Khotbah Fatimah mengenai Fadak (Arab: الخطبة الفدكية) adalah merujuk pada sebuah pidato yang disampaikan oleh Fatimah yang merupakan putri NabiIslam, Muhammad di Masjid Nabawi, tidak lama setelah kematian Muhammad di tahun 612 M.[1][2][3] Dalam pidatonya, Fatimah memprotes Abu Bakar yang menjadi Khalifah dan penerus Muhammad. Fatimah mengklaim bahwa suaminya, yaitu Ali lah yang seharusnya menjadi Khalifah dan penerus yang sah, mengacu pada apa yang dianggapnya sebagai pengumuman yang disampaikan Muhammad di Ghadir Khum.[4] Fatimah mengkritik pula umat Muslim karena dianggapnya telah kembali ke kebiasaan mereka pada zaman Jahiliyah.[5]
Dalam pidatonya, Fatimah juga mengecam Abu Bakar karena menolak memberikan apa yang dianggap Fatimah sebagai hak warisnya atas Fadak. Fatimah menilai perbuatan Abu Bakar tersebut melanggar Al-Qur'an dan Sunnah.[6] Pidato ini disadur pada sejumlah sumber, termasuk Balaghat al-Nisa, kumpulan pidato anggun dari para wanita.[7][3] Penulis Balaghat berpendapat bahwa pidato tersebut terkenal di kalangan Syiah dan ditolak oleh Sunni.[8]
Latar belakang
Fadak adalah sebuah desa yang terletak di sebelah utara Madinah, dengan jarak tempuh dua hari perjalanan.[1] Setelah Muhammad dan pasukannya berhasil menaklukkan umat Yahudi yang bermukim di Khaybar, yang menewaskan banyak dari mereka.[9][10] Sisa dari orang-orang Yahudi itu pun memohon kepada Muhammad agar diperbolehkan tetap tinggal di sana dengan syarat Muhammad akan diberikan separuh dari hasil panen mereka. Mereka beralasan bahwa mereka lebih tahu tentang tanah tersebut ketimbang umat Muslim. Syarat ini pun diterima oleh Muhammad.[11] Orang-orang Fadak yang mendengar hal ini pun segera mengirimkan pembawa pesan ke Muhammad, takut kalau-kalau daerah mereka menjadi sasaran serang Muhammad berikutnya. Sebelum terjadinya pertumpahan darah mereka pun menawarkan hal yang sama yang ditawarkan oleh penduduk Khaibar, yakni setengah dari panen mereka akan diberikan kepada Muhammad. Muhammad pun setuju dan tanah itu menjadi kepemilikan eksklusif Muhammad seorang.[12] Ini dalam Islam, istilahnya adalah Fa'i, yakni harta yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui perperangan, berbeda dengan Ghonimah yang mana merupakan harta orang-orang kafir yang dirampas umat Muslim melalui perperangan.[1] Ada beberapa bukti bahwa Muhammad memberikan bagiannya dari Fadak kepada Fatimah,[1][13][14] dan agennya mengelola properti itu ketika Muhammad masih hidup.[1] Pendapatan Fadak sebagian besar mendukung pelancong yang membutuhkan, orang miskin, ekspedisi militer, dan keluarga Muhammad,[1] yang dilarang menerima zakat.[15]
Setelah kematian Muhammad pada tahun 632 dan di awal kekhalifahannyaAbu Bakar, Abu Bakar merebut Fadak dari Fatimah dan mengusir agennya, mungkin sebagai penunjukkan bentuk otoritas kepada klannya Muhammad ( Banu Hasyim ) yang belum ber-bai'at kepada Abu Bakar.[1] Fatimah keberatan akan hal itu dengan beralasan bahwa Fadak adalah hadiah dari Muhammad kepada dirinya. Suaminya Ali dan seorang pembantu di rumah Muhammad, bernama Umm Aiman, keduanya memberikan kesaksian mereka untuk mendukung Fatimah.