Dalam penulisan Islam, kerap pula ditambahkan pada namanya berupa gelar "Ibu orang-orang Mukmin" (Arab: أمّ المؤمنين ummul-mu'minīn), sebagai bentuk penghormatan, yang mana dalil-nya berasal dari ayatAl-Qur'an:
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka...
Di antara istri-istri Nabi Muhammad, Aisyah adalah istri favorit beliau.[2][3][4] Muhammad menyebut bahwa ayat-ayat Qur'an tidak datang kepadanya di tempat tidur manapun selain miliknya Aisyah.[5] Aisyah dikenal sebagai perempuan yang cerdas, yang darinya banyak diwariskan ilmu mengenai hukum Islam dan hadits.[6]
Kehidupan
Silsilah
Aisyah adalah putri dari Abu Bakar (khalifah pertama), hasil dari pernikahan dengan istri keduanya yaitu Ummi Ruman yang melahirkan Abdurrahman dan Aisyah.[7]
Muhammad dua kali bermimpi kalau Aisyah dibawakan oleh Malaikat untuk menjadi jodohnya.[8][9] Menganggap itu adalah ketentuan dari Allah yang harus dijalankan, beliau pun meminta kepada ayahnya Aisyah, yaitu Abu Bakar, untuk memberikan putrinya untuk dijadikan istri. Abu Bakar awalnya keberatan akan hal itu, dikarenakan menurutnya, Muhammad dan dirinya adalah saudara. Namun setelah diyakinkan bahwa dirinya dan Muhammad hanya saudara dalam agama, dan Aisyah adalah halal untuk Muhammad nikahi, rasa ragu di dalam hati Abu Bakar pun terangkat.[10]
Di berbagai riwayat shahih, dicatatkan bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad ketika Aisyah berumur 6 atau 7 tahun,[11][12][13] dan di saat itu Nabi Muhammad berusia 50 tahun.[14] Namun baru setelah berumur 9 tahun lah Aisyah diantar ke rumah nabi dan berumahtangga dengannya,[15][16] dikarenakan pada selang waktu tersebut Aisyah sakit dan rambutnya rontok.[17]
Akan tetapi menurut pendapat seorang ulama Ahmadiyah, Ghulam Nabi Muslim Sahib, Aisyah setidaknya berumur 19 tahun saat berumah tangga dengan Muhammad.[18] Namun argumennya dan yang serupa dengannya dibantah secara terperinci oleh Ulama Besar serta Ahli Hadits, Gibril Fouad Haddad dan situs Islam Salafi, IslamQA.info, dengan menekankan bahwa riwayat-riwayat mengenai Aisyah dinikahi oleh Rasulullah pada umur 6 atau 7 tahun dan mulai berumah tangga pada saat berusia 9 tahun tercatat secara mutawatir (secara massal dengan berbagai jalur sanad yang berbeda) di dalam Kutubus Sittah (6 kitab induk hadits dalam Islam), sehingga tidak ada keraguan di dalamnya dan wajib hukumnya seorang muslim untuk mengimaninya.[19][20][21]
Rumah tangga
Ketika telah berumur 9 tahun, Aisyah yang sedang bermain ayunan bersama teman-temannya dipanggil oleh ibunya. Ia pun menghampiri ibunya tanpa tahu apa maksud dirinya dipanggil. Ibunya menarik lengannya dan menyuruhnya berdiri di depan pintu. Ia terengah-engah pada waktu itu. Ketika nafasnya telah teratur, ibunya pun membasuhnya dengan air. Setelah itu ia dibawa ke sebuah rumah di mana terdapat perempuan-perempuan Anshar yang memanjatkan doa untuknya. Lalu ibunya mempercayakannya kepada perempuan-perempuan tersebut yang mana lalu meriasinya. Dan pada saat hari beranjak siang, tanpa ia duga Muhammad mendatanginya, dan ibunya memberikan dirinya kepadanya.[22]
Aisyah membawa serta boneka-boneka miliknya meskipun ia telah berumah-tangga bersama Muhammad.[23] Menurut Fathul Bari, bermain dengan boneka haram hukumnya dalam Islam, namun diperbolehkan untuk Aisyah pada saat itu karena ia belum mencapai masa pubertas.[24] Akan tetapi, terdapat suatu riwayat yang menyebut bahwa Aisyah berkata, perempuan sudah baligh apabila ia telah berumur sembilan tahun.[25]
Teman-teman Aisyah suka berkunjung ke kamarnya untuk bermain boneka bersamanya. Namun ketika Nabi Muhammad masuk, mereka selalu bersembunyi. Akan tetapi, dengan baik hati sang Nabi memanggil mereka untuk ikut bermain dengan Aisyah.[24]
Aisyah hidup bersama Muhammad sampai akhir hayatnya di usia ke-63 tahun, dengan Aisyah berusia 18 tahun pada saat itu. Aisyah tidak lagi menikah setelah itu, dikarenakan haram hukumnya istri-istri Muhammad untuk dinikahi orang lain setelah kematiannya.[26]
Perlakuan spesial di antara istri-istri Muhammad
Para istri Rasul terbagi menjadi dua kubu. Yang satu terdiri dari Aisyah, Hafshah, Shafiyah dan Saudah; sedangkan kubu satunya lagi terdiri dari Ummu Salamah dan istri-istri beliau yang lain. Umat muslim pada saat itu sadar kalau Aisyah adalah istri favorit Nabi, maka bila mereka ingin memberikan hadiah kepada Nabi, mereka menunggu hingga Nabi mengunjungi rumah Aisyah untuk gilirannya. Kubunya Ummu Salamah mendiskusikan masalah ini bersama, dan berkeputusan bahwa Ummu Salamah mesti meminta kepada Muhammad supaya menyuruh umatnya untuk mengirim hadiah mereka ketika Muhammad juga berada di rumah istri-istrinya yang lain. Ketika saat gilirannya bersama Muhammad, Ummu Salamah pun membicarakan hal tersebut dengannya, namun Muhammad tidak memberikan jawaban.[27]
Setelah gilirannya bersama Nabi usai, Ummu Salamah pun ditanyakan oleh istri-istri Nabi yang ada di kubunya, ia memberi tahu mereka bahwa Rasul tidak memberikan jawaban. Maka mereka memintanya untuk mencoba lagi. Pada hari gilirannya yang berikutnya, Ummu Salamah mencoba kembali membicarakan hal tersebut kepada Rasul, akan tetapi ia tetap tidak memberikan jawaban. Setelah gilirannya usai, istri-istri Rasul yang ada pada grupnya kembali bertanya ke Ummu Salamah, dia pun menceritakan kalau Rasul lagi-lagi tidak memberikan jawaban. Maka mereka berkata kepadanya, "Bicarakan dengan beliau sampai ia memberikanmu jawaban." Maka ketika waktu gilirannya, Ummu Salamah mencoba membicarakan hal tersebut lagi dengan Nabi, dan akhirnya beliau pun memberikan jawaban, ia berkata, "Jangan sakiti aku mengenai Aisyah, sebab firman-firman Allah tidak datang kepadaku di tempat tidur manapun selain tempat tidurnya Aisyah." Ummu Salamah pun berkata, "Aku memohon ampun kepada Allah karena telah menyakitimu."[27]
Kubu Ummu Salamah lalu memanggil Fatimah, anaknya sang Muhammad. Mereka meminta agar Fatimah memohon kepada beliau supaya memperlakukan mereka setara dengan Aisyah binti Abu Bakar. Fatimah lalu pergi membicarakan hal tersebut ke Muhammad, dan ia menjawab, "Wahai putriku! Tidakkah kau mencintai apa yang aku cintai?" Fatimah pun menjawab iya. Dia lalu pergi melaporkan hal tersebut ke istri-istri Nabi dari kubu Ummu Salamah. Tidak puas, mereka meminta supaya Fatimah untuk kembali memohon hal tersebut kepadanya, namun Fatimah menolak. Mereka pun kemudian menyuruh Zainab binti Jahsy yang merupakan salah satu istri Nabi dan sepupunya, untuk pergi memohon kepada beliau. Ketika bertemu dengan Nabi, dengan menggunakan kata-kata yang kasar Zainab berkata, "Istri-istrimu meminta dirimu untuk memperlakukan mereka dan putrinya Ibnu Abu Quhafah (Aisyah) secara setara." Zainab menaikkan suaranya lalu mengumpati Aisyah di mukanya, yang saking kerasnya, Muhammad pun melihat ke hadapan Aisyah menunggu apakah dia akan membalasnya atau tidak. Maka Aisyah pun membalas Zainab sampai membuat Zainab terdiam. Yang mana ini membuat Nabi tersenyum dan berkata, "Dia memang benar-benar putri Abu Bakar."[27][28]
