Ikrimah bin Abu Jahal
Ikrimah bin Abu Jahal (Arab: عكرمة بن عمرو المخزومي) adalah salah seorang Sahabat Nabi. Ia adalah anak dari Abu Jahal sehingga termasuk kalangan bangsawan dari suku Quraisy. Ikrimah belum menjadi muslim pada masa Pertempuran Badar, Pertempuran Uhud hingga Pertempuran Khandaq. Ia menjadi muslim setelah Pembebasan Mekkah. Ikrimah ikut dalam peperangan melawan kaum murtad pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia wafat selama peperangan atas Musailamah al-Kazzab. Selama hidupnya, Ikrimah bin Abu Jahal mengadakan periwayatan hadis. Ia juga memberikan pendapat mengenai kata serapan di dalam Al-Qur'an serta persoalan mengenai tetangga dekat dan tetangga jauh. Masa JahiliahMasa Pertempuran BadarIkrimah merupakan anak dari Abu Jahal. Ia merupakan anggota dari suku Quraisy yang memiliki garis keturunan yang terhormat, dimuliakan dan kaya. Ketika Nabi Muhammad memulai dakwah Islam secara terang-terangan di Makkah, Ikrimah telah berusia tiga puluh tahun. Ikrimah dikenal sebagai orang yang berpandangan luas dan maju. Namun, ia menolak ajakan Nabi Muhammad untuk mengikuti ajaran Islam dan memusuhinya karena sikap keras dari ayahnya.[1] Ikrima merupakan salah satu pemimpin pasukan berkuda suku Quraisy.[2] Ia memiliki kemahiran dalam berkuda terutama dalam peperangan. Karena kepemimpinan ayahnya yang memusuhi Muhammad, ia turut menganiaya para sahabat nabi melalui penyiksaan yang kejam dan bengis. Abu Jahal telah mengadakan sumpah permusuhan atas kaum muslimin yang dipimpin oleh Nabi Muhammad ketika memimpin Pertempuran Badar. Sumpah ini menyertai nama Latta dan Uzza. Dalam sumpahnya, ia menyatakan bahwa dirinya tidak akan kembali ke Makkah sebelum melihat kemusnahan Nabi Muhammad dan pengikutnya. Dalam Pertempuran Badar, Ikrimah menjadi wakil pemimpin ayahnya. Namun, suku Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahal mengalami kekalahan dan Abu Jahal tewas akibat terjatuh setelah lembing menembus tubuhnya. Ikrimah menyaksikan secara langsung kematian ayahnya sambil melarikan diri.[1] Masa Pertempuran UhudPermusuhan Ikrimah kepada Islam dan muslimin yang awalnya hanya menuruti keinginan ayahnya, telah berubah sejak kematian ayahnya. Niat permusuhannya menjadi pembalasan dendam atas kematian ayahnya. Ikrimah bersama dengan orang lain yang senasib dengannya kemudian memulai permusuhan dengan dirinya selalu di barisan terdepan. Ketika Pertempuran Uhud dimulai, Ikrimah ikut bertempur bersama dengan istrinya yaitu Ummu Hakim binti al-Harits. Istrinya bergabung di barisan belakang bersama dengan para wanita suku Quraisy untuk menyemangati pasukan yang berperang. Ikrimah menjadi komandan kavaleri di barisan bagian kiri, sementara Khalid bin Walid menjadi komandan kavaleri di barisan bagian kanan. Mereka memperoleh kemenangan pada pertempuran ini.[3] Masa Pertempuran KhandaqPada saat Pertempuran Khandaq, Ikrimah menjadi salah satu anggota pasukan berkuda kaum Quraisy.[4] Ikrimah kemudian bergabung lagi dalam pengepungan kota Madinah oleh kaum musyrikin selama Pertempuran Khandaq. Setelah pengepungan berlangsung berhari-hari, ia menjadi tidak sabar dan menyerbu benteng Kaum Muslimin. Namun usahanya gagal dan ia melarikan diri karena serangan panah oleh kaum Muslimin.[3] Masa keislamanMasa Pembebasan MekkahKetika peristiwa Pembebasan Mekkah terjadi, penduduk Makkah dari kalangan suku Quraisy membiarkan Nabi Muhammad dan pasukan kaum Muslimin untuk memasukinya. Ini karena adanya perintah dari Nabi Muhammad kepada para panglimanya untuk tidak mengadakan peperangan kecuali bagi yang melawan. Ikrimah menolak keputusan ini dan mengajak orang yang sepaham dengannya untuk menyerbu pasukan kaum Muslimin. Perlawanan mereka diakhiri oleh pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Sebagian penyerbu ini tewas dan sebagian lainnya melarikan diri, termasuk Ikrimah.[3] Nabi Muhammad telah menetapkan Ikrimah sebagai salah satu yang akan menerima hukuman mati akibat perlawanannya. Sementara kaum Quraisy yang lainnya diberi pengampunan. Mengetahui dirinya akan dihukum mati, Ikrimah melarikan diri dari Makkah ke Yaman. Sementara Ummu Hakim bersama dengan 10 wanita suku Quraisy memohon pengampunan kepada Muhammad dan diterima, serta mengadakan baiat atasnya. Ummu Hakim juga meminta pengampunan atas Ikrimah dan diterima oleh Nabi Muhammad.