Muhammad di Makkah

Periode Muhammad di Makkah dimulai sejak kelahirannya dan selesai pada tahun 622 sejak Hijrah ke Madinah.

Sejarah Muhammad di Makkah

Tahun kelahiran Muhammad. Menurut sumber Sunni Muhammad lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabiulawal atau 20 April 570, sedangkan sumber Syi'ah menyebutkan hari Jumat tanggal 17 Rabiulawal atau 26 April 570.

Muhammad lahir di Syi'ib Bani Hasyim di Makkah. Kala itu hari senin di musim semi, hari kedua belas, lima puluh hingga lima puluh lima hari setelah kegagalan serangan Abrahah atas Ka'bah. Bangsa Arab pada zaman itu mencatat tahun berdasarkan peristiwa penting yang terjadi pada tahun itu, maka dari itulah disebut tahun Gajah.

Ketika mengandung, Aminah bermimpi melihat cahaya memancar dari bagian bawah tubuhnya dan menyinari istana-istana Syria. Ketika melahirkan, Shifa binti Amr, Ibu dari Abdurrahman bin Auf, yang menjadi bidannya. Abdul Muthalib menerima kabar kelahiran cucu laki-lakinya dengan gembira. Dia membawa bayi yang baru lahir tersebut ke Ka'bah dan memohon rahmat serta bersyukur kepada Allah. Yakin kalau cucunya ini akan tumbuh menjadi orang yang terpuji, Abdul Muthalib menamainya Muhammad, yang berarti demikian, dan uniknya nama tersebut belum pernah dipakai oleh bangsa Arab untuk menamai seorang anak pada zaman itu. Sesuai tradisi Arab, Abdul Muthalib mencukur rambut bayi tersebut dan menyunatnya pada hari ke tujuh. Setelah itu, dia mengundang sesama orang-orang Makkah untuk berpesta.

Disusukan di pedalaman Arab

Muhammad kecil pertama kali disusui oleh ibunya, Aminah. Kemudian oleh Ummu Aiman, budak ayahnya, seorang Habasyah yang bernama asli Barkah binti Tsa’labah

Sebagaimana kebiasaan Arab pada masa itu, anak yang baru dilahirkan disusukan dan hidup di padang pasir dengan suku Badui. Kebiasaan masyarakat Arab menitipkan bayinya kepada keluarga-keluarga Badui di pedalaman memiliki tujuan agar bayi-bayi mereka tidak tercemari oleh kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat Arab di perkotaan. Disamping itu agar anak-anak yang mereka titipkan dapat belajar bahasa dengan baik kepada keluarga Badui yang menyusuinya.

Yang menyusukan adalah Suwaibah, budak dari Abu Lahab. Pada masa itu dia juga menyusui anaknya sendiri, Masruh, begitu pula Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Salaman bin Abdul Al-Makhzumi. Maka, ketiga laki-laki tersebut menjadi saudara angkat Muhammad karena disusui oleh wanita yang sama. Kemudian dia diasuh oleh Halimah As-Sa'diyah sampai berumur 5 tahun.

Cerita membelah dada

Anas bin Malik mengisahkan bahwa suatu hari, ketika Muhammad sedang bermain dengan beberapa anak di dekat rumah Halimah, Malaikat Jibril muncul dan membaringkan dia. Malaikat itu lalu membelah dada dan mengeluarkan hati dia, lantas mengambil segumpal daging dari dalamnya, sambil berkata, "Ini adalah bagian setan pada dirimu." kemudian dia meletakkan hati Muhammad dalam nampan emas yang terisi air zamzam, membasuhnya dan menempatkan kembali ke dada dia. Saat itu anak-anak yang lain berlari menuju Halimah sambil menangis ketakutan dan mereka memberi tahu bahwa Muhammad sudah dibunuh. Ketika sampai di tempat kejadian, Halimah dan Harits mendapati dia masih hidup, hanya wajahnya pucat karena tertekan. Anas bin Malik RA pun mengabarkan bahwa dia pernah melihat bekas luka pada dada Rasullulah SAW, tempat anggota badan dia dijahit untuk direkatkan kembali.

