Al-Andalus (bahasa Arab: الأندلس, translit. al-andalus) adalah nama dari bagian Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) yang dikuasai Muslim atau orang Moor antara tahun 711 dan 1492.[1] Al-Andalus juga sering disebut Andalusia, tetapi penggunaan ini memiliki keambiguan dengan wilayah administratif di Spanyol modern Andalusia.
Karena pada akhirnya orang-orang Kristen berhasil merebut kembali Iberia dari tangan umat Islam dalam proses yang disebut Reconquista (secara harfiah berarti "penaklukkan ulang"), nama Al-Andalus umumnya tidak merujuk kepada Iberia secara umum, tetapi kepada daerah-daerah yang dikuasai para Muslim pada zaman dahulu. Pada 1492, benteng terakhir umat Islam di Spanyol, Granada, di bawah kepemimpinan Muhammad XII, menyerah sepenuhnnya kepada Los Reyes Católicos (Kerajaan Katolik Spanyol) yang dipimpin oleh Isabel I dari Kastilia dan Fernando II dari Aragon. Sedangkan kekuasaan Islam di Portugal berakhir pada 1249 dengan ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III. Kekalahan penguasa Muslim kemudian diikuti oleh penganiyaan dan pengusiran terhadap kaum Muslim dan Yahudi di Spanyol.[2]
Asal kata "Al-Andalus"
Etimologi dari nama Al-Andalus belum diketahui secara pasti. Nama ini digunakan untuk merujuk kepada semenanjung Iberia atau daerah Selatan Iberia yang dikuasai umat Islam, dan bukti paling awal dari nama ini adalah pada koin yang dicetak oleh pemerintah Islam di Iberia sekitar 715 (tahun pencetakan juga tidak pasti karena koin dituliskan dalam Latin dan Arab, dan keduanya memberikan tahun yang berbeda).[3] Terdapat setidaknya tiga teori etimologi yang pernah diusulkan oleh para ilmuwan Barat, semuanya menganggap bahwa nama ini berasal dari zaman kekuasaan Romawi di Semenanjung Iberia.
Teori pertama adalah nama tersebut berasal dari Vandal, suku Jerman yang menguasai sebagian Iberia selama 407-429. Salah satu ilmuwan yang menerima teori ini adalah Reinhart P. Dozy, sejarawan abad ke-19.[4] Teori kedua adalah berasal dari Arabisasi kata "Atlantik". Pendukung teori ini adalah sejarawan Spanyol Vallvé.[5] Teori ketiga yang diajukan oleh Halm (1989)[6] adalah bahwa nama ini berawal dari nama yang diberikan suku Visigoth yang berkuasa di Iberia pada abad ke-5 hingga 9. Dalam bahasa Latin, Iberia Visigoth disebut Gothica Sors (tanah undian Goth). Halm memprediksikan bahwa dalam bahasa Gothic "tanah undian" mungkin disebut *landahlauts, dan ia menyarankan dari sinilah asal nama Al-Andalus berasal.
Ketiga teori ini semuanya tidak memiliki bukti historis, sehingga dapat dikatakan amat lemah. Pelopor dan pembela dari ketiga teori ini semuanya adalah sejarawan. Namun belakangan, ahli bahasa telah diikutsertakan dalam diskusi ini. Argumen-argumen dari ilmu sejarah, linguistik dan toponimi (ilmu yang mempelajari nama daerah), selanjutnya menunjukkan kelemahan semua teori diatas, dan bahwa nama Al-Andalus ternyata berasal dari masa Romawi.[7]
Sejarah
Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Iberia dapat dibagi menjadi enam periode, dimana tiap periode mempunyai corak pemerintahan dan dinamika masyarakat tersendiri. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya pemerintahan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar.
Sebelum kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang KristenVisigoth. Pada 711, pasukan Umayyah yang sebagian besar merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania dipimpin jenderalThariq bin Ziyad, dan di bawah perintah dari Kekhalifahan Umayyah di Damaskus. Pasukan ini mendarat di Gibraltar pada 30 April, dan terus menuju utara. Setelah mengalahkan RajaRoderikus dari Visigoth dalam Pertempuran Guadalete (711), kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada 719 hanya daerah Galisia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam. Setelah itu, pasukan Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Prancis, tetapi berhasil dihentikan oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732). Daerah yang dikuasai Muslim Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol, Portugal dan Prancis selatan sekarang.
Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali (gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah mau tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri, dan akhirnya berhasil mendirikan Kerajaan Asturias, yang berhasil mengalahkan kaum Muslimin dalam Pertempuran Covadonga pada tahun 721.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Al-Qairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Iberia.
Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama, antara suku Berber asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus-menerus bersaing, yaitu Quraisy (Arab Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini sering kali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Iberia pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama.
Pada tahun 740-an, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan khalifah. Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini kaum Muslimin di Al-Andalus belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.
Namun, menurut Ahmad Thomson, pertikaian itu hanya terjadi di kalangan elit politik. Masyarakat Muslim di Andalusia secara umum hidup dalam ketenteraman dan kebaikan. Mereka hidup dengan berusaha mencontoh inspirasi dari sahabat Nabi, juga menerapkan Al-Quran dan Sunnah semampu mereka. Misalnya, pada masa itu, orang Muslim berbondong-bondong belajar agama kepada para syaikh dan Ulama, begitu pula masyarakat Andalusia. Mereka mengirim seseorang yang bernama Yahya bin Yahya Al-Laythi untuk belajar kepada Imam Malik bin Anas. Di kemudian hari, ia menjadi Imam Madzhab Maliki.[8]
Keamiran dan Kekhalifahan Kordoba
Pada 750, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran Umayyah di pengasingan Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian besar keluarganya. Ia memerintah selama 30 tahun, tetapi memiliki kekuasaan yang lemah di Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah Abbasiyah.
Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa. Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.
Pada pertengahan abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kemartiran. Namun, Gereja Kristen lainnya di seluruh Al-Andalus tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen. Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja baru, biara, di samping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer.
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Thulaithulah pada tahun 852 membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting di antaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh 'Umar bin Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaqah. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Berber dan orang-orang Arab masih sering terjadi.
Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian barat. Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis.
Periode kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis Muslim sebagai masa keemasan Al-Andalus. Hasil panen yang diperoleh melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor dari Timur Tengah mencukupi untuk penduduk Kordoba dan kota-kota lainnya di Al-Andalus, dengan sektor ekonomi pertanian paling maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini memiliki populasi sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar dalam hal jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa.[9] Dalam dunia Islam, Kordoba merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsuf Al-Andalus, seperti Abul Qasim dan Ibnu Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan intelektual di Eropa zaman pertengahan.
Orang-orang Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling terkenal adalah Michael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Bitruji dan membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki dampak penting dalam berawalnya Renaisans di Eropa.[10][11]
Periode Taifa pertama
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam perang saudara antara 1009 hingga 1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, yang disebut taifa. Pada periode ini, umat Islam di Al-Andalus kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, tetapi kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.[butuh rujukan]
Taifa-taifa ini pada umumnya amat lemah sehingga tidak dapat mempertahankan diri menghadapi serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre, León, Portugal, Kastilia dan Aragon, serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi penaklukan, sehingga taifa-taifa di Al-Andalus meminta bantuan dari Bani Murabithun yang berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara. Orang-orang Murabitun mengalahkan raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran Zallāqah dan Pertempuran Uclés, dan akhirnya menguasai Al-Andalus.[butuh rujukan]
Murabitun, Muwahidun, dan Banu Marin
Pada 1086, pemimpin Murabitun di MarokoYusuf bin Tasyfin diundang oleh para bangsawan Muslim di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso VI, raja Kastilia dan León. Pada tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum Kristen dengan telak dalam pertempuran Zallāqah. Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan kekuasaan dari semua penguasa-penguasa kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua daerah mereka, kecuali Saraqusthah, yang pada akhirnya jatuh ke tangan Aragon pada tahun 1118. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen.
Pada tahun 1143, kekuasaan Murabithun ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh Muwahidun. Di Spanyol sendiri, sepeninggal Murabithun, pada mulanya muncul kembali taifa-taifa kecil, tetapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146, penguasa Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Penguasa Muwahidun memindahkan ibu kota Al-Andalus ke Sevilla pada 1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso VIII dalam Pertempuran Alarcos (1195).