[5] Ikrimah akhirnya menjadi muslim. Setelah beragama Islam, ia menjadi salah satu pejuang dan pembela Islam.[6] Ikrimah kemudian menjadi salah satu dari Sahabat Nabi.[7] Masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-ShiddiqSetelah wafatnya Nabi Muhammad, muncul tiga golongan pembangkang. Golongan pertama ialah orang-orang murtad. Golongan kedua ialah orang- orang yang enggan membayar zakat. Sedangkan golongan ketiga ialah nabi-nabi palsu. Golongan yang murtad muncul di Bahrain. Golongan yang tidak mau membayar zakat sebagian besar berada di Yaman, Yamamah dan Oman. Sementara nabi-nabi palsu muncul di beberapa tempat. Di Yaman, Aswad al-Ansi mengaku sebagai nabi. Di Yamamah, Musailamah al-Kazzab mengaku sebagai nabi. Di Arab Selatan, Thulaihah al-Asadi mengaku sebagai nabi. Terakhir, di Arabia tengah muncul Sajjah yang mengaku sebagai nabi.[8] Golongan-golongan tersebut menyeleweng ke arah kemurtadan . Karena itu, setelah bermusyawarah bersama dengan para Sahabat Nabi untuk menangani penyelewengan tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq memutuskan untuk memulai Perang Riddah untuk melawan kemurtadan.[9] Sebanyak sebelas kelompok pasukan dibentuk pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ikrimah bin Abu Jahal menjadi salah satu dari 11 pemimpin pasukan tersebut. Kesebelas pasukan ini kemudian dikirim ke berbagai wilayah Jazirah Arab.[10] Pasukan ini hanya diizinkan untuk menyerang orang-orang yang menolak untuk kembali pada kebenaran.[9] WafatIkrimah bersama dengan pasukannya ditugaskan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memerangi orang murtad di Yamamah.[11] Pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal bergerak untuk menyerang pasukan Musailamah al-Kazzab. Namun, pasukan Ikrimah dikalahkan dan berpencar mundur. Akibatnya, Ikrimah bin Abu Jahal wafat sebagai syahid.[12] Pendapat sebagai ulama dan Sahabat NabiKata serapan di dalam Al-Qur'anKata serapan di dalam Al-Qur'an merupakan salah satu topik yang para ulama berbeda pendapat mengenai keberadaan lafaznya. Dalam hal ini, pendapat ulama terbagi menjadi dua. Pendapat pertama menyatakan bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat lafaz yang bukan berasal dari bahasa Arab. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa di dalam Al-Qur'an tidak ada kata serapan. Ikrimah bin Abu Jahal merupakan salah satu yang mendukung pendapat pertama bersama dengan Abdullah bin Abbas, Mujahid bin Jabir, dan Abdullah bin Jubair. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian ahli fikih. Sementara pendapat kedua didukung oleh para ahli linguistik dengan dukungan dalil dari Surah Az-Zukhruf ayat 3, Surah Asy-Syuara ayat 195 dan Surah Fussilat ayat 44. Ketiga ayat ini saling mendukung pernyataan bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa Al-Qur'an, dengan sifat bahasa yang jelas dan mudah dipahami.[13] Tetangga dekat dan tetangga jauhPendapat para Sahabat Nabi mengenai tetangga dekat dan tetangga jauh terbagi menjadi dua kelompok. Pendapat pertama menyatakan bahwa tetangga dekat merupakan tetangga yang memiliki hubungan kekerabatan, sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa tetangga dekat adalah tetangga yang beragama Islam. Sedangkan tetangga jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi atau beragama Nasrani. Ikrimah bin Abu Jahal termasuk yang menyatakan pendapat yang pertama bersama dengan Ibnu Abbas, Mujahid, Maimun bin Mahran, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, Muqatil bin Hayyan, dan Qatadah. Sedangkan yang menyatakan pendapat kedua ialah Nauf Al-Bakkali yang kemudian diriwayatkan oleh Abu Ishaq.[14] Periwayatan hadisAbu Ammar al-Mawarzi menerangkan bahwa Ikrimah bin Abu Jahal tidak pernah meriwayatkan hadis-hadis mengenai keutamaan surah-surah tertentu di dalam Al-Qur'an. Keterangan ini dinyatakan olehnya ketika Abu Ismah Nuh bin Abu Maryam menisbatkan hadis-hadis mengenai keutamaan surah-surah tertentu di dalam Al-Qur'an kepada Ikrimah dan Ibnu Abbas. Akhirnya, Abu Ismah Nuh bin Abu Maryam mengakui bahwa hadis-hadis tersebut dan periwayatannya hanya karangannya agar masyarakat dapat mencintai Al-Qur'an. Pada masa kedua tokoh ini, masyarakat disibukkan dengan kajian fikih Abu Hanifah dan kajian sejarah yang ditulis oleh Abu Ishaq.[15] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar |