Abu Bakar (m. 632–634) terpilih sebagai Khalifah pertama dalam peristiwa Saqifah Bani Sa'idah segera setelah kematian Muhammad. Aksesinya ditolak oleh beberapa orang sahabat Muhammad, yang paling menonjol diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, yang kemudian menyerah dan menawarkan kesetiaannya.[2] Abu Bakar memerangi kelompok murtad, dan memperluas wilayah kekhalifahan. Pemerintahannya yang singkat berakhir dengan kematiannya di tahun 634 M. Penerus Abu Bakar adalah Umar bin Khattab (m. 634–644), yang juga seorang sahabat terkemuka Muhammad. Bersamaan dengan penaklukan Persia Sasaniyah dan dua pertiga dari Bizantium Romawi, Umar membangun struktur politik dan administrasi negara. Ia menciptakan diwan, sebuah badan ekonomi negara, ia juga menetapkan kebijakan yang memperbolehkan pembangunan kembali pemukiman Yahudi di Yerusalem. Kekhalifahannya berakhir ketika dia dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak dari Persia.
Sebelum kematiannya, Umar membentuk sebuah panitia yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah baru setelah kematiannya, dan Utsman bin Affan (m. 644–656) adalah yang terpilih di antara mereka. Utsman mungkin adalah khalifah paling dikenang karena berjasa dalam pengumpulan Al-Qur'an dan membentuknya menjadi sebuah mushaf seperti yang dibaca saat ini. Kebijakan Utsman untuk menetapkan anggota keluarganya sebagai pejabat dan gubernur kemudian menimbulkan pemberontakan yang mengakibatkan dirinya terbunuh pada 656 M. Ali bin Abi Thalib (m. 656–661), mewarisi kekacauan yang terjadi pada akhir masa kekhalifahan Utsman. Ia termasuk dari enam orang dari anggota panita yang ditunjuk Umar dalam Pemilihan Utsman. Pada masa pemerintahannya, Ali menghadapi konflik internal yang dikenal sebagai Fitnah Pertama. Pihak ketiga, Khawarij, memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan membunuh tiga orang yang dianggap penyebab peperangan, yaitu Ali, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Dari ketiga orang tersebut, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Putranya, Hasan, mengakhiri konflik dengan menyerahkan kekhalifahan kepada Mu'awiyah.
Etimologi
Secara etimologis, al-Khulafāʾ ar-Rāsyidūn terdiri dari dua kata, yaitu al-Khulafāʾ yang memiliki arti "pengganti" atau "pemimpin" dan al-Rāshidūn yang memiliki arti "dibimbing dengan benar" (atau menurut sebagian Muslim, "mendapatkan petunjuk").[3] Dengan demikian, al-Khulafāʾ al-Rāsyidūn dapat diterjemahkan sebagai "para pemimpin yang dibimbing dengan benar".[4]
Menurut Muslim Sunni, istilah Khulafaur Rasyidin berasal dari sebuah Hadis yang meramalkan bahwa kekhalifahan setelah kematian Muhammad akan berlangsung selama 30 tahun dan kemudian akan diikuti oleh kerajaan.[5][6] Menurut hadis lain dalam Sunan Abu Dawud dan Musnad Ahmad, menjelang akhir zaman, Khilafah Terpimpin akan dipulihkan sekali lagi oleh Tuhan.[7] Namun, istilah ini tidak digunakan dalam Islam Syiah, karena sebagian besar Muslim Syiah tidak menganggap aturan tiga khalifah pertama sah.[8] Di sisi lain, Syiah Zaidiyah percaya tiga khalifah pertama sebagai pemimpin yang sah.[9]
Sejarah
Suksesi Muhammad adalah sebuah isu sentral yang cukup memecah belah komunitas Muslim.[10] Muslim Sunni menerima status politik keempat khalifah sepenuhnya, sedangkan Muslim Syiah sebagian besar menolak legitimasi tiga khalifah pertama, dan mempertahankan bahwa Muhammad langsung menunjuk Ali sebagai penggantinya.[10][11]
Abu Bakar, (bahasa Arab: أَبُو بَكْرٍ, ca 573–634 M/13 H) adalah sahabat dekat Muhammad dan ayah mertuanya. Abu Bakar memerintah Kekhalifahan Rasyidin dari 632 hingga 634 M sebagai Khalifah Muslim pertama setelah kematian Muhammad.[12] Abu Bakar melanjutkan fungsi politik dan administrasi yang sebelumnya dijalankan oleh Muhammad. Abu Bakar disebut As-Siddiq (اَلـصِّـدِّيْـق terj. har.'yang membenarkan')[13] karena menjadi orang pertama yang membenarkan peristiwa Isra Mikraj Muhammad,[14] dan terus dikenal dengan gelar tersebut oleh generasi Muslim Sunni selanjutnya.[15]
