Abdul Malik bin Marwan
Abdul Malik bin Marwan (bahasa Arab: عبد الملك بن مروان, 646/47– Oktober 705) adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 685 sampai 705. Dia merupakan salah seorang khalifah Umayyah di Syria yang paling lama berkuasa. 'Abdul Malik mewarisi tampuk kekhalifahan dari ayahnya dan diteruskan oleh anaknya. Sepeninggalnya, empat putranya diangkat menjadi khalifah. 'Abdul Malik berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Pada masa kekuasaannya, 'Abdul Malik berhasil menyatukan seluruh kekhalifahan dalam kendali tunggal Umayyah yang berpusat di Syria, mengalahkan 'Abdullah bin Zubair yang menjadi khalifah pesaing di Makkah, dan mengakhiri perang saudara. 'Abdul Malik juga merupakan khalifah yang pertama kali mencetak dinar dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di pemerintahan. Dia juga menjadikan keluarganya sebagai pusat kekuasaan dengan memberikan mereka berbagai kedudukan penting, seperti gubernur dan panglima. Secara pribadi, 'Abdul Malik dikenal sebagai sosok ahli ibadah dan zuhud. Sepeninggalnya, takhta diwariskan kepada salah seorang putranya, Al-Walid.[5] Awal kehidupan'Abdul Malik lahir pada Ramadhan tahun 23 H (646/647)[6][7] di kediaman ayahnya, Marwan bin al-Hakam, di Madinah[8] pada masa kekuasaan Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Dia tumbuh di Madinah sebagai pribadi yang saleh dan zuhud.[9][8] Ayahnya adalah sekretaris dan tangan khalifah. 'Abdul Malik sendiri juga menyaksikan terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan pada tahun 656.[10] Enam tahun kemudian, 'Abdul Malik diangkat oleh Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan sebagai pemimpin pasukan dari Madinah saat perang melawan Kekaisaran Romawi Timur.[10] Setelahnya, 'Abdul Malik kembali ke Madinah dan menjadi pendamping ayahnya yang menjabat sebagai Gubernur Madinah.[8] Mu'awiyah mangkat pada 680. Putra dan penerusnya, Yazid bin Mu'awiyah, tidak mendapat pengakuan dari beberapa tokoh Muslim. Gaya hidup dan beberapa kebijakan Yazid menjadikan rasa penolakan terhadap Yazid meluas menjadi sentimen anti-Umayyah. Bani Umayyah kemudian diusir penduduk Madinah dari kota, termasuk 'Abdul Malik dan ayahnya.[10] Di tengah perjalanannya menuju Syria yang merupakan pusat kekuatan Umayyah, 'Abdul Malik bertemu dengan pasukan pimpinan Muslim bin 'Uqbah yang ditugaskan Yazid untuk menundukkan Madinah. 'Abdul Malik kemudian memberikan beberapa informasi mengenai pertahanan Madinah. Pada Agustus 683, pihak Madinah berhasil dikalahkan pasukan Umayyah pimpinan Muslim bin 'Uqbah pada Pertempuran Al-Harrah.[10] Yazid meninggal dan digantikan oleh putranya, Mu'awiyah bin Yazid. Sebagai bentuk perlawanan kepada Umayyah, 'Abdullah bin Zubair juga menyatakan dirinya sebagai khalifah, sehingga kekhalifahan terbelah dua antara pihak Makkah (pusat kekuasaan 'Abdullah bin Zubair) dan Damaskus (pusat kekuasaan Umayyah). Mu'awiyah hanya berkuasa selama beberapa bulan dan meninggal dalam usia muda. Sebagian pendapat menyatakan bahwa Mu'awiyah sempat turun takhta sebelum meninggal. Sepeninggal Mu'awiyah, beberapa kawasan menyatakan ketundukan kepada 'Abdullah bin Zubair, begitu pula sebagian tokoh dan penguasa di Syria.[11] Dalam musyawarah di Jabiyah yang dihadiri suku-suku pendukung Umayyah, disebut kelompok Yamani, Marwan ditetapkan sebagai khalifah yang baru yang berkuasa di Damaskus pada 684.