[1] Menurut satu riwayat, Fatimah juga membawa putra-putranya sebagai saksi.[16] Akan tetapi, Abu Bakar menganggap kesaksian mereka itu tidak cukup untuk membuktikan kepemilikan Fatimah akan tanah tersebut.[1] Khetia menambahkan bahwa Fatimah mungkin mengharapkan hubungannya dengan Muhammad untuk memperkuat posisinya dalam persengketaan tersebut.[17] Dalam riwayat lain, Abu Bakar dianggap setuju untuk mengembalikan Fadak ke Fatimah tetapi sepertinya dibujuk untuk tidak melakukannya oleh sahabatnya, yakni Umar.[1]
Hadits tentang warisan muhammad
Setelah mendapat penolakan tersebut dari Abu Bakar, Fatimah pun menuntut warisan dari harta almarhum ayahnya, yaitu Muhammad.[1] Abu Bakar juga menolak hal ini, mengklaim bahwa Muhammad telah mencabut hak waris sanak saudaranya.[15] Dia menyatakan bahwa Muhammad secara pribadi mengatakan kepadanya bahwa para nabi tidak meninggalkan warisan dan apa yang mereka tinggalkan adalah milik ummat yang harus dikelola oleh khalifah.[18] Abu Bakar awalnya adalah satu-satunya saksi atas pernyataan ini, yang disebut sebagai hadits warisan Muhammad.[15][19]
Keaslian tentang riwayat yang dikemukakan Abu Bakar
Dalam karyanya al-Tabaqat al-kubra, ahli hadits Sunni Ibn Sa'd (w. 845) melengkapi hadits warisan dengan dua rantai periwayatan yang mencakup banyak sahabat terkemuka Muhammad, seperti Umar, Utsman, dan Zubair.[20] Secara khusus, ia memasukkan dalam kedua rantai ini beberapa orang dari wangsa Hasyimiyah yang terkenal, seperti Ali dan Ibnu Abbas, yang keduanya diketahui telah dengan keras membantah klaim Abu Bakar ini dalam sumber-sumber lain.[21]
Di sisi lain, Soufi berpendapat bahwa Abu Bakar secara umum dianggap sebagai satu-satunya perawi yang kredibel dari hadits ini dalam sumber-sumber Sunni, menambahkan bahwa laporan serupa yang dikaitkan dengan sahabat lain telah ditolak oleh Sunni.[22] Sejalan dengan hal ini, Sajjadi menulis bahwa semua versi (yang kredibel) dari hadits ini diriwayatkan dari Abu Bakar; sekutunya, yakni Umar; putrinya, yakni Aisyah; dan Malik bin Aus al-Hadatsan,[1] meskipun beberapa sumber utama telah memperdebatkan apakah Malik bin Aus al-Hadatsan adalah seorang sahabat Muhammad.[23] Namun demikian, Soufi mencatat bahwa kesaksian Abu Bakar cukup kuat bagi Sunni untuk membuat pengecualian terhadap aturan warisan Quran.[24] Namun, pihak Syi'ah 12 Imam menolak keaslian hadits warisan berdasarkan tradisi mereka sendiri, menunjuk juga pada kontradiksi hadits ini dengan Quran.[1]
Isi pidato
Sebagai protesnya, Fatimah dilaporkan menyampaikan pidato di Masjid Nabawi, yang dikenal sebagai khotbah akan Fadak.[25][3] Sebagaimana dikutip dalam Balaghat al-nisa', Fatimah memulai dengan memberikan pujian untuk Allah dan Nabi-Nya, Muhammad.[26] Kemudian dia melanjutkan dengan ikhtisar ajaran Islam dan tujuan dari masing-masing ajaran tersebut.[26]
Balaghat al-nisa' melaporkan bahwa Fatimah kemudian menolak kekhalifahan Abu Bakar, dan mengklaim bahwa sesungguhnya Ali lah khalifah yang sah,[4][27] mengacu pada pengumuman yang disampaikan Muhammad di Ghadir Khumm.[28] Fatimah juga mengkritik umat Islam karena dianggapnya telah kembali ke kebiasaan jahiliyah mereka.[5] Mengenai peristiwa Saqifah, Fatimah mengatakan bahwa sejumlah orang berbuat sesuatu karena takut akan timbulnya kekacauan (fitnah), tetapi kemudian malah jatuh ke dalam kekacauan pula.[29]
