Pada tanggal 8 Juni 632 M atau 12 Rabiul Awwal 11 H, nabi Islam Muhammad meninggal dunia di umurnya yang ke-62 atau 63 tahun di rumah istrinya, Aisyah di Madinah.[1][2][3] Penyebab kematiannya masih diperdebatkan, dengan sumber-sumber klasik yang menyebutkan deman dan racun sebagai penyebab paling potensial.[4][5] Menurut sumber-sumber Islam Sunni, Muhammad diracuni oleh seorang wanita Yahudi di Khaibar, yang bertujuan untuk membalas kematian ayah dan suaminya yang terbunuh selama Pertempuran Khaibar.[6] Meskipun Muslim Syiah setuju bahwa Muhammad kemungkinan besar meninggal dunia karena diracuni, kisah ini ditolak oleh Syiah, yang menyebut bahwa rentang tahun peristiwa tersebut terlalu jauh untuk menjadi penyebab utama kematian Muhammad.[7][8]
Kematian Muhammad membawa keterkejutan besar di kalangan umat Islam, terutama para sahabatnya, yang paling menonjol di antara mereka adalah Umar bin Khattab, yang menolak kematiannya. Umar kemudian ditenangkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, yang berkhotbah untuk menenangkan umat Islam yang sedang berduka. Muhammad dimakamkan di rumah Aisyah, yang saat ini dikenal sebagai Kubah Hijau.[9]
Pasca kematian Muhammad, terjadi perselisihan mengenai siapa yang akan menjadi penerus Muhammad. Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Muhammad, mengeklaim kekhalifahan berdasarkan peristiwa Ghadir Khum. Meskipun begitu, Abu Bakar ash-Shiddiq berhasil mengumpulkan suara mayoritas klan melalui pertemuan Saqifah Bani Sa'idah, yang membuatnya diakui sebagai khalifah. Setelah enam bulan berselisih, Ali kemudian memutuskan untuk melepaskan klaimnya akan kekhalifahan dan setuju untuk berjanji setia kepada Abu Bakar. Keputusan ini berhasil menyelamatkan persatuan umat Islam di tengah-tengah kemunculan para nabi palsu, dan memulai era Kekhalifahan Rasyidin di bawah kepemimpinan Abu Bakar sebagai khalifah.[10][11][12][13][14]
Selain perselisihan politik, kematian Muhammad juga menyebabkan perselisihan religius. Umat Islam terbagi menjadi dua arus besar: Sunni dan Syiah. Muslim Sunni percaya bahwa Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya adalah khalifah yang sah dan menggelari keempat khalifah pemimpin Kekhalifahan Rasyidin sebagai Khulafaur Rasyidin, serta menganggap mereka sebagai model kesalehan yang harus diikuti.[15][16] Sementara itu, Muslim Syiah percaya bahwa dalam peristiwa Ghadir Khum, Ali telah menerima mandat dari Muhammad sebagai imam dan penerusnya secara politik dan religius, hal ini membuat Syiah tidak mengakui legitimasi tiga khalifah pertama dan mempertahankan kepercayaan bahwa Ali adalah penerus Muhammad yang sah.[17][18]
Latar belakang
Pada awal menyebarkan agamanya di Makkah, Muhammad tidak mengalami penentangan yang serius dari masyarakat lokal di sana dikarenakan mereka tidak begitu peduli dengan dirinya, sampai Muhammad menyerang keyakinan mereka.[19][20] Pada Desember 629, setelah secara sembunyi-sembunyi beremigrasi (hijrah) dari Makkah menuju Madinah, kini Muhammad tampil sebagai panglima perang pada Penaklukan Makkah yang sukses besar.[21]
Haji wadak
