Sebanyak sebelas wanita dipastikan telah menikah dengan Muhammad, pendiri sekaligus nabi utama dalam agama Islam. Sebagai bentuk penghormatan, Muslim menyebut masing-masing istri ini dengan gelar Ummul Muʼminin (bahasa Arab: أم ٱلْمُؤْمِنِين, terj. har.'Ibu Orang-orang yang Beriman'), yang diambil dari 33:6 dari Quran.[2]
Pada umur 25 tahun, Muhammad menikahi majikan kayanya, Khadijah yang pada saat itu berusia 40 tahun.[4][5][6] Pernikahan ini merupakan pernikahan pertama Muhammad dan satu-satunya yang mana ia tidak berpoligami. Muhammad kerap bergantung pada Khadijah dalam berbagai kesempatan, sampai wafatnya Khadijah 25 tahun kemudian.[7][8] Mereka dikaruniai dua anak laki-laki bernama Qasim dan Abdullah (masing-masing dijuluki Ath-Thahir dan Ath-Thayyib),[9] yang mana keduanya meninggal muda, dan empat anak perempuan yaitu Zaynab, Ruqaiyah, Ummu Kulthum dan Fatimah. Para ulama Syiah membantah bahwa ketiga anak perempuan Khadijah selain Fatimah merupakan anak dari Muhammad, mengatakan bahwa mereka adalah anak dari pernikahan Khadijah sebelumnya.[10] Ketika pernikahannya dengan Muhammad, Khadijah membeli seorang budak bernama Zayd bin Haritsah, yang mana kemudian diadopsi sebagai anak angkat mereka.[11]Abu Thalib dan Khadijah meninggal pada tahun yang sama. Muhammad mendeklarasikan bahwa tahun tersebut sebagai tahun kesedihan (Aam ul-Huzn).[12]
Muhammad menikahi Saudah setelah wafatnya Khadijah dalam bulan itu juga, Ramadhan, tahun ke-10 pasca kenabiannya, 3 tahun sebelum Hijrah.[13][14] Ayah Saudah masih hidup ketika Muhammad menikahinya.[15] Saudah wafat setelah 57 tahun dirinya menikah dengan Muhammad, yaitu pada bulan Syawwal tahun ke-54 Hijriyah.[16]
Saudah dikenal sebagai perempuan bijak dan penyayang. Ketika ia mulai tua, ia rela memberikan hari-hari gilirannya untuk bersama Muhammad kepada Aisyah yang merupakan istri favorit Muhammad,[17][18] demi menyenangkan Muhammad dan supaya dirinya tidak jadi diceraikan oleh Muhammad.[19][20]
Saudah adalah istri Muhammad yang terlibat langsung dalam peristiwa sebab turunnya ayat hijab. Sebelum datangnya perintah dari Allah untuk berhijab, istri-istri Muhammad tidaklah berhijab, dan tidak pula ia perintahkan mereka berhijab. Namun Umar bin Khattab, sahabat Muhammad yang mempunyai karakter keras, mendatangi Muhammad, menyarankannya agar menghijabi istri-istrinya. Akan tetapi Muhammad tidak mengindahkan usulannya. Di zaman Muhammad, jika istri-istrinya ingin buang air besar, mereka keluar pada waktu malam menuju tempat buang hajat yang berupa tanah lapang dan terbuka bernama Al-Manasi. Mengetahui hal tersebut, Umar yang begitu antusias agar ayat hijab diturunkan pun menunggu ketika salah seorang istri Muhammad akan buang air besar, yang mana pada saat itu adalah Saudah, lalu Umar berseru kepadanya, "Sungguh kami telah mengenalmu wahai Saudah!". Takut akan hal itu terulang, Saudah pun melaporkan hal tersebut kepada Muhammad. Dan tidak lama berselang ayat hijab pun diturunkan. Dan istri-istri Muhammad kembali diizinkan untuk buang air besar.[21][22][23]
Muhammad dua kali bermimpi kalau Aisyah dibawakan oleh Malaikat untuk menjadi jodohnya.[24][25] Menganggap itu adalah ketentuan dari Allah yang harus dijalankan, Muhammad pun meminta kepada ayahnya Aisyah, yaitu Abu Bakar, untuk memberikan putrinya demi menjadi istri Muhammad. Abu Bakar awalnya keberatan akan hal itu, dikarenakan menurutnya, Muhammad dan dirinya adalah saudara. Namun setelah diyakinkan bahwa dirinya dan Muhammad hanya saudara dalam agama, dan Aisyah adalah halal untuk dinikahi oleh Muhammad, rasa ragu di dalam hati Abu Bakar pun terangkat.[26]
