Selim I
Selim I (Bahasa Turki Utsmaniyah: سليم اول, Bahasa Turki: Birinci Selim; 1470/1 – September 1520) adalah penguasa Utsmani kesembilan dan berkuasa pada tahun 1512 sampai 1520.[1] Watak dan kepribadiannya yang keras menjadikannya mendapat julukan Yavuz Sultan Selim (Yavuz sendiri dapat dimaknai dengan "keras", "teguh", atau "tegas"). Di masa kekuasaannya yang terbilang singkat, Utsmani mengalami dua peristiwa besar yang sangat memengaruhi keberjalanan keadaan Timur Tengah pada masa-masa selanjutnya. Kemenangan Utsmani dalam Pertempuran Chaldiran membendung laju perkembangan Syiah yang bangkit seiring menguatnya Wangsa Safawiyah di kawasan Iran dan sekitarnya. Penaklukannya atas Kesultanan Mamluk menjadikan wilayah Utsmani meluas secara dramatis lantaran kawasan Syam, Mesir, dan Hijaz menjadi dalam kekuasaan Utsmani. Jatuhnya Mamluk menjadikan kepemimpinan kota Makkah dan Madinah yang berada di wilayah Hijaz beralih ke tangan Utsmani, sehingga Selim kemudian menyandang gelar Ḫādimü'l-Ḥaremeyn (خادم الحرمين الشريفين) atau "Pelayan Dua Tanah Haram" dan gelar ini diturunkan kepada para penerusnya. Seiring keruntuhan Mamluk juga diikuti penyerahan kedudukan khalifah oleh Al Mutawakkil kepada Selim, menjadikan Selim sebagai khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan non-Arab, meski beberapa Sultan Utsmani sebelumnya telah mengklaim gelar tersebut. Sebagai şehzadeSelim dilahirkan di Amasya pada sekitar tahun 1470 pada masa kekuasaan kakeknya, Sultan Mehmed II atau yang juga dikenal dengan Muhammad Al Fatih. Pada 1481, ayah Selim naik takhta sebagai Sultan Bayezid II. Sebagaimana tradisi Utsmani, para şehzade (pangeran) yang sudah cukup umur akan memerintah di wilayah penugasan yang telah ditentukan sultan. Saat sultan mangkat, pangeran yang tiba lebih dulu di ibu kota akan dinobatkan sebagai sultan yang baru. Tiga putra Bayezid juga mendapat penugasan tersebut. Şehzade Ahmed memerintah Amasya, Şehzade Korkud memerintah Antalya, dan Şehzade Selim memerintah Trebizond. Di antara ketiga bersaudara putra Bayezid ini, Ahmed memiliki wilayah penugasan paling dekat dengan Konstantinopel, sehingga dia dipandang sebagai pangeran yang, secara tidak langsung, dianggap sebagai pewaris oleh sultan karena berpeluang paling cepat bila tiba di ibu kota. Meski putra Selim, Suleiman, ditugaskan memerintah wilayah Bolu yang dekat dengan ibu kota, dia kemudian dipindah di Kaffa, Krimea, karena penolakan dari Şehzade Ahmed. Hal ini kemudian ditafsirkan oleh Selim sebagai bentuk dukungan Bayezid terhadap Ahmed sebagai calon pewaris. Selim kemudian meminta wilayah penugasan di Rumelia, istilah untuk merujuk pada wilayah Utsmani di Eropa. Meski awalnya menolak dengan alasan bahwa kawasan tersebut tidak diperuntukkan untuk para pangeran, atas dukungan Meñli I Giray, Khan Krimea saat itu, Selim ditugaskan Bayezid memerintah di Semendire (termasuk kawasan Serbia). Meski memang masuk kawasan Rumelia, jarak Semendire ke Konstantinopel terbilang jauh sehingga Selim menolak dan justru tetap berdiam di ibu kota. Bayezid memandang penolakan Selim ini sebagai bentuk pemberontakan dan dia mengalahkan pasukan Selim di pertempuran pada Agustus 1511. Selim kemudian mengungsi ke Krimea.