Setelah kematian Muhammad, sejumlah sahabat dari golongan Anshar berniat untuk mengangkat sendiri pemimpin diantara mereka dengan mengesampingkan para imigran (Muhajirin).[16] Mengetahui hal tersebut, Abu Bakar dan Umar bin Khattab bergegas pergi ke Saqifah dan meyakinkan orang-orang di sana bahwa pemimpin setelah Muhammad harus berasal dari Muhajirin pula dan Anshar akan menjadi pembantu.[17] Abu Bakar menawarkan Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai pilihan.[18] Namun, Umar segera menjabat tangan dan berjanji setia kepada Abu Bakar—sebuah contoh yang diikuti oleh orang-orang yang hadir.[19] Peristiwa ini dikenal sebagai Saqifah Bani Sa'idah.[20] Pada awalnya, kenaikan Abu Bakar sempat ditolak oleh beberapa orang sahabat Muhammad,[21] diantaranya Ali bin Abi Thalib. Ali mungkin diharapkan untuk menggantikan Muhammad setelah kematiannya[22] karena kedekatan mereka dan pidato Muhammad di Ghadir Khum.[23]
Sejak menjelang kematian Muhammad, beberapa kepala suku, seperti Aswad al-Ansi, Musailamah al-Kazzab, dan Sajjah mengaku sebagai nabi baru yang diberi wahyu oleh Tuhan. Abu Bakar menentang pengakuan mereka dan memerintahkan untuk memerangi mereka.[24] Strategi Abu Bakar dengan mengirim pasukan secara berkala tampaknya berhasil. Kampanye militer melawan kemurtadan yang dimulai oleh kelompok pendukung nabi palsu pada tahun 633 M/11 H dapat diakhiri oleh pasukan yang dikirim oleh Abu Bakar pada tahun yang sama.[25]
Setelah kampanye militer melawan kemurtadan berhasil ditumpas, Abu Bakar berhasil menguasai seluruh Jazirah Arab dan mengendalikan suku-suku yang bertikai. Abu Bakar melarang suku-suku ini untuk melakukan penjarahan dan peperangan.[26] Abu Bakar lalu memutuskan untuk memperluas kekhalifahan. Tidak jelas apakah niatnya adalah untuk melakukan ekspansi skala penuh atau serangan pendahuluan untuk mengamankan zona penyangga antara negara Islam dengan kekaisaran Sasaniyah dan Romawi Timur yang kuat. Kebijakan ini memulai ekspansi militer secara besar-besaran terhadap kedua kekaisaran tersebut.[27] Khalid dikirim ke Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan, dan menaklukkan provinsi terkaya di Persia, Asoristan (sekarang Irak). Setelah itu, Abu Bakar mengirim pasukannya untuk menginvasi Suriah Romawi, provinsi penting Kekaisaran Romawi Timur.[28]
Pada Agustus 634, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Abu Bakar mengalami demam tinggi dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.[29] Penyakitnya berkepanjangan, dan ketika kondisinya memburuk, Abu Bakar akhirnya meninggal dunia Pada 23 Agustus 634.[30] Sebelum kematiannya, Abu Bakar mendiktekan wasiat terakhirnya kepada Utsman yang berisi perintah untuk mengangkat Umar sebagai penggantinya.[30]
Umar bin Khattab (bahasa Arab: عمر ابن الخطاب, translit. ʿUmar ibn al-Khattāb, ca586/590–644[31]) adalah pendamping terkemuka dan penasihat Muhammad. Putri Umar, Hafshah menikah dengan Muhammad; dengan demikian dia menjadi ayah mertua Muhammad. Umar menggantikan Abu Bakar setelah kematiannya 23 Agustus 634 sebagi khalifah kedua, dan memainkan peran penting dalam Islam.[32] Umar mmerintah Kekhalifahan Rasyidin selama sepuluh tahun.[33]
Di bawah pemerintahan Umar, kekhalifahan Islam berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menguasai seluruh Kekaisaran Sasaniyah dan lebih dari dua pertiga Kekaisaran Romawi Timur.[34] Kemampuan legislatifnya, kontrol politik dan administrasi yang kuat atas kekaisaran yang berkembang pesat, dan serangan multi-cabang yang terkoordinasi dengan cemerlang terhadap Persia menghasilkan penaklukan kekaisaran Sasaniyah dalam waktu kurang dari dua tahun. Penaklukan tersebut mengukuhkan reputasinya sebagai pemimpin politik dan militer yang hebat. Wilayah yang berhasil ditaklukkan Umar di antaranya adalah Yerusalem, Damaskus, dan Mesir.[35]
Umar memerintahkan pemindahan komunitas Kristen dan Yahudi dari wilayah Najran dan Khaibar menuju Suriah dan Irak.[36] Dia juga mengizinkan orang-orang Yahudi untuk bermukim kembali di Yerusalem, yang sebelumnya dilarang dari semua orang Yahudi.[37] Dia mengeluarkan perintah agar orang Kristen dan Yahudi ini diperlakukan dengan baik dan memberi mereka tanah yang setara di pemukiman baru mereka.[38][39] Umar juga melarang non-Muslim berada di Hijaz lebih dari tiga hari.[40] Umar adalah orang pertama yang mendirikan angkatan darat sebagai departemen negara.[41]