Aisyah dinikahi oleh Muhammad ketika Aisyah berumur 6 atau 7 tahun,[27][28][29] dan di saat itu Muhammad berumur berumur 50 tahun.[30] Namun Aisyah baru diantarkan ke rumah Muhammad dan dicampurinya di saat Aisyah sudah berumur 9 tahun,[31] dikarenakan pada selang waktu tersebut Aisyah sakit dan rambutnya rontok.[32]
Hal ini diriwayatkan secara mutawatir (secara massal) di dalam Kutubus Sittah yang merupakan 6 kitab hadits utama Islam, sehingga tidak ada keraguan di dalamnya.[33][34][35]
Hafshah berusia sekitar 19 tahun ketika Muhammad menikahinya.[36][37] Ia adalah putri dari Umar bin Khattab yang merupakan sahabat Muhammad dan salah satu orang terkaya dari suku Quraisy.[38] Saking kayanya Umar, sampai-sampai bila Hafshah ingin meminta sesuatu, Umar menyuruhnya agar tidak meminta kepada Muhammad, melainkan meminta kepada dirinya saja.[39]
Sebelumnya, Hafshah mempunyai suami bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmiy namun meninggal ketika ikut berperang pada pertempuran Badar. Umar pun pergi menawarkan Hafshah kepada Utsman bin Affan. Yang mana Utsman tidak bisa menjawab langsung, sehingga ia meminta Umar menunggu beberapa hari. Setelah lewat beberapa hari, Utsman pun mendatangi Umar dan berkata bahwa dirinya berkesimpulan saat itu bukan waktunya untuk dirinya menikah. Maka Umar pun pergi menawarkan anaknya ke Abu Bakar. Namun Abu Bakar tidak kunjung memberikan jawaban, sehingga membuat Umar marah. Beberapa hari kemudian, Muhammad meminta Hafshah untuk dinikahkan dengannya. Tidak lama berselang, Abu Bakar pun menemui Umar dan menceritakan kalau sebenarnya dirinya akan senang hati menikah dengan Hafshah akan tetapi tidak memberikan jawaban pada saat itu karena ia tahu bahwa Muhammad menginginkan Hafshah.[40][41]
Hafshah dan Aisyah menjadi bagian dari pusat insiden yang menyebabkan Muhammad tidak mengunjungi istri-istrinya selama sebulan, dan turunnya ayat-ayat yang berisi ancaman dari Allah SWT kepada mereka, bahwa Muhammad bisa saja menceraikan mereka semua dan menggantikan mereka dengan istri-istri yang lebih baik. Ini dikarenakan Aisyah dan Hafshah telah membocorkan kepada istri-istri Muhammad yang lain perihal sesuatu perbuatan Muhammad (yang Muhammad minta agar mereka berdua rahasiakan), yang mana perbuatan ini sebenarnya adalah halal di mata Allah SWT namun terpaksa Muhammad haramkan pada saat itu dikarenakan ia ingin mencari kesenangan istri-istrinya.[39][42]
Zainab binti Khuzaimah berasal dari klan kaya Banu Hilal. Ia berusia sekitar 30 tahun ketika dinikahi oleh Muhammad. Ia dijuluki “Ummul Masakin" (ibu orang-orang miskin) karena komitmennya dalam membantu orang-orang miskin. Sebelum dinikahi oleh Muhammad, ia mempunyai suami Ubaidah bin Al-Harits, tetapi tewas pada pertempuran Badar. Muhammad melamarnya pada bulan ke-31 pasca hijrah, akan tetapi Zainab meninggal 8 bulan kemudian.[43]