Untuk jangka beberapa dekade, daulah ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan. Pada 1212 gabungan Kerajaan Kristen Kastilia, Navarra, Aragon, dan Portugal mengalahkan kaum Muwahidun pada Pertempuran Las Navas de Tolosa, dan memaksa sultan Muwahidun meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia kembali terpecah dalam taifa-taifa yang lemah, dan dengan cepat ditaklukkan oleh Portugal, Kastilia dan Aragon. Setelah jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Keamiran Granada yang dipimpin Banu Nashri-lah negara Islam yang tersisa, tetapi hanya sebagai negara bawahan yang membayar upeti kepada Kerajaan Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang bernama Mali dan Burkina Faso, yang dibawa melalui jalur perdagangan di Gurun Sahara.
Pada abad ke-14, Banu Marin di Maroko mengalami kemajuan dan mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian mengambil alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu Marin hingga kedatangan Tentara Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso XI, dibantu Afonso IV dari Portugal dan Pedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin pada Pertempuran Rio Salado (1340) dan merebut Al-Jaziratul Khadhra' (1344). Alfonso XI juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada, selama 1349-1350, tetapi Alfonso XI dan sebagian besar pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian Hitam pada tahun 1350.[12] Penggantinya, Pedro dari Kastilia (Si Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan berperang melawan kerajaan-kerajaan Kristen yang lain.[13] Peristiwa ini menandai dimulainya 150 tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang mengamankan keberadaan Granada.
Setelah perjanjian perdamaian dengan Raja Pedro dari Kastilia, Granada menjadi sebuah negara yang aman merdeka hingga hampir 150 tahun berikutnya. Umat Islam diberi kemerdekaan, kebebasan bergerak dan beragama, dan dibebaskan dari upeti selama 3-tahun. Setelah tiga tahun, umat Islam diharuskan membayar upeti tidak lebih dari yang diharuskan sebelumnya pada masa Banu Nasri. Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti pada zaman Abdurrahman III. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil.[butuh rujukan]
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Fernando II dari Aragon dan Ratu Isabel I dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang direncanakan secara hati-hati dan didanai dengan baik. Fernando dan Isabel kemudian meyakinkan Paus Siktus IV untuk menyatakan perang mereka sebagai perang suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya pengepungan tersebut berakhir saat Sultan Granada Muhammad Abu Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan benteng Granada, Alhambra kepada kekuasaan Kristen, dan menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia.[butuh rujukan]
Masyarakat
Masyarakat Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta Central. Muzarab (atau Mozarab/Musta'rib) adalah orang Kristen yang hidup dalam kekuasaan Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab, tetapi masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab.
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta besar. Pada akhir abad ke-15 terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.[14]
Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
Perlakuan terhadap non-Muslim
Perlakuan terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan diskusi dan perdebatan di antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka yang tertarik dengan keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia modern. Kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak didorong untuk masuk Islam, tetapi membayar pajak yang disebut jizyah.[15] Para ahli berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Barat yang dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi budaya Arab.[15] Bahasa mereka, Bahasa Muzarab, merupakan bahasa Roman yang dipengaruhi oleh bahasa Arab dan dituliskan dalam abjad Arab.
María Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, berpendapat bahwa "toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus".[16] Dalam bukunya The Ornament of the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, tetapi masih lebih baik daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, tempat mereka menerima toleransi.
Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya."[17] Lewis menolak bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama pada masa lalu. Ia juga mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi maupun logika"[17]
Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-Hakam II, ketika Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.
Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka.[18]
Setelah kematian Al-Hakam II pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.[19] Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun,[20] tetapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.[21]
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147,[22] lebih fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur,[23] atau ke daerah Kristen di Utara.[24][25] Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan di antaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.[22]
Kebudayaan
C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History, menulis[26]
"Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan dalam masa terpuruknya negara-negara Taifa, sebagai orang-orang paling beradab di Barat."