Di bawah kepemimpinan Umar, kekhalifahan berkembang; karenanya, Umar mulai membangun struktur politik yang akan menyatukan wilayah yang luas.[42][43][44] Umar melakukan banyak reformasi administrasi dan mengawasi kebijakan publik dengan cermat, mendirikan administrasi lanjutan untuk tanah yang baru ditaklukkan, termasuk beberapa kementerian dan birokrasi baru, dan memerintahkan sensus semua wilayah Muslim.[45][44][46] Selama pemerintahannya, kota garnisun (amsar) Basrah dan Kufah didirikan atau diperluas. Pada 638, ia memperluas dan merenovasi Masjidil Haram (Masjid Suci) di Makkah dan Masjid Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah.[47][46]
Umar adalah khalifah pertama yang mengadopsi gelar Amirul Mukminin (terj. har.'pemimpin orang-orang beriman').[48]Ibnu Sa'ad mencatat dalam bukunya, at-Thabaqat al-Kubra, bahwa setelah kematian Abu Bakar, umat Islam saat itu berkata: "Kami adalah Mu'minin (orang-orang beriman/setia) dan Umar adalah Amir (pemimpin) kami."[48] Gelar Amirul Mukminin yang dipegang oleh Umar kemudian menjadi gelar standar khalifah.[48][49] Pada masa-masa setelahnya, para khalifah dan sultan dari berbagai dinasti Muslim, seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah juga turut mengadopsi Amirul Mukminin sebagai gelar spiritual dan politik mereka.[50] Umar mungkin juga dikenang karena membentuk sistem kalender Islam Hijriyah.[51]
Utsman bin Affan (bahasa Arab: ثمان ابن عفان, translit. ʿUthmān ibn ʿAffān) (ca. 579–17 Juli 656) adalah salah satu sahabat awal dan menantu Muhammad. Dua putri Muhammad dan Khadijah, Ruqayyah dan Ummu Kultsum menikah dengannya satu demi satu. Utsman lahir dari klan Bani Umayyah, keluarga kuat dari suku Quraisy.[54]
Dari komite enam orang yang dibuat Umar, Abdurrahman bin Auf dipercaya sebagai ketuanya. Beberapa sumber menambahkan Sa'id bin Zaid, seorang sahabat Muhammad,[55] sementara laporan oleh ath-Thabari mengatakan Sa'id dikeluarkan karena kekerabatannya dengan Umar, yang konon tidak menginginkan suksesi turun-temurun.[56] Di sisi lain, beberapa sumber tidak memasukkan Sa'id dalam panitia.[55] Sebagian besar sumber juga mengatakan bahwa Thalhah tiba di Madinah setelah panitia mencapai keputusan akhir dan tidak hadir dalam persidangan.[55] Sa'id secara formal bertindak sebagai wakilnya oleh beberapa catatan.[57] Sejarawan Sunni Ibnu Sa'ad dan beberapa sumber Sunni lain juga mencantumkan putra Umar, Abdullah dalam kapasitas sebagai penasehat komite.[58][59]
Sa'ad memberikan suara kepada sepupunya, Abdurrahman, yang cenderung mendukung saudara iparnya, Utsman.[60][61] Blok suara yang terdiri dari tiga orang ini akan menjadi mayoritas dalam komite jika Thalhah tidak hadir dan Sa'ad memberikan dua suara. Menurut Ayoub, susunan panitia ini menghalangi peluang Ali, yang menambahkan bahwa Umar mungkin melakukannya tanpa disadari.[62] Meski sependapat, namun Jafri tidak setuju, dia mengatakan bahwa Umar bermaksud menghalangi Ali tetapi tidak bisa begitu saja mengecualikannya dari persidangan.[63] Jafri menyatakan bahwa Umar dengan sengaja menghalangi peluang Ali dengan memberikan jabatan ketua komite kepada Abdurrahman, kemungkinan karena takut akan perselisihan dan kerusuhan sipil.[64] Dalam pandangan Jafri, masuknya Ali ke dalam komite sekaligus mengakui klaimnya,[65] menghalangi peluangnya,[65] dan menghilangkan kebebasannya untuk mencari cara menjadi khalifah secara mandiri.[64] Pada akhirnya, Utsman memenangkan pemilihan dan diangkat menjadi khalifah pada usia tujuh puluh tahun.[66][67][68]
Di bawah kepemimpinannya, kekhalifahan meluas ke Fars (sekarang Iran) pada tahun 650 dan beberapa wilayah Khorasan Raya (sekarang Afghanistan) pada tahun 651. Penaklukan Armenia juga dimulai pada tahun 640-an.[69]
Utsman mungkin paling dikenal karena membentuk panitia yang bertugas memproduksi salinan al-Qur'an berdasarkan teks yang telah dikumpulkan secara terpisah pada perkamen, tulang dan batu selama masa hidup Muhammad dan juga pada salinan al-Qur'an yang telah disusun oleh Abu Bakar dan dimiliki oleh Hafshah, salah satu janda Muhammad setelah kematian Abu Bakar.[70] Para anggota panitia juga adalah qari al-Qur'an dan telah menghafal seluruh teks selama masa hidup Muhammad, mereka dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.[71] Pekerjaan ini dilakukan karena ekspansi besar-besaran Islam di bawah pemerintahan Utsman, yang menemui banyak dialek dan bahasa yang berbeda. Hal ini menyebabkan variasi bacaan al-Qur'an bagi para mualaf yang tidak terbiasa dengan bahasa tersebut. Setelah mengklarifikasi kemungkinan kesalahan dalam pengucapan atau dialek, Utsman mengirim salinan teks suci ke setiap kota Muslim dan kota garnisun, dan menghancurkan berbagai versi mushaf yang dianggap menyimpang.[72][73]