Meninggalnya Aminah, ibu dari Muhammad

Meninggalnya Abdul-Muththalib, kakek dari Muhammad

Abdul Muthalib, dia sendiri sudah tua kala itu. Batinnya tersiksa, tidak tahan melihat cucunya yang masih muda itu menderita karna kepergian kedua orang tua nya. Tiba-tiba dia merasakan kelembutan dalam hati yang belum pernah dirasakan atas putra-putranya sendiri. Ketika duduk dengan teman-temannya, Muhammad didudukkan di atas permadani di sebelahnya, pada satu posisi yang tak seorang pun diizinkan untuk menempatinya. Sang kakek biasa mengelus bagian belakang kepala Muhammad dan mengamati setiap tingkah laku si cucu. Abdul Muthalib yakin masa depan akan memberi Muhammad keagungan yang langka. Tragisnya, masa hidup Abdul Muthalib bersama cucunya itu begitu singkat, karena dia meninggal dunia ketika Muhammad masih berusia delapan tahun-dua bulan-sepuluh hari.

Perjalanan kafilah pertama Muhammad ke Syria bersama pamannya Abu Thalib, dan di Bashrah bertemu dengan Pendeta Bahira

Ketika Muhammad berusia dua belas tahun-dua bulan-sepuluh hari, Abu Thalib berencana mengiringi suatu kafilah dagang ke Syiria. Baik Muhammad maupun Abu Thalib takut akan terpisah lama, jadi Abu Thalib memutuskan untuk mengajak dia bersamanya.

Begitu kafilah ini mencapai Basrah di perbatasan Syiria, para musafir (orang-orang yang ikut bepergian) menghentikan perjalanan untuk menetap sementara. Seorang pendeta Nasrani yang bernama Bahira tinggal di kota ini dan dia datang untuk menyambut kafilah dagang tersebut. Dia berjalan melewati semua musafir hingga mendekati Muhammad. Lantas sambil memegang tangan dia, dia berseru "Inilah pemimpin dunia dan Rasul Allah. Tuhan sudah mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia!" "Mengap anda beranggapan demikian?" orang-orang bertanya kepada si pendeta. Bahira menjelaskan "Ketika dia melewati sisi ini (suatu jalan), bebatuan dan pepohonan membungkuk seolah bersujud. Mereka tidak akan bersujud kepada siapa pun selain kepada seorang Rasul. Terlebih lagi, aku mengenalinya lewat 'tanda kenabian' seperti sebuah apel yang terletak di atas tulang rawan di bawah bahunya. Ini disebut dalam Kitab Kami."

Muhammad pertama kali ikut bertempur bersama paman-pamannya dalam peperangan ini.

Ketika usia remaja Muhammad ikut berperang di Fair di Ukazh pada bulan Dzul Qa'dah. Suku yang berperang adalah Quraish dan Kinanah di satu pihak dan Qais Ghailan di pihak lain. Sebagai anggota suku Quraish, Muhammad juga ikut serta dalam peperangan. Tugas dia kala itu ialah mengumpulkan panah musuh dan menyerahkan kepada paman dia, Abu Thalib.

Hilf al-Fudhul / Perjanjian Kehormatan

Perjanjian yang dilakukan oleh kalangan Quraisy untuk melindungi orang-orang yang tertindas

Kesepakatan itu dikenal sebagai Hilful Fudhul dan yang menandatanganinya adalah Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, Bani Asad, Bani Zuhrah, Bani Tua'in.