[2] Saat Sultan Bayezid berperang melawan Selim, Şehzade Ahmed ditugaskan untuk menekan pemberontakan Şahkulu yang didukung Ismail I, Kaisar Safawiyah. Dinasti Safawiyah sendiri adalah pesaing berat Utsmani di kawasan tersebut. Bersama Wazir Agung (Perdana Menteri) Hadım Ali Pasya, Şehzade Ahmed dapat memojokkan Şahkulu di dekat Altıntaş (Kütahya). Namun Şehzade Ahmed justru meninggalkan medan perang demi mengamankan kedudukannya sebagai pewaris, merebakkan kebingungan di kalangan para prajurit. Hadım Ali Pasya yang sebenarnya merupakan pendukung utama Ahmed meninggal saat melawan pemberontakan Şahkulu. Şahkulu sendiri juga meninggal dalam peristiwa ini.[3][4] Mendengar bahwa Bayezid telah mengalahkan pasukan Selim, Ahmed menyatakan dirinya sebagai Sultan Anatolia dan mulai melancarkan serangan kepada keponakannya (yang ayahnya telah meninggal) dan menduduki Konya. Meski sudah diperintahkan Bayezid untuk kembali ke wilayah penugasannya, Ahmed menolak dan bahkan berusaha menduduki ibu kota, tetapi gagal lantaran dihadang para prajurit yang menginginkan sultan yang lebih cakap. Selim kembali dari Krimea dan, dengan dukungan dari pasukan Yanisari, mendesak Bayezid untuk menyerahkan takhta kepada Selim pada 25 April 1512.[5][6] Bayezid dikirim ke Demotika untuk menghabiskan masa pensiunnya di sana, tetapi keadaannya sudah tua dan sakit-sakitan saat itu. Sebelum tiba di tempat tujuan, Bayezid meninggal di Büyükçekmece pada 26 Mei 1512. Awal kekuasaanPada awal masa kekuasaan Selim, Ahmed masih memegang kendali atas Anatolia selama beberapa bulan. Kedua belah pihak bertempur di dekat Yenişehir, Bursa, pada 24 April 1513. Pihak Ahmed dikalahkan. Ahmed sendiri ditahan dan kemudian dihukum mati setelahnya. Putra Ahmed, Şehzade Murad, mengungsi ke Kekaisaran Safawiyah. Ismail I berusaha menggunakan Murad untuk mengumpulkan masa melawan pemerintahan Selim.[7] Namun rencana itu akhirnya gagal dan Murad mendapat suaka di Safawiyah.[8] Şehzade Korkud sendiri juga dihukum mati pada 1513 karena diduga telah menyiapkan pemberontakan melawan Selim. Pertempuran ChaldiranSalah satu perhatian besar pada masa kekuasaan Selim adalah Ismail I yang menjadikan Dinasti Safawiyah sebagai kekuatan baru di kawasan tersebut, juga mengubah agama Persia dari Sunni ke Syi'ah Dua Belas Imam, menjadikannya ancaman besar bagi Utsmani yang Sunni. Pada 1510, Safawiyah telah menguasai kawasan Iran dan Azerbaijan,[9] Dagestan selatan, Mesopotamia, Armenia, Khorasan Raya, Anatolia Timur, dan menjadikan Kerajaan Kakheti dan Kartli di kawasan Kaukasus sebagai negara bawahannya.[10][11] Setelah menuntaskan perang saudara, Selim kemudian memusatkan perhatiannya pada kekacauan dalam negeri yang dipercaya didalangi oleh Qizilbasy (kelompok militan Syi'ah). Selim mengkhawatirkan bahwa mereka akan menghasut masyarakat untuk mendukung Ismail, pemimpin Dinasti Safawiyah, yang dipercaya sebagian pengikutnya sebagai keturunan Nabi Muhammad. Setelah mendapat persetujuan dari ahli fiqih yang menyatakan Ismail dan Qizilbasy sebagai kelompok kafir dan pembid'ah, Selim dapat mengarahkan pasukan ke arah timur untuk menekan pergerakan mereka.