Hindun berusia sekitar 28 tahun ketika dinikahi oleh Muhammad.[44][45] Dia berasal dari klan Mughirah yang merupakan salah satu klan terkaya dari suku Quraisy.[46][47] Ia memiliki kunya atau nama panggilan Ummu Salamah, karena ia mempunyai anak bernama Salamah. Sebagaimana Muhammad yang kerap dipanggil Abul Qasim karena mempunyai anak bernama Qasim yang meninggal di usia muda.[48] Sebelum dinikahi oleh Muhammad, ia mempunyai suami bernama Abdullah bin Abdulasad yang meninggal karena luka pertempuran yang dialaminya pada Perang Uhud semakin memarah setelah dikirimkan kembali oleh Muhammad untuk berperang ke Qatan, tempat bermukimnya suku Banu Asad bin Khuzaymah.[49]
Menurut Aisyah yang merupakan istri favorit Muhammad,[51][52] Zainab memiliki kecantikan yang setara dengannya.[53]
Dilaporkan oleh ath-Thabari bahwa pada suatu ketika, Muhammad mencari Zaid ke rumahnya. Namun Muhammad hanya menemukan Zainab yang terburu-buru mengenakan pakaian seadanya. Muhammad pun berujar: "Terpujilah Allah yang maha kuasa! Terpujilah Allah, yang membolak balikkan hati manusia!"[50][54]
Sepulangnya Zaid, Zainab pun menceritakan peristiwa ini kepadanya. Mengetahui hal tersebut, Zaid pun bersegera ke hadapan Muhammad, dan menanyakan, apabila Muhammad menginginkan Zainab maka ia akan segera berpisah dengannya. Namun Muhammad berkata kepada Zaid, "Pertahankanlah terus istrimu," walaupun di dalam lubuk hati, Muhammad menginginkan Zainab.[55][56][57][58] Zaid pun sadar akan hal itu dan tidak mendekati Zainab lagi, dan mereka pun bercerai beberapa saat setelahnya. Ketika Muhammad berbicara dengan Aisyah, firman Allah datang kepadanya. Dan ia pun berkata, "Siapa yang akan pergi mengabarkan berita baik ke Zainab, bahwa Allah telah mengawinkanku dengan dirinya?"[59] Muhammad pun menikah dengan Zainab setelah masa iddah-nya selesai dengan mas kawin 400 dirham.[60]
Dalam norma Arab pada saat itu, adalah perbuatan yang tidak bermoral apabila seorang ayah angkat menikahi mantan istri dari anak angkatnya sendiri. Namun ini diluruskan oleh Allah dengan menikahkan Muhammad dengan Zainab, dan menurunkan Surat Al-Ahzab ayat 37:
Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan ditampakkan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Raihanah berasal dari suku Yahudi, Bani Nadhir yang kemudian menjadi bagian dari Bani Quraizhah melalui pernikahan.[61][62] Muhammad pernah menyatakan niatannya untuk mengusir seluruh Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arab, dan tidak meninggalkan siapapun di dalamnya kecuali orang-orang Muslim.[63] Seusai perang Khandaq, Malaikat Jibril mengarahkan Muhammad untuk menyerang Bani Quraizhah.[64] Setelah berhasil mengalahkan suku tersebut, ia memerintahkan agar tiap-tiap pria dari Bani Quraizhah dieksekusi.[65] Sedangkan harta, serta perempuan-perempuan dan anak-anak mereka dibagi-bagikan oleh Muhammad kepada umat muslim, dan sebagian dari tawanan perempuan dikirimkan oleh Muhammad ke Najd untuk ditukar dengan kuda-kuda dan senjata.[66][67] Muhammad mengambil seperlima dari harta rampasan sebagaimana yang ditetapkan di dalam Al-Quran,[68] dan mengambil Raihanah untuk dirinya.[67]
Muhammad pernah menawarkan kepada Raihanah supaya dirinya dinikahi oleh Muhammad dan mengenakan hijab. Namun Raihanah menolak dengan mengatakan, "Biarlah aku tetap di bawah kekuasaanmu, karena itu adalah lebih mudah untuk diriku dan untukmu." Maka Muhammad pun meninggalkannya. Semenjak menjadi tawanan umat Islam, Raihanah telah menunjukkan kebenciannya terhadap Islam, dan tetap berpegang pada Yudaisme. Ketika Muhammad sedang bersama sahabat-sahabatnya, ia mendengar suara sendal tiba dari belakang, dan ia berkata: "Ini pasti Thalaba bin Sa'ya yang datang membawakan berita baik kalau Raihanah telah memeluk Islam." Dan benar apa yang dikatakan Muhammad, yang mana itu membuat dirinya begitu senang.[67]