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat.[27] Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseteruan intelektual antara Bani Umayyah yang menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibu kota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah.[28][29] Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku.[28] Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk risalah, puisi, polemik dan antologi.[28] Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.[30]
Filosofi
Filosofi Islam Andalus
Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan sejumlah besar buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno". Penggantinya Khalifah Al-Hakam II (Al-Mustansir), membangun sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia.
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Al-Mansur bin Abi Amir.[31] Ia merupakan tokoh agama yang tidak menyukai ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan dengan susah payah oleh Al-Hakam II dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah cendikiawan terkenal bermunculan, termasuk Maslamah Al-Majriti (?-1008), seorang petualang berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan karya PtolemeusAlmagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan mempelopori geodesi serta triangulasi.[32]
Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani,[33] yang kemudian menjadi guru bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace), yang melahirkan magnum opus berjudul Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama lainnya adalah Ibnu Thufail, penduduk asli Wadi 'Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hayy bin Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Qurthubah. Ia lahir pada tahun 1126 dan meninggal tahun 1198. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayatul Mujtahid.
Filosofi dan kebudayaan Yahudi
Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal Al-Andalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa).[15]
Kedokteran
Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Di antaranya adalah Abul Qasim Az-Zahrawi (Abulcasis), "bapak ilmu bedah modern",[34] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.
'Abbas bin Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad bin Ibas dari Qurthubah adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.[butuh rujukan]
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal, Ibnu Jubair dari Valencia (1145-1228) menulis tentang negeri-negeri Muslim di Laut Tengah dan Sisilia; serta Ibnul Khatib (1317-1374) menyusun riwayat Granada. Sejarawan di atas bertempat tinggal di Al-Andalus, yang kemudian pindah ke Afrika.[butuh rujukan]
Dalam bidang musik dan suara, Al-Andalus mencapai kecemerlangan dengan tokohnya Al-Hasan bin Nafi' yang dijuluki Ziryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Ziryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.[butuh rujukan]
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Al-Andalus. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor-duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibnu Malik yang mengarang Alfiyyah, Ibnu Khuruf, Ibnul Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan bin Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra bermunculan, seperti Al-'Iqdul Farid karya Ibnu Abdu Rabbih, Al-Dzakhirahji Mahasin Ahlul Jazirah oleh Ibnu Bassam, Kitab Al-Qalaid buah karya Al-Fath bin Khaqan, dan sebagainya.[butuh rujukan]
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian ummat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Iberia yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidraulis untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidraulis itu dibangun dengan memperkenalkan roda air asal Persia yang dinamakan naurah (bahasa Spanyol: La Noria). Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan taman-taman.
Kordoba adalah salah satu kota utama Visigoth, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibu kota Al-Andalus tersebut. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang Istana Damaskus. Di antara kebanggaan kota Kordoba lainnya adalah Masjid Agung Kordoba. Menurut Ibnu ad-Dala'i, terdapat 491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Kordoba saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa Muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.[butuh rujukan]
Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Kordoba diambil alih oleh Granada pada masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana Alhambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Moor. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.[butuh rujukan]
Faktor pendukung kemajuan dan kemunduran
Faktor pendukung kemajuan
Kemajuan Al-Andalus sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman I, Abdurrahman II, dan Abdurrahman III. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara penguasa Bani Umayyah di Al-Andalus dalam hal ini adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976).[butuh rujukan]
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Iberia. Untuk orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan menyumbangkan kelebihannya masing masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Al-Andalus, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan budaya dunia Islam.[butuh rujukan]
Perpecahan politik pada masa Mulukul Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Al-Andalus. Setiap penguasa di Málaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Kordoba. Kalau sebelumnya Kordoba merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Iberia, Muluk ath-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang di antaranya justru lebih maju.[butuh rujukan]
Faktor penyebab kemunduran
Konflik dengan kerajaan Kristen. Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hierarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Namun, kehadiran Muslim Arab telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Kristen Iberia. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Iberia tidak pernah berhenti dari pertentangan antara dengan kerajaan-kerajaan Kristen.
Tidak adanya ideologi pemersatu. Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Iberia, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10, mereka masih memberi istilah 'ibad dan Muwallad kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut.
Kesulitan ekonomi. Di paruh kedua masa Islam di Iberia, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat "serius", sehingga lalai membina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan menpengaruhi kondisi politik dan militer
Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk ath-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Penguasa Katolik di antaranya juga disebabkan permasalahan ini.