Menurut sumber-sumber Sunni, tidak seperti Umar yang disiplin dan memerintah dengan tegas, Utsman kurang ketat dan cenderung lebih fokus pada kemakmuran ekonomi.[74] Di bawah Utsman, rakyat menjadi lebih makmur dan di bidang politik mereka menikmati tingkat kebebasan yang lebih besar. Tidak ada lembaga yang dirancang untuk menyalurkan aktivitas politik. Karena ketiaadaan lembaga tersebut, kecemburuan dan persaingan suku Arab pra-Islam yang berhasil ditekan di bawah khalifah sebelumnya muncul kembali.[75]
Perlawanan terhadap Utsman kemudian muncul karena keberpihakannya terhadap anggota keluarga dalam pemilihan gubernur, dengan alasan bahwa dengan melakukan ini, Utsman dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam menjalankan kekhalifahan. Utsman menjadikan sistem kapitalis sebagai sistem kekhalifahan. Namun, orang yang ditunjuknya malah memiliki kendali lebih besar atas bisnis negara daripada yang Utsman rencanakan.[76] Mereka melewati batas dengan memaksakan otoritarianisme atas provinsi mereka. Selain itu, campur tangan Utsman dalam urusan provinsi, yang terdiri dari pernyataannya atas tanah mahkota Irak sebagai aset negara, dan tuntutannya agar surplus provinsi diteruskan ke khalifah di Madinah, menimbulkan penentangan yang meluas terhadap pemerintahannya, terutama dari kalangan Irak dan Mesir, tempat sebagian besar tentara penaklukan menetap.[77] Sementara itu, banyak surat dari rakyat yang telah ditulis kepada para sahabat terkemuka Muhammad, mengeluh tentang dugaan tirani gubernur yang ditunjuk Utsman. Surat-surat dikirim ke para pemimpin opini publik di berbagai provinsi tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh keluarga Utsman. Hal ini menimbulkan keresahan di seluruh wilayah kekhalifahan dan menyebabkan Utsman sendirilah yang harus menyelidiki masalah tersebut dalam upaya untuk memastikan kebenaran rumor tersebut.[78]Wilferd Madelung menentang dugaan peran Abdullah bin Saba dalam pemberontakan melawan Utsman dan mengamati bahwa "hanya sedikit sejarawan modern yang mau menerima legenda tentang bin Saba."[79]
Menurut Bernard Lewis, "kelemahan dan nepotisme Utsman memuncakkan kebencian yang selama beberapa waktu dipendam secara samar-samar di antara para prajurit Arab. Tradisi Muslim menghubungkan kehancuran yang terjadi selama pemerintahannya dengan cacat pribadi Utsman. Namun, penyebabnya terletak jauh lebih dalam, yakni pada kegagalan Utsman untuk mengenali, mengendalikan, atau memperbaikinya."[80] Madelung juga mencatat bahwa Utsman telah menyebabkan sebagian besar kekhalifahan tunduk kepada Bani Umayyah.[81][82]
Pada akhirnya, penentangan terhadap kebijakan Utsman dimulai di Madinah. Para penentang Utsman mengumpulkan orang-orang dan mengadakan aksi demonstrasi untuk memprotes Utsman. Namun, aksi demonstrasi berubah menjadi pengepungan setelah salah satu demonstran terbunuh.[83] Masyarakat mengepung rumah Utsman selama empat puluh hari dan kemudian membunuhnya saat sedang membaca al-Qur'an pada 17 Juni 656. Mereka menusuk perutnya dan memukul kepalanya.[84]
Ali bin Abi Thalib (bahasa Arab: علي ابن أبي طالب, translit. ʿAlī ibn Abī Ṭālib) adalah sepupu dan menantu Muhammad.[85] Di Makkah, Ali muda adalah orang pertama yang memeluk Islam dari anak-anak dan orang yang menawarkan dukungannya ketika Muhammad pertama kali memperkenalkan Islam kepada kerabatnya.[86][87][88][89][90] Kemudian, dia memfasilitasi keamanan pelarian Muhammad ke Madinah dengan mempertaruhkan nyawanya sebagai umpan.[91][92][93][94][95] Saat tiba di Madinah, Ali bersumpah persaudaraan dengan Muhammad dan kemudian melamar putri Muhammad, Fatimah, dan menikahinya.[96][97][98]
Ali biasa bertindak sebagai sekretaris Muhammad di Madinah, dan menjabat sebagai wakilnya selama ekspedisi Tabuk.[99] Ali sering dianggap sebagai pejuang paling cakap dalam pasukan Muhammad dan keduanya adalah satu-satunya pria Muslim yang mewakili Islam melawan delegasi Kristen dari Najran.[100][101][102][103] Peran Ali dalam pengumpulan al-Qur'an, teks utama Islam, dianggap sebagai salah satu kontribusi utamanya.[104] Dalam Islam Syi'ah, Ali dianggap sebagai penerus sah Muhammad yang pengangkatannya diumumkan pada acara Ghadir Khum dan sebelumnya dalam misi kenabiannya.[105]