Juwairiyah sebelumnya adalah tawanan milik pihak Muhammad dari suku Bani Mustaliq yang beliau serang tanpa peringatan.[69] Muhammad mendapatkan banyak tawanan pada saat itu sehingga ia membagi-bagikannya kepada umat muslim.[70] Juwairiyah adalah salah satu yang dibagikan oleh Muhammad dan ia jatuh ke tangan Tsabit bin Qais. Menurut Aisyah, Juwairiyah adalah perempuan yang sangat cantik, setiap orang yang memandangnya pasti jatuh cinta.[71]
Juwairiyah meminta kepada Tsabit untuk membuat perjanjian supaya dia dapat membayar kebebasan dirinya dengan jumlah tertentu. Maka Juwairiyah pun pergi ke Muhammad, memohon agar Muhammad membantunya menebus kebebasan dirinya. Muhammad pun menawarkan bahwa ia akan melakukannya apabila Juwairiyah mau menjadi istrinya. Juwairiyah pun setuju. Kabar akan hal ini pun tersebar ke orang-orang. Mereka berkata: "Berarti kaum ini saudara Rasulullah." Maka kaum muslimin pun mengembalikan tawanan-tawanan yang mereka pegang.[70]
Ramlah adalah anak dari Abu Sufyan, yang merupakan salah seorang pemimpin dan pedagang dari suku Quraisy. Abu Sufyan kerap memimpin kafilah-kafilah dagang besar dari dan menuju Syam. Namun karena sering dicegat dan dijarah oleh pasukan yang dikirimkan Muhammad, ia pun menjadi salah satu penentang awal Muhammad.[72] Berbeda dengan ayahnya, Ramlah telah menemukan hidayah dari Islam sejak awal kerasulan Muhammad. Pada tahun 615 M, ia bersama suaminya, Ubaydallah bin Jahsy berhijrah dengan beberapa umat muslim lainnya ke sebuah kerajaan Kristen di Habasyah. Suaminya Ramlah masuk Kristen dan meninggal ketika di sana.[73]
Setelah masa iddah-nya usai, Ramlah yang saat itu masih di Habasyah menerima surat lamaran dari Muhammad.[74] Raja Najasyi yang beragama Kristen pun turut memberikannya selamat dan hadiah berupa uang 400 dinar (koin emas) serta parfum-parfum terbaik.[75] Sepulangnya ke Hijaz dan pasca hijrah ke Madinah, Ramlah menceritakan apa-apa saja yang dialaminya di Habasyah kepada Muhammad, termasuk bagaimana ia mengagumi keindahan gereja-gereja yang dihiasi dengan gambar-gambar di sana. Muhammad pun mengangkat kepalanya dan bersabda, "Mereka adalah orang-orang, yang ketika seorang yang alim di antara mereka meninggal, mereka mendirikan tempat peribadatan di makamnya dan mereka membuat gambar-gambar di dalamnya. Mereka adalah makhluk-makhluk terburuk di mata Allah.[76][77][78]
Shafiyah binti Huyay adalah seorang wanita bangsawan,[79] yang merupakan putri Huyay bin Akhtab, kepala suku Yahudi, Banu Nadir, yang dieksekusi oleh pihak Muhammad setelah menyerah pada Perang Khandaq.[80][81] Suami pertamanya adalah seorang penyair bernama Sallam bin Mishkam yang mana kemudian mereka bercerai.[82] Suami keduanya adalah seorang komandan bernama Kinana bin Ar-Rabi.[83] Pada tahun 628, saat pertempuran Khaybar, Banu Nadir dikalahkan. Kinana yang saat itu masih berstatus suami Shafiyah disiksa dan dieksekusi atas perintah Nabi setelah dirinya menolak memberi tahu di mana lokasi tempat persembunyian harta karun Banu Nadir.[84][85]