Keterpencilan. Al-Andalus bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.[butuh rujukan]
Pengaruh atas Eropa
Al-Andalus merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam, baik dalam hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sisilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Al-Andalus.[butuh rujukan]
Al-Andalus merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Al-Andalus berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik. Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd (1120-1198). Ia melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap panteisme dan antropomorfismeKristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.[butuh rujukan]
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 dan rasionalisme pada abad ke-17. Buku-buku Ibnu Rusyd dicetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 di Napoli, Bologna, Lyon, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 di Jenewa. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Al-Andalus, seperti yang berada di Qurthubah, Isybiliyyah, Malaqah, Gharnathah, dan Salamanca. Selama belajar di Al-Andalus, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Thulaithulah. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231, tiga puluh tahun setelah meninggalnya Ibnu Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (Renaisans) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. Walaupun kaum Muslimin akhirnya terusir dari Iberia dengan cara yang sangat kejam, tetapi warisannya telah membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (Renaisans Yunani) pada abad ke-14 yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16, rasionalisme pada abad ke-17, dan pencerahan (aufklärung) pada abad ke-18.[butuh rujukan]
Referensi
^"Andalus, al-" Oxford Dictionary of Islam. John L. Esposito, Ed. Oxford University Press. 2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press. Accessed 12 June, 2006.
^Bossong, Georg (2002). Restle, David; Zaefferer, Dietmar, ed. "Der Name al-Andalus: neue Überlegungen zu einem alten Problem"(PDF). Trends in Linguistics. Studies and Monographs. Sounds and systems: studies in structure and change. (dalam bahasa German). Berlin: De Gruyter Mouton. 141: 149. ISSN1861-4302. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal June 27, 2008. Diakses tanggal 8 September 2013. Only a few years after the Islamic conquest of Spain, Al-Andalus appears in coin inscriptions as the Arabic equivalent of Hispania. The traditionally held view that the etymology of this name has to do with the Vandals is shown to have no serlous foundation. The phonetic, morphosyntactic, and also historical problems connected with this etymology are too numerous. Moreover, the existence of this name in various parts of central and northern Spain proves that Al-Andalus cannot be derived from this Germanic tribe. It was the original name of the Punta Marroquí cape near Tarifa; very soon, it became generalized to designate the whole Peninsula. Undoubtedly, the name is of Pre-Indo-European origin. The parts of this compound (anda and luz) are frequent in the indigenous toponymy of the Iberian Peninsula.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Dozy, Reinhart P. 1881. Recherches sur l'histoire et la littérature des Arabes d'Espagne pendant le Moyen-Age.
^Foundation for Medieval Genealogy dan Charles Cawley (2006-07). "Moorish Spain". Foundation for Medieval Genealogy. Diakses tanggal 2007-10-15. He was effective ruler until his death in 1002, eclipsing the CaliphPeriksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^A. Martin-Araguz, C. Bustamante-Martinez, Ajo V. Fernandez-Armayor, J. M. Moreno-Martinez (2002). "Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic medicine", Revista de neurología34 (9), p. 877-892.
Bacaan lanjutan
Al-Djazairi, S.E. (2005). The Hidden Debt to Islamic Civilisation. Bayt Al-Hikma Press. ISBN 0-9551156-1-2
Kraemer, Joel (2005). Moses Maimonides: An Intellectual Portrait. In Kenneth Seeskin (Ed.). The Cambridge Companion to Maimonides. Cambridge University Press. ISBN 0-521-81974-1
Luscombe, David et al. (Eds.) (2004). The New Cambridge Medieval History: Volume 4, c.1024-c.1198, Part 1. Cambridge University Press. ISBN 0-521-41411-3
Marín, Manuela et al. (Eds.). (1998). The Formation of Al-Andalus: History and Society. Ashgate. ISBN 0-86078-708-7
Wasserstein, David J. (1995). Jewish élites in Al-Andalus. In Daniel Frank (Ed.). The Jews of Medieval Islam: Community, Society and Identity. Brill. ISBN 90-04-10404-6
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Al-Andalus.