Pertempuran terjadi di daerah Al-Khuraybah di Bashrah.[24]
Latar Belakang
Semenjak awal kematian Muhammad, Ali yang merupakan anak dari pamannya Muhammad, Abu Thalib sudah merasa dirinya sebagai yang paling berhak menjadi penerus Muhammad dan Khalifah. Namun hal tersebut batal terjadi karena orang-orang justru berbai'at ke Abu Bakar.[25] Sehari setelah kematian Muhammad, Fatimah yang merupakan putri dari Muhammad dan istri dari Ali pun meminta kepada sang Khalifah, Abu Bakar sejumlah harta peninggalan Muhammad sebagai warisan untuknya. Harta yang dimaksud adalah Fa'i (harta yang diperoleh umat Muslim dari orang-orang kafir tanpa melalui perperangan) di Fadak dan Madinah, dan sisa dari Khumus (jatah seperlima dari total harta yang dijarah oleh umat muslim dari orang-orang kafir yang diperuntukan khusus untuk Muhammad) yang diperoleh dari Khaibar.[26]
Di saat masih hidup, Muhammad, beberapa saat setelah berhasil menaklukkan Khaibar, berniat untuk mengusir orang-orang kafir yang tersisa di sana, namun orang-orang Khaibar pun memohon agar mereka diperbolehkan untuk tetap tinggal dan mengurus kebun-kebun mereka dengan ganti separuh hasil panen-nya akan diberikan untuk Muhammad. Muhammad pun setuju dan mereka dibiarkan tinggal.[27] Mendengar adanya pertumpahan darah yang terjadi di Khaibar, orang-orang kafir di Fadak pun ketakutan dan bersegera mendatangi Muhammad, mengajukan bahwa mereka akan memberikannya juga separuh dari hasil panen mereka sebagai ganti mereka tidak diserang dan diusir dari kampung halaman mereka. Muhammad pun sepakat dan pemasukan tersebut eksklusif hanya untuk Muhammad seorang.[28]
Permintaan Fatimah akan harta-harta yang didapat oleh Muhammad tersebut akan tetapi ditolak oleh Abu Bakar, karena dirinya mengaku mendengar Muhammad berkata bahwa beliau tidak menurunkan harta warisan kepada keluarganya melainkan harta peninggalannya hanya untuk ummat, yang berarti dikelola oleh Abu Bakar, sang Khalifah. Tidak percaya, Fatimah pun marah dan tidak lagi berbicara kepada Abu Bakar sampai Fatimah meninggal dunia di usia mudanya beberapa bulan ke depan. Peristiwa di atas diakui sebagai shahih (benar/asli) di kalangan Sunni.[29]
Dalam riwayat yang terkenal di kalangan Syi'ah; Fatimah, setelah mendapatkan penolakan dari Abu Bakar tersebut lalu memberikan pidato di Masjid Nabawi mengklaim bahwa Abu Bakar telah melanggar Al-Qur'an dan Sunnah karena tidak mau memberikan dirinya harta warisan dari Muhammad, pidato ini kemudian terkenal sebagai Khotbah akan Fadak.[30][31][32] Dalam pidato itu Fatimah juga menganggap kekhalifahan Abu Bakar tidaklah sah, menyatakan bahwa suaminya, Ali lah yang seharusnya memegang jabatan tersebut dengan mengklaim kalau Muhammad sendiri lah yang menunjuknya.[33][34] Rumor bahwa Muhammad menunjuk Ali sebagai khalifah juga terdapat pada hadits kalangan Sunni, namun rumor tersebut dibantah oleh Aisyah, istri favorit Muhammad,[21][22] yang mengatakan bahwa dirinya lah yang mengasuh Muhammad di saat hari-hari terakhirnya, dan tidak pernah sekalipun dia mendengar hal tersebut keluar dari mulut Muhammad.[35]