Pada peristiwa terpisah, Nabi Muhammad pernah ingin menceraikan salah satu istrinya yaitu Saudah karena Saudah telah mulai tua. Saudah lalu memohon agar sang Nabi mempertahankannya dengan memberikan jatah gilirannyanya kepada Aisyah. Maka Nabi pun menerima usulan tersebut dan tetap mempertahankannya.[3][29]
Tuduhan berzina (Peristiwa Ifk)
Aisyah pernah dituduh telah berzina dengan salah seorang pasukan Nabi yang mengantarnya pulang ketika dirinya tertinggal dari rombongan sang Rasul.[30][31][32] Berzina bagi perempuan yang mempunyai suami adalah sebuah pelanggaran serius dalam Islam yang hukumannya adalah dirajam sampai mati.[33][34]
Setiap kali Muhammad akan melakukan serangan ghazwah ke pemukiman atau kafilah dagang milik orang-orang kafir, ia biasa mengundi istri-istrinya untuk memilih salah satu dari mereka yang akan menemaninya. Aisyah menjadi orang yang beruntung pada saat itu. Ia pun dibawa di dalam sebuah rengga tertutup di atas seekor unta. Dalam perjalanan pulang seusai serangan, rombongan Nabi berhenti sejenak untuk istirahat, dan Aisyah pun turun untuk buang air. Sekembalinya dirinya ke rengga, ia menyadari bahwa kalungnya hilang, maka Aisyah kembali ke tempat ia buang air untuk mencarinya. Setelah berhasil menemukannya, rupanya rombongan Nabi telah pergi, mengira Aisyah berada dalam rengga-nya. Maka Aisyah pun menunggu di tempat itu berharap rombongan Nabi akan sadar bahwa dirinya tertinggal.
Menunggu lama, Aisyah mengantuk dan tertidur. Pada pagi harinya, Safwan bin Mu'attal, salah seorang pasukan Nabi yang tertinggal karena alasan tertentu, menemuinya dan mengantarnya pulang. Setibanya di Madinah, timbullah rumor bahwa Aisyah telah berzina dengan Safwan. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa Aisyah terbaring sakit selama sebulan semenjak dirinya pulang, yang mengakibatkan rumor tersebut semakin besar dan tidak terkendali.[35]
Selama sakitnya, Aisyah telah menduga ada yang aneh, sebab Nabi tidak lagi berlaku hangat kepadanya, dan cenderung menghindari berkomunikasi langsung dengannya. Ia pun mengetahui kalau ada tuduhan dirinya telah berzina setelah diceritakan oleh Umm Mistah. Aisyah pun merasa sedih dan meminta kepada sang Rasul supaya dirinya diizinkan untuk kembali ke rumah ibunya untuk menenangkan diri.
Setibanya di rumahnya, Aisyah menanyakan kepada ibunya tentang apa yang terjadi, dan ibunya berkata: "Wahai putriku! Jangan terlalu mencemaskan masalah ini. Demi Allah, tidak pernah ada wanita menawan yang dicintai suaminya yang memiliki istri-istri lain, selain di mana istri-istri yang lain dari suaminya itu akan membuat-buat berita bohong tentang dirinya." Aisyah pun pergi ke kamarnya dan menangis.
Di pagi harinya, Nabi Muhammad yang belum juga mendapatkan petunjuk dari Allah mengenai permasalahan ini, memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid, untuk menanyakan pendapat mereka. Usamah mengatakan, 'Wahai Rasulullah (ﷺ)! Tetap pertahankan istrimu, karena, demi Allah, kami tidak tahu apa-apa tentang dirinya kecuali kebaikan." Sedangkan Ali berkata, "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Allah tidak membatasi dirimu, ada banyak perempuan selain dirinya, namun engkau dapat bertanya kepada si pelayan wanita yang akan mengatakan hal yang sebenarnya."
Muhammad pun memanggil Barirah, pelayannya Aisyah, menanyakannya apakah ada gerak-gerik Aisyah yang membangkitkan rasa kecurigaan dirinya. Yang mana Barirah berkata: "Tidak, demi Allah yang telah mengirimkanmu kebenaran, saya tidak pernah melihat sesuatu yang salah darinya kecuali diakibatkan dirinya yang masih kecil, ia terkadang tertidur dan meninggalkan adonan keluarganya dimakan kambing."