Berdasarkan sumber ini, Fatimah kemudian mengecam Abu Bakar karena menolak memberikan apa yang dianggap Fatimah sebagai hak warisnya akan Fadak. Fatimah menilai bahwa Abu Bakar melanggar Qur'an dan Sunnah karena hal tersebut.[6] Untuk mendukung klaimnya, dia mengutip ayat (Quran 27:16) di mana Sulaiman mewarisi dari ayahnya, Daud, dan ayat (Qur'an 19:6) di mana Zakaariyya berdoa agar dikaruniai seorang anak laki-laki yang akan mewarisi darinya dan dari Keluarga Yakub.[13][30] Fatimah juga mengutip ayat (Qur'an 8:75) dan (Qur'an 33:6) tentang hak setiap Muslim untuk mendapatkan warisan.[31][32]
Wahai kaum Muslimin! Akankah warisanku dirampas? Wahai putra dari Abu Quhafeh (Abu Bakar)! Di manakah di dalam Kitabullah (Quran) bahwa Anda dapat mewarisi harta dari ayah Anda sedangkan saya tidak dapat mewarisi harta dari ayah saya? Sungguh Anda telah membuat-buat sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah anda telah dengan sengaja mengingkari Kitabullah dan mencampakkannya ke belakang punggung Anda?
Apakah Anda tidak membaca di mana dikatakan: "Dan Sulaiman mewarisi Daud?" Dan ketika bagaimana pada kisah Zakariyya, dirinya berkata: "Maka berikanlah kepadaku seorang ahli waris dari sisi-Mu, yang akan mewarisi aku dan mewarisi anak cucu Yakub." Dan: "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah." Dan: "... jika seseorang meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."[33]
— Ceramah akan Fadak
Fatimah kemudian menuduh Abu Bakar bersama rekannya, Umar dan kaum Muhajirin (Muslim Makkah) telah melakukan ketidakadilan.[34]
Apakah warisanku akan dirampas dariku dengan cara yang kejam dan zalim? Karena tidak lama lagi, mereka yang melakukan ketidakadilan akan mengetahui tempat kemana mereka akan kembali![34]
— Ceramah akan Fadak
Kalimat terakhir di atas adalah kutipan langsung dari (Qur'an 26:227), dan rujukan terhadap Al-Quran seperti itu adalah tema yang rutin dalam pidatonya tersebut.[31] Fatimah kemudian berbicara kepada kaum Anshar (Muslim Madinah) dan mengkritik mereka karena sikap tak acuh mereka.[35][36]
[Berbicara kepada kaum Ansar] Wahai, kalian orang-orang yang berakal, kalian pendukung kuat bangsa ini, kalian yang telah memeluk Islam! Mengapa kalian tidak membela hakku? Mengapa kalian tidak acuh terhadap ketidakadilan yang dilakukan terhadapku? Bukankah Rasulullah, ayahku, pernah berkata: "Manusia dilestarikan melalui anak-anaknya." Betapa cepatnya kalian bertindak berlawanan dengan ucapannya dan betapa cepatnya kalian bersekongkol untuk menjatuhkan kami! Kalian memiliki kemampuan untuk membantuku dalam upayaku, dan kekuatan untuk mendukung permintaan dan tujuanku.[36]
— Ceramah akan Fadak
Fatimah menuduh mereka yang hadir berpaling dari Islam dengan mengutip ayat (Qur'an 3:144), yang mencakup kalimat, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?"[37]