Ali, Thalhah, Zubair dan sejumlah orang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar[36] pun berkumpul di rumah Fatimah. Namun ketika berita ini sampai ke telinga Abu Bakar dan Umar, Umar pun bersegera ke sana untuk menangkap Ali dan memaksanya berbai'at,[37] yang dalam prosesnya ditenggarai telah menyebabkan Fatimah keguguran dan meninggal dunia pada usia muda beberapa bulan setelahnya.[38][39][40] Ali yang tidak memiliki pilihan lain pun terpaksa berbai'at kepada Abu Bakar.[41] Ia juga terpaksa memberikan putrinya, Ummu Khultsum binti Ali, untuk dinikahi oleh Umar.[42] Umar terkenal akan sifat kerasnya, sebelumnya ia pernah melamar Fatimah, namun ditolak Muhammad dengan alasan kalau Fatimah masih terlalu muda.[43] Umar juga pernah melamar adik dari Aisyah, Ummu Khultsum binti Abi Bakr, yang mana juga ditolak oleh Aisyah, karena takut adiknya akan dianiaya.[44]
Pasca kematian Abu Bakar, dan Umar tewas dibunuh, Utsman pun menjabat sebagai Khalifah ke-3. Namun karena ketidak puasan terhadap pemerintahannya sejumlah pemberontakan oleh umat Muslim dari berbagai tempat pun bermunculan, yang berujung pada pembunuhan terhadap dirinya di tangan kelompok yang dipimpin Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan putra dari Abu Bakar dan saudara seayahnya Aisyah.[45] Setelah Utsman tewas, kubu pemberontak pun sebagian besarnya beralih ke Ali untuk menjadikannya Khalifah, dan Ali pun menerimanya. Ali lalu mengumpulkan sahabat-sahabat yang terkemuka dari almarhum Muhammad untuk berbai'at kepadanya. Namun beberapanya menunda, termasuk Thalhah dan Zubair yang padahal sebelumnya mendukung Ali ketika Abu Bakar masih menjabat. Seorang kaki tangan Ali, Malik al-Asytar menghunuskan pedangnya dan mengancam akan memenggal mereka, sehingga mereka terpaksa berbai'at.[46]
Di saat Ali akan pulang ke rumahnya, Thalhah, Zubair dan sejumlah umat muslim lainnya meminta kepada Ali supaya para pemberontak dan pembunuh Utsman agar dihukum. Namun Ali berdalih bahwa para pemberontak itu lah yang lebih berkuasa pada saat itu, sehingga orang-orang mesti mengikuti apa kata mereka, termasuk menjadikan Ali sebagai Khalifah. Orang-orang mulai curiga bahwa Ali berkomplot atau mengayomi para pembunuh Utsman. Thalhah dan Zubair pun meninggalkan Madinah menuju Makkah, di mana mereka menemukan sekutu yang kuat, yakni Aisyah, yang permusuhannya terhadap Ali terdokumentasi dengan baik.[47]
Aisyah adalah istri favorit Muhammad dan bergelar ibu dari orang-orang yang beriman.[21][22] Setelah mengetahui kalau Ali menjadi Khalifah, Aisyah, yang sebelumnya diketahui ikut menghasut pemberontakan terhadap Utsman pun memanfaatkan fakta bahwa Ali ditunjuk menjadi Khalifah oleh para pemberontak dan pembunuh Utsman untuk membangkitkan amarah orang-orang Makkah untuk membalaskan kematian Utsman, saudara sekota mereka.[48] Aisyah, Thalhah dan Zubair menuntut agar Ali digulingkan dan membentuk sebuah dewan untuk menunjuk penggantinya, yang kemungkinan adalah Thalhah atau Zubair.[49] Ketiganya bergabung dengan rekan-rekan Utsman, termasuk Marwan, dan mantan pejabat lainnya yang tidak puas akan pemerintahan Ali.[50] Makkah pun dengan cepat menjadi sarang pemberontakan melawan Ali.[51]
Persiapan
Ibnu Abbas, yang merupakan sepupu dari Ali, memperingatkannya bahwa Umayyah (klan-nya Utsman) akan mencari Ali dan meminta pertanggung jawaban atas pembunuhan Utsman. Muawiyah (sepupu Utsman) sudah dipercayakan untuk menjadi Gubernur Suriah semenjak masa pemerintahan Umar. Ali pun menyuruh Ibnu Abbas ke Suriah, karena Ali telah berkeputusan menjadikannya sebagai gubernur di sana. Namun, Ibnu Abbas menganggap itu bukanlah langkah yang cerdas, karena dirinya pasti akan dibunuh atau paling tidak dijebloskan ke penjara oleh Muawiyah karena selain merebut jabatannya juga karena memiliki asosiasi dengan si pembunuh Utsman.[52] Ali pun diberi nasihat oleh ibnu Abbas dan al-Mughirah untuk mempertahankan terlebih dahulu Muawiyah karena Muawiyah adalah orang yang berani dan rakyatnya mendengar apa katanya, namun Ali menolak dan berkata bahwa dirinya tidak akan memberikan Muawiyah apapun selain pedangnya.[53]