[12] Di sisi lain, Ismail mendakwa Selim telah melakukan penyerangan kepada sesama Muslim dan menumpahkan darah pihak yang tak bersalah.[13] Sebelum melakukan penyerangan, Selim menghukum mati 40.000 orang Qizilbasy Anatolia "sebagai hukuman atas tindakan pemberontakan mereka."[14] Selim juga menghentikan impor sutra dari Iran.[14] Pada 1514, Selim menyerang wilayah Ismail untuk menghentikan laju penyebaran Syi'ah di Utsmani. Sebelumnya, Selim dan Ismail saling berkirim surat kecaman satu sama lain sebelum penyerangan dilakukan. Di saat yang sama, Safawiyah juga harus berhadapan dengan bangsa Uzbek di timur. Demi menghindari pertempuran di dua tempat secara bersamaan, Ismail melakukan taktik bumi hangus dalam melawan Utsmani di barat.[13] Saat mengetahui Ismail menghimpun pasukan di Chaldiran, Selim mengerahkan pasukan di sana dan terjadilah pertempuran antara pihak Selim dan Ismail. Meski pasukan Ismail memiliki persiapan lebih matang, pihak Selim unggul dengan pasukan mutakhir dan persenjataan yang lebih efisien. Safawiyah mengalami kekalahan telak dan Ismail sendiri hampir tertangkap. Selim memasuki ibu kota Iran, Tabriz, pada 5 September.[15] Pihak Utsmani juga menduduki Mesopotamia, dan sebagian wilayah Armenia. Dalam perang ini, Selim berhasil menawan dua istri Ismail.[16][17] Hal ini membuat harga diri Ismail jatuh, membuatnya melampiaskan kekalahan dengan mabuk-mabukan.[18] Ismail sendiri juga menarik diri dari urusan militer dan pemerintahan lantaran kepercayaan dirinya yang hancur dan itu berlangsung sampai mangkatnya pada 1524 di usianya yang baru menginjak 36 tahun.[19] Penaklukan MamlukSebelum berdirinya Safawiyah, Utsmani dan Mamluk adalah dua negara paling berkuasa di kawasan Timur Tengah. Utsmani menguasai wilayah Anatolia, sedangkan Kesultanan Mamluk menguasai kawasan Mesir, Syiria, dan Hijaz. Setelah penyerangan Baghdad oleh Mongol pada 1258, Wangsa Abbasiyah yang masih memegang peran khalifah secara turun-temurun tinggal di Mesir dalam perlindungan Sultan Mamluk tanpa kekuatan politik yang memadai dan tidak memiliki wilayah kekuasaan, sehingga kerap terseret arus perselisihan di pemerintahan Mesir. Kedua negara besar ini dipisahkan oleh negara-negara kecil bangsa Turki yang berkuasa di kawasan Anatolia tenggara. Sebelum masa Selim, Utsmani maupun Mamluk beberapa kali pernah terlibat perselisihan. Pihak Mamluk pernah memberikan suaka pada Pangeran Cem, saudara tiri Sultan Bayezid II yang berusaha mengambil alih takhta. Pada masa Utsmani di bawah kepemimpinan Bayezid II, Utsmani dan Mamluk pernah terlibat beberapa peperangan, meski batas kedua negara cenderung tidak berubah. Keseimbangan di kawasan Timur Tengah mulai bergeser saat bangkitnya Wangsa Safawiyah di kawasan Persia. Sang pendiri, Ismail I, dikatakan sebagai penguasa Syiah paling berhasil dan paling intoleran setelah jatuhnya Fatimiyah.