[11] Pada masa kekuasaan Marwan, 'Abdul Malik menjadi penasihat dekatnya[8] dan diangkat menjadi Gubernur Palestina.[12][13] Dia kemudian diangkat ayahnya menjadi putra mahkota dan saudaranya, 'Abdul 'Aziz, sebagai putra mahkota kedua.[14] Penetapan ini sebenarnya menyalahi kesepakatan yang dilakukan di Jabiyah bahwa sepeninggal Marwan, takhta harus diserahkan kepada Khalid, saudara Mu'awiyah bin Yazid, dan kemudian kepada 'Amr bin Sa'id Al-Asydaq.[15] Meski begitu, Marwan berhasil mendapat kesepakatan dari kelompok Yamani, meski 'Abdul Malik kurang memiliki pengalaman dalam urusan pemerintahan kala itu.[14] Setelah Marwan mangkat pada 685, 'Abdul Malik dinyatakan sebagai khalifah di Al-Quds.[13] KhalifahRintangan awalMeski Syria dan Mesir sudah berada dalam kendali Umayyah pada masa Marwan, beberapa kawasan masih mengakui kedaulatan 'Abdullah bin Zubair. Mengembalikan kedaulatan Umayyah atas seluruh wilayah kekhalifahan menjadi perhatian utama 'Abdul Malik.[16] Persekutuan Qais (kelompok suku Arab pendukung 'Abdullah bin Zubair) terhimpun kembali di bawah kepemimpinan Zufar bin Al-Harits dari Bani 'Amir dan melakukan perlawanan di kawasan Mesopotamia Hulu dari benteng Al-Qarqisiyah di dekat sungai Eufrat.[10] Pada saat kenaikan takhta 'Abdul Malik, beberapa pos penting pemerintahan diduduki keluarganya.[8] Saudaranya, Muhammad bin Marwan, diutus untuk menundukkan perlawanan Qais di Mesopotamia Hulu, sedangkan 'Abdul 'Aziz yang menjabat Gubernur Mesir menjaga perdamaian di Afrika Utara.[8][17] Demi menyatukan kembali kekhalifahan, 'Abdul Malik menghendaki untuk mengambil alih Iraq yang merupakan provinsi terkaya di dalam kekhalifahan,[18] juga merupakan rumah bagi banyak suku Arab[18] yang merupakan sumber kekuatan utama pasukan Umayyah.[19] Di sisi lain, Mesir yang merupakan provinsi pemberi sumbangan terbesar pada perbendaharaan tidak begitu banyak memiliki masyarakat bangsa Arab.[20] Kebutuhan akan pasukan menjadikan Umayyah berperan sebagai tulang punggung militer. Pasukan Syria sendiri terbagi antara kelompok Yamani dan Qais. Meski 6.000 pasukan Yamani dapat mengambil alih kendali Syria pada masa Marwan, jumlah tersebut terlalu sedikit untuk menyatukan seluruh kekhalifahan.[19] Ibnu Ziyad yang merupakan tokoh kunci penegak kekuatan Marwani mulai berusaha memperbesar jumlah pasukan dengan melakukan rekrutmen pada suku-suku Arab secara luas, meski mereka berasal dari suku yang tergabung dalam persekutuan Qais.[19] 'Abdul Malik kemudian memerintahkan Ibnu Ziyad untuk mengambil alih Iraq.[16] Pada saat itu, kawasan tersebut terbagi antara pendukung keturunan 'Ali yang dipimpin Mukhtar Ats-Tsaqafi di Kufah dan pendukung 'Abdullah bin Zubair yang dipimpin oleh adiknya sendiri, Mush'ab bin Zubair di Bashrah. Perkembangan Ibnu Ziyad terhambat lantaran harus berhadapan dengan pasukan Qais di Mesopotamia Hulu,[16] tetapi kemudian dia bertolak menuju Rasul-'Ain (kota di daerah Mesopotamia Hulu) dan mengalahkan pendukung keturunan 'Ali di Pertempuran 'Ainul-Wardah.[10] Meski begitu, 60.000 pasukan Umayyah di bawah Ibnu Ziyad dikalahkan pasukan pendukung Ali dalam Perang Khazir yang terjadi pada Agustus 686.