Ketika Ali sedang sibuk meyakinkan orang-orang Madinah untuk berperang bersamanya untuk melawan Muawiyah, datanglah berita bahwa Aisyah, Thalhah dan Zubair bersama orang-orang Makkah sedang mengumpulkan pasukan untuk menghadapinya.[54] Upaya perang mereka didanai oleh orang-orang kaya Makkah, seperti Umayyah Yala bin Munya, mantan gubernur Utsman yang tidak puas.[55] Terdapat suatu riwayat bahwa ketika dalam perjalanannya, Aisyah mengaku mendengar gonggongan anjing, ia pun menanyakan pada mata air apa saat itu mereka berada. Salah satu orang menjawab al-Hawab. Aisyah pun berbalik dan berkata kalau dirinya pernah mendengar Muhammad bersabda, "Akan datang hari di mana anjing-anjing Hawab akan menggonggong salah seorang di antara kalian, dan pada hari itu dia sedang berada dalam kesesatan yang nyata.” Namun demikian, Zubair pun berkata, kalau, "Siapapun yang berkata kalau tempat ini bernama Hawab dia telah berbohong."[56] Riwayat ini cukup kontradiktif dengan riwayat-riwayat dalam Shahih Muslim di mana Muhammad pernah memerintahkan pembantaian terhadap anjing karena malaikat Jibril berkata kepadanya bahwa malaikat tidak masuk rumah yang ada anjingnya,[57] dan tidak pula menemani para pejalan yang bersamanya terdapat anjing.[58] Telah tercatat pula adanya perselisihan internal antara Thalhah dan Zubair yang berebut dominasi, misalnya, dalam memimpin shalat.[59]
Setibanya di Basra, para pemberontak menemukan bahwa orang-orang Basra, meskipun terpecah belah, secara general mereka loyal kepada Ali, yang sebelumnya telah memecat gubernur korupnya Utsman.[60] Setelah pertarungan sengit yang menimbulkan banyak korban jiwa, kedua belah pihak menyetujui gencatan senjata hingga Ali datang, dan pasukan pemberontak pun berkemah di luar Basra.[61] Menunggu Ali jelas tidak menguntungkan bagi para pemberontak yang kemudian menyerbu kota itu pada malam hari, menewaskan puluhan orang dan akhirnya menguasai Basra. Gubernur Basra pun disiksa dan kemudian dipenjara.[62]
Setelah berita tersebut sampai kepada Ali, ia pun bersegera meninggalkan Madinah menuju Basra bersama pasukan kecil. Ali juga mengirim anaknya, yakni Hasan, untuk mengumpulkan dukungan dari orang-orang Kufah, yang bertemu dengannya di luar Basra. Kedua pasukan, masing-masing dengan sekitar puluhan ribu pasukan, berkemah di depan satu sama lain.[63] Sebuah tenda ditegakkan di tengahnya untuk Ali, Thalhah dan Zubair bernegosiasi selama tiga hari. Meskipun detailnya tidak pasti, namun beberapa sumber mengklaim bahwa Ali mengingatkan Zubair tentang insiden ketika mereka masih kecil di mana Muhammad memprediksi bahwa Zubair pada suatu saat akan secara tidak adil memerangi Ali.[64]
Menurut Madelung, di saat negosiasi tersebut, kubu Aisyah meminta Ali turun dari jabatannya dan agar dibentuknya sebuah dewan syura untuk memilih penerusnya, kemungkinannya antara Thalhah atau Zubair.[65] Sebagai respons atas tuduhan mengenai Utsman, Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair akan usahanya dulu dalam menyelematkan Utsman dan bagaimana Thalhah dan Aisyah yang pada awalnya justru menghasut kekerasan terhadap Utsman.[66] Upaya Ali yang meminta supaya orang-orang agar menahan diri dan peran utama Thalhah dan Aisyah dalam menentang Utsman tercatat dengan baik.[67]
