Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan (bahasa Arab: يزيد بن معاوية بن أبي سفيان, translit. Yazīd bin Muāwiyah bin ʾAbī Sufyān; 646[a] – 11 November 683) atau Yazid I adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 680 sampai 683, menggantikan ayahnya dan kemudian diteruskan putranya. Yazid berasal dari Bani Umayyah cabang Sufyani, sebutan untuk keturunan Abu Sufyan bin Harb. Dia adalah khalifah kedua yang ayahnya juga seorang khalifah.
Kedudukannya sebagai khalifah tidak diakui beberapa tokoh Muslim lantaran dianggap menyalahi perjanjian yang dilakukan antara Muawiyah dan Hasan pada 661. Yazid kerap digambarkan sebagai sosok yang buruk oleh sejarawan Muslim lantaran gaya hidupnya yang tidak pantas untuk ukuran seorang pemimpin umat, juga karena dipandang bertanggung jawab atas terbunuhnya cucu Nabi Muhammad Husain dan keluarganya dalam Pertempuran Karbala, penjarahan Madinah setelah Pertempuran al-Harrah, dan terbakarnya Ka'bah saat pengepungan Makkah pada tahun 683.
Ibunya adalah: Maysun binti Bahdal bin Unaif bin Duljah bin Qunafah bin Adi bin Zuhair bin Haritsah bin Janab dari Bani Kalb.[3]
Awal kehidupan
Yazid lahir tahun 646 pada masa kekuasaan Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Ayahnya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syria. Ibu Yazid, Maysun binti Bahdal, adalah seorang yang sangat terikat dengan kampung halamannya dan tidak nyaman dengan kehidupan istana, sehingga Mu'awiyah kemudian menceraikannya. Ada kemungkinan Maysun mengandung Yazid atau Yazid masih menyusui pada saat itu.
Masa kecil Yazid dihabiskan di kabilah ibunya, Bani Kalb, suku Arab yang mendiami kawasan Arab barat daya, Gurun Suriah, dan Dataran Tinggi Golan. Bani Kalb sendiri terkenal akan keahliannya dalam sastra dan syair Arab. Sebagian besar dari mereka merupakan penganut Kristen pada abad keenam dan Maysun sendiri adalah seorang Kristen Ortodoks Syria.[4]
Masa Muawiyah
Pada masa kekuasaan ayahnya, Yazid beberapa kali memimpin peperangan melawan Kekaisaran Romawi Timur. Pada 670, dia turut serta dalam upaya penaklukan Konstantinopel. Yazid juga memimpin rombongan haji dalam beberapa kesempatan.[5]
Pada 676, Muawiyah bin Abu Sufyan memutuskan untuk menetapkan Yazid sebagai pewaris tampuk kekhalifahan sepeninggalnya.[6] Majelis musyawarah Damaskus menyepakatinya.[7] Mu'awiyah kemudian memanggil tokoh-tokoh terkemuka di tiap provinsi ke Damaskus dan membujuk mereka menerima Yazid sebagai pewaris.
