Antropomorfisme adalah pemberian atribusi karakteristik, perasaan, atau tujuan yang dimiliki manusia kepada entitas bukan manusia.[1] Hal ini dianggap sebagai kecenderungan bawaan psikologi yang dimiliki oleh manusia.[2]
Personifikasi adalah pemberian atribusi terkait bentuk dan sifat manusia terhadap konsep-konsep abstrak seperti bangsa, emosi, dan kekuatan alam, seperti musim dan cuaca.
Kedua konsep di atas dapat ditelusuri hingga zaman kuno yang digunakan sebagai sarana untuk bercerita dan ekspresi artistik. Sebagian besar budaya-budaya di dunia memiliki fabel tradisional dengan hewan sebagai karakter yang diantropomorfisasi. Orang-orang juga secara rutin mengaitkan emosi dan sifat perilaku manusia dengan hewan liar maupun hewan peliharaan.[3]
Etimologi
Antropomorfisme dan antropomorfisasi berasal dari istilah bahasa Yunaniánthrōpos (ἄνθρωπος, secara literal berarti "manusia") dan morphē (μορφή, "membentuk"). Ini pertama kali ditegaskan pada tahun 1753, yang awalnya mengacu pada bid'ah menerapkan bentuk manusia kepada TuhanKristen.[a][5]
Contoh zaman prasejarah
Sejak dimulainya perilaku modernitas manusia di zaman Paleolitik Akhir, sekitar 40.000 tahun yang lalu, contoh karya seni zoomorphic (berbentuk hewan) yang muncul mungkin merepresentasikan bukti antropomorfisme paling awal yang diketahui. Salah satu yang tertua yang diketahui adalah patung gading yang dikenal sebagai patung Löwenmensch di Jerman. Patung itu berbentuk manusia dengan kepala singa yang diperkirakan berusia sekitar 32.000 tahun.[6][7]
Contoh yang lebih baru adalah The Sorcerer, lukisan gua yang penuh teka-teki dari Gua Trois-Frères, Ariège, Prancis: makna sosok itu tidak diketahui, tetapi umumnya ditafsirkan sebagai semacam roh agung atau penguasa hewan. Dalam kedua contoh di atas telah terdapat unsur antropomorfisme.
Arkeolog Steven Mithen mengaitkan seni antropomorfik dengan munculnya praktik berburu yang lebih sistematis di zaman Paleolitikum Akhir.[8] Dia berpendapat bahwa bentuk seni ini adalah produk dari perubahan dalam arsitektur pikiran manusia, dengan adanya peningkatan fluiditas antara sejarah alam dan kecerdasan sosial. Menurutnya, fenomena antropomorfisme awal memungkinkan manusia pemburu untuk mengidentifikasi secara empatik hewan yang diburunya dan memprediksi gerakan mereka dengan lebih baik.[b]
Dalam agama dan mitologi
Dalam agama dan mitologi, antropomorfisme adalah persepsi tuhan atau dewa dalam bentuk manusia, atau pemberian sifat manusia kepada entitas-entitas ini.
Mitologi kuno sering kali menggambarkan yang ilahi sebagai dewa dengan bentuk dan kualitas manusia. Mereka menyerupai manusia tidak hanya dalam penampilan dan kepribadian; mereka menunjukkan banyak perilaku manusia yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam, penciptaan, dan peristiwa sejarah. Para dewa jatuh cinta, menikah, memiliki anak, berperang, menggunakan senjata, dan menunggang kuda dan kereta. Mereka berpesta dengan makanan spesial. Mereka kadang-kadang melakukan pengorbanan makanan, minuman, dan benda-benda suci yang harus dibuat oleh manusia. Beberapa dewa antropomorfik merepresentasikan konsep-konsep manusia tertentu, seperti cinta, perang, kesuburan, keindahan, atau musim. Dewa antropomorfik menunjukkan kualitas manusia seperti keindahan, kebijaksanaan, dan kekuatan, dan terkadang kelemahan manusia seperti keserakahan, kebencian, kecemburuan, dan kemarahan yang tak terkendali. Dewa Yunani seperti Zeus dan Apollo sering digambarkan dalam bentuk manusia yang menunjukkan sifat manusia yang terpuji dan tercela. Antropomorfisme dalam hal ini lebih spesifiknya adalah antropoteisme.[10]
Dari perspektif penganut agama-agama yang menyatakan manusia diciptakan dalam bentuk ketuhanan, fenomena tersebut dapat dianggap teomorfisme, atau pemberian sifat-sifat ketuhanan kepada manusia.