Seusai perang, Shafiyah menjadi salah satu tawanannya pihak muslim. Salah seorang sahabat Muhammad, Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, meminta kepada Muhammad supaya diperbolehkan mengambil salah satu tawanan untuk dijadikan budak olehnya.[86] Muhammad pun mengizinkan dan Dihyah mengambil Shafiyah. Mengetahui hal itu para sahabat Muhammad lainnya melapor kepadanya, bahwa Dihyah telah mengambil putri dari kepala suku Banu Nadir yang kecantikannya begitu luar biasa dan belum pernah mereka lihat sebelumnya.[87] Muhammad pun memanggil Dihyah dan mengambil Shafiyah untuk dirinya, lalu memberikan kepada Dihyah dua sepupu Shafiyah.[83] Muhammad kemudian mengirimkan Shafiyah ke ibu dari Anas bin Malik untuk dihiasi. Dan malamnya dikembalikan kepada Muhammad untuk ia nikahi.[86] Shafiyah belum genap berusia 17 tahun pada saat itu.[88]
Shafiyah adalah wanita ideal dan mulia, cerdas, keturunan bangsawan, cantik, bahkan kecantikannya membuat istri-istri Nabi lainnya iri padanya, hingga Zainab binti Jahsy berkata, “Kecantikannya akan mengalahkan kita semua.” Karena itulah dapat dipahami mengapa para istri Nabi yang lain seolah berlomba-lomba untuk mengalahkan Shafiyah.[89]
Maimunah memiliki nama asli Barrah, namun Muhammad merubahnya menjadi Maimunah yang berarti "berita baik".[90] Maimunah berasal dari klan borjuisBanu Hilal. Saudara perempuannya, Lubabah menikah dengan Abbas bin Abdul-Mutthalib yang merupakan salah satu orang terkaya dari Bani Hasyim,[91] yang mana kemudian menjadi wali-nya Maimunah.[92] Maimunah dinikahi oleh Muhammad ketika ia sedang melaksanakan umrah, tetapi baru disetubuhi setelah ia selesai menjalankannya.[93]
Maimunah dikenal sebagai perempuan yang baik hati. Ia pernah memiliki seorang budak perempuan yang kemudian ia bebaskan tanpa izin Muhammad. Di saat waktu gilirannya bersama Muhammad, ia pun menceritakan apa yang telah dilakukannya. Muhammad pun berkata kepada Maimunah, bahwa ketimbang membebaskannya, Maimunah akan mendapatkan pahala yang lebih besar bilamana ia memberikan budak itu kepada salah satu paman dari pihak ibunya.[94]
Maimunah pernah memiliki anak anjing yang ia simpan di bawah tempat tidurnya. Pada suatu hari ia melihat suasana hati Muhammad sedang buruk. Rupanya itu dikarenakan Malaikat Jibril tidak menepati janjinya untuk menemui Muhammad di malam sebelumnya. Muhammad pun teringat dengan anak anjing di bawah tempat tidur Maimunah. Muhammad pun memerintahkannya untuk dikeluarkan. Dan menyiramkan air di tempat tersebut. Ketika malam tiba, Malaikat Jibril pun datang dan menginformasikan Muhammad bahwa dirinya tidak memasuki rumah yang ada anjing ataupun gambar di dalamnya. Lalu pada pagi hari, Muhammad pun memerintahkan agar tiap-tiap anjing supaya dibunuh,[95] termasuk yang masih kecil.[96] Namun membiarkan anjing yang ditugaskan untuk menjaga perkebunan besar.[95]
Mariyah al-Qibthiyah adalah seorang budak perempuan yang dikirimkan sebagai hadiah oleh penguasa Mesir, Muqawqas kepada Muhammad. Ia berkulit putih dan sangatlah cantik.[97]Thabari di dalam salah satu jilid dari kitab Tarikh-nya menyebutkan bahwa Mariyah adalah salah seorang istri Muhammad,[98] namun pada jilid berikutnya ia mengatakan bahwa Mariyah adalah gundiknya Muhammad yang disetubuhi oleh Muhammad sebagai barang kepemilikannya, dan tidak pernah ia nikahi.[97] Menunjukkan bahwa Thabari menggunakan istilah "istri" di jilid sebelumnya dalam artian perempuan-perempuan yang ditiduri oleh Muhammad.