[20] Pihak Mamluk mengharapkan perselisihan di antara Utsmani dan Safawiyah membuat kedua negara besar itu saling melemah. Saat Safawiyah berusaha menjalin kekuatan Eropa untuk membuat persekutuan anti-Utsmani pada awal 1500-an, Mamluk memberi izin duta Safawiyah untuk melewati wilayah mereka dalam rangka berhubungan dengan Eropa. Pihak Utsmani menekan Mamluk agar tidak membiarkan duta tersebut kembali ke Safawiyah. Pertempuran Marj DabiqSetelah kekalahan Safawiyah dalam Perang Chaldiran dan pendudukan Selim atas negara-negara bangsa Turki yang menjadi batas Mamluk dan Utsmani pada musim panas 1515, tampak jelas bahwa perselisihan antara Mamluk dan Utsmani menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi dihindari. Sultan Mamluk saat itu, Qansuh Al-Ghuri, menerima tawaran persekutuan dari Ismail I. Pada tahun 1516, Al-Ghuri bertolak menuju Syiria, meninggalkan salah satu menterinya, Tuman Bay, untuk memimpin Mesir. Al-Ghuri berangkat ke utara diiringi perayaan yang meriah bersama para pejabat tinggi, tabib, musisi, dan muazin. Khalifah Muhammad Al Mutawakkil juga turut serta dalam rombongan ini. Dalam perjalanan, Sultan Al-Ghuri juga menerima Pangeran Ahmed, keponakan Sultan Selim, dalam rombongannya dengan harapan dapat menarik simpati dari pasukan Utsmani.[21] Pasukan Utsmani dan Mamluk bertemu dalam Pertempuran Marj Dabiq pada 24 Agustus 1516. Di barisan Mamluk, Qansuh Al-Ghuri berada di bagian tengah, sedangkan sayap kiri dipimpin oleh Gubernur Aleppo, Kha'ir Bey, dan pasukan sayap kanan dipimpin Gubernur Damaskus. Pasukan kavaleri sayap kiri Mamluk berhasil mendesak pasukan kavaleri sayap kanan Utsmani, tetapi pihak sayap kiri Mamluk mundur setelah menerima serangan meriam. Kavaleri sayap kiri Utsmani juga berhasil dipaksa mundur setelah mendapat serangan dari pasukan tengah dan sayap kanan Mamluk. Meski begitu, pasukan tengah Mamluk mundur setelah mendapat serangan meriam, begitu juga pasukan sayap kanan Mamluk yang mendapat serangan tembakan dari pasukan Yanisari. Al-Ghuri memerintahkan sayap kiri Mamluk untuk bergabung dan menyerang bersama-sama pasukan Utsmani dari kanan, tetapi perintah itu diabaikan. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Kha'ir Bey berkhianat dan memihak Utsmani, sedang sebagian lain menyatakan bahwa Gubernur Aleppo tersebut mundur lantaran yakin pihak Mamluk telah kalah. Kha'ir Bey meninggalkan medan perang bersama dengan pasukan infanteri. Kekacauan di pihak Mamluk menjadikan pasukan Utsmani dapat mengalahkan Mamluk dalam pertempuran ini. Sultan Qansuh Al-Ghuri meninggal, tetapi terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab kematiannya. Beberapa menyatakan bahwa dia terbunuh di medan perang. Pendapat lain menyatakan bahwa kantung empedunya pecah, atau melakukan bunuh diri.[22] Setelah kemenangan Selim dalam Pertempuran Marj Dabiq, dia mendapat sambutan hangat di Aleppo oleh para penduduk. Selim menerima Khalifah Al Mutawakkil dengan ramah, tetapi mengecam para hakim karena kegagalan mereka memeriksa pemerintahan buruk dari Mamluk.[21] Dengan kekalahan Mamluk, Utsmani secara resmi mengambil alih kepemimpinan Syiria. Pendudukan MesirSetelah kemenangan di Marj Dabiq, Selim menunggu untuk mengamankan kedudukannya dengan menunggu datangnya angkatan laut Utsmani. Oleh karenanya, Selim mengutus Sinan Pasya memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng-benteng di pesisir. Di Mesir, Tuman Bay naik takhta sebagai Sultan Mesir dan merekrut pasukan baru, menolak tunduk menjadi bawahan Utsmani. Pasukan kavaleri Mamluk di bawah kepemimpinan Janbirdi Al-Ghazali menyerang pasukan Utsmani di Khan