Wabah Amwas (bahasa Arab: طاعون عمواس, translit. Ṭāʿūn ʿAmwās) atau Wabah Emmaus adalah sebuah wabah yang menimpa negeri Syam pada masa akhir penaklukannya oleh Kekhalifahan Rasyidin, yaitu pada tahun 638–639 M (17–18 H). Kemungkinan wabah ini merupakan penyakit pes bubo yang muncul kembali setelah Wabah Yustinianus pada abad ke-6. Nama wabah ini berasal dari kota Amwas atau Emmaus-Nikopolis di Palestina, yang merupakan markas utama pasukan Muslim di Syam dan tempat wabah ini mulai menyebar. Wabah ini menyebabkan meninggalnya 25.000 prajurit Muslim maupun keluarganya, termasuk panglima-panglima utama yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, serta Syurahbil bin Hasanah, yang juga merupakan para sahabat Nabi dalam Islam. Selain memakan ribuan korban jiwa, wabah ini juga memicu pengungsian penduduk asli Syam yang beragama Kristen.
Akibat meninggalnya para panglima pasukan, Khalifah Umar bin al-Khattab menunjuk Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai panglima dan wali negeri Syam, sehingga memberinya basis kekuatan hingga ia kelak mendirikan Kekhalifahan Umayyah di Syam pada 661. Gelombang wabah susulan yang terus menerus menimpa Syam kemungkinan menjadi salah satu faktor tumbangnya dinasti Umayyah pada tahun 750. Sementara itu, pengosongan penduduk di negeri Syam menjadi faktor migrasi kabilah-kabilah Arab sebagai pendatang di Syam, tak seperti kebiasaan di daerah-daerah penaklukan lain yaitu Bangsa Arab umumnya hanya menempati kota-kota benteng. Wabah Amwas menjadi wabah yang mendapat paling banyak sorotan di karya-karya Arab Abad Pertengahan sebelum munculnya Wabah Hitam pada abad ke-14. Riwayat awal mengenai tindakan Khalifah Umar dan panglima Abu Ubaidah (keduanya adalah sahabat Nabi) menjadi dasar pendapat-pendapat ulama Abad Pertengahan mengenai cara menanggapi epidemi, termasuk Wabah Hitam kelak. Prinsip-prinsip berdasarkan riwayat ini menjadi dasar perbedaan pendapat dalam berbagai tema, di antaranya hubungan takdir dan kehendak bebas, larangan memasuki atau mengungsi dari daerah wabah, serta apakah penyakit menular atau datang langsung dari Allah.
Asal-usul dan latar belakang
Peristiwa yang kini disebut Wabah Amwas (Tha'un Amwas dalam bahasa Arab) kemungkinan adalah sebuah epidemipes bubo,[1] walaupun sumber sejarah yang ada tidak menyebutkan gejala-gejala khusus dari penyakit ini.[2] Ini merupakan wabah kedua yang tercatat dalam sejarah Islam, dan yang pertama yang langsung menjangkiti umat Islam.[3] Kemungkinan, wabah ini merupakan terulangnya Wabah Yustinianus yang mulai berjangkit di Pelusium (dekat Suez saat ini) pada 541 M.[4][5] Menurut catatan sejarawan Romawi Timur Prokopius, wabah tersebut kemudian menyebar ke barat di Iskandariah dan ke timur di Palestina sebelum akhirnya menyebar ke ibu kota Romawi Timur, Konstantinopel pada 541 dan 542, dan terus ke daerah Eropa lain serta Kekaisaran Sasaniyah (Persia).[5] Wabah tersebut berjangkit kembali dalam sekurangnya 9 hingga 12 gelombang salama abad ke-6 dan 7 M.[6]
Khalifah pertama umat Islam, Abu Bakar (berkuasa 632–634) mengirim empat gelombang pasukan untuk menaklukkan Syam (Provinsi Suriah) dari kekuasaan Romawi Timur (Bizantium). Masing-masing gelombang dipimpin oleh Amr bin al-Ash, Yazid bin Abi Sufyan, Syurahbil bin Hasanah, serta Abu Ubaidah bin al-Jarrah[7] (Abu Ubaidah mungkin baru berangkat setelah Abu Bakar digantikan oleh Khalifah Umar bin al-Khattab).[8]Amwas adalah nama bahasa Arab untuk Emmaus-Nikopolis, yang sejak abad pertama Masehi merupakan benteng pasukan Romawi dan sejak awal abad ke-3 telah berkembang menjadi sebuah kota kecil.