Kesepakatan ini lahir sebagai tanggapan atas penolakan yang memalukan akan keadilan bagi seorang asing. Seorang laki-laki dari Zabid untuk menjual barang dagangannya di Makkah. Seorang penduduk setempat bernama Ash bin Wa'il mengambil semua barang dagangannya, tetapi menolak untuk membayar. Orang asing yang tidak berdaya tersebut mendatangi orang-orang Bani Abdud Dar, Bani Makhzum, Bani Jamah, Bani Sahm dan Bani Adi, namun semuanya mengabaikan tangisan si laki-laki yang menuntut ganti rugi. Dalam keadaan putus asa dia pun mendaki puncak bukit bernama Jabal Abu Qais dan memberitahukan setiap orang kalu dagangannya telah dicuri, kemudian dia memohon agar orang-orang menolongnya, permohonanya dijawab Zubair bin Abdul Muthalib yang sukarela membantu orang asing ini. Zubair memanggil perwakilan semua klan untuk berkumpul di rumah Abdullah bin Jad'an dari Bani Tha'im. pada pertemuan itu muncullah kesepakatan untuk membela siapapun yang mengalami ketidakadilan. Muhammad juga hadir bersama sang paman Abu Thalib selama pembuatan kesepakatan tersebut. Jauh setelah dia diangkat menjadi seorang nabi, dia menyatakan "Aku hadir ketika satu kesepakatan disepakati di rumah Abdullah bin Jad'an dan aku tidak akan menerima, bahkan demi seekor unta merah pun, untuk menggantikanya. Jika aku diminta untuk menegakkannya bahkan pada masa-masa Islam sekarang, aku pasti akan menyetujuinya."

Bekerja untuk Khadijah; memimpin perjalanan dagang ke Syiria

Kehilangan orang tua dan kakek dia, Muhammad berada dalam asuhan sang paman Abu Thalib tumbuh dewasa tanpa warisan. Pada awalnya dia mencoba mencari nafkah dengan memelihara kambing bagi Bani Sa'ad, kemudian dia memutuskan untuk bekerja sebagai penggembala walaupun imbalannya sedikit. Pilihan pekerjaan tersebut penting, belakangan setelah menjadi nabi, Muhammad menyatakan "Tidak ada nabi yang tidak mengembalakan domba." Terkenal akan sifat dia yang dapat dipercaya, jujur dan saleh, dia lalu dipanggil "Al-Amin" (yang dapat dipercaya).

Reputasi Muhammad membuat Khadijah binti Khuwailid mempercayai dia untuk membawa barang dagangannya untuk dijual ke Syiria. Sebagai pebisnis wanita yang kaya dan berasal dari keluarga terhormat suku Quraisy, wanita ini mampu mengupah para laki-laki untuk menjalankan bisnis mewakilinya. Jadi demikianlah, Muhammad yang masih muda melakukan perjalanan ke Syiria bersama budak Khadijah, Maisarah. Perjalan tersebut luar biasa sukses dan menguntungkan. Setelah kepulangan dia ke Makkah, Muhammad memberi Khadijah keuntungan perdagangannya.

Menikah dengan Khadijah

Muhammad menikahi Khadijah

Khadijah sudah janda dua kali, sebelumnya dia pernah menikah dengan Atiq bin A'idz dan kemudian dengan Abu Halah. Menyusul wafatnya suami keduanya itu, dia mendapat sejumlah pinangan dari berbagai kepala suku Quraisy dan semuanya ditolak. Tapi sekarang, terkesan dengan penggambaran Maisarah akan sifat Muhammad, dia memulai pembicaraan tentang pernikahan kepada dia melalui temannya, Nafisah.

Terbuka atas gagasan tersebut, Muhammad membicarakan hal ini kepada paman dia, yang kemudian mengirim pinangan ke Amr bin Asad, paman Khadijah. Atas nama keponakannya, Amr menerima pinangan tersebut dan Muhammad memberikan 20 ekor unta untuk maskawinnya. Pernikahan mereka dihadiri Bani Hasyim dan para kepala Suku Quraisy, memuji dan mengagungkan Allah, Abu Thalib mengumandangkan khotbah perkawinan dan menegaskan persatuan ini. Jadi hanya dalam dua bulan beberapa hari setelah kepulangan dari Syiria, Muhammad dan Khadijah menikah. Dia berusia 25 tahun dan Khadijah diperkirakan 35 tahun.