Mariyah adalah satu dari dua perempuan yang berhasil mengandung anak dari Muhammad. Betapa gembiranya Muhammad mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Anak tersebut kemudian diberi nama Ibrahim, tetapi tidak lama setelah lahir, Ibrahim pun wafat.[99]
Batal menjadi Ummul-Mu'minin
Dhuba'ah binti 'Amir
Dhuba'ah dikenal sebagai wanita yang cantik, dia mewarisi banyak harta dari almarhum suaminya, Haudzah bin Ali al-Hanafi. Mendengar hal tersebut, Muhammad pun melamar Dhuba'ah melalui Salamah bin Hisyam, yang merupakan anaknya Dhuba'ah. Salamah memohon kepada Muhammad agar diizinkan untuk bertanya terlebih dahulu kepada ibunya, maka Muhammad pun memberikannya izin. Di saat Salamah pergi menanyakan kepada ibunya, Muhammad diberitahu oleh sahabatnya bahwa Dhuba'ah sudah tua. Ketika Salamah kembali untuk mengantarkan kabar gembira bahwa ibunya menyetujui lamaran Muhammad, Muhammad hanya diam.[100][101]
Amrah binti Yazid
Amrah binti Yazid adalah perempuan dari Banu Amir. Muhammad mengirim Abu Usayd untuk melamarnya. Namun setelah dinikahi oleh Muhammad, Muhammad menemukan bahwa Amrah terjangkit penyakit kusta. Maka Muhammad pun segera menceraikannya.[102]
Jamrah binti al-Harits
Muhammad meminta kepada ayahnya Jamrah agar memberikan Jamrah untuk menjadi istri Muhammad. Namun ayahnya berkata kalau Jamrah mempunyai penyakit serius. Maka Muhammad pun membatalkan lamarannya.[103]
Ummu Habib binti al-Abbas
Ketika bertemu dengan Ummu Fadhl, Muhammmad melihat Ummu Habib yang masih bayi merangkak kesana kemari. Muhammad pun berkata, “Jika dia tumbuh besar ketika aku masih hidup, maka akan aku nikahi dia."[104][105] Namun kemudian Muhammad mengurungkan niatnya setelah mengetahui kalau ayah dari Ummu Habib adalah saudara sepersusuan dengan beliau.[106]
Ghaziyyah binti Jabir (Ummu Syarik)
Ghaziyyah adalah seorang janda yang kerap mengajak perempuan-perempuan kafirQuraisy agar memeluk Islam. Dia mengirimkan lamaran pernikahan kepada Muhammad, dan Muhammad menyetujui kontrak tersebut. Namun, ketika Muhammad bertemu dengannya secara langsung, ternyata Ghaziyyah adalah seorang perempuan tua. Maka Muhammad pun langsung menceraikannya.[107][108]
Layla binti al-Khatim
Ketika punggung Muhammad menghadap matahari, Layla menghampirinya dan menepuk pundaknya. Nabi pun bertanya siapa gerangan, dan dia menjawab, "Aku adalah anak dari yang bersaing melawan angin. Namaku Layla binti al-Khatim. Aku datang untuk menawarkan diriku kepadamu, jadi nikahilah aku." Yang mana Muhammad menjawab, "Baik, aku terima." Maka Layla pun kembali ke kaumnya dan berkata bahwa Muhammad telah menikahinya. Mereka berkata, "Apa yang telah kau perbuat! Kau perempuan yang punya harga diri tinggi, sedangkan sang Nabi menikahi banyak perempuan. Segera minta pernikahan itu dibatalkan kepada beliau." Maka ia pun pergi ke hadapan Muhammad meminta agar pernikahannya dibatalkan, dan Muhammad pun menerima pembatalan tersebut.[109]