[9] Kota ini telah direbut pasukan Muslim, kemungkinan setelah Pertempuran Ajnadain (634) atau Pertempuran Yarmuk (636). Pada saat Wabah Amwas mulai berjangkit pada 638, kota ini menjadi markas utama pasukan Muslim di Syam, tempat pembayaran gaji prajurit serta pembagian harta rampasan perang.[9][10]Penaklukan Syam sendiri sudah memasuki fase akhirnya setelah kemenangan pasukan Muslim dalam pertempuran-pertempuran besar dari tahun 634 dan 636. Romawi Timur sudah tidak memiliki kekuatan militer berarti di wilayah ini, dan pasukan Muslim tengah mengonsolidasi kekuasaannya atas kota-kota Syam yang belum ditaklukkan.[11]
Kronologi wabah
Wabah Amwas terjadi pada tahun 17 dan/atau 18 Hijriyah (bertepatan dengan 638 dan 639 M).[12] Menurut catatan sejarawan abad ke-8 Saif bin Umar, wabah ini dimulai pada bulan Muharram dan Safar 17 H (Januari dan Februari 638), lalu berkurang, sebelum kembali lagi dan mengakibatkan kematian besar-besaran "sehingga menguntungkan pihak musuh [Romawi Timur]".[12] Menurut Jalaluddin as-Suyuthi, kembalinya wabah ini terjadi tak lama setelah kemunculan pertama, dan menurut M. W. Dols karena inilah terdapat dua tahun yang disebutkan dalam catatan sejarah (17 dan 18 H).[12]
Wabah ini muncul di tengah kelaparan yang melanda Syam dan Palestina, yang disebut Tahun Kelabu atau 'Aam ar-Ramadah [ar] oleh bangsa Arab.[13] Menurut Dols, bencana kelaparan ini kemungkinan menjadi faktor penting penyebaran wabah karena menurunnya imunitas dan dikumpulkannya pasokan makanan di kota-kota dan desa-desa, sehingga memancing datangnya tikus yang menjadi perantara infeksi ke populasi manusia.[12] Awalnya, wabah ini menyebar di seluruh Syam dan diikuti Irak dan Mesir,[12] sebelum akhirnya mereda pada bulan Syawal 18 H (Oktober 639 M).[14]
Tanggapan kekhalifahan
Menurut salah satu riwayat utama di kalangan sejarawan Muslim, Khalifah Umar bin al-Khattab ingin mencegah penyebaran penyakit ini dan memanggil panglima Abu Ubaidah ke ibu kota Madinah untuk mencegah kematiannya. Abu Ubaidah mengetahui maksud Umar dan menolak meninggalkan pasukannya.[15] Umar kemudian berangkat ke Syam untuk meninjau keadaan dan bermusyawarah dengan para petinggi pasukan di sebuah pos perhentian yang bernama Sargh, 13 hari perjalanan di utara Madinah.[15][16] Ia awalnya bermusyawarah dengan pemimpin golongan Muhajirin dan Anshar, dua kelompok yang paling awal masuk Islam dan merupakan petinggi negara Islam yang baru berdiri tersebut.[15][17] Kedua kelompok tersebut menolak saran Umar untuk meninggalkan daerah yang terjangkit wabah. Seorang sahabat Muhammad, yakni Abdurrahman bin Auf mengemukakan sebuah hadits yang didengarnya dari Muhammad, "Jika kalian mendengar suatu negeri terjangkit wabah, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya." Riwayat ini termaktub dalam Shahih Bukhari yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas.[18][19] Abu Ubaidah menentang penarikan mundur karena tidak seharusnya mereka lari dari takdir Allah. Umar menanggapi dengan sebuah pengandaian: jika seseorang beternak unta dan dihadapkan dengan lahan yang subur dan lahan yang tandus, sudah sewajarnya manusia memilih lahan yang subur, dan apapun yang dipilihnya itu juga sudah ditakdirkan Allah.[15] Setelah tidak tercapai kesepakatan, Umar bermusyawarah dengan para pemuka Quraisy (suku asal Muhammad dan juga Umar) dari golongan yang masuk Islam belakangan. Golongan ini mengusulkan menarik mundur pasukan dari daerah yang terkena wabah, dan Umar menyetujuinya.[15][17] Musyawarah di Sargh berakhir dengan perintah dari Umar kepada Abu Ubaidah untuk membawa pasukan ke tanah yang lebih bebas penyakit dan Umar pun kembali ke Madinah.[15] Tindakan Umar digunakan oleh para ulama pada zaman selanjutnya sebagai dasar pendapat yang membolehkan mengungsi dari wabah, sedangkan hadis yang dikemukakan Abdurrahman bin Auf menjadi dasar pendapat yang melarangnya.[15]