Maka setelah saat itu Nabi pun naik ke atas mimbar mengajak para pengikutnya untuk menghukum Abdullah bin Ubai bin Salul yang telah memfitnah keluarganya. Sa'ad bin Muadz pun berdiri dan berkata "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Demi Allah, Aku akan membebaskanmu dari dirinya. Jika orang itu dari Bani Aus, aku akan penggal kepalanya, dan jika dia berasal dari saudara-saudara kami, Bani Khazraj, maka perintahkanlah kami, dan kami akan memenuhi perintah anda." Pimpinan Bani Khazraj, Sa'ad bin Ubadah pun berdiri dan berkata "Demi Allah! Kau telah berbohong, kau tidak boleh membunuhnya dan kau tidak akan bisa membunuhnya."Usaid bin Hudhair lalu ikut berdiri dan berkata (ke Sa'ad bin Ubadah), "Kau yang berbohong! Demi Allah kami akan membunuhnya, dan kau adalah seorang munafik, yang membela teman munafiknya." Cekcok pun semakin memanas antara Bani Aus dan Khazraj. Sebelum timbul konflik antara kedua belah pengikutnya tersebut, Nabi pun mendiamkan mereka.
Aisyah telah menangis tanpa henti dua malam satu hari. Saat itu ia ditemani orang tuanya dan seorang perempuan Anshar memasuki kamarnya dan ikut menagis dengannya. Tidak lama setelahnya, Muhammad pun datang mengunjunginya. Selama satu bulan lebih firman dari Allah tidak turun-turun kepada beliau mengenai kasus ini.[36] Setelah duduk, Nabi mengucap Tasyahud dan berkata:
"Wahai Aisyah! Aku telah diinformasikan hal ini dan itu mengenai dirimu; dan jika kamu tidak bersalah, Allah akan menunjukkan ketidak bersalahanmu, sedangkan jika kamu telah melakukan dosa, maka mintalah ampunan kepada Allah, dan bertobat kepadanya, karena ketika seorang hamba mengakui dosanya dan bertobat kepada Allah, maka Allah akan menerima tobatnya."
Ketika Muhammad selesai dengan perkataannya, Aisyah telah berhenti menangis. Ia pun meminta kepada orang tuanya untuk menyampaikan apa yang ingin ia katakan kepada Muhammad, namun mereka menolak dengan mengatakan, bahwa mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada sang Rasul.
Aisyah pun berbicara langsung kepada sang Rasul:
"Demi Allah, aku tahu kalau engkau telah mendengar cerita ini (mengenai Ifk) sampai-sampai hal itu tertanam di pikiranmu dan membuatmu mempercayai hal itu. Jadi sekarang, kalaupun aku mengatakan bila aku tidak bersalah, dan Allah tahu aku tidak bersalah, engkau pasti tidak akan mempercayaiku; dan bila aku mengatakan aku melakukan hal itu, dan Allah tahu kalau aku tidak melakukannya, engkau pasti akan mempercayaiku. Demi Allah aku tidak mendapatkan perbandingan lain dari situasi diriku saat ini denganmu selain dengan situasi yang pernah dialami ayahnya Yusuf yang berkata: 'Maka (bagiku) kesabaran adalah yang paling cocok untuk menghadapi hal yang engkau nyatakan dan hanya Allah lah satu-satunya yang bisa dipinta pertolongan.'"
Aisyah lalu berbalik, dan berbaring di tempat tidurnya. Maka seketika itu wahyu datang kepada Nabi Muhammad, dan beliau berkata, "Aisyah, Allah telah menyatakan ketidak-bersalahanmu." Ibu Aisyah pun berkata kepada Aisyah, "Berdirilah dan hampiri beliau." Namun Aisyah berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menghampiri dirinya dan aku tidak akan berterima kasih kepada siapapun selain kepada Allah." Muhammad lalu menyampaikan ayat-ayat yang telah diturunkan Allah kepadanya (QS. An-Nur 11-20).[30][31][32]
Muhammad hampir menceraikan istri-istrinya
Di berbagai riwayat seperti yang tertulis dalam kitab Asbabun Nuzul yang disusun oleh Al-Wahidi dan Tafsir Al-Jalalain,[37][38] dijelaskan bahwa pada suatu hari, salah satu istri Nabi Muhammad, Hafshah menemukan sang Nabi sedang menyetubuhi budak perempuannya yaitu Mariyah al-Qibthiyah. Kesal hal itu dilakukan pada saat gilirannya, di rumahnya, serta tempat tidurnya, Hafshah pun protes kepada beliau. Sang Nabi lalu bersumpah untuk tidak menyentuh Mariyah lagi, dan meminta supaya Hafshah tidak menceritakan hal ini kepada siapapun. Tidak lama berselang, Allah pun membatalkan sumpah beliau tersebut dikarenakan menyetubuhi budak itu pada nyatanya adalah halal buat beliau.[37][39]
Hafshah pun menceritakan hal ini kepada Aisyah, dan Aisyah menceritakan hal ini kepada istri-istri beliau yang lain. Nabi Muhammad lalu diberitahu oleh Allah bahwa Hafshah dan Aisyah telah berkomplot menceritakan ini kepada istri-istri beliau yang lain. Beliau pun memarahi mereka, dan Allah menurunkan ayat yang mengancam, jika sang Nabi berkehendak, maka beliau bisa saja menceraikan mereka semua dan Allah akan mengganti mereka dengan istri-istri yang lebih baik.[40]
Muhammad berkeputusan untuk hanya tidak mengunjungi mereka selama sebulan.