[10] Kekalahan telak ini menjadikan 'Abdul Malik menahan diri untuk menundukkan Iraq selama lima tahun ke depan, yang pada masa itu, Mush'ab bin Zubair berhasil membunuh Mukhtar Ats-Tsaqafi dan menjadi penguasa tunggal Iraq.[16][10] 'Abdul Malik kemudian mengalihkan perhatiannya untuk menguatkan Syria. Di perbatasan utara, Kekaisaran Romawi Timur melakukan penyerangan, menduduki Antiokhia dan mendorong Jarajimah (Mardaita), kelompok pribumi Kristen di Syria, untuk melancarkan serangan di kawasan sungai Orontes.[10] Serangan balik Romawi ini, yang telah dimulai pada 678, menunjukkan tantangan pertama dari pihak yang terkalahkan pada penaklukan awal umat Muslim.[21] Selain itu, pemberontakan umat Kristen ini menunjukkan pada 'Abdul Malik dan penerusnya bahwa mereka tidak bisa lagi berharap pada diamnya pihak Kristen di Syria yang sampai sebelum kejadian tersebut tidak melakukan perlawanan terhadap kekhalifahan.[21] Untuk meredam ancaman Romawi, 'Abdul Malik mengadakan gencatan senjata sepuluh tahun dengan Kaisar Yustinianus II pada 689. 12.000 pasukan Jarajimah mundur ke wilayah Romawi dan 'Abdul Malik sendiri membayar upeti tahunan sejumlah 365.000 koin emas, 1.000 budak, dan 1.000 kuda perang pada Romawi.[10] Perjanjian ini dianggap sebagai "perjanjian yang berat dan menghinakan" dan kemampuan 'Abdul Malik untuk membayar upeti tahunan ini dan sekaligus mendanai perangnya sendiri diduga berasal dari perbendaharaan yang dikumpulkan pendahulunya dan pendapatan dari Mesir.[22] Pada 689/690, 'Abdul Malik berusaha mengerahkan pasukan ke Iraq, tetapi dia dipaksa kembali ke Damaskus lantaran kerabatnya, Al-Asydaq melakukan pemberontakan.[10][14] Al-Asydaq memandang bahwa naik takhtanya 'Abdul Malik menyalahi perjanjian di Jabiyah saat pengangkatan Marwan, sehingga dia menggunakan kesempatan untuk memberontak saat 'Abdul Malik tidak di ibu kota. 'Abdul Malik menghadapi Al-Asydaq dan memberinya jaminan keselamatan jika menyerahkan kembali Damaskus. Meski Al-Asydaq menyetujui perjanjian tersebut dan mundur, 'Abdul Malik tetap tidak mempercayainya dan Al-Asydaq kemudian dihukum mati.[10] Mengalahkan ZubairiUpaya awal 'Abdul Malik untuk menundukkan Iraq dirusak oleh perpecahan Qais-Yamani ketika salah satu jenderal di pasukan Ibnu Ziyad yang berasal dari kelompok Qais, 'Umayr bin Hubab dari Bani Sulaim, beralih pihak di tengah pertempuran untuk bergabung dengan kelompok Zufar di Mesopotamia Hulu. 'Umayr selanjutnya melancarkan serangan kepada suku Arab Kristen Bani Taghlib di Mesopotamia Hulu, menjadikan perpecahan antara suku-suku Arab semakin mendalam, dengan Bani Taghlib yang sebelumnya netral, kemudian beralih memihak Yamani dan Umayyah.[23] Taghlib membunuh 'Umayr pada 689 dan mengirimkan kepalanya kepada 'Abdul Malik.[24] 'Abdul Malik kemudian melakukan pengepungan atas Al-Qarqisiyah pada tahun 690/691, menjadikan Zufar dan kelompok Qais untuk menyerah dan beralih pihak kepada Umayyah dengan gantinya mereka mendapat kedudukan khusus di pemerintahan dan militer.[10][25] Bergabungnya kelompok Qais memperkuat pasukan Syria dan kedaulatan Umayyah dapat ditegakkan di kawasan Mesopotamia Hulu.[10] Mulai dari sini, 'Abdul Malik dan para penerusnya berusaha menyeimbangkan kepentingan Yamani dan Qais di pemerintahan dan militer. Hal ini menjadikan pudarnya dominasi Yamani, khususnya Bani Kalb, dalam pasukan militer.