Abu Ubaidah membawa pasukannya menuju Jabiyah, bekas pusat kekuasaan suku Ghassaniyah di dataran tinggi Hauran.[20][21] Abu Ubaidah meninggal akibat wabah tersebut di tengah perjalanan, pada tahun 18 H (639 M).[22] Posisinya digantikan oleh Muadz bin Jabal yang meninggal tak lama kemudian bersama-sama dengan istri-istri dan anaknya.[23][24] Pengganti Muadz, Yazid bin Abi Sofyan juga meninggal,[21] serta panglima lainnya yaitu Syurahbil bin Hasanah.[25] Pemuka kaum Muslimin beserta sahabat Muhammad lainnya juga meninggal, di antaranya Suhail bin Amr, Abu Jandal bin Suhail, al-Fadhl bin al-Abbas, al-Harits bin Hisyam,[26] dan banyak dari anggota keluarga Al-Harits yang telah menetap di Syam.[27] Kepemimpinan kemudian dipegang oleh Amr bin al-Ash yang membawa sisa pasukan Muslim ke Jabiyah.[28] Karena iklimnya yang lebih sehat, Jabiyah menjadi petirahan untuk memulihkan kesehatan pasukan dan menjadi pusat pembagian harta rampasan perang yang baru.[20] Pada Desember 639, Amr bin al-Ash melancarkan penaklukan Mesir, kemungkinan dengan izin yang diberikan Umar dengan berat hati, atau malah tanpa meminta restu sang khalifah sama sekali.[29][30]
Korban
Menurut riwayat Muslim, antara 20.000 hingga 25.000 prajurit Muslim di Syam atau anggota keluarganya meninggal dalam wabah ini.[9][12] Pada tahun 639, pasukan Islam di Syam hanya berjumlah 4.000 orang, turun dari 24.000 orang pada tahun 637. Tidak diketahui dari selisih ini berapa yang disebabkan meninggalnya pasukan dan berapa yang disebabkan pasukan yang meninggalkan wilayah Syam yang akhirnya akan kembali lagi.[31]
Wabah ini juga menyebabkan banyak kematian di kalangan warga asli Syam yang beragama Kristen.[32] Peristiwa ini juga berakibat pada naiknya harga-harga barang, dan meningkatnya tindakan penimbunan barang yang kemudian dilarang oleh Umar.[33] Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari (meninggal 923), sekembalinya dari Sargh Umar menyebutkan kepada para petingginya bahwa ia bermaksud kembali ke Syam dan Palestina untuk meninjau kerusakan yang ditimbulkan wabah ini. Menurut versi ini, kunjungan kedua Umar terjadi pada 639. Umar memberikan arahan untuk mengurusi harta warisan prajurit yang telah meninggal, serta memutuskan beberapa perkara-perkara yang diajukan sejumlah prajurit.[21]
Akibat jangka panjang
Akibat banyaknya panglima yang meninggal di Syam, Umar menunjuk Muawiyah bin Abi Sufyan, adik atau kakak dari Yazid yang telah meninggal akibat wabah, sebagai panglima dan wali negeri di Syam. Posisi ini kelak menjadi dasar kekuatan Muawiyah, yang berujung kepada didirikannya Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Syam pada tahun 661 oleh Muawiyah.[21] Sejarawan Wilferd Madelung berpendapat bahwa akibat adanya wabah, Umar tidak bisa mengirim panglima baru dari Madinah sehingga harus memilih Muawiyah yang sudah berada di Syam.[34] Tingginya tingkat kematian pasukan Muslim menjadi salah satu faktor penyebab Muawiyah selanjutnya lebih mengandalkan kabilah-kabilah Arab asal Syam yang sebelumnya merupakan sekutu Romawi Timur dan beragama Kristen, terutama Banu Kalb yang mengambil posisi netral dalam peperangan antara pasukan Muslim dan Romawi Timur di Syam pada tahun 630-an.[35]