Antropomorfisme telah muncul dan dianggap sebagai ajaran sesat Kristen, terutama menonjol dengan Audian di Suriah abad ketiga, di Mesir abad keempat dan Italia abad kesepuluh.[11] Hal ini sering didasarkan pada interpretasi literal dari Kejadian 1:27: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan mereka; laki-laki dan perempuan diciptakan mereka".[12]
Kritik
Beberapa agama, cendekiawan, dan filsuf keberatan dengan dewa antropomorfik. Kritik paling awal yang diketahui adalah kritik dari filsuf Yunani Xenophanes (570–480 SM) yang berpendapat bahwa orang-orang membuat dewa-dewa mereka yang mirip dengan diri mereka sendiri. Dia menentang konsepsi dewa yang dianggapnya secara fundamental sebagai antropomorfik:
Tetapi jika sapi dan kuda dan singa punya tangan atau bisa melukis dengan tangan mereka dan membuat karya seperti yang dilakukan manusia, kuda seperti kuda dan sapi seperti sapi mereka juga akan menggambarkan bentuk dewa dan membuat tubuh mereka seperti bentuk yang mereka miliki. ... Orang-orang Ethiopia mengatakan bahwa dewa-dewa mereka berhidung pesek [σιμούς] dan berkulit hitam Orang-orang Thracia bahwa mereka pucat dan berambut merah.[13][c]
Xenophanes mengatakan bahwa "dewa terbesar" menyerupai manusia "baik dalam bentuk maupun dalam pikiran".[14]
Baik Yudaisme maupun Islam menolak dewa antropomorfik, dan percaya bahwa Tuhan berada di luar pemahaman manusia. Penolakan Yudaisme terhadap dewa antropomorfik dimulai dengan para nabi yang secara lugas menolak keserupaan Tuhan dengan manusia.[15] Penolakan Yudaisme tumbuh lebih jauh setelah Zaman Kejayaan Islam pada abad kesepuluh, yang dikodifikasikan oleh Maimonides pada abad kedua belas, dalam tiga belas prinsip keyakinan Yahudinya.[d]
Dalam interpretasi IslamIsmailiyah, memberikan atribut kepada Tuhan serta meniadakan atribut apa pun dari Tuhan (via negativa) memenuhi syarat sebagai antropomorfisme dan ditolak, karena Tuhan tidak dapat dipahami dengan memberikan atribut kepada-Nya atau mengambil atribut dari-Nya. Filsuf Ismaili abad ke-10 Abu Yaqub al-Sijistani menyarankan metode negasi ganda; misalnya: "Tuhan itu tidak ada" diikuti dengan "Tuhan itu bukan tidak ada". Ini memuliakan Tuhan dari segala pengertian atau pemahaman manusia.[17]
Umat Hindu tidak menolak konsep ketuhanan secara abstrak yang tidak terwujud, tetapi mencatat masalah-masalah praktis. Sri Krishna berkata dalam Bhagavad Gita, Bab 12, Ayat 5, bahwa jauh lebih sulit bagi orang untuk memusatkan perhatian pada dewa sebagai yang tidak berwujud daripada yang berwujud, menggunakan ikon antropomorfik (murtis), karena orang perlu memahami dengan indra mereka.[18][19]
Dalam pemikiran sekuler, salah satu kritik paling menonjol dimulai pada tahun 1600 oleh Francis Bacon yang menentang teleologiAristoteles, yang menyatakan bahwa segala sesuatu berperilaku seperti itu untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu untuk memenuhi dirinya sendiri.[20] Bacon menunjukkan bahwa mencapai tujuan adalah aktivitas manusia dan mengaitkannya dengan alam merupakan kesalahan dalam mengartikannya sebagai manusia.[20] Kritik modern mengikuti ide Bacon seperti kritik Baruch Spinoza dan David Hume. Hume, misalnya, mengkritik agama-agama manusia dan secara khusus menunjukkan dalam apa yang dia sebut sebagai "inkonsistensi", yang di satu sisi, dewa diberikan sifat yang paling agung, tetapi, di sisi lain, ia diturunkan derajatnya ke tingkat yang hampir manusiawi dengan memberinya kelemahan, nafsu, dan prasangka manusia.[21] Dalam Faces in the Clouds, antropolog Stewart Guthrie mengemukakan bahwa semua agama adalah antropomorfisme yang berasal dari kecenderungan otak untuk mendeteksi keberadaan atau sisa-sisa manusia lain dalam fenomena alam.[22]