Setelah 29 hari berselang, sang Rasul pun mengunjungi Aisyah, yang mana Aisyah berkata kepada beliau "Wahai Nabi(ﷺ)! Engkau bersumpah kalau engkau tidak akan mengunjungi istri-istrimu dalam sebulan, tapi saat ini masih hari ke-29." Yang mana Muhammad menjawab, "bulan ini berisi 29 hari."[38][41]
Akan tetapi sebuah riwayat mengatakan bahwa keributan di atas terjadi bukan karena Hafshah marah melihat Nabi bersetubuh dengan Mariyah, akan tetapi hanya dikarenakan Nabi meminum madu di rumah salah satu istrinya, Zainab binti Jahsy, yang dianggap Hafshah kalau madu tersebut memiliki bau tidak sedap.[42] Namun terdapat juga riwayat lain yang menyiratkan, bahwa "meminum madu" adalah bentuk eufemisme pada zaman itu dari berhubungan seks.[43]
Kematian Muhammad
Di saat hari-hari terakhir Muhammad di mana sakitnya semakin serius, beliau meminta supaya dirinya dirawat di rumahnya Aisyah. Beliau pun dipandu ke sana oleh Al Abbas dan Ali bin Abi Thalib, dengan kaki beliau terseret-seret di tanah.[44] Di dalam Shahih Bukhari, yang merupakan kitab koleksi hadits yang dianggap paling shahih dan salah satu dari shahihain, diriwayatkan bahwa Aisyah melaporkan:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ " يَا عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ، فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السَّمِّ ". Sang Nabi (ﷺ) pada saat sakitnya yang berujung kematian sering berkata, "Wahai Aisyah! Aku masih merasakan sakit yang diakibatkan oleh makanan yang aku makan di Khaibar, dan pada saat ini, aku merasa pembuluh jantungku seperti sedang dipotong oleh racun itu."[45][46]
Sakit yang dialami Nabi Muhammad pun semakin parah, dan pada waktu-waktu terakhirnya, beliau dilaporkan kerap berkata:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الأَعْ Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku dan izinkanlah aku bergabung dengan teman-teman yang tertinggi (di surga).[47]
"Rasulullah ﷺ meninggal di rumahku, pada hariku dan berada antara dada dan kerongkonganku." Salah seorang dari kami membacakan doa untuknya dengan doa yang biasa dibacakan untuk orang sakit. Aku pun ikut mendoakannya. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke langit dan mengucapkan: 'Arrafiiqul A'laa, Arrafiiqul A'laa (Ya Allah, sekarang aku memilih kekasihku yang tertinggi, ya Allah, sekarang aku memilih kekasihku yang tertinggi).' Lalu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk dengan membawa kayu siwak yang masih basah. Nabi pun menatapnya, saya mengira beliau memang membutuhkan siwak tersebut. Aisyah berkata, "Maka aku mengambilnya, mengunyahnya, mengibas-ngibaskannya, dan membaguskannya, kemudian aku berikan kepada beliau. Lantas beliau membersihkan giginya dan belum pernah aku melihat orang yang membersihkan giginya sebagus yang beliau lakukan. Setelah itu beliau memberikannya kepadaku namun jatuh (lepas) dari tangannya. Segala puji bagi Allah yang telah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur beliau pada hari-hari terakhir beliau di dunia dan pada hari-hari pertama di akhirat kelak."[48]
Akan tetapi, beberapa riwayat dari kalangan Syi'ah menuding bahwa kematian Nabi Muhammad justru diakibatkan oleh racun yang disisipkan oleh Aisyah yang berkomplot dengan Hafshah.[49]
Lain-lain
Selain terkenal akan kecerdasannya, Aisyah juga memiliki sifat yang jujur dan suka berterus terang. Ia kerap kali tanpa takut mengutarakan pendapatnya apabila dirinya menemukan hal-hal yang kurang ia senangi. Seperti pada suatu ketika orang-orang berkata di hadapannya mengenai apa-apa saja yang membatalkan sholat seorang mukmin, yaitu, "Anjing, keledai dan perempuan (apabila mereka berjalan di depan orang-orang yang sedang sholat)." Aisyah pun lalu berkata, "Kalian samakan kami (perempuan) dengan anjing." Aisyah menceritakan bahwa sang Nabi suka melaksanakan sholat ketika Aisyah sedang tiduran di tempat tidurnya yang berada di tengah-tengah sang Nabi dan kiblat, dan ketika Aisyah sedang membutuhkan sesuatu, ia akan menyelinap keluar karena dirinya mengaku tidak ingin mengganggu sholatnya nabi.[50]