Tak lama setelah pembunuhan Utsman di Madinah, massa meminta kepemimpinan Ali dan pada awalnya ditolak.[106][107][108] Penjelasan Will Durant untuk keengganan awal Ali adalah bahwa, "sebagai orang yang genial dan dermawan, meditatif dan pendiam; dia (Ali) berusaha menghindar dari drama yang menggantikan agama dengan politik, dan pengabdian dengan intrik".[109] Dengan tidak adanya oposisi yang serius dan adanya desakan, terutama oleh Ansar dan delegasi Irak, Ali akhirnya disumpah (bai'at) pada tanggal 25 Dzulhijjah 35 H (656 M), dan Muslim memenuhi Masjid Nabawi hingga ke halamannya untuk berjanji setia kepadanya.[110][111][112]
Dikatakan bahwa Ali mewarisi masalah-masalah internal yang berat pada masa pemerintahan Utsman.[113][114] Setelah pengangkatannya sebagai khalifah, Ali memindahkan ibukotanya dari Madinah ke Kufah, kota garnisun Muslim di Irak saat itu.[115] Ali juga memberhentikan sebagian besar gubernur Utsman yang dianggapnya korup, termasuk Muawiyah bin Abu Sufyan, sepupu Utsman.[116][117] Di bawah Utsman yang lunak, Muawiyah telah membangun struktur kekuasaan paralel di Damaskus yang, menurut Madelung, mencerminkan despotisme kekaisaran Romawi Timur.[116][118][119] Setelah negosiasi antara mereka gagal, kedua belah pihak terlibat dalam perang saudara berdarah dan panjang, yang dikenal sebagai Fitnah Pertama.[120][121]
Pihak ketiga, Khawarij, memberontak dan akhirnya dibubarkan oleh Ali pada Pertempuran Nahrawan.[122] Setelah pertempuran, Khawarij yang tersisa memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan membunuh Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash, yang mereka anggap sebagai penyebab munculnya konflik.[123] Namun, dari ketiga target, hanya Ali yang berhasil dibunuh. Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam saat memimpin salat subuh di Masjid Kufah pada 28 Januari 661.[124][125]
Setelah pembunuhan Ali, putranya, Hasan, terpilih sebagai khalifah dan mengadopsi pendekatan serupa terhadap Muawiyah.[126][127][128] Namun, ketika Muawiyah mulai menyuap para komandan militer dan kepala suku, ekspedisi militer Hasan mengalami pembelotan dalam jumlah besar.[129][130][131] Setelah kehilangan seluruh harapannya, Hasan memilih untuk menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah.[131][132]
Penyatuan Arab di bawah satu negara terpusat dengan militer yang tangguh dapat dianggap sebagai ancaman potensial bagi kekaisaran Romawi Timur dan Sasaniyah yang bertetangga. Abu Bakar, mungkin dengan alasan bahwa penyerangan dari kedua pihak tersebut tidak dapat dihindari, memutuskan untuk melakukan serangan pertama sendiri. Pada tahun 633, pasukan kecil dikirim ke Irak dan Palestina, dan berhasil merebut beberapa kota. Meskipun Romawi dan Sasaniyah pasti membalas, Abu Bakar punya alasan untuk percaya diri: kedua kekaisaran tersebut telah kelelahan secara militer setelah berperang satu sama lain selama berabad-abad, sehingga pasukan pembalasan yang mungkin dikirim ke Arab akan lebih sedikit dan lebih lemah.[133]
Keuntungan yang lebih mendesak adalah keefektifan dari para pasukan Muslim. Semangat mereka masih membara karena didasarkan pada kepastian kebenaran tujuan mereka. Selain itu, keyakinan umum di kalangan umat Islam adalah bahwa masyarakat harus dipertahankan dengan segala cara.[133] Sejarawan Theodor Nöldeke berpendapat bahwa semangat keagamaan ini sengaja digunakan untuk menjaga semangat dan momentum umat.[134]
Meskipun konflik-konflik ini berakhir pada penaklukan Persia dan Suriah, Abu Bakar sendiri meninggal sebelum wilayah-wilayah tersebut jatuh ke tangan Islam, dan menyerahkan tugasnya kepada penerusnya, Umar.[133]
Selama pemerintahan Utsman, militer lebih bersifat otonom karena adanya delegasi otoritas militer kepada kerabatnya yang terpercaya, seperti Abdullah bin Amir, Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Abdullah bin Sa'ad, berbeda dengan kebijakan Umar yang lebih terpusat. Kebijakan yang lebih mandiri ini memungkinkan ekspansi yang lebih luas. Kekhalifahan Utsman berhasil menyentuh Sindh (sekarang Pakistan), daerah yang tidak tergapai pada masa jabatan Umar.[137]
Di sebelah timur, Ahnaf bin Qais, kepala Bani Tamim dan seorang komandan veteran, meluncurkan serangkaian ekspansi militer dengan terus mendesak pasukan Yazdegerd III di dekat Sungai Oxus di Turkmenistan.[143][144] Ahnaf lalu berhasil menghancurkan koalisi militer loyalis Kekaisaran Sasaniyah dan Kekaisaran Hephthalite di Pengepungan Herat.[143] Selain itu, gubernur Basrah, Abdullah bin Aamir juga memimpin sejumlah pergerakan militer yang berakhir sukses, mulai dari penumpasan pemberontakan di Fars, Kerman, Sistan, dan Khorasan, hingga pembukaan front baru untuk penaklukan di Transoksiana dan Afghanistan.[145]