Yunis, Gaza selatan, saat mereka hendak memasuki Mesir pada akhir Oktober. Meski begitu, pasukan Sinan Pasya berhasil mengalahkan pasukan Al-Ghazali. Pasukan Mamluk yang tersisa mundur ke Kairo bersama Al-Ghazali yang terluka. Selim mulai bergerak menuju Mesir saat angkatan laut Utsmani tiba di Syiria. Pasukan Utsmani mengalami perjalanan sulit melintasi gurun Sinai, tetapi mereka bertahan dengan mendapat bantuan persediaan dari laut sehingga mereka berhasil memasuki Mesir pada Januari 1517. 22 Januari, pasukan Tuman Bay dan Selim bertemu di Ridaniya yang terletak di pinggiran Kairo. Dalam pertempuran ini, pihak Mamluk membawa 300 meriam dari Venesia dan ditempatkan di parit. Di sisi lain, meriam Utsmani ditempatkan di belakang pasukan di atas bukit. Pertempuran meriam berlangsung singkat dengan kemenangan di pihak Utsmani lantaran pasukan Mamluk belum berpengalaman dalam menggunakan senjata baru tersebut. Pasukan Utsmani memenangkan pertempuran dan pasukan Mamluk meninggakan medan perang.[23] Sinan Pasya gugur dalam pertempuran ini.[24] Pasukan Utsmani masuk ke Kairo tanpa perlawanan dan Selim sendiri menduduki Pulai Gezira, pulau di tengah Sungai Nil di Kairo tengah. Mereka menduduki benteng dan menghukum mati semua garnisun Kaukasus. Namun pada tanggal 26, pasukan Tuman Bay memasuki kota bersama pasukan Badui dan mengalahkan mereka. Selim mengirim pasukan Yanisari untuk mengambil alih Kairo pada tanggal 27 dan penduduk setempat berpihak pada Tuman Bay. Pertempuran di dalam kota berlanjut sampai tanggal 3 Februari sampai pihak Utsmani berhasil mengendalikan kota. Banyak para bangsawan Mamluk gugur dalam peristiwa ini. Meski begitu, banyak warga yang mendapat pengampunan atas permintaan Khalifah yang sekarang memiliki kedudukan yang lebih menonjol dibandingkan pada masa kekuasaan Mamluk.[21] Selain diberikan pada para warga, pengampunan juga diberikan pada para amir yang masih bersembunyi. Janbirdi Al-Ghazali memohon pengampunan dan kemudian diberikan kedudukan sebagai komandan dalam melawan Suku Badui.[21] Demi menghindari perselisihan lebih lanjut, Tuman Bay mengusulkan perjanjian damai dan mengakui kedaulatan Selim atas Mesir bila penyerangan dihentikan. Selim kemudian mengutus Khalifah Al Mutawakkil beserta empat orang hakim untuk mendampingi utusan dari Utsmani yang dikirim pada Tuman Bay. Khalifah sendiri tidak menyukai tugas tersebut sehingga dia mengirim wakilnya. Pada dasarnya, Tuman Bay menerima persyaratan damai dengan senang hati, tetapi para pendukungnya yang tidak memercayai Selim menolak tawaran tersebut. Mereka membunuh utusan Utsmani tersebut beserta salah satu hakim, membuat perundingan damai gagal terbentuk. Sebagai balasan atas tindakan tersebut, Selim membunuh 57 amir Mamluk yang ditahan di benteng. Tuman Bay kemudian menghimpun pasukan di piramida Giza dan pada akhir Maret, kedua pasukan bertemu.[21] Pihak Tuman Bay kalah setelah dua hari pertempuran dan dia sendiri berlindung di salah satu kepala suku Badui yang justru kemudian menyerahkan dirinya pada pihak Selim.