Tahun kelahiran Ali bin Abu Thalib. Sepupu Muhammad dan menantunya. Ia merupakan Khalifah ke-4 menurut Sunni, dan Imam pertama menurut Syi'ah.

Pemugaran Ka'bah yang dilakukan oleh kalangan Quraisy, Muhammad berperan penting dalam peletakan kembali Hajar Aswad.

Ketika Muhammad berusia 35 tahun, banjir besar menghancurkan Ka'bah. Dinding Ka'bah pernah rusak sebelumnya akibat kebakaran dan banjir mengakibatkan dinding bertambah rusak. Bangunan yang dipuja-pula suku Quraisy tersebut terancam roboh. Melihat kemungkinan buruk tersebut, suku Quraisy memutuskan untuk memugar Ka'bah. Mereka bersepakat untuk tidak menodai proyek tersebut dengan sumber-sumber yang didapat dari riba, pelacuran, atau pencurian.

Karena dinding Ka'bah harus dihancurkan lebih dulu sebelum dipugar, suku Quraisy takut Allah akan menghukum siapapun yang mengacungkan tangannya untuk menghantam rumah suci ini. Walid bin Al-Mughirah adalah yang pertama mendatangi Ka'bah. Sambil menyerukan "Allah tidak akan menghancurkan para pembaharu" dia mulai menghancurkan dinding Ka'bah dan yang lain pun mulai mengikuti, mereka menghancurkan Ka'bah hingga tinggal pondasi aslinya yang diletakkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Seorang tukang batu bangsa Romawi bernama Baqum ditugasi membangun kembali dinding-dinding Ka'bah. Tetapi suku-suku tersebut tidak mampu mengumpulkan cukup uang untuk membangun kembali Ka'bah dengan lengkap, jadi sebuah dinding kecil dibangun untuk memperlihatkan batas-batas pondasi asli yang diletakkan Ibrahim AS. Dinding kecil ini memagari wilayah seluas kira-kira 6 kubit (Sebuah unit ukur kuno yang panjangnya didasarkan pada panjang lengan bawah) di bagian utara Ka'bah dan ia disebut Hijar Isma'il.

Ketika pembangunan dinding telah diselesaikan hingga ke tahap Hajar Aswad diletakan, muncullah sengketa di antara mereka. Setiap kepala suku merasa berhak meletakkan batu itu pada tempat asalnya, krisis itu berlanjut selama 4 hari dan nyaris terjadi peperangan antar suku. Pada saat itu Abu Umayyah kepala suku yang paling sepuh mendapat pemecahan atas masalah ini, dia menyarankan agar laki-laki berikut yang memasuki gerbang Ka'bah harus diberi kewenangan untuk mendamaikan sengketa ini, semua orang harus setuju dengan saran laki-laki itu dan atas kehendak Allah-lah laki-laki berikutnya yang memasuki gerbang Ka'bah adalah Muhammad.

"Dia Muhammad" mereka berkata seketika melihat kedatangan dia, " karena dia seorang yang dapat dipercaya, kita semua sepakat untuk mempercayai keputusannya." Ketika sudah mempelajari detail-detail sengketa tersebut, Muhammad meminta mereka untuk membawa selembar kain. Dia lalu mengambil Hajar Aswad tadi dan menempatkan di atas kain itu, kemudian meminta setiap klan untuk memegang ujung kain tersebut dan mengangkatnya bersama-sama, sementara Hajar Aswad diangkat para kepala suku, Muhammad mendorongnya ke tempat asalnya dengan tangan dia sendiri. Semua orang puas dan konflik besar bisa terhindarkan.

Muhammad menerima wahyu pertama kalinya di Gua Hira, di Bukit Nur (Jabal an-Nur). Kemudian menyebarkan ke keluarga terdekat dan sahabat.