Negosiasi yang dilakukan gagal setelah tiga hari dan kedua belah pihak bersiap untuk berperang.[68] Menurut Madelung, cerita populer tentang suksesnya negosiasi tersebut adalah murni hanyalah fiksi. Cerita ini mengklaim bahwa pembunuh Utsman mensabostasi negosiasi tersebut dan memprovokasi timbulnya perang.[69]
Pertempuran
Setelah tiga hari perundingan yang sia-sia, pertempuran dimulai pada siang hari di bulan Desember tahun 656 Masehi.[70] Dalam upaya terakhir untuk menghindari perang, Ali memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mengangkat salinan al-Quran di antara garis pertempuran dan menyerukan isinya.[71] Ketika ia ditembak dan dibunuh oleh tentara pemberontak, Ali memberi perintah untuk maju.[71]Aisyah dipandu ke medan pertempuran, mengendarai unta merah, yang menjadi nama perang tersebut, dengan kanopi lapis baja.[72] Aisyah kemungkinan besar adalah penggalang kekuatan tentara pemberontak, mendorong mereka untuk bertempur dengan teriakan tempur untuk membalaskan dendam Utsman.[73]
Pertempuran berlangsung sengit namun singkat.[74] Baik Thalhah dan Zubair terbunuh tak lama kemudian. Thalhah dibunuh oleh Marwan dari Bani Umayyah, seorang pemberontak terkenal lainnya, yang kemudian mengatakan kepada putranya Utsman bahwa dia telah membereskan salah satu pembunuh Utsman untuknya.[75] Meskipun Thalhah memang pernah memimpin perlawanan terhadap Utsman, namun ada dugaan bahwa motif Marwan dalam membunuh Thalhah adalah untuk membebaskan Muawiyyah dari penantang serius untuk kekhalifahan. Setelah pertempuran, Marwan bergabung dengan pemerintahan Muawiyyah di Damaskus sebagai penasihat senior.[76]
Zubair, seorang prajurit yang berpengalaman, hengkang tak lama setelah pertempuran dimulai.[77] Madelung dan Veccia Vaglieri berpendapat bahwa sepertinya ada kebimbangan yang serius di dalam hati Zubair tentang keadilan perjuangan Aisyah yang menyebabkan Zubair membelot.[78] Al-Ahnaf bin Qays, seorang pemimpin Bani Sa'd yang tetap berada di pinggir pertempuran, mengetahui tentang membelotnya Zubair.[79] Bin Qays kemudian mengirim anak buahnya untuk memburu dan membunuh Zubair, kemungkinan besar karena tindakan tidak terhormat Zubair yang meninggalkan rekan-rekannya sesama Muslim di belakang dalam perang saudara di mana dia ikut bertanggung jawab.[80]
Dengan kematian Thalhah dan Zubair, nasib pertempuran telah tersegel meskipun Aisyah menolak untuk meninggalkan medan perang.[81][82][83] Satu per satu, prajurit Aisyah melangkah untuk memimpin pasukan unta, dan satu per satu, mereka terbunuh. Dengan tidak adanya pertempuran lagi yang dapat dipertarungkan, pihak Ali dilaporkan memohon kepada pihak Aisyah untuk menyerah. Pembantaian terhadap anak buah Aisyah berhenti hanya ketika pasukan Ali berhasil membunuh untanya Aisyah dan menangkap Aisyah, yang oleh Muhammad diberi gelar Ummul Mukminin (Ibu dari orang-orang beriman).[84] Puisi-puisi yang selamat tentang pertempuran tersebut menggambarkan tragedi itu:[85]
Wahai Ibu kami, ibu yang paling tidak berperasaan yang kami kenal. Tidakkah Engkau melihat betapa banyak orang yang gagah berani tewas terbunuh, tangan dan pergelangan tangan mereka dibuat kesepian?