Dalam sebuah perdebatan singkat setelah pidatonya Fatimah, Abu Bakar menyatakan bahwa para nabi tidak meninggalkan warisan apapun, yang ia kaitkan dengan Muhammad.[38] Abu Bakar juga menawarkan untuk memberikan kompensasi kepada Fatimah dari kekayaannya.[39] Fatimah membalas dengan mengatakan bahwa klaim Abu Bakar berarti menyiratkan bahwa Muhammad telah meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran.[40] Fatimah kemudian mengunjungi makam Muhammad dan meratapi kejadian-kejadian baru-baru ini yang, dia berseru, akan membuat Muhammad kehabisan kata-kata seandainya dia menyaksikannya.[41]
Keaslian
Juga dikenal sebagai Khutbat al-Zahra (terj. har. khotbah dari az-Zahra) atau Kalam Fatimah (terj. har. kata-kata Fatimah), ada beberapa versi dari pidato ini.[8] Yang paling awal muncul dalam Balaghat al-nisa' (terj. har. pidato anggun dari para wanita) oleh Ibnu Abi Tayfur (wafat 279 H).[3][8][42] Balaghat al-nisa' berisi dua riwayat: Yang pendek diriwayatkan dari Zaid bin Ali, seorang sahabat Imam Syi`ah, Ali al-Hadi. Yang lebih panjang diriwayatkan dari Zaynab binti Ali melalui rantai periwayatan Syi`ah. Ibn Abi Tayfur menulis bahwa pidato ini terkenal di kalangan Syiah, yang juga mentransmisikannya secara lisan dari generasi ke generasi. Dia juga mencatat bahwa kaum Sunni menolak atribusi pidato tersebut kepada Fatimah.[8]
Dalam karyanya Shafi fi al-imama, teolog terkenal Syi'ah 12 Imam, Syarif al-Murtaza (wafat 436 H) memberikan versi singkat dari khotbah tersebut dengan rantai transmisi Sunni yang lengkap. Khotbah ini juga muncul dalam Kitab al-saqifah oleh Abu Bakar al-Jawhari (wafat 323 H) dan dikutip oleh Ibnu Abi'l-Hadid (wafat 656 H) dalam tafsirnya yang ekstensif tentang Nahj al-balagha, kumpulan pidato dan ucapan yang dinisbahkan kepada Ali. Versi yang paling panjang dan paling rumit dari pidato Fatimah muncul dalam al-Ihtijaj, sebuah koleksi hadits Syiah abad keenam Hijriah. Sementara versi lain memiliki rantai transmisi yang berasal dari Imam Syiah, Muhammad al-Baqir.[8] Menurut Soufi, perbedaan utama di antara versi-versi ini adalah mengenai respon Abu Bakar terhadap pidato Fatimah.[43]
Janda-jandanya Muhammad
Abu Bakar menghentikan status kemurnian sanak saudara yang berhubungan darah dengan Muhammad dengan memaksa mereka untuk bergantung pada zakat yang sebelumnya dilarang oleh Muhammad bagi mereka.[15] Pada saat yang sama, Abu Bakar mengizinkan janda-janda nabi untuk mewarisi tempat tinggalnya Muhammad di Madinah. Secara khusus, dia memberikan putrinya, yakni Aisyah sejumlah properti di bagian Aliya di Madinah dan di Bahrain.[44][19] Dengan menegaskan status mereka, Abu Bakar kemungkinan memberi isyarat kepada umat Muslim bahwa putrinya, Aisyah dan janda-janda Muhammad lainnya adalah pewaris sejati Muhammad, demikian menurut Reza Aslan[45]. Madelung memiliki pandangan yang sama.[46]
Politik