Muhammad geram dengan praktik paganis pada masanya, meski dia bagian tak terpisah dari masyarakat seperti itu dia tidak pernah menghadiri perayaan atau pesta penting apapun. Dia juga berhati-hati agar tidak memakan hewan yang disembelih atas nama selain Allah dan menghindari menyentuh ataupun berada dekat dengan berhala-berhala, bahkan dia pernah menghunuskan pedang pertanda kegeramannya terhadap dua berhala paling terkenal yakni Lata dan Uzza.

Dengan kegeraman terhadap beberapa tradisi sosial terkuat dalam masyarakat Makkah, tak pelak lagi Muhammad tumbuh terpisah dari kaumnya, dia memilih menghabiskan waktu sendirian, jauh dari pesta yang riuh dan pasar-pasar yang ramai. Pada waktu yang sama dia merasa perlu menyelamatkan orang-orang tersebut dari kehancuran yang dirasakannya sudah dekat.

Muhammad kemudian mencari tempat menyepi di Gua Hira (Bukit Hira sekarang dikenal sebagai Jabal Nur. Letaknya kira-kira 2 mil dari Makkah, gua tersebut memiliki panjang empat meter kurang sedikit dan tingginya satu setengah meter lebih sedikit.) Di tempat inilah dia menggabiskan waktu yang lama sendirian, mengikuti praktik monoteisme nenek moyangnya, Ibrahim AS, setiap tahun selama tiga tahun berturut-turut dia menghabiskan bulan Ramadhan di dalam gua tersebut. Selama waktu tertentu di sana, dia pun kembali ke Makkah, lalu berjalan mengelilingi Ka'bah dan kemudian kembali ke rumah.

Ketika Muhammad mencapai empat puluh tahun, dia mengalami hal yang rupanya termasuk tanda-tanda kerasulan. Dia mendapat penglihatan-penglihatan (di alam bawah sadarnya) bahkan apapun yang muncul dihadapannya dalam setiap penglihatan dan mimpi tersebut akan menjadi kenyataan.

Pada suatu senin dini hari, persis sebelum terbitnya matahari pada hari kedua puluh satu Ramadhan (10 Agustus 610) suatu peristiwa telah mengubah hidup laki-laki yang terpilih untuk menyampaikan pesan dari Allah, juga mengubah hidup manusia yang tak terhitung banyaknya, yang sebagian besar belum dilahirkan. Menurut Hijriyah (qoMariyah-berdasarkan perhitungan peredaran bulan) ketika itu Muhammad berusia empat puluh tahun-enam bulan-dua belas hari, sedangkan menurut kalender Masehi (Syamsiah-berdasarkan perhitungan peredaran matahari) dia berusia tiga puluh sembilan tahun-tiga bulan-dua puluh dua hari.

Peristiwa itu terjadi tatkala Muhammad tengah sendirian di Gua Hira, sedang menyembah Allah SWT persis seperti yang dia lakukan pada dua Ramadhan sebelumnya. Aisyah, wanita yang mengisahkan begitu banyak perilaku dan tutur kata suaminya, menceritakan transisi dia dari seorang laki-laki biasa menjadi seorang yang selamanya akan dikenal sebagai Muhammad.

Yakni tatkala dia berada di Gua Hira, saat itulah sang Malaikat berseru kepada dia, "Bacalah!" "Aku tidak bisa membaca" Muhammad menjawabnya. Sang Malaikat kemudian memegang tubuh dia kuat-kuat dan menekannya untuk kali kedua, sampai dia tidak tahan lagi. Setelah melepaskan dia dan berseru sekali lagi, "Bacalah" "Aku tidak bisa membaca" Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Untuk kali ketiga sang Malaikat memegang tubuh dia kuat-kuat dan menekannya sampai dia tidak tahan lagi. Kemudian Malaikat Jibril melepasnya dan berkata:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari setimpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia." (Qs. Al-Alaq 96:1-3)

Muhammad ketakutan, jantung dia berdebar kencang. Bergegas dia pulang ke rumah ke Khadijah dan berseru lirih, "Selimuti aku! Selimuti aku!" Khadijah menyelimuti suaminya, dia lalu mengisahkan kejadian dalam gua tadi, seraya berkata "Aku khawatir sesuatu telah menimpaku." "Tidak" Khadijah menimpalinya, "Aku bersumpah atas nama Allah, Dia tidak akan merendahkan engkau. Engkau selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga, menolong orang yang lemah dan miskin, menjamu para tamu dengan dermawan dan membantu orang-orang yang layak dibantu."