Ibu kami menuntun kami untuk minum di kolam kematian. Kami tidak beranjak pergi sampai rasa haus kami padam. Ketika kami menurutinya, kami kehilangan akal sehat kami. Ketika kami membelanya, kami tidak mendapatkan apa-apa selain rasa sakit.
Akibat
Pemaafan atas Aisyah
Dengan mempertimbangkan bahwa Aisyah adalah istri favorit Muhammad, dan menzaliminya akan mendatangkan kemurkaan Allah dan rasulnya, Aisyah pun diperlakukan dengan hormat dan untuk sementara ditempatkan di Basra.[81] Namun demikian, baik Ali dan perwakilannya, Ibnu Abbas, menegur keras Aisyah atas kerusakan yang telah dia sebabkan.[86][87] Ali memerintahkan saudara seayahnya Aisyah, yakni Muhammad bin Abu Bakar yang menjadi salah satu pemeran utama dalam pembunuhan Utsman,[88][89] untuk mengawal Aisyah kembali ke Makkah.[90] Berbagai sumber menyatakan bahwa Aisyah berduka cita akan kematian orang-orang dekatnya karena peristiwa tersebut.[91]
Perlakuan terhadap Aisyah dipandang oleh sarjana Syi’ah, Shah-Kazemi sebagai contoh kemurahan hati Ali.[92] John Cappucci menulis bahwa setelah kekalahannya, Aisyah pun mengakui kekhalifahan Ali.[93] Pandangannya tentang Ali mungkin tidak berubah, kata Madelung.[94] Aisyah hanya terlibat dalam beberapa peristiwa politik kecil untuk selanjutnya.[93] Kekalahannya mungkin dikutip untuk mencegah wanita Muslim abad pertengahan terlibat dalam politik.[95]
Pengampunan Umum
Dengan menyatakan bahwa mereka yang dikalahkan adalah orang-orang muslim yang taat dan bukanlah murtadin, Ali mengumumkan pengampunan publik setelah peperangan tersebut.[96] Dia dikatakan melarang anak buahnya untuk menyakiti umat muslim yang menjadi tawanan, yang terluka, yang membelot dan yang kabur dari perperangan tersebut. Para tawanan dibebaskan, perempuan-perempuan dan anak-anak dari kaum mereka tidak diperbudak dan hanya persenjataan dan binatang lah yang menjadi harta rampasan. Ali pun memberikan uang dari pembendaharaan Basra sejumlah 500 dirham kepada tiap pasukannya sebagai gantinya.[97] Namun hal ini menimbulkan kekecewaan di sebagian pasukan Ali, karena menurut mereka Ali telah merampas hak-hak mereka untuk memperoleh harta rampasan dan memperbudak perempuan-perempuan dan anak-anak dari pihak muslim yang dikalahkan yang mana hal itu merupakan norma dalam Islam ketika mengalahkan suatu kaum.[98][81] Ali juga disebut pernah mengatakan bahwa bila mereka ngotot agar Aisyah diperbudak, maka mereka harus melakukan pengundian untuk menentukan siapa yang akan mendapatkannya.[98]
Pengampunan ini juga diperluas kepada para pemberontak kelas kakap seperti Marwan bin al-Hakam dan putra-putra Utsman, Thalhah, dan Zubair.[99] Menurut Madelung, Ali bertanya kepada mereka apakah dirinya bukan orang yang paling dekat dengan Muhammad dan yang paling berhak atas kepemimpinan setelah kematian Muhammad. Dia kemudian membiarkan mereka pergi setelah mereka memohon pengampunan dan berbai'at kepada Ali. Sebuah laporan yang berbeda menyatakan bahwa Marwan yang tetap membangkang tetap dilepaskan tanpa berbai'at kepada Ali.[100] Marwan segera bergabung dengan musuh Ali, Muawiyah, setelah pertempuran.[76]