Madelung berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar secara prinsip tidak konsisten dalam mempertahankan status istimewa sanak saudara Muhammad dan menerapkan aturan Quran tentang warisan kepada mereka.[15] Seperti yang diutarakan oleh Mavani, jika Bani Hasyim mewarisi harta benda Muhammad, maka mereka juga kemungkinan akan mewarisi otoritas spiritual Muhammad.[47] Pandangan serupa disuarakan oleh Jafri, Margoliouth, Ayoub, dan Lalani,[48][49][50][51] sementara El-Hibri tidak melihat kisah Fadak sebagai sengketa keuangan belaka.[52] Menurut Reza Aslan, tindakan Abu Bakar sering dianggap sebagai langkah politik untuk melemahkan klan Muhammad dan melucuti sanak saudaranya dari status istimewa mereka.[45] Aslan juga berpendapat bahwa upaya Abu Bakar dimaksudkan untuk melemahkan klaim Ali atas kekhalifahan. Upaya-upaya ini, tulis Aslan, sebagian dapat dilihat dari keyakinan Abu Bakar yang menyatakan bahwa kekhalifahan harus berada di luar klan Muhammad, dan sebagian lagi karena adanya perseteruan pribadi antara Abu Bakar dan Ali.[45] Madelung, Abbas, dan Anthony telah mencatat hubungan yang buruk antara kedua tokoh tersebut.[53][54][55]
Setelahnya
Beberapa sumber melaporkan bahwa Fatimah tidak pernah berdamai dengan Abu Bakar,[56][57][55][33] sebagiannya berlandaskan pada sebuah riwayat yang tercatat dalam Shahih al-Bukhari yang merupakan koleksi hadits dengan derajat tertinggi bagi IslamSunni.[58][59] Ada juga beberapa catatan bahwa Abu Bakar dan rekannya, Umar mengunjungi Fatimah yang terbaring di ranjangnya pada hari-hari menjelang kematiannya untuk meminta maaf, yang dianggap Madelung memperkuat bukti bersalahnya mereka.[56] Seperti yang dilaporkan dalam al-Imama wa al-siyasa,[60] Fatimah mengingatkan kedua tamunya tersebut akan perkataan Muhammad bahwa "Fatimah adalah bagian dari diriku, dan siapapun yang membuatnya marah telah membuatku marah."[61][60] Fatimah yang sekarat kemudian mengatakan kepada keduanya bahwa mereka memang telah membuatnya marah dan bahwa dia akan segera menyampaikan keluhannya kepada Allah dan nabi-Nya, Muhammad.[13][62] Ada juga laporan dari pihak Sunni bahwa Fatimah berdamai dengan Abu Bakar dan Umar, meskipun Madelung menyatakan bahwa laporan-laporan tersebut dibuat-buat untuk mengatasi dampak negatif dari kemarahan Fatimah.[56]
^al Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of al-Tabari, vol. 8 (dalam bahasa English). hlm. 129.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Buehler, Arthur F. (2014). "FATIMA (d. 632)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopaedia of the Prophet of God. 1. ABC-CLIO. hlm. 182–7. ISBN9781610691772.
Anthony, Sean W. (2013). "Ali b. Abi Talib". Dalam Bowering, Gerhard. The Princeton encyclopedia of Islamic political thought. Princeton University Press. hlm. 30–2. ISBN9780691134840.
Amir-Moezzi, Mohammad Ali (2022). "Ghadir Khumm". Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Third). Brill Reference Online.
Kassam, Zayn; Blomfield, Bridget (2015). "Remembering Fatima and Zaynab: Gender in Perspective". Dalam Daftary, Farhad; Sajoo, Amyn; Jiwa, Shainool. The Shi'i World: Pathways in Tradition and Modernity. Bloomsbury Publishing. hlm. 210. ISBN9780857729675.
Klemm, Verena (2005). "Image Formation of an Islamic Legend: Fātima, the Daughter of the Prophet Muhammad". Dalam Günther, Sebastian. Ideas, Images, and Methods of Portrayal: Insights into Classical Arabic Literature and Islam. Brill. hlm. 181–208. ISBN9789047407263.