Khadijah Kemudian membawa Muhammad ke sepupunya, seorang tua yang sangat dihormati, Waraqah bin Naufal. Orang tua ini mengerti Yudaisme dan akrab dengan Injil, sudah meninggalkan penyembuhan berhala dan menjadi Nasrani. "Wahai sepupuku" Khadijah memulai pembicaraan, "Dengarkanlah Keponakanmu (Muhammad)." "Apa yang sudah kamu lihat, keponakanku?" tanya laki-laki tua yang buta tersebut, lantas Muhammad memberitahu Waraqah kejadian di dalam Gua Hira. Diapun mengatakan "Malaikat yang diutus Allah kepadamu itu sama dengan Malaikat yang di putus-Nya kepada Musa. Seandainya aku masih muda dan (aku berharap bisa) terus hidup untuk menyaksikan hari ketika orang-orang mengusirmu dari kota ini." "Akankah mereka mengusirku?" tanya Muhammad. "Ya" jawab Naufal, "Belum ada sebelumnya laki-laki yang menyampaikan sesuatu seperti yang kamu miliki sekarang tanpa menghadapi kekerasan. Kalau saja aku masih hidup untuk menyaksikan hari ketika kamu diusir, pasti aku akan mendukungmu dengan segenap kekuatan." Tetapi, beberapa hari kemudian, Waraqah meninggal dunia.

Muhammad mengundang kalangan keluarganya dari Bani Hasyim untuk berdakwah.

Dakwah terhadap Quraisy

Muhammad mengajak kalangan Quraisy di Bukit Safa untuk menerima Islam. [1]

Kelahiran Fatimah, anak perempuan Muhammad. Ia istri dari Ali bin Abi Thalib dan semua keturunan Muhammad melalui dia.

Penganiayaan Quraisy terhadap Muslim. Muhammad memerintahkan sekelompok orang untuk hijrah ke Abyssinia, sekarang Ethiopia.

Memisahkan bulan (Bahasa Arab: shaqq-al-Qamar), adalah salah satu mukjizat yang dilakukan Muhammad.

Boikot dari kalangan Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Muhammad dimulai. Bani Hasyim tinggal di lembah yang disebut Lembah Abu Thalib, agak sedikit di luar Makkah. Selama tiga tahun itu mereka tidak dapat berdagang, menikah, dan bertemu dengan pihak luar.

Boikot berhenti. Meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah, Tahun Dukacita.

Perjalanan Muhammad dari Makkah ke Yerusalem, kemudian diteruskan ke langit ketujuh.

Muhammad pergi ke kota yang bernama Tha'if dan mengajak mereka untuk masuk Islam. Penduduk Tha'if menjawabnya dengan perlakuan yang kasar dan mulai melemparkan batu ke arah dia.

Dalam perjalanan kembali dari Tha'if, di suatu tempat bernama Nakhlah, sekelompok Jin bertemu dengan Muhammad dan memeluk Islam

Bai'at yang dilakukan oleh 12 orang dari Yatsrib terhadap Muhammad.

Bai'at yang dilakukan oleh 73 orang pria dan 2 orang wanita dari Yatsrib terhadap Muhammad.

9 September — Hijrah ke Madinah

Hijrah yang dilakukan oleh kaum Muslim dari Makkah ke Madinah. Muhammad tiba di Madinah pada hari Senin, tanggal 27 September .

Lihat pula

Referensi

  1. ^ [1] Diarsipkan 2006-05-16 di Wayback Machine. [2] Diarsipkan 2007-01-02 di Wayback Machine. [3] Diarsipkan 2007-03-10 di Wayback Machine. [4] Diarsipkan 2007-03-12 di Wayback Machine.

Pranala luar

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41