Pada tahun 632, pasca Penaklukan Makkah dan umrah pertama, Muhammad mengumumkan bahwa ia akan melaksanakan ziarah agung yang dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Haji wadak (haji perpisahan).[22] Setelah menyelesaikan ziarah tersebut, Muhammad menyampaikan sebuah pidato terkenal, yang dikenal sebagai Khotbah Perpisahan (Khotbah Wada'), di Gunung Arafah di sebelah timur Mekkah. Dalam khotbah ini, Muhammad menasehati para pengikutnya untuk tidak mengikuti adat pra-Islam tertentu. Misalnya, dia bilang kulit putih tidak memiliki keunggulan dibanding warna hitam, atau hitam memiliki keunggulan dibanding kulit putih kecuali oleh kesalehan dan tindakan baik.[23] Dia menghapus perseteruan darah lama dan perselisihan berdasarkan sistem suku sebelumnya dan meminta janji lama untuk dikembalikan sebagai implikasi dari penciptaan komunitas Islam yang baru. Mengomentari kerentanan perempuan di masyarakatnya, Muhammad meminta pengikut laki-lakinya untuk menjadi baik bagi perempuan, karena mereka adalah tawanan yang tidak berdaya di rumah Anda. Anda membawa mereka ke dalam kepercayaan Allah, dan melegitimasi hubungan seksual Anda dengan Firman Tuhan, maka masuklah ke indra Anda orang-orang, dan dengarkan kata-kata saya ... Dia mengatakan kepada mereka bahwa mereka berhak mendisiplinkan istri mereka tapi harus melakukannya dengan baik. Dia berbicara tentang masalah warisan dengan melarang klaim palsu tentang ayah atau hubungan klien dengan almarhum, dan melarang pengikutnya untuk meninggalkan kekayaan mereka kepada pewarisnya. Dia juga menjunjung tinggi kesucian empat bulan lunar setiap tahun.[24][25] Menurut tafsir Sunni, ayat al-Qur'an yang disampaikan dalam acara ini adalah "Hari ini Aku telah menyempurnakan agamamu, dan melengkapi nikmat-Ku untukmu dan memilih Islam sebagai agama bagimu" (Quran 5:3).[22] Menurut tafsir Saba, ini menunjuk pada pengangkatan Ali bin Abi Thalib di kolam Khumm sebagai penerus Muhammad, ini terjadi beberapa hari kemudian ketika umat Islam kembali dari Makkah ke Madinah.[26][27]
Wahai manusia sekalian, dengarkanlah perkataanku ini dan perhatikanlah. Ketahuilah oleh kamu sekalian, bahwa setiap muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, dan semua kaum muslimin itu adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan senang hati yang telah diberikannya dengan senang hati. Oleh sebab itu janganlah kamu menganiaya diri kamu sendiri.[34][35]
Ketahuilah sesungguhnya segala tradisi jahiliyah mulai hari ini tidak boleh dipakai lagi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kemanusiaan (seperti pembunuhan, dendam, dan lain-lain) yang telah terjadi di masa jahiliyah, semuanya batal dan tidak boleh berlaku lagi. (Sebagai contoh) hari ini aku nyatakan pembatalan pembunuhan balasan atas terbunuhnya Ibnu Rabi’ah bin Haris yang terjadi pada masa jahiliyah dahulu. Transaksi riba yang dilakukan pada masa jahiliyah juga tidak sudah tidak berlaku lagi sejak hari ini. Transaksi yang aku nyatakan tidak berlaku lagi adalah transaksi riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya seluruh transaksi riba itu semuanya batal dan tidak berlaku lagi.[35][36][37]
Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah atas nama Allah dan hubungan badan dengan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah. Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban terhadap isteri kalian dan isteri kalian mempunyai kewajiban terhadap diri kalian. Kewajiban mereka terhadap kalian adalah mereka tidak boleh memberi izin masuk orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal demikian, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras/tidak membahayakan. Sedangkan kewajiban kamu terhadap mereka adalah memberi nafkah, dan pakaian yang baik kepada mereka.[35][36][38]
Waspadalah terhadap syetan demi keselamatan agama kamu, dia telah berputus asa untuk menyesatkan kamu dalam perkara-perkara bersar, maka berjaga-jagalah supaya kamu tidak mengikuti dalam perkara-perkara kecil.[35][38][39]