[26] Dengan hilangnya ancaman di Syria dan Mesopotamia Utara, 'Abdul Malik dapat memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan Iraq tanpa gangguan.[10][25] Di Iraq sendiri, Mush'ab bin Zubair berkutat melawan perlawanan kelompok Khawarij dan bersaing dengan suku-suku Arab yang tidak puas di Bashrah dan Kufah. Dalam keadaan seperti ini, 'Abdul Malik menjalin hubungan dengan bangsawan Arab untuk membuat mereka berpihak padanya.[23] Berbeda dengan upaya penaklukan Iraq sebelumnya, komando pasukan dipegang oleh keluarganya. Muhammad bin Marwan memimpin pasukan depan, sementara dua putra Khalifah Yazid, Khalid dan 'Abdullah, masing-masing memimpin sayap kanan dan kiri. Banyak bangsawan Syria merasa keberatan dengan perang ini dan meminta 'Abdul Malik untuk tidak maju langsung bersama pasukan.[23] Meski begitu, 'Abdul Malik menjadi pemimpin pasukan saat mereka berhadapan dengan pasukan Mush'ab di Maskin, di sepanjang Kanal Dujayl, yang perang ini kemudian dikenal dengan Perang Maskin.[25] Di pihak Mush'ab sendiri, pasukannya yang paling terlatih berada bersama Al-Muhallab bin Abi Shufrah yang menolak meninggalkan Bashrah tanpa pertahanan setelah serangan dari Khawarij. Sebagian besar pasukan Mush'ab yang dibawa dalam Perang Maskin berasal dari suku Arab Kufah yang sebenarnya juga menyimpan dendam pada Mush'ab yang telah memberi hukuman berat pada penduduk Kufah pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi pada 685. Dengan keadaan seperti ini, 'Abdul Malik mengirimkan surat pada para panglima Mush'ab untuk beralih memihaknya.[27] Saat pertempuran benar-benar terjadi, panglima setia Mush'ab, Ibrahim bin Al-Asytar, gugur di awal perang bersama pemimpin sayap kanan Mush'ab.[28] Kepala pasukan berkuda Mush'ab yang telah memihak 'Abdul Malik meninggalkan pertempuran bersama bawahannya.[28] Meski begitu, Mush'ab menolak untuk menyerah dan lebih memilih untuk mati sebagai kesatria. Pada akhirnya, seorang dari Bani Tsaqif membunuh Mush'ab pada pertempuran.[29] 'Abdul Malik berduka untuk Mush'ab dan memerintahkan sebuah syair digubah untuk mengenang akhir kepahlawanannya.[30] Menyusul kemenangan di Iraq, 'Abdul Malik memasuki Kufah dan menerima baiat dari para bangsawan di sana.[25] Dia berkemah bersama pasukannya di luar kota selama empat puluh hari untuk persiapan perang menundukkan 'Abdullah bin Zubair di Hijaz.[29] 'Abdul Malik kemudian mengerahkan 2.000 pasukan Syria yang dipimpin Al-Hajjaj bin Yusuf.[31][32] Al-Hajjaj kemudian berkemah di Tha'if selama beberapa bulan dan bertarung beberapa kali dengan pendukung 'Abdullah bin Zubair di Arafah.[32] 'Abdul Malik juga mengirimkan bala bantuan yang dipimpin Thariq bin 'Amr yang kemudian mengambil alih Madinah.[33] Maret 692, Al-Hajjaj mengepung dan membombardir Makkah yang merupakan pusat kekuasaan 'Abdullah bin Zubair sekaligus tempat tersuci umat Islam.[31][33] Meski 10.000 pengikut 'Abdullah bin Zubair, termasuk putranya sendiri, menyerah dan diberikan pengampunan, 'Abdullah bin Zubair dan pengikutnya yang paling keras bertahan di Ka'bah dan dibunuh pasukan Al-Hajjaj pada bulan September atau Oktober.[31][33] Meninggalnya 'Abdullah bin Zubair mengakhiri perang saudara dan menyatukan kekhalifahan dalam kekuasaan Umayyah.