Sejarawan Islam al-Baladzuri menulis dalam Fatuhul Buldan bahwa pada 652, Balochistan ditaklukkan kembali oleh kampanye militer melawan pemberontakan di Kermān, di bawah komando Mujasyi' bin Mas'ud. Untuk pertama kalinya Balochistan barat berada langsung di bawah hukum Kekhalifahan dan membayar upeti pertanian.[146][147]
Era Ali dan akhir masa penaklukan
Pada akhir masa kekhalifahan Utsman, muncul perselisihan mengenai versi mushaf al-Qur'an yang benar. Pada tahun 644, berbagai jenis mushaf diterima di Damaskus, Basra, Hims, dan Kufah.[148] Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, Khalifah Utsman memproklamirkan mushaf al-Qur'an yang dimiliki oleh salah satu janda Muhammad, Hafshah binti Umar sebagai versi yang pasti dan benar. Hal ini menyinggung beberapa Muslim yang berpegang pada versi saingannya.[148] Kontroversi tersebut, bersamaan dengan nepotisme Utsman terhadap klannya sendiri, Bani Umayyah, dalam penunjukan pejabat pemerintah, menyebabkan pecahnya pemberontakan di Madinah pada tahun 656, yang berakhir pada pembunuhan Utsman.[148]
Penerus Utsman sebagai Khalifah, menantu Muhammad, Ali, harus menghadapi perang saudara, yang dikenal oleh umat Islam sebagai Fitnah Pertama, ketika gubernur Suriah, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan janda Muhammad, Aisyah binti Abu Bakar, memberontak melawannya.[149] Selama periode ini, penaklukan Muslim berhenti, karena tentara Islam berbalik melawan satu sama lain.[149] Sebuah kelompok fundamentalis yang dikenal sebagai Khawarij memutuskan untuk mengakhiri perang saudara dengan membunuh para pemimpin kedua belah pihak.[149] Namun, fitnah berakhir pada Januari 661 ketika Khalifah Ali dibunuh oleh seorang Khawarij, yang memungkinkan Mu'awiyah menjadi Khalifah dan mendirikan dinasti Umayyah.[150]
Kebijakan sosial
Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar (atau Umar, menurut beberapa catatan) mendirikan Baitul Mal (perbendaharaan negara).[151] Umar memperluas perbendaharaan dan mendirikan gedung pemerintahan untuk mengelola keuangan negara.[151] Setelah penaklukan, dalam hampir semua kasus, para khalifah dibebani dengan pemeliharaan dan pembangunan jalan dan jembatan sebagai imbalan atas kesetiaan politik bangsa yang ditaklukkan.[152]
Kegiatan sipil
Kesejahteraan sipil dalam Islam dimulai dalam bentuk pembangunan dan pembelian sumur. Kekhalifahan memperbaiki banyak sumur tua di tanah yang mereka taklukkan.[153] Selain sumur, kekhalifahan juga membangun banyak kanal baru. Sementara beberapa kanal dikecualikan untuk digunakan oleh pendeta (seperti mata air yang dibeli oleh Thalhah) dan orang-orang yang membutuhkan. Sebagian besar kanal juga dibuka untuk penggunaan umum. Beberapa kanal dibangun di antara pemukiman, seperti kanal Saad yang menyediakan air ke Anbar dan Kanal Abi Musa untuk menyediakan air ke Basra.[154]
Selama kelaparan 638 M,[155]Umar bin Khattab memerintahkan pembangunan kanal di Mesir yang menghubungkan sungai Nil dengan laut. Tujuan terusan ini adalah untuk memfasilitasi pengangkutan biji-bijian ke Arab melalui jalur laut. Kanal itu dibangun dalam waktu satu tahun oleh Amr bin Ash. Abdus Salam Nadvi menulis bahwa "Arabia terbebas dari kelaparan sepanjang masa."[156] Setelah empat banjir melanda Makkah setelah kematian Muhammad, Umar memerintahkan pembangunan dua bendungan untuk melindungi Ka'bah. Dia juga membangun bendungan di dekat Madinah untuk melindungi air mancurnya dari banjir.[152]
Pemukiman
Pada masa pemerintahan Umar, tentara Muslim menemukan tempat yang cocok untuk membangun pangkalan militer di daerah Basrah. Daerah ini merupakan taklukkan umat Islam yang masih sangat jarang penduduknya sehingga dapat dibangun permukiman dan masjid.[157][158][159]
Selama penaklukan Mesir, wilayah Fustat digunakan oleh tentara Muslim sebagai pangkalan militer. Setelah penaklukan Aleksandria, umat Islam kembali dan menetap di daerah yang sama. Awalnya tanah tersebut digunakan untuk padang rumput, tetapi kemudian dibangun pemukiman.[160] Daerah lain yang sudah berpenduduk diperluas secara besar-besaran. Atas perintah Umar, Arfajah al-Bariqi membangun sebuah benteng, beberapa gereja, masjid, dan pemukiman bagi penduduk Yahudi di Mosul.[161] Pada masa kepemimpinan Utsman, Masjid Nabawi direnovasi dan beberapa bendungan dibangun.[162]