Memerintah
Yazid mewarisi tampuk kekhalifahan setelah Mu'awiyah mangkat pada 680. Yazid kemudian menulis surat kepada Gubernur Madinah kala itu, Al-Walid bin Utbah bin Abi Sufyan, mengabarkan kabar meninggalnya Mu'awiyah dan mendesaknya untuk mengambil sumpah dari Husain bin 'Ali, 'Abdullah bin Zubair, dan 'Abdullah bin 'Umar.[8] Saat al-Walid meminta nasihat Marwan bin al-Hakam terkait surat tersebut, Marwan menyarankan agar Husain dan 'Abdullah bin Zubair harus dipaksa menyatakan baiat kepada Yazid, sementara 'Abdullah bin 'Umar harus dibiarkan karena dipandang bukan ancaman. Pada akhirnya hanya Husain yang mendatangi panggilan al-Walid, sementara 'Abdullah bin Zubair tidak. Saat bertemu dengan al-Walid dan Marwan di ruangan semi pribadi saat malam, Husain diberitahu kabar meninggalnya Muawiyah dan naiknya Yazid sebagai khalifah baru, dan memintanya melakukan baiat pada Yazid. Husain berdalih bahwa baiat tidak akan berguna bila dilakukan secara pribadi dan lebih baik dilakukan di ruang terbuka. al-Walid sepakat, tapi Marwan menyela bahwa Husain harus ditahan sampai dia memberi baiat kepada Yazid. Husain kemudian menghardik Marwan dan kemudian keluar meninggalkan al-Walid dan Marwan. 'Abdullah bin Zubair sendiri keluar menuju Makkah saat malam dan paginya, al-Walid mengirim delapan puluh pasukan berkuda untuk menangkapnya. Husain juga pergi ke Makkah setelahnya tanpa memberikan baiat kepada Yazid.[9] Yazid kemudian mengganti al-Walid dengan 'Amr bin Sa'id sebagai gubernur.[8] 'Amr bin Sa'id mengirim pasukan ke Makkah untuk menangkap 'Abdullah bin Zubair, tetapi pasukan tersebut dapat dikalahkan.[10]
Husain berpindah ke Makkah bersama keluarganya, kemudian dia menerima surat dari masyarakat Kufah pendukung 'Ali, mengundangnya ke sana untuk memimpin revolusi melawan Yazid. Husain kemudian memerintahkan sepupunya, Muslim bin 'Aqil bin Abi Thalib untuk memantau keadaan di Kufah. Husain juga menulis surat ke Bashrah, tetapi pembawa pesan ditangkap dan surat tersebut diserahkan kepada 'Ubaidillah bin Ziyad. Di Kufah, Muslim bin 'Aqil menyaksikan dukungan sangat besar dari penduduk Kufah dan meminta Husain untuk datang.
Mendapat kabar dari Muslim bin 'Aqil, Husain akhirnya berencana bertolak ke Kufah. 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin Zubair, dan 'Abdullah bin 'Abbas menentang rencana Husain dan memintanya tetap di Makkah. Bila tetap berkeras, mereka menasihati untuk meninggalkan wanita dan anak-anak, mengingat ini adalah perjalanan yang berbahaya. Namun Husain menolak usulan mereka. Di sisi lain, mengetahui rencana perlawanan atas pemerintahannya, Yazid memerintahkan 'Ubaidillah bin Ziyad menundukkan Kufah. 'Ubaidillah kemudian menundukkan upaya perlawanan dengan keras dan Muslim bin 'Aqil dibunuh.[12] Di tengah perjalanan, Husain menerima kabar terbunuhnya Muslim bin 'Aqil dan penduduk Kufah yang telah beralih pihak. Meski begitu, Husain dan para pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan.[13][14][15] 'Ubaidillah bin Ziyad yang memimpin setidaknya 4.000 pasukan Umayyah kemudian bertolak menghadang rombongan Husain. Pertempuran antara kedua pihak terjadi di Karbala pada 10 Oktober 680 M (10 Muharram 61 H). Lebih dari 1.000 pasukan tewas di pihak Umayyah. Korban di pihak Husain sendiri berjumlah antara 72 sampai 110 dan Husain sendiri terbunuh pada peristiwa tersebut.[12][16] Keluarga Husain kemudian ditangkap dan dibawa ke Syria.