Kematian di kalangan populasi Kristen, serta banyaknya populasi Kristen yang angkat kaki dari Syam selama wabah ini menjadi salah satu faktor yang memungkinkan migrasi bangsa Arab ke Syam. Pada masa pemerintahan Umayyah (640-an hingga 750), kabilah-kabilah Arab menjadi komponen penting masyarakat Syam.[36] Menurut sejarawan Lawrence Conrad, bangsa Arab awalnya mungkin tidak bermaksud menempati Syam, tetapi membiarkan bangsa-bangsa non-Arab yang tidak beragama Islam menempatinya dan membayar pajak jizyah. Namun, kosongnya tanah Syam akibat wabah ini memaksa mereka untuk bermukim di sana.[36] Kebijakan migrasi kabilah-kabilah Arab di tanah yang baru dikuasai umat Islam ini merupakan sebuah anomali; biasanya, seperti di Irak, pemukiman bangsa Arab di daerah yang baru ditaklukan hanya terbatas kepada benteng atau kota-kota garnisun (Amshar) yang sengaja didirikan.[36]
Posisi Amwas sebagai markas utama pasukan Muslim di Palestina digantikan oleh kota Ludd (Lod) atau Al-Quds (Yerusalem), dan kemudian kota Ramlah yang didirikan khalifah Umayyah Sulaiman bin Abdul Malik pada awal abad ke-8.[9][37] Hingga tahun 1870-an, sebuah sumur di desa Amwas (kini disebut Imwas) dinamakan bir ath-tha'un (sumur wabah).[38] Jabiyah menjadi markas utama militer Islam di Syam hingga zaman Khalifah Sulaiman.[20]
Gelombang kembalinya wabah
Terjadi beberapa gelombang wabah di Syam dan Palestina sekitar setiap sepuluh tahun antara 688 hingga 745.[39] Banyak pemimpin Umayyah yang meninggal akibat penyakit, termasuk khalifah Muawiyah bin Yazid (m. 683–684). Marwan bin al-Hakam (m. 684–685), Abdul Malik bin Marwan (m. 685–705), dan Sulaiman bin Abdul Malik (m. 715–717), beserta wali negeri Umayyah di Irak seperti Al-Mughirah bin Syu'bah (m. 661–671) dan Ziyad bin Abihi (m. 685–673) yang semuanya berkemungkinan diakibatkan menjangkitnya wabah di Syam dan Irak.[40][24] Para khalifah Umayyah sering mengungsi dari kota saat wabah menjangkit, terutama di musim panas, dan tinggal di benteng padang pasir (atau istana padang pasir) yang mereka dirikan.[41] Contohnya adalah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (m. 724–743) yang memilih tinggal di istana padang pasir Rushafah daripada Damaskus karena ia menganggap ibu kota tersebut tidak sehat.[42]
Dols berspekulasi bahwa gelombang wabah yang terus menerus datang bisa jadi memperlambat pertumbuhan penduduk alami di Syam dan Palestina yang merupakan pusat kekuasaan Umayyah, sehingga menyebabkan melemahnya kekhalifahan tersebut.[39] Selain itu, migrasi kabilah-kabilah Arab ke wilayah Khurasan di ujung timur kekhalifahan, yang tidak tercatat terkena wabah, mungkin berakibat kepada pertumbuhan penduduk yang melebihi wilayah lain. Alhasil, potensi kawasan timur kekhalifahan menguat dan menjadi salah satu faktor kesuksesan Gerakan Abbasiyah yang akhirnya berhasil menggulingkan dinasti Umayyah pada tahun 750.[39] Menurut Conrad, pada masa akhir gelombang-gelombang wabah ini, Banu Umayyah telah kehilangan kendali terhadap kawasan timur, sehingga "menimbulkan pendapat bahwa wabah yang terus menerus pada tahun-tahun terakhir dinasti ini sebagai faktor penting dalam kemenangan revolusi Abbasiyah.[43]
Penafsiran agama
Wabah Amwas menjadi wabah yang mendapat paling banyak sorotan dalam karya-karya Arab Abad Pertengahan sebelum munculnya Wabah Hitam pada abad ke-14.[44] Sejarawan Justin K. Stearns menyebut bahwa sumber-sumber tertulis meninggalkan pembahasan yang beragam dan saling bertentangan tentang wabah ini.[23] Tindakan-tindakan para sahabat Nabi, terutama Umar, Abu Ubaidah, Amr bin al-Ash, dan Muadz bin Jabal selama wabah ini menjadi dasar penafsiran para ulama Muslim selama Abad Pertengahan terhadap wabah ini, dan mendasari tanggapan para ulama terhadap Wabah Hitam.[15][23]