Kufah dan Ibukota de facto
Sebelum meninggalkan Basra, Ali menegur warganya karena melanggar sumpah setia dan memecah belah masyarakat. Dia kemudian menunjuk Ibnu Abbas sebagai gubernur Basra setelah menerima janji baru mereka.[101][81] M.A. Shaban menambahkan bahwa Ali membagi dana perbendaharaan secara merata di Basra,[102] yang tetap menjadi surga selama bertahun-tahun bagi sentimen pro-Utsman.[103][104] Ali segera berangkat ke Kufah,[101] dan tiba di sana pada bulan Desember 656 atau Januari 657. Ia menolak tinggal di kastil gubernur, menyebutnya qasr al-khabal (terj. har.''kastil korupsi''), dan malah tinggal bersama keponakannya Ja'da bin Hubairah.[105] Kufah dengan demikian menjadi basis aktivitas utama Ali selama kekhalifahannya.[103][106] Dengan langkah ini, elit Madinah secara permanen kehilangan otoritas mereka atas komunitas Muslim, kata Maria M. Dakake.[107] Kennedy juga menyoroti kerugian strategis Madinah, mengatakan bahwa Madinah jauh dari pusat populasi Irak dan Suriah, dan sangat bergantung pada pengiriman biji-bijian dari Mesir.[108] Kufah tetap menjadi pusat utama Islam Syiah sampai pertengahan abad kedua Hijriyah (pertengahan abad kedelapan), ketika Baghdad didirikan.[109]
Ali dibunuh tidak lama berselang selama berlangsungnya konflik dengan Muawiyah. Namun bukan pihak Muawiyah lah yang membunuhnya, melainkan adalah orang-orang yang awalnya menjadi pasukannya sendiri, yakni muslim-muslim yang dilabeli Khawarij karena kemudian keluar dari kalangannya, diakibatkan kebijakan Ali yang mereka anggap telah melenceng dari Islam yang lurus. Salah satu pembunuh Ali, yakni Ibnu Muljam diketahui ingin menikahi perempuan yang meminta kepadanya agar membalaskan dendam orang tua perempuan tersebut yang dibunuh pasukan Ali ketika Pertempuran Nahrawan, meski sebelum mendengar permintaan tersebut, Ibnu Muljam telah punya niatan ingin membunuh Ali. Perempuan itu pun menyuruh orang dari sukunya, yang bernama Waddan untuk membantu Ibnu Muljam dalam membunuh Ali.[110]
Ketika mendengar kabar terbunuhnya Ali, Aisyah dilaporkan melemparkan tongkatnya dan bersantai di tempat duduknya seperti seorang pengembara yang bahagia ketika pulang ke rumahnya. Sewaktu diberi tahu kalau yang membunuh Ali adalah orang dari Murad, Aisyah berkata: "Meskipun dia jauh, telah mengumumkan kematiannya seorang pemuda [ghulam] yang mulutnya tiada berdebu (memiliki perkataan yang benar)." Ketika ditanya oleh Zainab binti Abu Salamah, apakah Aisyah sedang berbicara tentang Ali, Aisyah berkata, "Aku pelupa, dan jika aku lupa ingatkan aku."[111]
^ abcIbnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir - QS 4:128. hlm. 421 – 422. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-21. Diakses tanggal 2022-07-07.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. (1994). Volume 14: The Conquest of Iran, pp. 101-102. Albany: State University of New York Press.