Di Ghadir Khum, Rabigh, Muhammad memanggil kafilah Muslim untuk berhenti menjelang shalat berjamaah.[40] Muhammad naik ke atas sebuah mimbar yang dinaungi oleh daun-daun palem.[41] Setelah shalat,[40] Muhammad menyampaikan khotbah kepada sejumlah besar Muslim di mana, sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits dua hal berat, dia menekankan pentingnya dua hal: al-Qur'an, dan Ahlul Baitnya.[42][43][41][44] Hadits ini diriwayatkan secara luas oleh Sunni dan Syiah. Versi yang muncul dalam Musnad Ahmad, sebuah sumber sunni kanonik, adalah sebagai berikut:
Aku tinggalkan di antara kamu dua perkara yang jika kamu berpegang teguh padanya, kamu tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih besar dari yang lain: Kitab Allah, yang merupakan tali yang direntangkan dari Langit ke Bumi, dan [yang kedua adalah] keturunanku, Ahlul Bait. Keduanya tidak akan berpisah sampai mereka kembali ke surga.[42]
Muhammad mungkin mengulangi pernyataan ini berkali-kali,[42][45] dan ada beberapa versi yang sedikit berbeda dari hadits ini dalam sumber-sumber Sunni.[42] Misalnya, versi yang muncul dalam Sunan an-Nasa'i, sumber Sunni kanonik lainnya, juga menyertakan peringatan, "Perhatikanlah bagaimana Anda memperlakukan dua hal [warisan] itu sepeninggal saya."[41] Kemudian, sambil memegang tangan Ali, Muhammad bertanya apakah dia lebih dicintai oleh orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri, Ketika mereka mengiyakan, Muhammad menyatakan,[41]
Barang siapa yang menjadikanku sebagai mawla, maka Ali juga menjadi mawla untuknya.[40][46][47][41]
Pernyataan Muhammad ini dikenal dengan Hadits Walayah dalam Syiah.[48] Muhammad mungkin mengulangi kalimat ini tiga atau empat kali lagi.[43][49] Seperti yang dilaporkan dalam Musnad Ahmad Ia kemudian melanjutkannya dengan doa, "Ya Allah, jadilah sahabat bersama para sahabat Ali dan jadilah musuh dari musuhnya",[50] berdasarkan sumber Sunni Syawahid al-tanzil dan Syi'ah Nahjul Haq. Ibnu Katsir dan juga Ahmad bin Hambal dalam musnadnya mengisahkan bahwa sahabat Muhammad, Umar memberi selamat kepada Ali setelah khotbah dan mengatakan kepadanya, "Kamu sekarang telah menjadi mawla dari setiap pria dan wanita yang beriman".[51][41][52]
Wahyu terakhir
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Terdapat kekeliruan di banyak kalangan umat muslim Indonesia, menganggap bahwa ayat terakhir yang diturunkan Allah kepada Muhammad adalah ayat (QS Al-Maidah:3):
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.[a] Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Setelah kembali dari Haji wadak (Haji perpisahan), Muhammad mengalami sakit parah, yang diawali dari pusing secara rutin.[55] Beberapa sumber awal menyebutkan bahwa kematian Muhammad mungkin disebabkan oleh demam dan sakit kepala.[5][4] Namun beberapa sumber lain menyebutkan bahwa ia telah diracuni.[56]
Racun
Muslim Sunni mempercayai bahwa sebelum kematiannya, Muhammad diracuni oleh seorang wanita YahudiKhaibar yang bernama Zainab binti al-Harits.[57] Racun tersebut dimasukkan ke dalam daging yang dihidangkannya kepada Muhammad.[58] Wanita tersebut mengaku berbuat demikian untuk membalaskan dendam rakyatnya, ayahnya, pamannya dan suaminya yang telah dibunuh oleh pasukan Muhammad.[59][60] Dan jika Muhammad memang benar seorang Nabi, perempuan tersebut yakin kalau apa yang dilakukannya tidak akan membahayakan Muhammad.[61] Di hari-hari terakhirnya, Muhammad sering mengadu ke istri favoritnya, Aisyah, kalau dirinya masih merasakan sakit yang diakibatkan oleh racun tersebut, dan merasa kalau racun tersebut sedang memotong pembuluh jantungnya.[59][60] Ulama Sunni seperti az-Zuhri mengatakan bahwa Muhammad meninggal sebagai syahid diakibatkan oleh racun tersebut.[56]