[31][34] Setelah kemenangannya, 'Abdul Malik berusaha menjalin perdamaian dengan petinggi Hijaz, termasuk dari kelompok pendukung keturunan 'Ali maupun Zubairi. Dia mengandalkan Bani Makhzum sebagai penengah dari kekosongan Bani Umayyah di kawasan tersebut sejak pengusiran mereka pada 682 pada masa Khalifah Yazid. Meski demikian, 'Abdul Malik tetap mewaspadai ambisi dari petinggi Hijaz dan mengawasi mereka secara saksama melalui berbagai gubernur Madinah.[35] Orang pertama yang ditunjuk di posisi tersebut adalah Al-Hajjaj, yang juga dilantik sebagai Gubernur Yaman dan Yamamah dan memimpin rombongan haji pada 693 dan 694. Meskipun berhasil menjaga kedamaian Hijaz, pemerintahan Al-Hajjaj yang kejam dan keras menjadikan munculnya banyak keberatan dari penduduk, sangat mungkin menjadi alasan dia dipindahtugaskan oleh 'Abdul Malik.[31] Beberapa tahun setelahnya, 'Abdul Malik menjadikan ayah mertuanya, Hisyam bin Isma'il dari Bani Makhzum sebagai gubernur dan terkenal akan perlakuan kerasnya terhadap masyarakat Madinah.[36] Pengukuhan daerah Iraq dan timurTerlepas segala capaiannya, kekacauan politik di Iraq masih menjadi tantangan berat bagi 'Abdul Malik.[37] Dia menarik mundur pasukan Syria dan menyerahkan pada Iraq sendiri terkait pertahanan Bashrah dalam melawan ancaman Khawarij.[23][38] Meski demikian, banyak penduduk Iraq merasa lelah dengan pertikaian dengan Khawarij yang dirasa tidak memberikan apapun kepada mereka selain kesulitan dan kerugian.[10] Penduduk Kufah yang telah terbiasa dengan kehidupan sejahtera di rumah mereka tidak berminat turut serta dalam perang yang membuat mereka jauh dari keluarga adalah permasalahan yang selalu dihadapi penguasa Iraq.[39][40] Keinginan 'Abdul Malik untuk menguasai Iraq dengan menunjuk anggota keluarganya sebagai gubernur juga tidak berhasil mengatasi permasalahan di kawasan tersebut, menjadikan Al-Hajjaj kemudian ditetapkan sebagai gubernur di sana. 'Abdul Malik menggabungkan Kufah dan Bashrah ke dalam satu provinsi yang dipimpin Al-Hajjaj yang sejak awal menunjukkan komitmen kuat untuk memerintah Iraq secara efektif. Al-Hajjaj kemudian mendukung kepala Bani Azad, Al-Muhallab bin Abi Shufrah dalam perang melawan Azariqah, salah satu cabang Khawarij paling keras, pada tahun 697 dan memperoleh kemenangan.[37] Hal ini membuka jalan bagi Al-Muhallab untuk memulai ulang penaklukan Muslim atas Asia Tengah.[41] Di tempat lain, pemberontakan Khawarij berkobar di jantung Iraq, mengambil alih Al-Madain dan mengepung Kufah. Al-Hajjaj menanggapi penduduk Iraq yang tidak mau dan tidak mampu berperang dengan mendapatkan 4.000-6.000 pasukan Syria dari 'Abdul Malik[41][23] yang kemudian berhasil menyingkirkan kaum Khawarij dari Kufah dan membunuh pemimpinnya pada 697.[41][42] Demi menghemat pengeluaran, Al-Hajjaj kemudian memotong gaji pasukan Iraq lebih rendah daripada pasukan Syria. Lebih jauh, Al-Hajjaj mengancam dengan hukuman mati bagi pasukan Iraq yang menolak turut serta dalam melawan pemberontakan Khawarij. Dengan keadaan ini, Al-Hajjaj hampir membuat pasukan Iraq melakukan pemberontakan[37] dan hal itu benar-benar terjadi saat pada 699, Al-Hajjaj memerintahkan bangsawan Iraq dan Gubernur Kirman, 'Abdurrahman bin Muhammad bin Asy'ats, untuk memimpin perang melawan Gubernur Zabul di Sistan yang menolak membayar pajak kepada khalifah.