Pandangan Muslim
Pandangan Sunni
Dalam Islam Sunni, penerapan label "petunjuk yang benar" bagi para Khulafaur Rasyidin menandakan status mereka sebagai model yang tindakan dan pendapatnya (sunnah) harus diikuti dan diteladani dari sudut pandang agama.[163] Dalam pengertian ini, mereka "dibimbing dengan benar" atau "mendapatkan petunjuk."[164] Narasi tentang agama dan kehidupan mereka berfungsi sebagai pedoman keimanan yang benar.[163]
Kaum Sunni telah lama memandang periode Khulafaur Rasyidin sebagai sistem pemerintahan yang patut dicontoh dan ingin mereka tiru. Kaum Sunni juga menyamakan sistem kekhalifahan ini dengan kesuksesan duniawi yang dijanjikan oleh Tuhan, dalam al-Qur'an dan hadis. Bagi orang-orang Muslim yang mengejar keridhaan Tuhan, kesuksesan spektakuler ini semakin menambah daya tarik untuk mencontoh era Khulafaur Rasyidin.[165][166][167]
Namun, di sisi lain, dicatat juga bahwa dominasi orang Arab atas non-Arab selama pemerintahan Umar dan meluasnya nepotisme selama pemerintahan Utsman bertentangan dengan seruan Islam.[168][169]
Khalifah kelima
Beberapa penulis dan ulama Sunni menambahkan putra Ali, Hasan bin Ali sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima. Mereka yang berpegang pada versi ini beralasan bahwa Muhammad menetapkan rentang khilafah Rasyidin selama tiga puluh tahun dan Hasan telah menggenapi enam bulan sisa masa jabatan ayahnya.[170] Orang-orang yang mengemukakan pendapat ini di antaranya dalah Ibnu Katsir, Ibnul Arabi, dan Qadi Iyadh.[171] Sementara itu, ulama Sunni lain menambahkan Umar bin Abdul Aziz, khalifah Umayyah ke-8 sebagai Khalifah Rasyidin kelima.[172] Mereka mempertimbangkan bahwa kesalehan Umar serupa dengan kesalehan keempat Khalifah Rasyidin. Umar bin Abdul Aziz juga sering disamakan dengan khalifah kedua Umar bin Khattab dalam hal kesederhanaan dan ketegasan.[173]
Pandangan Syi'ah
Muslim Syi'ah menyatakan bahwa suksesi Muhammad diselesaikan oleh janji ilahi, bukan oleh konsensus.[174][175] Allah memilih penerus Muhammad dari keluarganya. Kondisi ini mirip dengan para nabi terdahulu yang disebutkan dalam al-Qur'an.[176] Dalam pandangan Syi'ah, seperti para nabi terdahulu dalam al-Qur'an,[176] Allah memilih penerus Muhammad dari keluarganya.[174][175] Secara khusus, Muhammad mengumumkan sepupu dan menantunya, Ali, sebagai penggantinya yang sah tidak lama sebelum kematiannya pada peristiwa Ghadir Khum, dan juga pada kesempatan lain, misalnya pada peristiwa Dzul Asyir.[105] Tentu saja, seperti iman itu sendiri, umat beriman diberkahi dengan kehendak bebas untuk tidak mengikuti Ali, yang merugikan mereka sendiri. Dalam pandangan Syi'ah, sementara wahyu langsung berakhir dengan kematian Muhammad, Ali tetap menjadi penuntun yang benar atau Imam menuju Tuhan, mirip dengan penerus nabi masa lalu dalam al-Qur'an.[175] Setelah kematian Muhammad, Ali mewarisi pengetahuan ketuhanan Muhammad dan otoritasnya untuk menafsirkan al-Qur'an dengan benar, terutama ayat-ayat alegoris dan metaforisnya ("mutasyabihat").[177][178]
Lini masa
Pergantian khalifah tidak selalu terjadi pada hari pertama tahun baru (Hijriyah maupun Masehi). Khalifah akan digantikan apabila meninggal dunia.[179] Khilafah dicapai dengan kesetiaan; orang-orang berba'iat (berjanji setia) kepada Khalifah dengan syarat mereka mengikuti tradisi (sunnah) Allah dan Rasul (Muhammad) dalam setiap keputusannya.[180] Jika Khalifah taat, maka kekuasaannya akan berlangsung seumur hidup.[181] Di era Kekhalifahan Rasyidin, tidak ada kepemimpinan kolektif negara dan Khalifah tidak memiliki wakil, wali, atau agen kecuali ketika terpaksa absen. Penggantinya akan mengurus urusan negara sampai sang khalifah kembali.[182]
^Heather N. Keaney (2013). Medieval Islamic Historiography: Remembering Rebellion. Sira: Companion- versus Caliph-Oriented History: Routledge. ISBN9781134081066. He also foretold that there would be a caliphate for thirty years (the length of the Rashidun Caliphate) that would be followed by kingship. [Dia juga meramalkan bahwa akan ada kekhalifahan selama tiga puluh tahun (jangka waktu Kekhalifahan Rashidun) yang akan diikuti oleh kerajaan].