Berbeda dari Muslim Sunni, pihak Muslim Syiah, meskipun meyakini bahwa Muhammad memang diracuni di Khaibar, namun mereka menyatakan bahwa racun tersebut bukanlah penyebab utama kematian Muhammad. Syiah justru menyebutkan bahwa Muhammad telah diracuni oleh Aisyah yang bekerjasama dengan Hafshah.[62][7] Syiah menyatakan bahwa peristiwa peracunan di Khaibar tersebut terjadi beberapa tahun sebelum kematian Muhammad, yang menurut mereka tidak mungkin menjadi penyebab utama kematian Muhammad.[62]
Kematian
Beberapa bulan setelah ziarah perpisahan, sakit yang dialami Muhammad semakin serius. Muhammad meminta agar dirawat di rumah istriya, Aisyah. Ia diantar oleh dua sahabatnya, yaitu Abbas dan Ali, dengan kakinya yang terseret-seret di atas tanah. Pada saat ini permusuhan antara Aisyah dan Ali semakin terlihat (yang kemudian berujung pada Perang Jamal) di mana Aisyah enggan menyebut nama Ali pada riwayat di atas, walaupun dia menyebutkan nama Abbas.[63]
Aisyah melaporkan, pada sakitnya Muhammad yang berujung pada kematiannya, ia kerap mengadu kepadanya,
يَا عَائِشَةُ مَا أَزَالُ أَجِدُ أَلَمَ الطَّعَامِ الَّذِي أَكَلْتُ بِخَيْبَرَ، فَهَذَا أَوَانُ وَجَدْتُ انْقِطَاعَ أَبْهَرِي مِنْ ذَلِكَ السَّمِّ Wahai Aisyah! Aku masih merasakan sakit yang diakibatkan oleh makanan yang aku makan di Khaibar, dan pada saat ini, aku merasa urat nadiku seperti sedang dipotong oleh racun itu.
Ketika Muhammad sakit, Aisyah bersama beberapa orang lain, menuangkan obat ke mulutnya. Namun Muhammad menolak, dengan mengatakan, “Jangan tuangkan obat ke mulutku”. Mereka mengira sikap Muhammmad tersebut hanyalah bentuk ketidaksukaan yang biasa dialami orang sakit terhadap obat. Ketika Muhammad merasa lebih baik, ia mengatakan, “Bukankah aku sudah larang kalian untuk tidak menuangkan obat ke mulutku?” Mereka pun menjawab kalau mereka mengira itu hanya sikap yang umum orang alami ketika sakit untuk tidak menyukai obat. Muhammad menyuruh mereka yang hadir di rumah tersebut untuk juga meminum obat, kecuali Abbas, karena dia tidak hadir ketika mereka melakukannya.[64]
Sakit yang dialami Muhammad semakin parah, dan pada hari terakhirnya, ia bersandar di dada Aisyah. Kemudian, Aisyah mendengar Muhammad mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الْأَعْلَى
Ya Allah, ampunilah dosaku, kasihanilah diriku dan izinkanlah aku bergabung dengan sahabat-sahabat tertinggi (di surga).[65][66][67]
Disebutkan bahwa Muhammad terus mengulang-ulang doa tersebut hingga nafas terakhirnya. Ia akhirnya meninggal dunia pada hari Senin, 8 Juni 632 M.[8][3]
Muhammad dikuburkan di tempat dimana ia meninggal, yaitu di rumah Aisyah.[22][68][69] Pada masa pemerintahan khalifah Umayyah al-Walid I, Masjid Nabawi (Masjid Nabi) diperluas untuk mencapai makamnya.[70] Kubah Hijau di atas makam dibangun oleh Sultan Mamluk al-Mansur Qalawun pada abad ke-13, meskipun warna hijau ditambahkan pada abad ke-16, di bawah pemerintahan Sultan Utsmaniyah, Suleiman Agung.[71] Di tempat yang berdekatan dengan makam Muhammad terdapat dua makam milik sahabat terkemukanya yang juga merupakan dua khalifah pertama Muslim, Abu Bakar dan Umar. Selain itu, terdapat makam yang kosong yang diyakini umat Islam sebagai makam Isa ketika turun kembali ke Bumi.[69][72][73]