[43] Banyak dari pasukan 'Abdurrahman adalah orang kaya dan bangsawan terkemuka dan merasa tersinggung atas seringnya teguran Al-Hajjaj dan sulitnya medan tempat mereka ditugaskan berperang. 'Abdurrahman kemudian melakukan pemberontakan dan merebut Kufah pada 701. 'Abdul Malik berusaha menghentikan pemberontakan dengan menawarkan penggantian Al-Hajjaj dengan 'Abdurrahman sebagai gubernur dan memberikan pasukan Iraq upah yang setara dengan pasukan Syria. Lantaran penolakan dari pendukungnya, 'Abdurrahman menolak tawaran tersebut. Al-Hajjaj mengambil inisiatif dan melangsungkan peperangan dengan pihak 'Abdurrahman pada Perang Dayrul Jamajim pada April atau Juli. Banyak pasukan Iraq beralih ke pihak Al-Hajjaj setelah dijanjikan pengampunan, sedangkan 'Abdurrahman dan pendukung setianya mundur ke Zabulistan.[44] Penundukkan pemberontakan ini menjadi akhir bagi suku Arab Iraq di militer dan dimulainya dominasi angkatan militer Syria di Iraq[41][45] yang berubah menjadi kelas penguasa di kawasan tersebut.[44] Lebih jauh, kelebihan pajak dari tanah Sawad di Iraq yang kaya akan hasil panen yang semula diserahkan kepada pasukan Iraq dialihkan langsung ke perbendaharaan 'Abdul Malik yang digunakan untuk mendanai pasukan Syria.[45][46] Hal ini menunjukkan upaya 'Abdul Malik untuk menguatkan kendalinya atas kekhalifahan.[46] Perang dengan RomawiMeski sudah disepakati gencatan senjata sepuluh tahun pada 689, perang dengan Romawi Timur kembali terjadi setelah 'Abdul Malik mengalahkan 'Abdullah bin Zubair. Pada masa sebelumnya, kekhalifahan selalu menggunakan mata uang Romawi. Namun pada tahun 691/692, Romawi menambahkan gambar Yesus ('Isa) pada koin, menyalahi larangan umat Muslim untuk menggambar para Nabi, sehingga kekhalifahan menghentikan penggunaan koin Romawi dan mulai mencetak mata uangnya sendiri. Hal ini menjadikan Kaisar Yustinianus II membatalkan perjanjian sepihak dan perang antara kedua negara kembali terjadi.[41] Pihak Romawi dapat dikalahkan Umayyah pada Perang Sebastopolis sekitar 692 dan atas serangan terus-menerus antara 694–695 oleh saudara 'Abdul Malik, Muhammad, beserta pasukan Syria, kekhalifahan berhasil mencapai wilayah Anatolia dan Armenia, menjadi dasar bagi penaklukan setelahnya bagi penerus 'Abdul Malik.[41][47] Kekalahan ini menjadi salah satu sebab jatuhnya Yustinianus II dan Wangsa Heraklius pada 695.[48] Muhammad tetap menjadi gubernur di kawasan Mesopotamia Hulu dan Armenia dan panglima militer di kawasan Anatolia sampai tahun 710.[49][47] Di barat, 'Abdul 'Aziz mengirim pasukan Arab Fustat yang dipimpin Hasan bin Nu'man untuk mengambil alih selatan Ifriqiyah yang diduduki Romawi dan sekutu Berber mereka.[41][50] Dari markasnya di Tripolitania, dia melancarkan serangan ke Kartago pada 697 dengan dukungan dari angkatan laut. Setelah berhasil menyingkirkan bala bantuan Romawi yang dikirim Kaisar Leontios dan mengalahkan pasukan Berber yang dipimpin Ratu Kahina (Dihya), Kartago berhasil diduduki pada 698. Kota garnisun Arab di Qayrawan diamankan dengan kuat sebagai landasan bagi penaklukan berikutnya. Sementara di pantai Ifriqiyah, kota pelabuhan Tunis dilengkapi gudang senjata atas perintah 'Abdul Malik yang berniat membangun armada Arab yang kuat.[41][50] Hasan diberhentikan 'Abdul 'Aziz dan digantikan Musa bin Nushair yang kemudian mengatur penaklukan Umayyah atas Arab Maghrib dan semenanjung Iberia.