Fakhitah binti Abi Thalib (Ummu Hani)
Fakhitah atau dikenal juga sebagai Ummu Hani adalah sepupu Muhammad, anak dari Abu Thalib. Sebelum menjadi Nabi, Muhammad pernah meminta Abu Thalib agar menikahkan Fakhitah dengannya. Namun hal yang sama juga dilakukan oleh Hubayrah, seorang pria dari klan Makhzum. Abu Thalib pun memilih menikahkan Fakhitah dengan Hubayrah.[110]
Pasca pengepungan Makkah oleh pasukan Nabi, Fakhitah masuk Islam. Sedangkan Hubayrah tidak dan kabur dari Makkah dan mengungsi ke Najam takut akan dibunuh oleh pasukan Muhammad. Muhammad pun kembali melamar Fakhitah pada saat itu. Namun Fakhitah menolak dengan alasan kalau dirinya punya anak-anak yang masih kecil, sehingga ia takut harus membagi perhatiannya dengan Muhammad sebagai suami barunya.[111]
Setelah anak-anak Fakhitah tumbuh cukup besar, ia pun mendatangi Muhammad, mengatakan bahwa dirinya sekarang sudah siap untuk diperistri. Akan tetapi Muhammad menolak karena telah diturunkan ayat yang melarang ia menikahi sepupu pertamanya yang tidak ikut berhijrah ke Madinah sebelum penaklukan Makkah.[112]
Jauniyah (Gadis dari Bani Jaun)
Muhammad melihatnya ketika beliau pergi ke sebuah kebun yang bernama Asy-Syauth. Gadis tersebut didampingi ibu susu-nya. Ketika Muhammad menghampirinya, ia berkata kepada gadis tersebut, "Berikan dirimu sebagai hadiah untukku." Gadis itu menjawab, "Dapatkah seorang putri bangsawan memberikan dirinya untuk menjadi istri dari orang biasa?" Di saat Muhammad akan menyentuhnya untuk menenangkannya. Gadis itu berujar, "Aku berlindung kepada Allah dari dirimu." Maka Muhammad pun berkata, "Kau telah mencari perlindungan kepada Yang memberi perlindungan." Muhammad lalu mendatangi sahabat-sahabatnya, memerintahkan salah satu dari mereka untuk memberikan dua pakaian putih untuk gadis tersebut, dan membiarkan gadis itu kembali ke kaumnya."[113]
Asma binti an-Nu'man
Asma binti An-Nu'man adalah perempuan yang sangat cantik. Ketika ia sedang dirias rambutnya oleh Hafshah dan Aisyah sebelum diantarkan ke kamar Muhammad. Salah satu dari mereka berkata kepadanya, "Nabi Muhammad suka perempuan-perempuan yang bila diantarkan kepadanya mengatakan 'Aku berlindung kepada Allah dari dirimu.'"