Sewaktu Said bin Abdul-Aziz menguasai Madinah pada tahun 1805, makam Muhammad dilucuti dari ornamen-ornamen emasnya.[74] Hampir semua kubah-kubah makam yang terdapat di Madinah dihancurkan untuk mencegah pengkultusan,[74] dan Kubah pada makam Muhammad dilaporkan juga hampir ikut dihancurkan.[75] Penghancuran kubah-kubah makam dikatakan juga terjadi pada tahun 1925 ketika milisi Saudi berhasil mengambil alih (dan kali ini berhasil mempertahankan) kota tersebut.[76][77][78] Dalam penafsiran Wahhabi tentang Islam, penguburan harus dilakukan di makam yang tidak bertanda.[74] Banyak jamaah haji tetap melakukan ziarah ke makam-makam, walaupun praktek ini umumnya tidak disukai oleh orang-orang Saudi.[79][80]
Kuburan Muhammad terletak di dalam batas-batas rumah yang dulu adalah rumah istrinya, Aisyah. Yang setelah kematiannya disatukan dengan masjid Nabawi. Masjid tersebut diperluas pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid I untuk memasukkan makamnya.[70] Kuburan Muhammad adalah alasan penting bagi kesucian masjid Nabawi. Kubah Nabi menandai lokasi makam tersebut. Jutaan orang mengunjunginya setiap tahun, karena ini adalah tradisi untuk mengunjungi masjid Nabawi setelah berziarah ke Makkah.[70]
Dua khalifah pertama, Abu Bakr dan Umar dimakamkan di samping Muhammad. Umar diberi tempat di samping Muhammad oleh Aisha, yang semula ditujukan untuknya. Tempat kosong di samping makam Muhammad diperuntukkan bagi Yesus.[81] Menurut komentator Quran Baidawi, Yesus akan kembali ke Tanah Suci untuk membunuh Antikristus dan memerintah selama 40 tahun, kemudian dimakamkan di samping Muhammad.[82]
Kuburan Muhammad sendiri tidak dapat dilihat karena daerah itu ditutup oleh sebuah jala emas dan tirai hitam karena ajaran Wahhabi yang melarang memberi makna penting bagi kuburan (kunjungan kuburan dan almarhum diperbolehkan di hampir semua sekte utama Islam lainnya). Kuburan itu sendiri ditutupi oleh sarkofagus simbolis dan dihiasi dengan sutra hijau.[83]
Isu penggalian
Pada tahun 2014 lalu, ada isu penggalian makam Muhammad yang akan dilakukan oleh Pemerintahan Arab Saudi. Namun, isu tersebut sebenarnya tidaklah benar. Masjid Nabawi memang ingin diperluas, tetapi makam itu tidak akan dihancurkan. KH Amidan, pengurus Majelis Ulama Indonesia mengatakan bahwa isu itu adalah isu yang disebarkan untuk mengadu-domba kalangan Muslim. Menurutnya, kalau memang makam itu akan dibongkar, pastilah Arab Saudi akan diprotes oleh umat Islam di seluruh dunia, dan ia juga merasa bahwa Arab Saudi tidak akan berani melakukannya.[84] Berita ini kali pertama disebarkan oleh media di Iran, yakni Fars Media Agency dan diikuti pers Indonesia.[84]
Selain dari itu, kabar kebohongan ini juga mengutip dari The Independent dan Daily Mail yang berkantor pusat di Inggris. Mereka menyebar berita pada September 2014. Kabar ini diambil dari sebuah dokumen setebal 61 halaman yakni jurnal ilmiah Presidensi Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang tidak diterjemahkan dengan baik.[85] Pimpinan redaksi koran Mekkah, Muwafaq an-Nuwasyar, menuding dua surat kabar ini secara serampangan mengambil berita dan salah terjemah, sehingga koran Independent jatuh dalam perangkap kesalahpahaman. Kaum Muslim Indonesia sempat terpancing dengan berita ini, sehingga telah ada pernyataan dari duta besar Indonesia kepada Saudi Arabia, Mustafa bin Ibrahim al-Mubarak –sebagaimana menurut Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin– bahwa Arab Saudi memang tidak ada rencana untuk memindahkan makam dan memiliki komitmen yang tinggi menjaga keberadaan makam tersebut. Selain itu Menteri Agama menghimbau semua organisasi masyarakat Islam Indonesia supaya tidak perlu menguras tenaga dan emosi hanya karena berita yang tak berdasar tidak jelas itu.[85]
