Islam dan pemisahan genderPemisahan gender dalam hukum Islam, adat, hukum, dan tradisi merujuk pada praktik serta ketentuan di negara-negara dan komunitas Muslim untuk memisahkan laki-laki dan perempuan dalam berbagai situasi sosial dan lainnya. Tingkat penerapan aturan ini bergantung pada hukum setempat dan norma budaya. Di beberapa negara mayoritas Muslim, interaksi dekat antara laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan keluarga mungkin dilarang atau dibatasi dalam ruang sosial tertentu. Namun, di negara Muslim lainnya, praktik ini mungkin tidak sepenuhnya dipatuhi. Aturan ini umumnya lebih longgar dalam konteks media dan bisnis, tetapi lebih ketat di pengaturan religius atau formal. PandanganAda beberapa fatwa yang melarang ikhtilat (pergaulan bebas) antara laki-laki dan perempuan, terutama jika mereka berdua sedang berduaan. Tujuan pembatasan ini adalah menjaga interaksi pada tingkat yang sederhana. Menurut beberapa pandangan, laki-laki tidak diperbolehkan menyentuh bagian tubuh perempuan, baik Muslim maupun non-Muslim.[1] Pandangan lain menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan Muslim yang bukan kerabat dekat tidak boleh bersosialisasi, termasuk berjabat tangan atau melakukan kontak fisik apa pun.[2][3][4] Namun, sejumlah intelektual Muslim dan ulama berpendapat bahwa beberapa kontak fisik diperbolehkan selama tidak melibatkan tindakan tidak senonoh, sentuhan yang tidak pantas (selain jabat tangan sederhana), pertemuan rahasia, atau perilaku menggoda, sesuai dengan aturan umum interaksi antara gender.[5] Di beberapa wilayah dunia Muslim, larangan terhadap perempuan untuk terlihat oleh laki-laki (seperti dalam konsep purdah) terkait erat dengan nilai namus.[6][7] Namus adalah kategori etika yang berkaitan dengan kehormatan dan kesopanan dalam konteks keluarga patriarki Muslim, terutama di kawasan Timur Tengah. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai "kehormatan".[6][7] Sumber
Ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial meliputi:
Namun, Rasulullah melarang laki-laki menghalangi istri mereka untuk pergi ke masjid:
Awal IslamKekhalifahan Umayyah dan AbbasiyahAkar pemisahan gender dalam Islam telah diteliti oleh banyak sejarawan. Leila Ahmed menyatakan bahwa institusi harem muncul pada masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, dan bukan berasal dari zaman Nabi Muhammad.[9] Leor Halevi dalam artikel tentang perempuan dan ratapan kematian menulis bahwa "kekhawatiran yang baru dan belum pernah terjadi sebelumnya tentang pemisahan gender" muncul di Kufa, Irak, pada abad ke-8. Lama-kelamaan, hal ini menjadi norma.[10] Everett K. Rowson menemukan bahwa laki-laki yang tidak sesuai norma gender di Madinah pada abad ke-8 dapat bergerak bebas di antara laki-laki dan perempuan. Mereka dikenal sebagai Mukhannath dan dianggap tidak memiliki ketertarikan seksual pada perempuan. Namun, praktik ini berubah pada masa awal kekhalifahan untuk lebih membatasi perempuan dalam ruang privat.[11] Pemisahan gender tidak diterapkan pada budak perempuan. Budak perempuan dapat tampil di depan umum, sementara perempuan Muslim merdeka diharapkan mengenakan jilbab untuk menandakan kesopanan dan status mereka sebagai perempuan merdeka.[12] Aurah budak perempuan didefinisikan hanya di antara pusar dan lutut, sehingga mereka tidak diwajibkan berjilbab.[13] Para seniman budak terkenal, seperti qiyan, justru tampil untuk tamu laki-laki, bukan tersembunyi dalam harem.[14] Kesultanan UtsmaniyahHaremKesultanan Utsmaniyah memisahkan gender melalui sistem harem. Para selir tidak diizinkan meninggalkan harem, dan laki-laki, selain kepala keluarga, dilarang masuk ke dalam harem. Namun, kasim diizinkan bergerak bebas di dalam dan luar harem serta bertindak sebagai pelindung perempuan. Posisi ini memberikan kasim akses ke tempat tinggal penguasa dan menjadikan mereka pembawa pesan utama.[15] Selama masa harem, segregasi rasial juga menjadi umum di antara para kasim.[16] Pedagang budak putih Sirkasia memiliki pengaruh ekonomi lebih besar karena nilai tinggi kulit putih dalam masyarakat Utsmaniyah.[17] Pemandian UmumPemisahan antara pria dan wanita diberlakukan secara ketat di pemandian umum Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-18. Aturan tersebut juga melarang wanita Muslim berbagi pemandian dengan wanita non-Muslim, sementara pria Muslim diperbolehkan berbagi pemandian dengan pria non-Muslim. Pengadilan syariah mendukung aturan ini untuk menjaga kesucian wanita Muslim dan mencegah pelanggaran terhadap mereka.[18] Referensi
Pranala Luar
|