Pada tahun 1517, Sultan Utsmaniyah Selim I menang dalam Perang Utsmaniyah-Mamluk melawan Kesultanan Mamluk di Kairo. Khalifah terakhir Kairo, Al-Mutawakkil III, ditangkap dan dibawa ke Konstantinopel. Di sana, Al-Mutawakkil III menyerahkan gelar khalifah kepada Selim, yang membuat Sultan Utsmaniyah menjadi khalifah baru. Sejak itu, Utsmaniyah dianggap sebagai pemimpin dunia Islam. Para sultan Utsmaniyah memerintah dari Konstantinopel dan kekaisaran mereka mencakup wilayah luas seperti Anatolia, Timur Tengah, Afrika Utara, Kaukasus, dan Eropa Timur.
Namun, karena kepemimpinan buruk, kekaisaran Utsmaniyah tidak dapat merespons kemajuan Eropa dengan baik. Eropa kala itu menjadi kuat karena bersatu setelah Perjanjian Damai Westphalia dan Revolusi Industri. Karena itu, kekaisaran Utsmaniyah kehilangan kekuatan secara bertahap dan posisinya sebagai kekuatan besar utama terancam.
Penggunaan gelar khalifah untuk tujuan politik pertama kali terjadi pada tahun 1774. Ini terjadi ketika Utsmaniyah ingin menantang Rusia yang ingin melindungi umat Kristen Ortodoks di bawah kekuasaan Utsmaniyah. Sebagai respons, Utsmaniyah juga mengklaim perlindungan terhadap umat Muslim di Rusia. Inggris mendukung Utsmaniyah dalam hal ini dan bahkan mendapatkan dukungan dari khalifah Utsmaniyah untuk mengatur umat Muslim di India Britania agar patuh kepada pemerintah Britania.[2]
Pada abad kesembilan belas, Kekaisaran Utsmaniyah mulai memodernisasi diri dengan Tanzimat. Ini membuat kekaisaran lebih kuat meskipun mereka kalah dalam beberapa perang melawan Kekaisaran Rusia, dan mereka kesulitan membayar utang pada tahun 1875–76 dalam krisis keuangan global.
Pemerintah Inggris mendukung pandangan bahwa Utsmaniyah adalah Khalifah Islam di antara umat Islam di India Britania dan para sultan Utsmaniyah sebagai gantinya membantu Inggris dengan mengeluarkan pernyataan kepada umat Islam di India, yang memuji mereka untuk mendukung kekuasaan Inggris; pernyataan tersebut berasal dari sultan Selim III dan sultan Abdulmejid I.[2]
Abdul Hamid II (1876–1909)
Sultan Abdul Hamid II, yang memerintah dari tahun 1876 hingga 1909, merasa bahwa situasi buruk yang dihadapi Kekaisaran hanya dapat diperbaiki melalui kepemimpinan yang kuat dan tegas. Dia tidak percaya pada menteri-menterinya dan pejabat-pejabat lain yang telah melayani pendahulunya, dan secara bertahap mengurangi peran mereka dalam pemerintahannya, mengkonsentrasikan kekuasaan mutlak atas pemerintahan Kekaisaran dalam tangannya sendiri.
Selain itu, ia juga mengambil sikap keras terhadap keterlibatan Barat dalam urusan Utsmaniyah, dia menekankan "karakter Islam" dalam memerintah kekhalifahan, menguatkan kembali statusnya sebagai Khalifah, dan mendorong umat Islam bersatu di bawah Kekhalifahan. Dengan cara ini, Abdul-Hamid berhasil memperkuat posisi Kekaisaran dan mulai membangun banyak sekolah, mengurangi hutang nasional, dan memulai proyek-proyek yang bertujuan untuk merevitalisasi infrastruktur Kekaisaran.
Pada tahun 1899, Utsmaniyah mengabulkan permintaan dari pemerintah Amerika Serikat dan memanfaatkan otoritas keagamaan mereka sebagai khalifah untuk memerintahkan Kesultanan Tausug (yang terletak di wilayah yang saat ini masuk dalam bagian selatan Filipina dan timur laut Malaysia) berhenti bertahan dan kemudian menyerah kepada Amerika; Sultan Jamalul-Kiram II dari Kesultanan Tausug mematuhi perintah sultan khalifah Abdul-Hamid II, dan akhirnya menyerah.
Namun, kudeta oleh tiga Pasha pada tahun 1909 menandai berakhirnya pemerintahan Abdul Hamid II. Perwira militer Turki yang condong ke Barat dan menentang pemerintahan Abdul-Hamid secara bertahap membentuk organisasi di dalam dan di luar Turki.
Pada tahun 1906, gerakan ini mendapat dukungan dari sebagian besar tentara, dan para pemimpinnya membentuk Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP), yang dikenal secara informal sebagai Partai Turki Muda. Para Pemuda Turki berusaha untuk memodelkan administrasi Kekaisaran sesuai dengan garis Barat. Ideologi mereka bersifat nasionalis. Di kemudian hari, mereka menjadi pelopor dari gerakan yang akan mengambil alih kendali atas Turki setelah Perang Dunia I.
Pemimpin CUP menyajikan gagasan-gagasan mereka kepada publik sebagai kebangkitan "prinsip-prinsip Islam yang sejati". Di bawah kepemimpinan Enver Pasha, seorang perwira militer Turki, CUP melancarkan kudeta militer terhadap sultan pada tahun 1908 dan mengumumkan rezim pemerintahan baru pada 6 Juli. Meskipun mereka membiarkan Abdul-Hamid tetap bertahta, Para Pemuda Turki memaksa sultan untuk mengembalikan parlemen dan konstitusi kepada rakyat Turki, dengan demikian membentuk monarki konstitusional dan menghapuskan otoritas Kekhalifahan.
Deringil, Selim. "Legitimacy Structures in the Ottoman State: The Reign of Abdulhamid II (1876-1909), International Journal of Middle East Studies, Vol. 23, No. 3 (August, 1991).
Haddad, Mahmoud. "Arab Religious Nationalism in the Colonial Era: Rereading Rashid Rida's Ideas on the Caliphate", Journal of the American Oriental Society, Vol. 117, No. 2 (April, 1997).
Kedourie, Elie. "The End of the Ottoman Empire", Journal of Contemporary History, Vol. 3, No. 4 (October, 1968).
Lewis, Bernard. "The Ottoman Empire and Its Aftermath", Journal of Contemporary History, Vol. 15, No. 1 (January, 1980).
Hussain, Ishtiaq. "The Tanzimat: Secular Reforms in the Ottoman Empire", Faith Matters (October 2011)