Dibangun pada 1279 M atau 678 H pada masa pemerintahan MamlukSultanAl Mansur Qalawun,[86] struktur aslinya terbuat dari kayu dan tidak berwarna,[87] dilukis putih dan biru di restorasi selanjutnya. Setelah kebakaran serius melanda Masjid pada tahun 1481, masjid dan kubah tersebut telah dibakar dan sebuah proyek restorasi diprakarsai oleh Sultan Qaitbay yang memiliki sebagian besar basis kayu diganti dengan struktur bata untuk mencegah runtuhnya kubah di masa depan. Dan piring bekas timbal untuk menutupi kubah kayu baru. Bangunan tersebut, termasuk Makam Muhammad, diperbarui secara ekstensif melalui patronase Qaitbay.[88] Kubah saat ini ditambahkan pada tahun 1818 oleh Sultan Mahmud II Ottoman. Kubah itu pertama kali dicat hijau pada tahun 1837.[70]
Ketika Saud bin Abdul Aziz membawa Madinah pada tahun 1905, para pengikutnya, kaum Wahhabi, menghancurkan hampir semua kubah makam di Madinah berdasarkan keyakinan mereka bahwa pemujaan terhadap makam dan tempat yang dianggap memiliki kekuatan supernatural adalah pelanggaran terhadap tawhid.[89] Makam Muhammad dilucuti dari ornamen emas dan perhiasannya, namun kubah tersebut dipelihara baik karena usaha yang gagal untuk menghancurkan strukturnya yang mengeras, atau karena beberapa waktu yang lalu. Abd al-Wahhab menulis bahwa dia tidak ingin melihat kubah tersebut hancur meski dia memiliki keengganan untuk orang-orang berdoa di makam.[90] Kejadian serupa terjadi pada tahun 1925 ketika milisi Saudi merebut kembali - dan kali ini berhasil mempertahankan - kota [76][77][78] Pada tahun 2007, menurut Independent, sebuah pamflet, yang diterbitkan oleh Kementerian Urusan Islam Saudi dan didukung oleh mufti besar Arab Saudi, menyatakan bahwa kubah hijau akan dibongkar dan tiga kuburan diratakan di Masjid Nabawi.[91]
Upaya pencurian
Menurut riwayatnya, ada beberapa kali usaha pencurian yang tercatat di dalam sejarah:[83][92]
Pertama, pada masa al-Hakim bi Amrillah al-Ubaidiy, dia hendak menarik perhatian masyarakat Mesir dengan hendak mendatangkan jasad Muhammad. Tetapi, usahanya gagal karena datangnya badai ke Madinah.
Kedua, pada masa pemerintahan al-Ubaidiy pada tahun 408Hijriah. al-Ubaidiy mengatakan bahwa dirinya Tuhan. Ia menyuruh orang untuk tinggal di dekat Masjid Nabawi. Orang-orang ini membuat terowongan menuju makam Muhammad. Upaya tersebut gagal karena ada suara penyeru, "Nabi kalian akan digali! Nabi kalian akan digali!" Maka para penduduk segera melakukan penyelidikan dan membunuh para utusan tersebut.
Ketiga, orang-orang dari Maroko dahulu pernah hendak menggali makam ini. Tetapi, Nuruddin Zanki, sebelumnya, bermimpi tentang keberadaan orang-orang ini. Para penggali kubur berhasil diakali dengan siasat sang panglima Nuruddin dengan memberi uang manakala ada penduduk yang berhasil menemui kedua penjahat ini. Di bawah sebuah tikar di rumah sang penjahat, ditemui terowongan menuju makam Muhammad. Setelah dipukuli penduduk, keduanya mengaku gagal karena adanya guncangan hebat di bumi. Karena adanya bukti, keduanya dibunuh. Lantas, karena kejadian ini, sang panglima membuat tembok dari timah tebal di sekitar makam Muhammad. Kejadian ini terjadi pada 1164Masehi atau 554Hijriah, [b]
Keempat, orang-orang pernah merampok kafilah jamaahhaji. Setelah merampok, mereka bertekad menggali makam Muhammad secara terang-terangan. Tapi digagalkan oleh sebuah kapal dari Mesir yang mengikutinya hingga Madinah. Orang-orang ini ditangkap dan ditawan.