Terbunuhnya Husain menjadikan reputasi Yazid jatuh. Hal ini juga menggiring perlawanan yang awalnya hanya penentangan terhadap Yazid berubah menjadi gerakan anti-Umayyah.[17] Peristiwa ini juga semakin mengukuhkan perselisihan dan kesenjangan antara Sunni dan Syiah.[18]
Perlawanan 'Abdullah bin Zubair
Setelah terbunuhnya Husain di Karbala, 'Abdullah bin Zubair kemudian mengumpulkan baiat dari para penduduk Makkah. Dia kemudian mengirim gubernur ke Kufah. Gelombang anti-Umayyah menjadikan 'Abdullah bin Zubair dengan cepat mendapat dukungan di Iraq, Arab selatan, sebagian Mesir dan bahkan sebagian Syria yang menjadi pusat kekuasaan Umayyah. Meski begitu, dia tidak mengklaim tampuk kekhalifahan.[19][20] Yazid kemudian memerintahkan 'Amr bin Sa'id untuk menangkap 'Abdullah bin Zubair dan 'Amr bin Sa'id kemudian memerintahkan kepala keamanan Madinah yang merupakan saudara 'Abdullah bin Zubair, juga bernama 'Amr, untuk melaksanakan tugas tersebut.[21] Namun pihak Umayyah dapat dikalahkan dan 'Amr sendiri tertangkap dan meninggal.[22] 'Abdullah bin Zubair kemudian menyatakan ketidakabsahan pemerintahan Yazid dan menghubungi kaum AnsharMadinah untuk bekerja sama.[22] Demi membendung pengaruh 'Abdullah bin Zubair, Yazid mengundang para tokoh Madinah ke Damaskus dan memberikan mereka berbagai hadiah untuk melunakkan hati mereka. Namun bukannya terbujuk, para pemuka justru malah tidak menyukai Yazid lantaran mereka melihat sendiri gaya hidupnya yang dipandang tidak pantas untuk seorang pemimpin umat, seperti bermewah-mewah, mabuk-mabukan, dan terlalu menggandrungi musik. Masyarakat Madinah yang mengetahui gaya hidup Yazid dari cerita para tokoh tersebut kemudian membatalkan kesetiaan mereka pada Yazid, mengusir gubernur dan Bani Umayyah dari kota.
Menanggapi penentangan dari pihak Madinah, Yazid kemudian mengirimkan 12.000 pasukan khusus Arab Syria yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah.[20] Agustus 683, Muslim bin Uqbah tiba di Madinah dan memberi waktu penduduknya untuk menyerah dalam tiga hari. Namun setelah batas waktu berakhir dan pihak Madinah tetap tidak bersedia memberikan kepatuhan, perang dimulai, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran al-Harrah (وقعة الحرة). Setelah pihak Umayyah memenangkan pertarungan, mereka melakukan ibahat (tradisi Romawi yang memperbolehkan pasukan melakukan apa saja di wilayah taklukkannya) atas Madinah selama tiga hari.[23][24] Beberapa tokoh Madinah, salah satunya adalah putra sahabat Nabi, Abdullah bin Hanzhalah, tewas dalam pertempuran ini.[19][25] Namun menurut sumber lain, tidak ada penjarahan di Madinah dan hanya para pemimpin perlawanan yang dihukum mati.[23] Pasukan Umayyah kemudian meneruskan perjalanan untuk menundukkan Makkah, tetapi pimpinan diambil alih oleh Hushain bin Numair lantaran Muslim bin Uqbah meninggal dalam perjalanan. Mekkah berada dalam pengepungan pada September 683 setelah 'Abdullah bin Zubair menolak untuk menyerah. Dalam pengepungan selama beberapa pekan ini, pihak Umayyah menggunakan katapel untuk membombardir Makkah. 31 Oktober, Ka'bah terbakar dan Hajar Aswad hancur. Sebagian berpendapat bahwa penyebab kebakaran dikarenakan lontaran katapel pihak Umayyah, sedangkan yang lain menyatakan bahwa api berasal dari obor pengikut 'Abdullah bin Zubair yang terkena angin.[26][27][28]
Pengepungan Makkah berakhir setelah Yazid meninggal mendadak pada November 683 dan pasukan Umayyah mundur ke Syria. Dengan mangkatnya Yazid, 'Abdullah bin Zubair kemudian menyatakan dirinya sebagai khalifah, menjadi khalifah pesaing bagi Umayyah yang berpusat di Syria. Di Syria sendiri, kedudukan khalifah diwariskan pada putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, yang tidak begitu tertarik dengan urusan pemerintahan.
Kemunduran
Kekhalifahan mengalami kemunduran militer pada masa Yazid. Pada 682, Yazid mengembalikan kedudukan 'Uqbah bin Nafi' sebagai gubernur Afrika Utara dan 'Uqbah berhasil memenangkan perang dengan Berber dan Romawi. 'Uqbah kemudian melanjutkan penaklukan di barat ke Tangier dan di timur ke Pegunungan Atlas.[29][30] Dengan 300 pasukan berkuda, dia bertolak menuju Biskra dan dia disergap pasukan Berber di sana. 'Uqbah dan semua pasukannya gugur. Berber kemudian melancarkan serangan balik dan menyingkirkan kekuatan Muslim dari Afrika Utara.[31] Kekhalifahan juga kehilangan pengaruh mereka di laut dengan Pulau Rodos dan Kreta.