Para ulama zaman pertengahan menyimpulkan tiga prinsip dari reaksi-reaksi yang ada pada masa Wabah Amwas: pertama, wabah Amwas merupakan bentuk kasih sayang Allah dan memberikan kematian syahid bagi orang-orang beriman serta hukuman bagi mereka yang tak beriman; kedua, Umat Islam dilarang memasuki atau mengungsi dari daerah yang terkena wabah; ketiga, wabah Amwas tidaklah menular melainkan diturunkan langsung oleh Allah.[15] Penafsiran awal ini sering ditentang oleh sebagian ulama maupun kalangan umum saat wabah-wabah lain bermunculan selama Abad Pertengahan. Penentangan ini dipicu beberapa faktor, di antaranya sulitnya menerima bencana yang berat sebagai sebuah berkah, keinginan kalangan awam untuk mengungsi, serta adanya fenomena penularan yang dapat ditunjukkan secara empiris.[15]
Dalam penilaian Dols, ajaran Kristen dan Yahudi serta sifat alami manusia kemungkinan mempengaruhi aspek penafsiran wabah sebagai hukuman atau peringatan dari Allah. Muslim yang berpendapat seperti ini menukil kurangnya ketaatan di kalangan prajurit Muslim di Syam, seperti banyaknya konsumsi minuman keras sehingga dikisahkan Khalifah Umar menegakkan hukuman cambuk untuk para prajurit yang minum-minum. Selain itu, penafsiran wabah Amwas sebagai pembawa berkah dan kesyahidan muncul dalam pidato-pidato Abu Ubaidah di Amwas dan selama musyawarah di Sargh.[15] Penafsiran ini juga menjadi sebuah tema puisi yang dicatat sejarawan Damaskus Ibnu Asakir (meninggal 1175).[45]
Peristiwa di Amwas juga digunakan untuk berpendapat bahwa kematian seseorang telah ditakdirkan Allah, terlepas dari apakah ia mengungsi atau tinggal di daerah wabah.[21] Dalam sebuah wabah di Kufah di Irak, negarawan dan ulama terkemuka Abu Musa al-Asy'ari (meninggal 662 M) menolak kedatangan tamu-tamu yang datang saat seorang di rumahnya sedang menderita wabah. Menurut Dols, tindakan ini menunjukkan bahwa penafsiran bahwa wabah disebabkan oleh penularan penyakit sudah diterima di sebagian kalangan ulama awal, walaupun ada yang menganggap ini bertentangan dengan hadits.[21] Abu Musa juga membenarkan tindakan Muslim yang mengungsi dari daerah wabah, dan mendasarkan pendapatnya pada tindakan Umar di Sargh.[21]
^Terjemahan bahasa Indonesia hadis ini: "Shahih Bukhari hadis nomor 5288". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 15 Mei 2020.Parameter |Work= yang tidak diketahui mengabaikan (|work= yang disarankan) (bantuan)
Athamina, Khalil (July 1994). "The Appointment and Dismissal of Khālid b. al-Walīd from the Supreme Command: A Study of the Political Strategy of the Early Muslim Caliphs in Syria". Arabica. Brill. 41 (2): 253–272. doi:10.1163/157005894X00191. JSTOR4057449.
Conrad, Lawrence I. (1981). The Plague in the Early Medieval Near East (Tesis). Princeton University.
Conrad, Lawrence I. (1981). "Arabic Plague Chronologies and Treatises: Social and Historical Factors in the Formation of a Literary Genre". Studia Islamica. 54 (54): 51–93. doi:10.2307/1595381. JSTOR1595381.
Dols, M. W. (July–September 1974). "Plague in Early Islamic History". Journal of the American Oriental Society. 94 (3): 371–383. doi:10.2307/600071. JSTOR600071.
Luz, Nimrod (April 1997). "The Construction of an Islamic City in Palestine. The Case of Umayyad al-Ramla". Journal of the Royal Asiatic Society. 7 (1): 27–54. doi:10.1017/S1356186300008300. JSTOR25183294.