Pada peristiwa lain, diriwayatkan bahwa Aisyah mengaku dirinya memandang rendah perempuan-perempuan yang memberikan diri mereka kepada Nabi Muhammad. Ia berkata, "Dapatkah seorang perempuan memberikan dirinya (kepada seorang pria)?"[51] Akan tetapi tidak lama berselang ayat (Qur'an 33:51) dari Allah pun turun, yang mengizinkan Nabi Muhammad menyetubuhi perempuan-perempuan tersebut.[52] Aisyah pun berkata kepada Nabi, "Aku merasa Tuhan-mu begitu sigap dalam memenuhi keinginan dan hasratmu."[51]
Aisyah juga tidak segan membicarakan hubungan seksualitas-nya bersama Nabi. Dalam kesempatan lain, ia menceritakan ketika ia selesai mencuci pakaian Nabi dan akan menjemurnya, beberapa kali ia temukan jejak-jejak air mani Nabi masih tersisa di pakaian beliau, maka ia pun membersihkannya dengan menggunakan kukunya untuk menggaruknya.[53][54] Dan Nabi pun mengenakan pakaian tersebut kemudian untuk sholat.[55] Di riwayat-riwayat lain, juga diceritakan bahwa dirinya mendapat giliran lebih banyak dari istri-istri Nabi Muhammad lainnya,[56] sang Nabi suka mandi di dalam satu bak dengannya sehabis berhubungan seksual (junub), dan bagaimana ketika dirinya sedang menstruasi Nabi suka menyuruhnya menggunakan izar (pakaian yang dipasang di bawah pinggang) lalu beliau membelai-belai badannya.[57]
Konflik dengan Ali
Permusuhan antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah diperkirakan sudah terjadi semenjak Nabi masih hidup. Ketika tersebar rumor bahwa Aisyah telah berzina, yang mana hukumannya dalam Islam adalah di-rajam sampai mati. Nabi yang belum mendapatkan wahyu dari Allah selama sebulan tentang benar atau tidak rumor tersebut, menanyakan ke sahabat-sahabatnya, salah satunya adalah Ali. Ali menjawab, "Allah tidak membatasimu, masih ada banyak perempuan lain."[30][31] Pada hadits tentang hari-hari terakhir Nabi yang mana Nabi meminta supaya dirawat di rumah Aisyah, Aisyah menolak untuk menyebutkan nama Ali pada riwayatnya, meskipun ia menyebut nama Al-Abbas yang bersama dengan Ali memandu Nabi ke rumah Aisyah.[44]
Selepas wafatnya Nabi, Ali yang merupakan sepupu Nabi, mengklaim dirinya ditunjuk oleh Nabi ketika beliau masih hidup, untuk menjadi Khalifah pertama,[58] namun klaim Ali tersebut dibantah oleh Aisyah yang mengatakan kalau dirinya selalu bersama Nabi menjelang akhir hayat beliau dan tidak sekalipun ia mendengar Nabi menunjuk Ali sebagai Khalifah.[59] Orang-orang pun akhirnya berbai'at kepada Abu Bakar (ayahnya Aisyah), yang menjadikan Abu Bakar Khalifah.[58] Ketika istri Ali, yakni Fatimah yang juga merupakan putri Nabi Muhammad meminta kepada Abu Bakar harta peninggalan Nabi Muhammad di Fadak, Madinah dan Khaibar yang sebelumnya merupakan harta-harta orang Kafir yang diberikan oleh Allah kepada beliau,[60][61][62] Abu Bakar menolaknya dengan dalih bahwa dirinya pernah mendengar Nabi berkata kalau Nabi-Nabi tidak mewariskan harta mereka kepada keluarga mereka, melainkan harta peninggalan mereka adalah untuk ummat, dan dirinya takut kalau memberikan harta peninggalan Nabi ke Fatimah, maka sama saja dirinya telah melenceng dari Islam.[63]