Beberapa sarjana berpendapat bahwa antropomorfisme melebih-lebihkan kesamaan manusia dengan entitas bukan manusia dan karena itu tidak dapat menghasilkan keterangan yang akurat.[23]
Literatur
Fabel
Dalam sastra, tak asing lagi istilah fabel. Fabel merupakan cerita yang tokohnya berupa hewan, yang biasanya berwujud Antropomorfisme. Di Indonesia sendiri terdapat banyak cerita fabel, contohnya seperti cerita "Si Kancil".
Literatur modern
Mulai milenium 19, cerita dan film fabel dengan antropomorfisme, banyak bermunculan. Kebanyakan merupakan cerita untuk anak-anak. Pada tahun milenium 20, buku bergambar anak dengan tema ini, sedang berkembang pesat. Kemudian, literatur dan media antropomorfisme, memimpin munculnya suatu fandom, dikenal sebagai Furry Fandom. Sebuah animasi yang mempromosikan dan membuat cerita tentang hewan antropomorfisme, sekaligus menggemarinya.
Referensi
^Oxford English Dictionary, 1st ed. "anthropomorphism, n." Oxford University Press (Oxford), 1885.
^Hutson, Matthew (2012). The 7 Laws of Magical Thinking: How Irrational Beliefs Keep Us Happy, Healthy, and Sane. New York: Hudson Street Press. hlm. 165–81. ISBN978-1-101-55832-4.
^Oxford English Dictionary, 1st ed. "anthropomorphism, n." Oxford University Press (Oxford), 1885.
^"Lionheaded Figurine". Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 May 2011. Diakses tanggal 6 May 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Dalton (1 January 2004). "Löwenmensch Oldest Statue". VNN World. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 March 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Gardner, Howard (9 October 1997), "Thinking About Thinking", New York Review of Books, diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2010, diakses tanggal 8 May 2010Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"anthropotheism". Ologies & -Isms. The Gale Group, Inc. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 June 2011. Diakses tanggal 23 August 2009.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Armstrong, Susan; Botzler, Richard (2016). The Animal Ethics Reader, 3rd edition. Oxon: Routledge. hlm. 91. ISBN9781138918009.
catatan
^Anthropomorphism, among divines, the error of those who ascribe a human figure to the deity.[4]
^In the New York Review of Books, Gardner opined that "I find most convincing Mithen's claim that human intelligence lies in the capacity to make connections: through using metaphors".[9]
^Banyak terjemahan lain dari bagian ini memiliki Xenophanes yang menyatakan bahwa orang Thracia "berambut pirang".
^Moses Maimonides quoted RabbiAbraham Ben David: "It is stated in the Torah and books of the prophets that God has no body, as stated 'Since G-d your God is the god (lit. gods) in the heavens above and in the earth below" and a body cannot be in both places. And it was said 'Since you have not seen any image' and it was said 'To who would you compare me, and I would be equal to them?' and if he was a body, he would be like the other bodies."[16]