[21] Selim pada awalnya hendak memberikan pengampunan dan membawa Tuman Bay ke Konstantinopel, tetapi Janbirdi Al-Ghazali dan Kha'ir Bey mengusulkan agar Tuman Bay dihukum mati lantaran keberadaannya akan mengancam kekuasaan Utsmani di Mesir. Tuman Bay kemudian dipenjara dan dihukum gantung di gerbang kota pada 15 April 1517. Jasadnya digantung selama tiga hari sebelum dikebumikan.[21] Meninggalnya Tuman Bay menandai berakhirnya masa kekuasaan Mamluk atas Mesir. Meski bangsa Mamluk yang tersisa tetap berada di Mesir sebagai bangsawan, setelah peristiwa ini, mereka secara resmi menjadi bawahan Utsmani yang berpusat di Konstantinopel. Tahun-tahun terakhirSelama pemerintahannya, Selim memperluas wilayah Usmaniyah dari 2,5 juta km² menjadi 6,5 juta km². Ia membuat penuh perbendaharaan negara, menguncinya dengan meterainya sendiri dan mengumumkan bahwa, "Barangsiapa membuat penuh perbendaharaan ini melebihi isinya sekarang, ia dapat menggunakan meterainya untuk mengunci perbendaharaan.” Perbendaharaan ini dikunci dengan meterainya hingga runtuhnya Kesultanan Utsmani 400 tahun kemudian. Setelah kembali dari perangnya di Mesir, dia mendapat surat dari penduduk Afrika Utara untuk meminta perlindungannya dalam menghadapi pelaut-pelaut Spanyol dan Portugis yang mengacau di Laut Tengah. Oleh karena itu, dia menyiapkan ekspedisi untuk memerangi Rhodes dan di sana ia meninggal pada 9 Syawal 926 H / 22 September 1520 karena sirpense, infeksi kulit. Pendapat lain menyatakan bahwa Selim meninggal karena kanker atau bahkan diracun oleh tabibnya.[25] Sebagian sejarawan menyatakan bahwa mangkatnya Selim bersamaan dengan menyebarnya wabah pes di kesultanan dan beberapa sumber menyebutkan bahwa Selim sendiri juga terjangkit. Jenazah Selim kemudian dibawa ke Konstantinopel dan dikebumikan di kompleks Masjid Sultan Yavuz Selim. Berbeda dengan pendahulunya yang sangat memusatkan perhatian pada perluasan wilayah ke arah Eropa, Selim memusatkan perhatiannya ke kawasan Timur Tengah karena dipercaya bahaya yang sebenarnya berasal dari arah timur.[26] [27] KepribadianBanyak sumber menyatakan bahwa Selim memiliki watak yang berapi-api dan memiliki harapan yang sangat tinggi pada para bawahannya. Banyak menterinya dihukum mati dengan berbagai alasan. Sebuah umpatan di Utsmani berbunyi, "Semoga kamu menjadi menterinya Selim," lantaran banyaknya jumlah menteri yang dihukum mati. Selim merupakan salah satu penguasa Utsmani yang paling berhasil dan dihormati, giat, dan pekerja keras. Meski masa kekuasaannya terbilang singkat, para sejarawan sepakat bahwa Selim telah mempersiapkan Kekaisaran Utsmani untuk mencapai titik puncaknya pada masa putra dan penerusnya, Suleiman Al-Qanuni.[28] Selim juga seorang pujangga yang menulis puisi dalam bahasa Turki dan Pesia menggunakan nama Mahlas Selimi, yang kumpulan puisi Persianya masih utuh hingga hari ini.[28] Dalam salah satu puisinya, dia menulis, "Sebuah permadani cukup besar untuk diduduki oleh dua orang sufi, tetapi dunia tidak cukup besar untuk dua orang raja.” GelarKota Makkah dan Madinah yang sebelumnya masuk wilayah kekuasaan Mamluk secara otomatis menjadi wilayah kekuasaan Utsmani. Atas dasar ini, Selim kemudian mengambil gelar Ḫādimü'l-Ḥaremeyn (خادم الحرمين الشريفين) atau "Pelayan Dua Tanah Haram." Setelah jatuhnya Mamluk, Al Mutawakkil kemudian menyerahkan kedudukan khalifah secara resmi kepada Selim dengan upacara penyerahan jubah dan mantel Nabi sebagai perlambang peralihan gelar ini.