Fatimah yang marah pun tidak berbicara lagi dengan Abu Bakar hingga wafatnya Fatimah beberapa bulan kemudian di usia mudanya, hal ini diriwayatkan secara shahih di kitab-kitab haditsIslam Sunni.[63] Namun di Islam Syiah terdapat riwayat bahwa setelah mendapat penolakan tersebut, Fatimah ber-khotbah di Masjid Nabawi, mengklaim ketidaksahan kekhalifahan Abu Bakar, dan mengatakan kalau Abu Bakar sudah mengada-ngada dengan perkataannya.[64][65][66] Di dalam riwayat yang juga diakui Islam Sunni, Umar bin Khattab yang merupakan rekan Abu Bakar lalu menggerebek rumah Fatimah yang di dalamnya sedang terdapat pertemuan dari orang-orang yang menentang kekhalifahan Abu Bakar.[67] Oleh Islam Syiah, peristiwa ini dianggap sebagai penyebab Fatimah keguguran dan wafat beberapa bulan setelahnya.[68][69][70]
Dalam riwayat Islam Sunni, selepas Abu Bakar wafat, dan Umar dan Utsman tewas dibunuh, Ali pun diangkat sebagai Khalifah oleh orang-orang yang sebagiannya merupakan pemberontak terhadap pemerintahan Utsman. Sahabat-sahabatnya Nabi Muhammad pun dipaksa oleh Ali untuk berbai'at kepada Ali,[71] namun beberapanya menolaknya meski secara formalitas tetap berbai'at kepadanya, di antara mereka adalah Thalhah dan Zubair. Mereka pun meninggalkan Madinah menuju Makkah.[72] Aisyah yang sebelumnya dilaporkan memancing orang-orang untuk mengkudeta Utsman, kini berbalik haluan mengajak orang-orang untuk berperang melawan Ali dengan dalih membalaskan kematian Utsman.[73] Aisyah pun bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk berperang melawan Ali, yang kemudian perang tersebut dikenal sebagai Perang Jamal.[74]
Pihak Aisyah kalah pada pertempuran tersebut, namun karena Aisyah merupakan istri favorit Nabi, membunuhnya ditakutkan akan menimbulkan amarah Nabi dan Allah, ia pun tidak dibunuh dan diantarkan ke rumahnya.[75]Muawiyah yang merupakan sepupu Utsman pun lalu melanjutkan perperangan terhadap Ali yang kemudian dikenal sebagai Perang Shiffin. Tidak ada pemenang pada perang tersebut dikarenakan kedua pihak kemudian sepakat untuk melakukan arbitrase tentang kematian Utsman,[76] meski sebelumnya Ali telah mewanti-wanti kepada pasukannya kalau permintaan arbitrase oleh pihak Muawiyah dengan mengangkat Al-Qur'an hanyalah upaya supaya mereka menghindari kekalahan. Sejumlah pengikut Ali mempercayai perkataan pihak Muawiyah,[77] yang memaksa Ali untuk menyepakati pembentukan arbitrase tersebut.[76] Sejumlah pendukung Ali yang lain tidak terima, dan keluar dari pasukan Ali pada saat itu, karena mereka menganggap keputusan Ali telah melenceng dari Islam yang lurus. Mereka lalu dinamai Khawarij (yang keluar).[78]
Ketika proses arbitrase, dua arbitrator menyatakan kalau para pemberontak yang merupakan pendukung Ali, bersalah dalam pembunuhan terhadap Utsman. Proses arbitrase pun kolaps, dan Ali pun mengumpulkan kembali pasukannya termasuk para Khawarij, namun para Khawarij memberi syarat kalau Ali harus mengakui dirinya telah tersesat dan bertobat,[79] Ali pun berangkat tanpa mereka.[80][81] Namun lalu terdengar desas-desus kalau orang-orang Khawarij tersebut menanyakan tiap-tiap muslim yang mereka temui mengenai pendapat mereka akan Ali dan Utsman dan membunuh siapa-siapa saja yang tidak sependangan dengan mereka.[82][83] Ali pun mengirim seseorang untuk meng-investigasi rumor itu, namun utusan Ali tersebut kemudian juga dibunuh. Para pasukan Ali yang takut kalau keluarga mereka akan menjadi target kaum Khawarij tersebut menekan Ali untuk menghadapi mereka, dan Pertempuran Nahrawan pun terjadi.[84]