Usaha kelima dilakukan dengan rencana menggali makam Abu Bakar dan Umar. Itu terjadi di pertengahan abad ke tujuh Hijriyah. Sejumlah orang yang mencapai 40 orang laki-laki ingin menggali kubur pada malam hari. Kemudian bumipun terbelah dan menelan mereka.[butuh rujukan] Hal ini diceritakan oleh pelayan al-Haram an-Nabawy pada saat itu. Dia adalah Shawwab, as-Syamsu al-Malthiy.
Setelah kematian Muhammad, komunitas Muslim tidak siap menghadapi kehilangan pemimpinnya dan banyak yang mengalami keterkejutan yang mendalam. Di antara para sahabat Muhammad, respon Umar adalah yang paling keras menentang kematian Muhammad, ath-Thabari melaporkan bahwa Umar berdiri dan mengatakan: "Beberapa orang munafik mengklaim bahwa Muhammad telah meninggal dunia, demi Allah, ia tidak meninggal dunia, tetapi pergi menemui Allah sebagaimana Musa bin Imran yang menghilang dari umatnya selama 40 hari. Musa kembali setelah dikatakan dia telah meninggal dunia. Demi Allah, Rasul akan kembali dan memotong tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan bahwa ia telah meninggal dunia!."[95] Umar juga mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal dunia.[96]
Abu Bakar berusaha menenangkan Umar dengan meyakinkannya bahwa Muhammad telah menerima kematiannya.[97] Abu Bakar kemudian berbicara kepada orang-orang yang berkumpul di masjid dan mengatakan,[98]
Jika ada yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa Muhammad sudah meninggal dunia. Jika ada yang menyembah Tuhan, maka ketahuilah Tuhan itu hidup, dan abadi
Abu Bakar kemudian membacakan surah Ali Imran ayat ke-144, yang langsung menyadarkan komunitas Muslim yang bersedih,[96][99]
“Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia meninggal atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.”
Setelah pemakaman Muhammad, Aisyah melaporkan bahwa kertas yang digunakan untuk mencatat ayat rajam dan ayat menyusui orang dewasa sepuluh kali untuk menjadi mahram telah habis dimakan domba.[100] Yang mana menyebabkan ayat-ayat tersebut tidak ditemukan lagi di dalam al-Quran manapun pada saat ini. Walaupun di dalam berbagai riwayat shahih; Umar, Aisyah dan para sahabat terkemuka Muhammad telah memastikan bahwa ayat-ayat yang dimaksud benar-benar diturunkan Allah dan disampaikan oleh Muhammad kepada umatnya.[101][102][103][104][105] Para ulama Muslim mengatakan bahwa untuk apa yang terjadi pada ayat-ayat ini adalah salah satu bentuk nasakh (pembatalan) pada ayat-ayat Al-Quran di mana lafazh atau bacaannya dihapus namun hukumnya masih berlaku.[106][100]
Segera setelah kematian Muhammad, kaum Anshar melangsungkan pertemuan di Saqifah klan Bani Sa'idah.[107] Keyakinan umum pada saat itu adalah bahwa tujuan pertemuan adalah agar Anshar memutuskan pemimpin baru komunitas Muslim di antara mereka sendiri, dengan sengaja mengecualikan Muhajirin (pendatang dari Makkah), meskipun hal ini kemudian menjadi bahan perdebatan.[108]
Namun demikian, Abu Bakar dan Umar, setelah mengetahui pertemuan tersebut, menjadi khawatir akan potensi kudeta dan bergegas ke pertemuan tersebut. Setelah tiba, Abu Bakar berbicara kepada orang-orang yang berkumpul dengan peringatan bahwa upaya untuk memilih seorang pemimpin di luar suku Muhammad sendiri, suku Quraisy, kemungkinan besar akan mengakibatkan pertikaian, karena hanya mereka yang dapat memperoleh rasa hormat yang diperlukan di antara masyarakat. Dia kemudian memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah, dan menawarkan mereka kepada Anshar sebagai pilihan potensial. Habab bin Mundzir, seorang veteran pertempuran Badar, membalas dengan pendapatnya sendiri bahwa suku Quraisy dan Ansar masing-masing memilih seorang pemimpin dari antara mereka sendiri, yang kemudian akan memerintah bersama. Kelompok tersebut menjadi panas setelah mendengar proposal ini dan mulai berdebat di antara mereka sendiri.[109]