^Hamilton Alexander Rosskeen Gibb; Johannes Hendrik Kramers; Bernard Lewis; Charles Pellat; Joseph Schacht (1970). "The Encyclopaedia of Islam". The Encyclopaedia of Islam. Brill. 3 (Parts 57–58): 1164.
^"شبكة الشيعة العالميَّة؛ الإمامة وأهل البيت: المستبصر الدكتور: محمد بيومي مهران - ج1 : ص 151. تاسعًا: إمامة المفضول". shiaweb.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-8-10. Diakses tanggal 2023-1-15. يقول ابن حزم : إن الخوارج والشيعة - ما عدا الزيدية - وقوم من المعتزلة ، يذهبون إلى أنه لا تجوز إمامة أحد ، إذا وجد من هو أفضل منه ، [Ibnu Hazm mengatakan: Kaum Khawarij dan Syi'ah - kecuali Zaidi - dan sebagian Mu'tazilah, berpandangan bahwa tidak boleh seorang pun memimpin umat, jika ada orang yang lebih baik darinya.]Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |archive-date= (bantuan)
^(Abbas 2021, hlm. 93): "According to Tabari, a group of Ansar meanwhile proposed Ali as the one most deserving to lead the community...The call was ignored....They would have reminded everyone about what the Prophet had said about Ali's status at Ghadir Khumm not too long ago." [Menurut ath-Thabari, sekelompok Anshar sementara itu mengusulkan Ali sebagai orang yang paling pantas untuk memimpin masyarakat... Seruan itu diabaikan.... Mereka akan mengingatkan semua orang tentang apa yang dikatakan Nabi tentang status Ali di Ghadir Khum tidak terlalu dahulu kala.]
^Bainbridge, Beryl (1985). Women and the Family in the Middle East. University of Texas Press. hlm. 256. ISBN9780292755291. Ali was expected to succeed Muhammad in the leadership of the Muslim community (ummah) following the Prophet's death in 632. [Ali diharapkan untuk menggantikan Muhammad dalam kepemimpinan komunitas Muslim (ummah) setelah kematian Nabi pada tahun 632.]
^(Abbas 2021, hlm. 95): "He emphasised his merits and kinship to the Prophet as proof supporting his claim to be the rightful successor to the Prophet." [Dia menekankan jasa dan kekerabatannya dengan Nabi sebagai bukti yang mendukung klaimnya sebagai penerus Nabi yang sah]
^Ahmed, Nazeer, Islam in Global History: From the Death of Prophet Muhammad to the First World War, American Institute of Islamic History and Cul, 2001, p. 34. ISBN0-7388-5963-X.
^"The Caliphate". Jewishvirtuallibrary.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-09. Diakses tanggal 2014-04-16.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ ab"موقع قصة الإسلام: إدارة عمر بن الخطاب" (dalam bahasa Arab). islamstory. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-16. Diakses tanggal 2023-02-12.Parameter |transtitle= yang tidak diketahui mengabaikan (|trans-title= yang disarankan) (bantuan)
^Book of the Thousand Nights and One Night, E. P. Mathers, p. 471
^ abcVidani, Peter (19 November 2012). ""Ameer al-Mu'mineen"". Umar ibn Al-Khattab (radiAllahu anhu) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-08-17.
^Asma Afsaruddin, Oliver (2009). "ʿUthmān ibn ʿAffān". Dalam John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford: Oxford University Press.
^Aadil, Mohammad Ilyas (2015). Hazrat Usman e Ghani. ASINB07LF74HJ3.Parameter |Publisher= yang tidak diketahui mengabaikan (|publisher= yang disarankan) (bantuan)
^G. Levi Della Vida; R.G. Khoury (2012). "ʿUt̲h̲mān b. ʿAffān". Dalam P. Bearman; Th. Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2nd). Brill. doi:10.1163/1573-3912_islam_COM_1315.
^Haj Manouchehri, Faramarz (2021). "ʿAlī B. Abī Ṭālib". Dalam Melvin-Koushki, Matthew; Bulookbashi, Ali A. Encyclopaedia Islamica. Brill Reference Online.
^Jeffry R. Halverson (27 Apr 2010). Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood, Ash'arism, and Political Sunnism. Palgrave Macmillan. hlm. 69. ISBN9780230106581.
^Cristoffel A. O. van Nieuwenhuijze (1997). Paradise Lost: Reflections on the Struggle for Authenticity in the Middle East. BRILL. hlm. 28. ISBN9789004106727.
^Helmy, Mustafa (2006). الخلافة [Al-Khilafah] (dalam bahasa Arab). Kotobarabia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-07. Diakses tanggal 2022-07-05.
Bibliografi
Abbas, Hassan (2021). The Prophet's Heir: The life of Ali ibn Abi Talib. Yale University Press. ISBN9780300252057.
Mikaberidze, Alexander (2011). Conflict and Conquest in the Islamic World: A Historical Encyclopedia, Volume 1. ABC-CLIO. ISBN9781598843361.
Miskinzoda, Gurdofarid (2015). "The significance of the ḥadīth of the position of Aaron for the formulation of the Shīʿī doctrine of authority". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 78 (1). doi:10.1017/S0041977X14001402.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)