Ali memenangkan pertempuran tersebut, namun ini menimbulkan rasa dendam di hati pihak yang dikalahkan dan yang memiliki pandangan yang sama. Beberapa kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Ali, dan mereka berhasil membunuhnya dengan pedang yang dilapisi dengan racun.[85] Ketika mendengar kabar kematian Ali tersebut, Aisyah dilaporkan melemparkan tongkatnya dan bersantai di tempat duduknya seperti seorang pengembara yang bahagia ketika pulang ke rumahnya. Sewaktu diberi tahu kalau yang membunuh Ali adalah orang dari Murad, Aisyah berkata: "Meskipun dia jauh, telah mengumumkan kematiannya, seorang pemuda [ghulam] yang mulutnya tiada berdebu (yakni memiliki perkataan yang benar)." Ketika ditanya oleh Zainab binti Abu Salamah, apakah perkataaan Aisyah tersebut mengenai kematian Ali, Aisyah berkata, "Aku pelupa, dan jika aku lupa ingatkan aku."[86]
Kematian
Aisyah meninggal dunia di rumahnya di Madinah pada tanggal 17 Ramadhan 58 H (16 Juli 678 M), pada saat itu ia berusia 67 tahun.[1][87] Sahabat Nabi, Abu Hurairah memimpin penguburannya setelah salat tahajud dan ia dikuburkan di Jannat al-Baqi'.[88]
Pandangan Sunni dan Syi'ah
Sunni
Sejarawan Sunni melihat Aisyah sebagai seorang wanita terpelajar, yang tanpa lelah meriwayatkan hadis tentang kehidupan Nabi Muhammad. Dia merupakan salah seorang dari cendekiawan Islam awal di mana para sejarawan menghitung sampai seperempat dari Hukum Islam berasal dari Aisyah. Aisyah adalah istri favorit Nabi Muhammad dan menjadi contoh dari jutaan wanita.[89]
Kalangan Syi'ah umumnya memandang buruk Aisyah. Hal ini terutama disebabkan oleh apa yang mereka anggap sebagai kebencian Aisyah terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad) dan tindakan Aisyah dalam Perang Saudara Islam I. Partisipasi Aisyah dalam Perang Jamal secara luas dianggap sebagai tanda kebenciannya yang paling signifikan. Mereka juga tidak percaya bahwa Aisyah berperilaku sebagaimana mestinya dalam perannya sebagai istri Muhammad. Beberapa riwayat di kalangan Sy'iah yang terkemuka bahkan melaporkan bahwa Aisyah, bersama dengan Hafshah, menyebabkan kematian Nabi Muhammad dengan cara meracuni beliau.[49] Syi'ah juga menganggap Aisyah sebagai sosok kontroversial karena keterlibatan politiknya semasa hidupnya. Aisyah berasal dari garis keturunan keluarga politik, dia adalah putri Abu Bakar yang mana merupakan Khalifah pertama. Aisyah juga berperan aktif dalam kehidupan politik Nabi Muhammad; dia diketahui kerap menemani Nabi berperang, di mana dia belajar keterampilan militer, seperti memulai negosiasi sebelum perang antar para kombatan, melakukan pertempuran, dan mengakhiri perang.[90][91]
‘A’isha was eighteen years of age at the time when the Holy Prophet (peace and blessings of Allah be upon him) died and she remained a widow for forty-eight years till she died at the age of sixty-seven. She saw the rules of four caliphs in her lifetime. She died in Ramadan 58 AH during the caliphate of Mu‘awiya...
^ abIbnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir - QS 4:128. hlm. 421 – 422. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-21. Diakses tanggal 2021-12-04.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abAl-Jalalain. Tafsir Al-Jalalain - QS 66:1-5. hlm. 555. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-21. Diakses tanggal 2021-12-04.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir QS 33:51. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-11. Diakses tanggal 2021-12-12.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Goodwin, Jan. Price of Honour: Muslim Women Lift the Veil of Silence on the Islamic World. UK: Little, Brown Book Group, 1994
^Anwar, Etin. "Public Roles of Women." Encyclopedia of Islam and the Muslim World. 2004. Web.
^Smith, Jame I. "Politics, Gender, and the Islamic Past. The Legacy of Aisha Bint Abi Bakr by D.A. Spellberg." Rev. of Politics, Gender, and the Islamic Past. The Legacy of Aisha Bint Abi Bakr by D.A. Spellberg. n.d.: n. pag. JSTOR. Web.