimu dan ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah berwuhdu terlebih dahulu.(HR Jamaah kecuali Bukhari).
^Bila kamu marah, hendaklah kamu berwudhu`. (HR Ahmad dalam musnadnya).
^Rasulullah ﷺ, Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan berwudu. (Hadis sahih, Irwaul Gholil no 70).
^ abAsh' Shiddieqy 1962, hlm. 163. : "Membasuh dua tangan sebelum berwudu disukai, bukan wajib.".
^Dari Luqaith bin Shabrah RA berkata: aku bertanya, “Wahai Rosulullah SAW, kabarkan kepadaku tentang wudlu!”. Beliau menjawab, “Sempurnakan wudlu, sela-selalah jari jemarimu dan bersungguh-sungguhlah di dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang shaum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 66, Abu Dawud: 142, Ibnu Majah: 407, Ibnu Khuzaimah: 150, 168, al-Hakim: 537 dan Ahmad: IV/ 33.]
^Telah tsabit bahwasanya nabi ﷺ berwudu tiga-tiga kali, dan hadis mengenai ini banyak (di antaranya hadis Abdullah bin Zaid).
^Demikian pula telah tsabit bahwa nabi ﷺ berwudu dua-dua kali (sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Zaid riwayat Bukhari no 158).
^Tsabit bahwa nabi ﷺ pernah berwudu sekali-sekali (sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas riwayat Bukhari no 157).
^Juga telah tsabit bahwasanya nabi ﷺ berwudu sebagian anggota tubuhnya tiga kali dan sebagian yang lain dua kali (sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Zaid di atas, lihat artikel seri 1) (Lihat Thuhurul Muslim hal 81dan Syarhul Mumti' 1/146).
^Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 163. : "Menyela-nyela jenggot yang tebal kala berwudu, sunnah.".
^Yang dimaksud dengan dalk yaitu menyeka/menggosok anggota wudlu (yang telah terkena air) dengan menggunakan tangan (sebelum anggota wudlu tersebut kering), dan yang dimaksud dengan tangan di sini yaitu telapak (bagian dalam) tangan. Oleh karena itu tidak cukup men-dalk kaki dengan menggunakan kaki lainnya. (al-fiqh al-islami 1/235). (Namun tidak ada dalilnya harus dengan telapak tangan-pen). Menurut jumhur ulama hukum dalk adalah sunnah karena tidak disebutkan dalam ayat. Sedangkan menurut Malikiyah adalah wajib. Dalil mereka: Sesungguhnya mencuci yang diperintahkan dalam ayat tidaklah bisa terwujud kecuali dengan dalk, sedangakan hanya sekadar terkena air tidaklah dianggap sebagai satu cucian. Dicontohkan oleh nabi ﷺ adalah dengan dalk sebagaimana dalam hadits. Dari Abdullah bin Zaid berkata: Bahwasanya nabi ﷺ didatangkan air kepada dia (sebanyak) dua per tiga mud, lalu dia mendalk (menggosok) kedua lengannya. (Hadits shohih riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah). Tetapi pendapat jumhur yang lebih rojih, sebab yang diperintahkan oleh Allah ta'ala hanyalah mencuci bukan menggosok. Sedangkan sekadar perbuataan nabi ﷺ tidak bisa menunjukkan akan wajib. Tetapi jika air tidak bisa menyentuh kulit kecuali dengan digosok maka hukum dalk adalah wajib (Taudlihul Ahkam 1/179).
^Sebagaimana sabda rasulullah ﷺ dalam hadits Abu Hurairah; Jika kalian berwudu maka mulailah dengan bagian kanan kalian. (Hadis sahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Baihaqi, Tabrani dan Ibnu Hibban dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh Imam Nawawi).
^Yang afdal adalah berwudu tiga-tiga kali namun tidak boros dan berlebih-lebihan dalam menggunakan air, baik ketika wudu maupun ketika mandi. Sebagaimana dalam hadis, dari 'Aisyah bahwasanya rasulullah ﷺ mandi janabah dengan satu ina' (yaitu satu farq). (Hadis sahih riwayat Muslim no 319). Berkata Sofyan satu farq adalah tiga sok.
^Nabi ﷺ pernah berwudlu dengan dua per tiga mud, sebagaimana hadis: Dari Abdullah bin Zaid berkata: Bahwasanya nabi ﷺ didatangkan air kepada dia (sebanyak) dua per tiga mud, lalu dia mendalk (menggosok) kedua lengannya. (Hadits shohih riwayat Ahmad dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
^Berkata Imam Bukhori: "Nabi ﷺ telah menjelaskan bahwa wajibnya wudu adalah sekali-sekali, dan nabi ﷺ juga pernah berwudu dua kali-dua kali dan tiga kali-tiga kali dan nabi ﷺ tidak menambah lebih dari tiga kali, ..." Oleh karena itu hendaknya berhemat dalam berwdu dan sesuai dengan sunah nabi ﷺ, dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Seorang arab badui datang kepada Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ memperlihatkannya wudu dengan tiga kali-tiga kali, kemudian nabi ﷺ berkata: "Demikianlah wudu, maka barang siapa yang menambah lebih dari ini (lebih dari tiga kali) maka dia telah berbuat jelek dan melampaui batas dan berbuat zalim." (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shohih Nasai 1/31).
^Dari Abdullah bin Mugaffal bahwasanya beliau mendengar Nabi ﷺ berkata: Sesungguhnya akan ada pada umat ini suatu kaum yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa. (Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Abani dalam shohih Abu Dawud 1/21) (Lihat Thuhurul Muslim hal 82).
^ abAsh' Shiddieqy 1962, hlm. 163. : "Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung sunnah dilakukan pada wudu dan mandi.".
^Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Menyapu kepala cukuplah sekadar mengerjakan yang sudah dapat dinamai menyapu dan tidak dimestikan tangan yang menyapu itu.".
^Ash' Shiddieqy 1962, hlm. 164. : "Menyapu telinga, sunnah, dan hendaklah disapu dengan air baru,".
Ad-Dimasyqi, Muhammad bin 'Abdurrahman (2017). Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi. ISBN978-602-97157-3-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Adil, Abu Abdirrahman (2018). Mujtahid, Umar, ed. Ensiklopedi Salat. Jakarta: Ummul Qura. ISBN978-602-7637-03-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
Muiz, Abdul. PanduanShalat Terlengkap. Jakarta: Pustaka Makmur. 2013. ISBN 602-7639-65-2
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma'arif. 1990. ISBN 979-400-038-8