[51] Kebijakan lainRuntuhnya kedaulatan Umayyah setelah mangkatnya Mu'awiyah bin Abu Sufyan dipandang 'Abdul Malik sebagai bukti bahwa sistem desentralisasi yang diterapkan Bani Sufyani tidak cocok diterapkan di kekhalifahan,[46] sehingga 'Abdul Malik menggunakan kebijakan sentralisasi dalam pemerintahannya.[41] Berbeda dengan gaya pemerintahan Sufyani yang lebih bebas, 'Abdul Malik memerintah dengan ketat atas para pejabatnya.[52] Menanggapi kebijakan 'Abdul Malik, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa dia "mengikuti jejak 'Umar bin Khattab dalam mengelola urusan negara.[53] Pemusatan kekuasaan di tangan 'Abdul Malik dan keluarganya juga belum pernah terjadi dalam sejarah kekhalifahan sebelumnya dan pada satu masa, saudara dan putranya memegang hampir semua jabatan gubernur provinsi.[54][55] Di Damaskus, istananya juga lebih dipenuhi dengan kerabatnya dari Umayyah dibandingkan pada masa Sufyani sebelumnya.[17] Dalam bidang militer, 'Abdul Malik juga lebih menggunakan tentara terorganisir daripada mengandalkan relawan suku-suku Arab. Bangsawan Arab yang dulunya mendapat kekuasaan melalui kedudukannya di suku dan hubungan pribadi dengan khalifah mulai diganti dengan anggota militer yang naik pangkat.[56][57] Dalam sistem pembayaran, 'Abdul Malik sangat membatasi upah hanya bagi yang aktif di ketentaraan. Hal ini mengakhiri sistem sebelumnya yang dicanangkan Khalifah 'Umar yang memberikan pensiun bagi veteran penaklukan Muslim awal dan keturunannya.[58] Dalam masa pemerintahannya, 'Abdul Malik juga melakukan Islamisasi di berbagai hal.[59] Setelah pihak Romawi menambahkan gambar Yesus di koin mereka, 'Abdul Malik mulai menghentikan penggunaan mata uang Romawi dan mulai memperkenalkan mata uang Islam, dinar, pada 693.[41][60] Awalnya mata uang baru ini berisi gambar khalifah sebagai pemimpin umat dan panglima tertinggi. Namun koin ini kurang diterima sehingga diganti pada 696 atau 697 dengan koin tanpa gambar, bertuliskan ayat Al-Qur'an atau kalimat Islami lain seperti tahlil.[60] Sebagaimana dinar, mata uang dirham bergaya Sasania yang sebelumnya digunakan umat Muslim juga dirombak oleh 'Abdul Malik dengan menghilangkan gambar Kaisar Sasania pada tahun 698/699. 'Abdul Malik juga mulai menyebarkan Islam di wilayah Romawi.[61] Di Al-Quds, 'Abdul Malik membangun Kubah Shakhrah yang mulai dibangun beberapa saat setelah menjadi khalifah[62] dan diselesaikan pada tahun 691.[63] Meski putra-putranya juga memerintahkan berbagai pekerjaan pembangunan, sebagian besar pembangunan 'Abdul Malik dikhususkan di wilayah Al-Quds, seperti memperluas tapal batas Masjid Al-Aqsha sampai memasukkan Ash-Shakhrah yang mana Kubah Shakhrah dibangun menaunginya, membangun dua gerbang di Masjid Al-Aqsha, dan memperbaiki jalan-jalan kota.[64][65] Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan alasan dibangunnya Kubah Shakhrah. Sebagian pendapat menyatakan bahwa bangunan tersebut didirikan untuk merayakan kemenangan umat Islam atas umat Kristen dan menunjukkan kekhasan Islam atas agama samawi yang lain.[66][67] Pendapat lain menyatakan bahwa 'Abdul Malik membangunnya untuk mengalihkan perhatian umat Muslim dari Ka'bah yang saat itu masih dikuasai 'Abdullah bin Zubair.[66][68] Sebagian besar sejarawan modern menolak pendapat terakhir lantaran hal tersebut bersumber dari pendapat anti-Umayyah.