Umar buru-buru meraih tangan Abu Bakar dan bersumpah setia kepada yang terakhir, contoh yang diikuti oleh orang-orang yang berkumpul. Pertemuan itu bubar ketika terjadi pertikaian sengit antara Umar dan kepala Bani Sa'ida, Sa'ad bin Ubadah. Ini mungkin menunjukkan bahwa pilihan Abu Bakar mungkin tidak bulat, dengan emosi memuncak akibat ketidaksepakatan.[110]
Abu Bakar hampir secara universal diterima sebagai kepala komunitas Muslim (dengan gelar Khalifah) sebagai hasil dari Saqifah, meskipun ia menghadapi perselisihan karena sifat acara yang terburu-buru. Beberapa sahabat, yang paling menonjol di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, awalnya menolak untuk mengakui kekuasaannya.[107] Di kalangan Syiah, juga dikatakan bahwa Ali sebelumnya telah ditunjuk sebagai pewaris Muhammad secara sah.[107] Abu Bakar kemudian mengirim Umar untuk menghadapi Ali, mengakibatkan pertengkaran yang mungkin melibatkan kekerasan.[111] Namun, setelah enam bulan kelompok tersebut berdamai dengan Abu Bakar dan Ali menawarkan kesetiaannya.[112][113]
Setelah kematian Muhammad, Muslim terpecah menjadi dua, yaitu Sunni dan Syi'ah. Muslim Sunni percaya bahwa Muhammad tidak memilih siapa pun untuk menggantikannya, melainkan beralasan bahwa dia bermaksud agar komunitas memutuskan seorang pemimpin di antara mereka sendiri.[117] Namun, beberapa hadis khusus digunakan oleh Sunni untuk membenarkan bahwa Muhammad memang menginginkan Abu Bakar untuk menggantikannya, tetapi dia telah menunjukkan keputusan ini melalui tindakannya daripada melakukannya secara lisan.[117] Sunni menganggap bahwa pengganti Muhammad dipilih sendiri oleh umat secaa demokrasi.[16]
Sementara itu, Muslim Syi'ah menganggap bahwa Muhammad telah mengumumkan Ali sebagai pewaris dan penggantinya yang sah pada pidatonya di Ghadir Khum.[118][119] Ali juga dikatakan telah mewarisi Muhammad dalam bentuk penafsiran al-Qur'an.[120] Syi'ah menganggap bahwa Imamah diwariskan kepada Ali dan keturunannya.[121]
Khawarij muncul pada tahun-tahun terakhir kekhalifahan Ali dan pemberontakan mereka diakhiri oleh Ali pada saat yang sama.[122] Gerakan "moderat" dari Khawarij, Ibadiyah,[123] menerima secara sah kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, namun menganggap bahwa Utsman telah melakukan dosa besar di akhir kekhalifahannya.[124] Mereka juga sependapat dengan Syi'ah dan meyakini bahwa Abu Bakar dan Umar telah melakukan kudeta politik terhadap Ali.[125]
Catatan
^Mayoritas di antara mereka menekankan pada bagian ini
^Kejadian ini dicatat oleh Ali Hafidz, seorang sejarawan Arab, dalam Fushul min Tarikh al-Madinah al-Munawwarah.
^Sirah Nabawiyah - Ibnu Hisyam. Diterjemahkan oleh Ikhlas Hikmatiar. Qisthi Press. 2019. hlm. 578.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abElizabeth Goldman (1995), p. 63, gives 8 June 632 CE, the dominant Islamic tradition. Many earlier (primarily non-Islamic) traditions refer to him as still alive at the time of the invasion of Palestine. See Stephen J. Shoemaker,The Death of a Prophet: The End of Muhammad's Life and the Beginnings of Islam, page 248, University of Pennsylvania Press, 2011.
^Sirah Nabawiyah - Ibnu Hisyam. Diterjemahkan oleh Ikhlas Hikmatiar. Qisthi Press. 2019. hlm. 578.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdAriffin, Syed Ahmad Iskandar Syed (2005). Architectural Conservation in Islam: Case Study of the Prophet's Mosque. Penerbit UTM. hlm. 88. ISBN978-983-52-0373-2.
^"Prophet's Mosque". Archnet.org. 2 May 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-23. Diakses tanggal 26 January 2012.
Lalani, Arzina (2011). "Ghadir Khumm". Oxford Bibliographies. Diakses tanggal 9 January 2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)