Yazid juga tidak melanjutkan kebijakan ayahnya untuk menyerang Kekaisaran Romawi Timur dan lebih memusatkan perhatian untuk mengukuhkan wilayah perbatasan.[32]
Pandangan
Sejarawan Muslim pada umumnya memandang Yazid sebagai salah satu khalifah yang tidak baik, utamanya di kalangan Syi'ah.[5] Pembunuhan Husain di Karbala, penjarahan Madinah setelah Perang Al-Harrah, dan rusaknya Ka'bah pada pengepungan tahun 683 dipandang sebagai tanggung jawab dari Yazid. Secara kepribadian, Yazid juga dipandang buruk lantaran akhlak dan perilakunya yang tidak mencerminkan pemimpin umat Islam, seperti gemar mabuk, berburu, dan memelihara hewan seperti kera dan anjing.[5][33]
Meski begitu, sejarawan Barat memberikan pandangan yang lebih positif terkait Yazid. Jullius Wellhausen menyatakan bahwa Yazid adalah pemimpin yang lunak yang hanya menggunakan kekerasan hanya bila merasa dibutuhkan.[34] Dia juga bukan pemimpin zalim sebagaimana yang digambarkan tokoh-tokoh agama.[34] Michael Jan de Goeje, orientalis Belanda, menyatakan bahwa Yazid adalah pecinta damai.[1] Menurut G. R. Hawting, sejarawan Britania, dia melanjutkan kebijakan ayahnya terkait diplomasi, tetapi berbeda dengan Mu'awiyah, dia tidak berhasil memenangkan hati oposisi dengan hadiah dan suap.[5] Menurut Bernard Lewis, Yazid adalah pemimpin yang cakap, tetapi dikritisi secara berlebihan oleh sejarawan Arab setelahnya.[17]
Keluarga
Orangtua dan moyang
Ayah — Mu'awiyah bin Abu Sufyan pendiri Kekhalifahan Umayyah, menjadi khalifah pada tahun 661–680.
Kakek — Shakhr bin Harb lebih dikenal dengan julukan Abu Sufyan. Keturunannya disebut Bani Sufyani (sub-klan dari Bani Umayyah).
Nenek — Hindun binti 'Utbah Berasal dari Bani Abdu Syams, klan induk Bani Umayyah dari pihak ayah, serta keturunan Umayyah bin Abdu Syams, leluhur Bani Umayyah dari pihak ibu.
Ibu — Maysun binti Bahdal Berasal dari Bani Kalb, suku penguasa padang rumput Suriah.
Kakek — Bahdal bin Unaif Pemimpin Bani Kalb. Meninggal sebagai seorang Kristen.[35]
Pasangan
Ummu Kultsum binti Abdullah bin Amir Berasal dari Bani Abdu Syams. Ayahnya menjabat sebagai Gubernur Basra.
Muawiyah Khalifah Umayyah ke-3. Menjadi khalifah pada 683–684.
Khalid — putra dari Fakhitah Sempat diajukan menjadi khalifah sepeninggal Mu'awiyah bin Yazid, tetapi tidak mendapat banyak dukungan lantaran usianya yang masih belia. Menaruh perhatian dalam masalah ilmu kimia.
Abdullah – putra dari Ummu Kultsum Pemanah dan penunggang kuda terbaik pada masanya.
'Atikah Seorang ulama dan ahli dalam ilmu periwayatan hadits. Menikah dengan Abdul Malik bin Marwan, Khalifah Umayyah ke-5.
Catatan
^ abTahun kelahirannya tidak pasti. Sebagian sumber beragam menyebutkan dari 22 H hingga 30 H.[1]
Lammens, H. (1987). "Yazīd b. Mu'āwiya". Dalam Houtsma, Martijn Theodoor. E.J. Brill's first encyclopaedia of Islam, 1913–1936, Volume VIII: Ṭa'if–Zūrkhāna. Leiden: BRILL. hlm. 1162–1163. ISBN90-04-08265-4.