^al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of Tabari - vol 15. hlm. 190–191. Archived from the original on 2022-07-26. Diakses tanggal 2022-07-25.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. The History of Tabari, vol 15. hlm. 190–191. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25-7-2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |archive-date= (bantuan)
Nasr, Seyyed Hossein; Afsaruddin, Asma (2021). "Ali". Encyclopedia Britannica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-18. Diakses tanggal 2023-02-28.
Tabatabai, Muhammad Husayn (1977). Shi'ite Islam. Diterjemahkan oleh Nasr, Hossein. State University of New York Press. ISBN9780873952729.
Cappucci, John (2014). "'A'ISHA (614-678)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God. 1. ABC-CLIO. hlm. 18–20. ISBN9781610691789.
Spellberg, Denise A. (2006). "'A'ISHA BINT ABI BAKR". Dalam Meri, Josef W. Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. 1. Psychology Press. ISBN9780415966900.
Veccia Vaglieri, Laura (1970). "THE PATRIARCHAL AND UMAYYAD CALIPHATES". Dalam Holt, Peter M.; Lambton, Ann K.S.; Lewis, Bernard. The Cambridge History of Islam. 1. Cambridge University Press. hlm. 57–103.
Hinds, Martin (1972). "The Murder of the Caliph'Uthman". International Journal of Middle East Studies. 3 (4): 450–69. doi:10.1017/S0020743800025216.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Levi Della Vida, G.; Khoury, R.G. (2012). "ʿUt̲h̲mān b. ʿAffān". Dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W.P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). doi:10.1163/1573-3912_islam_COM_1315. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-12-29. Diakses tanggal 2023-02-28.
Wellhausen, Julius (1927). The Arab Kingdom and Its Fall. Diterjemahkan oleh Weir, Margaret G. University of Calcutta.
Petersen, Erling L. (2008). Ali and Mu'awiya in Early Arabic Tradition: Studies on the Genesis and Growth of Islamic Historical Writing Until the End of the Ninth Century. Diterjemahkan oleh Christensen, P. Lampe. Acls History E Book Project. ISBN9781597404716.Parameter |orig-date= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Poonawala, I.K. (1982). "ʿALĪ B. ABĪ ṬĀLEB I. Life". Encyclopaedia Iranica (edisi ke-Online). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-04-29. Diakses tanggal 2023-02-28.
Gleave, Robert M. (2008). "ʿAlī b. Abī Ṭālib". Dalam Fleet, Kate; Krämer, Gudrun; Matringe, Denis; Nawas, John; Rowson, Everett. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Third). doi:10.1163/1573-3912_ei3_COM_26324. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-12-29. Diakses tanggal 2023-02-28.
Veccia Vaglieri, L. (2012a). "ʿAlī b. Abī Ṭālib". Dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W.P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). doi:10.1163/1573-3912_islam_COM_0046. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-12-29. Diakses tanggal 2023-02-28.
Veccia Vaglieri, L. (2012b). "al-D̲j̲amal". Dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W.P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). doi:10.1163/1573-3912_islam_SIM_1962. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-12-29. Diakses tanggal 2023-02-28.
Veccia Vaglieri, L. (2012c). "al-As̲h̲ʿarī, Abū Mūsā". Dalam Bearman, P.; Bianquis, Th.; Bosworth, C.E.; vanDonzel, E.; Heinrichs, W.P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). doi:10.1163/1573-3912_islam_SIM_0781. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-12-29. Diakses tanggal 2023-02-28.