[66][68][67] 'Abdul Malik juga melakukan proses Arabisasi di kekhalifahan. Pada sekitar tahun 700, 'Abdul Malik mengeluarkan maklumat untuk menggantikan bahasa Mesir dan Koptik dengan bahasa Arab di pemerintahan di Syria dan Mesir.[60][69][70] Al-Hajjaj sendiri sudah memulainya di Iraq tiga tahun sebelumnya.[70] Hal ini menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi tunggal di negara.[41][61] Dalam penerapannya, bahasa Arab baru menjadi bahasa pemerintahan di provinsi timur jauh pada sekitar tahun 740, pada masa-masa terakhir kekuasaan Umayyah di Syria.[69] Pada masa pemerintahannya, gerakan penerjemahan buku-buku berbahasa Persia dan Romawi ke bahasa Arab mengalami perkembangan yang pesat.[9] Di masanya, Al-Hajjaj bin Yusuf menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah kekhalifahan dan lebih sering dibicarakan dalam sumber-sumber Abad Pertengahan daripada khalifah sendiri.[39] Dia merupakan salah satu pendukung Umayyah paling setia. Keluarganya dan keluarga khalifah saling terikat pernikahan satu sama lain. Meski termasuk sosok yang cakap dalam urusan militer dan pemerintahan, dia kerap dipandang buruk oleh sejarawan Muslim lantaran kekejamannya, juga pembunuhan atas beberapa sahabat Nabi. Meski begitu, 'Abdul Malik masih mampu mengekangnya dan para gubernurnya yang lain saat mereka dirasa terlampau tinggi dalam menetapkan pajak, berlebih-lebihan dalam menggunakan sumber daya, atau menumpahkan darah lebih dari yang seharusnya. Hal ini berbeda dengan penerus 'Abdul Malik, Al-Walid, yang lebih memberikan Al-Hajjaj kebebasan lantaran merasa berhutang budi telah mendukungnya untuk naik takhta.[71] Kediaman'Abdul Malik membagi waktunya antara di Damaskus dan kediaman musimannya. Dia menghabiskan musim dinginnya di Damaskus dan Ash-Shinnabra, dekat Danau Tiberias, kemudian di Jabiyah di Dataran Tinggi Golan dan Dayr Murran. Dia kembali ke kota saat bulan Maret dan pergi saat musim panas ke Baalbek di Lembah Bekaa.[72][73] Tahun-tahun terakhirMasa-masa akhir kekuasaan 'Abdul Malik disifati dengan pengukuhan kekuasaan yang damai dan makmur. Salah satu masalah utama yang dihadapi 'Abdul Malik adalah perihal pewaris. Pada tahun-tahun terakhir Marwan, 'Abdul Malik dilantik sebagai putra mahkota dan 'Abdul 'Aziz menjadi putra mahkota kedua. Itu artinya, sepeninggal 'Abdul Malik, takhta harusnya diserahkan kepada 'Abdul 'Aziz. 'Abdul Malik sendiri menginginkan agar putranya, Al-Walid, yang menjadi penerusnya, tetapi 'Abdul 'Aziz tidak berniat melepas statusnya. Namun potensi perselisihan pewaris ini dapat dihindari setelah 'Abdul 'Aziz meninggal pada Mei 705. 'Abdul Malik kemudian mengangkat Al-Walid sebagai putra mahkota dan Sulaiman, putranya yang lain, sebagai putra mahkota kedua. 'Abdul Malik sendiri mangkat sekitar lima bulan setelahnya, yakni pada awal Oktober.[41][74] Sepeninggalnya, putra-putranya memegang tampuk kekhalifahan sampai tahun 743, kecuali pada tahun 717–720. KeluargaOrangtua dan moyangAyah — Marwan. Khalifah yang berkuasa pada 684–685.
Ibu — 'Aisyah
Pasangan dan anak'Abdul Malik memiliki anak dari beberapa istri dan selir.[75] Empat putranya menjadi khalifah sepeninggalnya, sedangkan salah seorang putrinya menjadi istri khalifah.
Catatan
Rujukan
Daftar pustakaWikimedia Commons memiliki media mengenai Abd al-Malik ibn Marwan.
|