[29] Hal ini menjadikan Al Mutawakkil sebagai khalifah terakhir dari Wangsa Abbasiyah dan Selim sebagai khalifah pertama dari Wangsa Utsmani dan kalangan non-Arab. Meski begitu, beberapa Sultan Utsmani sebelum Selim telah mengklaim gelar ini sebelumnya. Namun beberapa sumber menyatakan bahwa penyerahan gelar khalifah ini adalah kisah rekaan yang dibuat beberapa waktu setelahnya. Sebagai catatan, Selim dan penerusnya masih menggunakan gelar sultan dan padisyah (kaisar) atas kedudukannya sebagai kepala negara meski Selim telah menyandang gelar khalifah. Sebelum 1258, khalifah masih memiliki peran sebagai kepala negara, terlepas luasnya wilayah kekuasaan yang dipegangnya secara langsung. Para sultan dan kepala negara Muslim lain menyatakan ketundukan mereka secara simbolis, meski secara de facto mereka berdaulat secara penuh atas wilayah kekuasaan mereka masing-masing tanpa campur tangan dari khalifah. Setelah hancurnya Baghdad oleh serangan Mongol, khalifah mengungsi ke Mesir yang saat itu dikuasai Mamluk. Dikarenakan tidak memiliki wilayah kekuasaan lagi, khalifah kehilangan perannya sebagai kepala negara semenjak itu dan hanya berfungsi sebagai lambang pemersatu umat Muslim. Keadaan tersebut tidak berubah bahkan setelah Wangsa Utsmaniyah mengambil alih gelar khalifah. Penguasa Utsmani memegang kendali negara atas kedudukannya sebagai sultan dan padisyah, bukan karena statusnya sebagai khalifah. Bahkan selama sekitar dua ratus tahun sejak masa Selim, penguasa Utsmani tidak menggunakan gelar khalifah dalam perpolitikan nasional dan internasional. Masyarakat Utsmani lebih sering menyebut pemimpin mereka dengan sebutan padisyah dan pihak non-Utsmani dengan gelar sultannya. Gelar khalifah mulai aktif digunakan saat pada Perjanjian Küçük Kaynarca (1774), penguasa Utsmani menggunakan kedudukannya sebagai khalifah sebagai pelindung atas umat Muslim di Rusia. Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876 – 1909) adalah penguasa Utsmani yang paling aktif menggunakan kedudukannya sebagai khalifah dalam rangka membentuk hubungan kerja sama dengan negara-negara Muslim untuk melawan imperialisme Barat. KeluargaOrangtuaAyah – Sultan Bayezid II, penguasa Utsmaniyah kedelapan. Dia dikenal atas pemberian suakanya pada umat Yahudi dan Muslim yang diusir dari Semenanjung Iberia setelah runtuhnya Keamiran Granada. Ibu – Ayşe Gülbahar Hatun. Sebagian berpendapat bahwa Gülbahar adalah budak-selir Yunani yang kemudian menjadi mualaf. Sebagian lain menyatakan bahwa dia adalah putri Alaüddevle Bozkurt Bey, Adipati Dulkadir. Dulkadir sendiri adalah salah satu negara bangsa Turki yang berada di kawasan Anatolia. Pasangan
Selim menikahi putri dari penguasa Kekhanan Krimea, Meñli I Giray. Meski begitu, terdapat perbedaan pendapat mengenai namanya. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Ayşe Hatun yang merupakan putri dari Krimea. Pendapat yang populer menyatakan bahwa putri dari Krimea itu adalah Hafsa Hatun, ibunda Sultan Suleiman. Hafsa sendiri kerap disebut dengan nama Ayşe Hafsa pada banyak sumber, meski catatan resmi hanya menyebutnya Hafsa. Putra
Putri
Rujukan
Daftar pustaka
|