Sehingga ketika Asma masuk ke kamar Muhammad, dan Muhammad mengunci pintu kamarnya, menutup tirai, dan menghampirinya, Asma pun berkata "Aku berlindung kepada Allah dari dirimu." Muhammad pun menutup wajah beliau dengan lengan baju beliau, dan berkata: "Kau sungguh telah mencari perlindungan kepada Yang memberi perlindungan" sebanyak tiga kali. Muhammad pun keluar dan memerintahkan Abu Usayd untuk memberikan dua pakaian putih untuk Asma, dan mengirimkannya kembali ke kaumnya.[114][115]
Setelah peristiwa ini, Asma sering berkata, "Panggil aku perempuan yang celaka." Orang-orang dari kaumnya mengutuk-ngutukinya, menganggap dirinya telah mencemarkan nama baik mereka di kalangan orang-orang Arab. Tidak ada yang boleh menikahinya dikarenakan ia telah pernah menjadi istri Muhammad,[116] dan tidak ada pula yang menghampirinya selain kerabat dekatnya. Ia pun tetap seperti itu sampai dirinya meninggal pada era kekhalifahan Utsman.[117]
Qutailah binti Qais
Setelah insiden dengan Asma binti an-Nu'man yang meminta perlindungan kepada Allah dari Muhammad, Muhammad yang keluar dengan raut wajah marah ditemui oleh Al-Asy'ats bin Qais, dia berkata, "Jangan biarkan hal itu mengganggumu, wahai Rasulullah. Maukah bila saya menikahkan anda dengan seseorang yang tidak kalah dalam kecantikan dan garis keturunan dibanding dirinya?" Muhammad bertanya, "Siapa?" Al-Asy'ats menjawab, "Adikku, Qutailah." Nabi pun berkata, "Akan aku nikahi dia." Al-Asy'ats pun pergi ke Hadramaut dan menjemput Qutailah. Ketika mereka di tengah perjalanan dari Yaman, dirinya mendengar berita kematian Muhammad.[118] Maka ia pun mengantarkan Qutailah kembali ke negaranya. Al-Asy'ats bin Qais lalu murtad dan begitupula Qutailah.[119]
^Ibn Sa'd. Tabaqat al-Kubra (dalam bahasa Arab). 8. أخبرنا هشام بن محمد بن السائب عن أبيه عن أبي صالح عن ابن عباس قال:كانت خديجة يوم تزوجها رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ابنة ثمان وعشرين سنة
^Abu ‘Abdullah Al-Hakim. al-Mustadrak (dalam bahasa Arab). 3. عن محمد بن إسحاق، أن أبا طالب وخديجة بنت خويلد هلكا في عام واحد، وذلك قبل مهاجر النبي صلى الله عليه وسلم إلى المدينة بثلاث سنين، ودفنت خديجة بالحجون، ونزل في قبرها رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان لها يوم تزوجها ثمان وعشرون سنة
^Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam. Diterjemahkan oleh Ikhlas Hikmatiar. Qisthi Press. hlm. 128. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-19. Diakses tanggal 2021-08-21.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Tafsir Al-Jalalayn". Altafsir.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-06. Diakses tanggal 2022-02-11.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)
^Abdulmalik ibn Hisham. Notes to Ibn Ishaq's "Life of the Prophet", Note 918. Translated by Guillaume, A. (1955). The Life of Muhammad, p. 793. Oxford: Oxford University Press.
^Rahman al-Mubarakpuri, S. (2005). The Sealed Nectar. Darussalam: Darussalam Editing, p. 201.
^Abdul-Rahman, M. S. (2009). Tafsir Ibn Kathir Juz’ 21 (Part 21): Al-Ankabut 46 To Al-Azhab 30. Londra: MSA Publication Limited, p. 213.
^Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam vol.2. Darul Falah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-30. Diakses tanggal 2021-08-30.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcIbn Ishaq. Sirat Rasul Allah. hlm. 466.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abIbnu Hisyam. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam. Qisthi Press. hlm. 542. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-18. Diakses tanggal 2021-08-18.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |penerjemah= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiya - Ibnu Hisyam. hlm. 346. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-25. Diakses tanggal 2021-08-25.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ahmad ibn Jabir al-Baladhuri, Kitab Futuh al-Buldan. Translated by Hitti, P. K. (1916). Origins of the Islamic State vol. 1 p. 41. New York: Columbia University.
^Muhammad ibn Jarir al-Tabari (1990). The History of al-Tabari Vol. 39: Biographies of the Prophet's Companions and Their Successors. Diterjemahkan oleh Poonawala, K. I. hlm. 185.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ibn Sa'd. Kitab at-Tabaqat al-Kabir vol.8. hlm. 111. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-01. Diakses tanggal 2021-08-21.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ibnu Sa'ad. Kitab al-Tabaqat al-Kabir vol.8. Diterjemahkan oleh Aisha Bewley. hlm. 111–114.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan