Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz (bahasa Arab: عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز بْن مَرْوَان, translit. ʿUmar ibn ʿAbd al-ʿAzīz ibn Marwān; ca 680 – Februari 720), juga dikenal dengan nama Umar II (bahasa Arab: عمر الثاني, translit. ʿUmar ats-Tsānī), adalah khalifah Kekhalifahan Umayyah kedelapan, yang memerintah dari tahun 717 hingga kematiannya pada tahun 720. Ia dianggap telah melakukan reformasi yang signifikan terhadap pemerintahan pusat Umayyah, dengan menjadikannya jauh lebih efisien dan egaliter. Pemerintahannya ditandai dengan pengumpulan hadis resmi pertama dan mandat pendidikan universal kepada masyarakat. Selama tiga tahun pemerintahannya, Islam diterima oleh sebagian besar penduduk Persia dan Mesir. Ia juga memerintahkan penarikan pasukan Muslim di berbagai front seperti di Konstantinopel, Asia Tengah dan Septimania. Meskipun selama pemerintahannya, Bani Umayyah telah memperoleh banyak wilayah taklukan baru di Semenanjung Iberia. Umar dianggap oleh banyak Muslim sebagai mujaddid pertama dan Khulafaur Rasyidin kelima, selain Hasan bin Ali menurut beberapa cendekiawan Muslim. Ia dihormati sebagai "Umar II" karena kemiripan karakternya dengan kakek buyutnya dari pihak ibu, khalifah Umar bin Khattab. Kehidupan awalUmar kemungkinan lahir di Madinah sekitar tahun 680.[5][6] Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, berasal dari klan kaya Bani Umayyah yang tinggal di kota, sedangkan ibunya, Laila binti Ashim, adalah cucu dari Khalifah kedua, Umar bin Khattab (m. 634–644).[7] Silsilahnya dari Khalifah Umar yang sangat dihormati nantinya akan banyak ditekankan oleh para sejarawan untuk membedakannya dari penguasa Bani Umayyah lainnya.[5] Pada saat kelahirannya, cabang Bani Umayyah lainnya, Sufyaniyah, memerintah Kekhalifahan dari ibu kota Damaskus. Ketika Khalifah yang berkuasa Yazid I (m. 680–683) dan putra serta penerusnya, Muawiyah II (m. 683–684), meninggal dalam waktu singkat berturut-turut pada tahun 683 dan 684, otoritas Umayyah runtuh di seluruh Kekhalifahan dan Bani Umayyah di Hijaz, termasuk Madinah, diusir oleh para pendukung khalifah saingannya, Abdullah bin Zubair (m. 683–692). Orang-orang Umayyah yang diusir dari Hijaz berlindung di Suriah, tempat suku-suku Arab yang loyal mendukung dinasti tersebut. Kakek Umar dari pihak ayah, Marwan I (m. 684–685), akhirnya diakui oleh suku-suku ini sebagai khalifah dan dengan dukungan mereka, menegaskan kembali kekuasaan Umayyah di Suriah.[8] Pada tahun 685, Marwan menggulingkan gubernur Ibnu Zubair dari Mesir dan mengangkat ayah Umar sebagai gubernur Mesir yang baru.[9] Umar menghabiskan sebagian masa kecilnya di Mesir, khususnya di Hulwan, yang menjadi pusat pemerintahan ayahnya antara tahun 686 dan kematiannya pada tahun 705.[6] Kemudian, Umar menempuh pendidikannya di Madinah,[6] yang telah direbut kembali oleh Bani Umayyah di bawah pimpinan paman Umar, Khalifah Abdul Malik (m. 685–705) pada tahun 692.[10] Setelah menghabiskan sebagian besar masa mudanya di Madinah, Umar mengembangkan hubungan dengan para ulama, orang-orang saleh, serta para perawi hadis di kota itu.[6] Setelah kematian ayah Umar, Abdul Malik memanggil Umar ke Damaskus untuk mengatur pernikahan Umar dengan putrinya, Fatimah.[6] Umar juga memiliki dua istri lainnya: yaitu sepupu dari pihak ibu, Ummu Syu'aib atau Ummu Utsman yang merupakan putri Syu'aib atau Sa'id bin Zabban dari suku Bani Kalb, dan Lamis binti Ali dari Bani al-Harits. Dari istri-istrinya ia diketahui memiliki tujuh anak, serta tujuh anak lainnya dari selir.[11] Gubernur MadinahTak lama setelah aksesinya, putra dan penerus Abdul Malik, al-Walid I (m. 705–715), menunjuk Umar sebagai gubernur Madinah.[6] Menurut Julius Wellhausen, niat al-Walid adalah menggunakan Umar untuk mendamaikan penduduk kota Madinah dengan pemerintahan Umayyah dan "menghilangkan kenangan buruk" dari gubernur Umayyah sebelumnya, yaitu Hisyam bin Ismail al-Makhzumi, yang memerintah penduduk Madinah dengan sangat keras.[5] Umar mengambil alih jabatan tersebut pada bulan Februari/Maret 706 dan yurisdiksinya kemudian diperluas ke Makkah dan Tha'if.[6] Informasi mengenai pemerintahannya sebagai gubernur sangat sedikit, namun sebagian besar catatan tradisional mencatat bahwa ia adalah "gubernur yang adil".[6] Dia sering memimpin ibadah haji tahunan di Makkah dan menunjukkan dukungan terhadap para ulama fikih di Madinah, khususnya Sa'id bin al-Musayyib.[6] Umar menoleransi kritik terbuka dari banyak ulama terhadap perilaku pemerintahan Bani Umayyah.[5] Namun, laporan lain menyatakan bahwa Umar memiliki kekayaan yang cukup signifikan pada awal karirnya sebagai gubernur.[6] Atas perintah al-Walid, Umar melakukan rekonstruksi dan perluasan Masjid Nabawi di Madinah mulai tahun 707.[6] Di bawah pemerintahan Umar yang cukup lunak, Hijaz umumnya menjadi tempat perlindungan terbaik bagi orang-orang buangan politik dan agama Irak yang melarikan diri dari penganiayaan al-Hajjaj bin Yusuf, raja muda al-Walid yang berkuasa di bagian timur Kekhalifahan.[6] Menurut sejarawan Paul M. Cobb, hal ini justru menjadi "kehancuran" bagi Umar karena al-Hajjaj menekan khalifah untuk memecat Umar pada bulan Mei/Juni 712.[6] Punggawa al-Walid dan SulaimanMeskipun telah dipecat, namun Umar tetap mendukung al-Walid. Hal itu dikarenakan saudara perempuannya, Ummul Banin binti Abdul Aziz, merupakan istri dari khalifah al-Walid.[12] Dia tetap berada di istana al-Walid di Damaskus sampai kematian khalifah pada tahun 715,[6] dan menurut riwayat dari sejarawan abad ke-9 al-Ya'qubi, dia memimpin shalat jenazah untuk al-Walid.[13] Saudara laki-laki al-Walid dan penerusnya, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (m. 715–717), menempatkan Umar pada jabatan yang cukup tinggi.[12] Bersama Raja' bin Haiwah, seorang tokoh agama berpengaruh di istana Bani Umayyah, Umar menjabat sebagai penasihat utama Sulaiman.[6] Dia menemani Khalifah ketika memimpin ibadah haji ke Makkah pada tahun 716 dan sekembalinya ke Yerusalem.[6] Demikian pula, ia berada di sisi khalifah di kamp pasukan Muslim di Dabiq di Suriah utara, di mana Sulaiman mengerahkan upaya perang besar-besaran untuk menaklukkan ibu kota Kekaisaran Bizantium, Konstantinopel pada tahun 717.[6] Kekhalifahan (717–720)AksesiMenurut sumber-sumber Muslim tradisional, ketika Sulaiman sakit keras di Dabiq, dia dibujuk oleh Raja' untuk menunjuk Umar sebagai penggantinya.[6][14][15][16] Putra Sulaiman, Ayyub, adalah calon pertamanya, namun Ayyub telah meninggal dunia sebelum dirinya,[17] sementara putra-putranya yang lain masih terlalu muda atau sedang berperang di front Bizantium.[15] Pencalonan Umar membatalkan keinginan Abdul Malik, yang berusaha membatasi jabatan hanya pada keturunan langsungnya.[6] Pengangkatan Umar, seorang anggota cabang kadet dinasti, dibandingkan keturunan langsung Abdul Malik lain yang mungkin lebih berpengaruh, telah mengejutkan para pangeran Sulaiman.[16] Menurut Wellhausen, "tidak ada seorang pun yang memimpikan hal ini, terutama dirinya sendiri [Umar]".[16] Pada awalnya, Raja' memanggil para pangeran Umayyah ke masjid Dabiq dan menanyakan apakah mereka bersedia untuk mengakui wasiat dari Sulaiman, sementara Raja' sendiri masih menyembunyikan nama pengganti yang telah ditunjuk kepada para pangeran.[16] Setelah para pangeran Bani Umayyah menerima dan mengakui wasiat Sulaiman, barulah Raja mengungkapkan bahwa Umar adalah calon khalifah yang telah ditunjuk oleh Sulaiman.[16] Hisyam bin Abdul Malik pada awalnya menentang penunjukan Umar, namun ia akhirnya mengalah setelah diancam dengan kekerasan.[16] Potensi konflik intra-dinasti ini kemudian dapat dicegah dengan penunjukan putra Abdul Malik, Yazid II, sebagai penerus Umar.[15] Menurut sejarawan Reinhard Eisener, peran Raja' dalam aksesi Umar kemungkinan besar telah "dilebih-lebihkan." Kejadian yang mungkin "lebih masuk akal" adalah bahwa suksesi Umar merupakan hasil dari "pola tradisional, seperti senioritas dan klaim yang beralasan" yang berasal dari penunjukan ayah Umar sebelumnya, Abdul Aziz, sebagai penerus Abdul Malik oleh Khalifah Marwan I,[18] yang tidak terwujud karena Abdul Aziz meninggal dunia mendahului Abdul Malik.[19] Umar menyetujuinya tanpa perlawanan berarti pada tanggal 22 September 717, dan kemudian dilantik sebagai khalifah beberapa hari kemudian.[6] ReformasiReformasi paling signifikan yang dilakukan Umar adalah memberikan kesetaraan antara orang Arab dan mawālī (Muslim non-Arab). Hal ini terutama berlaku bagi pasukan non-Arab dalam pasukan Muslim, yang pada awalnya tidak memiliki hak atas bagian rampasan, tanah, dan gaji yang sama dengan yang diberikan kepada tentara Arab. Kebijakan tersebut juga berlaku bagi masyarakat Muslim secara luas.[20] Di bawah pemerintahan Bani Umayyah sebelumnya, Muslim Arab mempunyai keistimewaan finansial tertentu dibandingkan Muslim non-Arab. Orang non-Arab yang masuk Islam tetap diharuskan membayar jizyah yang mereka bayarkan sebelum menjadi Muslim. Umar menerapkan sistem baru yang membebaskan seluruh umat Islam, apapun asal usul mereka, dari pajak jizyah. Dia juga menambahkan beberapa pengamanan pada sistem untuk memastikan bahwa perpindahan agama secara massal ke Islam tidak akan menyebabkan runtuhnya keuangan pemerintahan Bani Umayyah.[21] Berdasarkan kebijakan pajak yang baru, mawālī yang berpindah agama tidak akan membayar jizyah (atau pajak dzimmi lainnya). Namun, setelah mereka masuk Islam, tanah milik mereka akan menjadi milik desa dan mereka tetap bertanggung jawab atas tarif penuh kharaj (pajak tanah). Hal ini mengkompensasi hilangnya pendapatan karena berkurangnya basis pajak jizyah.[22] Dia mengeluarkan dekrit perpajakan yang menyatakan:
Mungkin untuk mencegah potensi pukulan balik dari penentang langkah-langkah pemerataan, Umar memperluas upaya Islamisasi yang terus menguat di bawah pemerintahan pendahulu Marwaniyah. Upaya tersebut mencakup langkah-langkah untuk membedakan Muslim dari non-Muslim dan pengukuhan ikonoklasme Islam.[24] Menurut Khalid Yahya Blankinship, Dia menghentikan ritual untuk mengutuk Khalifah Ali bin Abi Thalib (m. 656–661), sepupu dan menantu Muhammad, dalam khotbah sholat Jumat yang sudah menjadi tradisi bagi Bani Umayyah.[25] Berdasarkan keadaan umat Islam saat itu, Umar kemudian memerintahkan pengumpulan hadis (perkataan dan tindakan yang dikaitkan dengan nabi Islam Muhammad) pertama secara resmi, karena khawatir sebagian di antaranya akan hilang.[26] Pemerintahan provinsiTak lama setelah aksesinya, Umar merombak pemerintahan provinsi.[6] Dia menunjuk orang-orang kompeten yang bisa dia kendalikan, menunjukkan niatnya "untuk mengawasi pemerintahan provinsi".[14] Wellhausen mencatat bahwa khalifah tidak membiarkan para gubernur bertindak sendiri sebagai imbalan atas penerusan pendapatan provinsi; sebaliknya, ia secara aktif mengawasi pemerintahan gubernurnya dan kepentingan utamanya adalah "bukan pada peningkatan kekuasaan melainkan pada penegakan hak."[27] Dia membagi lagi jabatan gubernur besar yang didirikan di Irak dan Kekhalifahan timur di bawah raja muda Abdul Malik, al-Hajjaj bin Yusuf.[14] Orang yang ditunjuk Sulaiman untuk provinsi super ini, Yazid bin al-Muhallab, dipecat dan dipenjarakan oleh Umar karena gagal meneruskan rampasan dari penaklukan sebelumnya atas Tabaristan di sepanjang Kaspia bagian selatan pantai ke perbendaharaan khalifah.[14][28] Sebagai pengganti Ibnul Muhallab, ia menunjuk Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zaid bin Khattab, anggota keluarga Khalifah Umar bin Khattab, sebagai gubernur Kufah, Adi bin Artah al-Fazari sebagai gubernur Basra, al-Jarrah bin Abdullah sebagai gubernur Khorasan dan Amr bin Muslim al-Bahili, saudara sang penakluk Qutaibah bin Muslim, sebagai gubernur Sind. Dia juga menunjuk Umar bin Hubairah al-Fazari sebagai gubernur baru al-Jazira (Mesopotamia Atas). Meskipun banyak dari orang-orang yang ditunjuk ini adalah murid al-Hajjaj atau berafiliasi dengan faksi Qais 'Ailan, Umar memilih mereka berdasarkan keandalan dan integritas mereka, bukan karena oposisi terhadap pemerintahan Sulaiman.[28] Umar mengangkat as-Samah bin Malik al-Khaulani ke al-Andalus (Semenanjung Iberia) dan Ismail bin Ubaidillah bin Abi al-Muhajir ke Ifriqiyah. Dia memilih gubernur-gubernur ini karena mereka dianggap netral dalam faksionalisme suku antara Qays dan Yaman dan keadilan mereka terhadap kaum tertindas.[29] Kebijakan militerSetelah aksesinya pada akhir tahun 717, Umar memerintahkan penarikan pasukan Muslim yang dipimpin oleh sepupunya Maslamah bin Abdul Malik dari pengepungan mereka yang gagal terhadap Konstantinopel ke wilayah Antiokhia dan Malatya, lebih dekat ke perbatasan Suriah.[6] Dia menugaskan ekspedisi pada musim panas tahun 718 untuk memfasilitasi penarikan mereka.[30] Umar terus melakukan serangan musim panas tahunan terhadap perbatasan Bizantium,[6] yang kemudian dianggap di luar dari kewajiban jihad.[12] Dia tetap tinggal di Suriah utara, sering kali tinggal di tanah miliknya di Khunasirah, di mana dia membangun markas besar yang dibentengi.[6][31] Suatu saat pada tahun 717, dia mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Ibnu Hatim bin an-Nu'man al-Bahili ke Adharbayjan untuk membubarkan sekelompok orang Turki yang telah melancarkan serangan yang merusak terhadap provinsi tersebut.[6] Pada tahun 718, ia berturut-turut mengerahkan pasukan Irak dan Suriah untuk menekan pemberontakan Khawarij di Irak, meskipun beberapa sumber mengatakan pemberontakan tersebut berhasil diselesaikan secara diplomatis.[6] Umar sering dianggap sebagai seorang pasifis oleh sumber-sumber tersebut dan Cobb mengaitkan kelelahan khalifah dengan perang karena kekhawatiran akan berkurangnya dana perbendaharaan kekhalifahan.[6] Wellhausen menegaskan bahwa Umar "tidak menyukai perang penaklukan, karena dia tahu betul bahwa perang tersebut dilakukan bukan demi Tuhan, melainkan demi rampasan".[12] Meskipun begitu, Blankinship menganggap alasan ini "tidak cukup".[32] Ia berpendapat bahwa bangsa Arab menghadapi kerugian besar dalam pengepungan mereka yang gagal terhadap Konstantinopel, termasuk penghancuran angkatan laut mereka, yang menyebabkan Umar melihat posisinya di Andalusia, dipisahkan oleh wilayah Kekhalifahan lainnya melalui laut, terutama Kilikia yang sangat rentan terhadap serangan Bizantium. Oleh karena itu, dia memilih untuk menarik pasukan Muslim dari kedua wilayah tersebut. Perhitungan yang sama menyebabkan dia mempertimbangkan penarikan pasukan Muslim dari Transoxiana untuk menopang pertahanan Suriah.[33] Shaban memandang upaya Umar untuk mengekang serangan terkait dengan kebencian elemen tentara Yamani, yang menurut Shaban dominan secara politik di bawah pemerintahan Umar, dikarenakan penempatan posisi mereka yang berlebihan di ketentaraan.[32] Meskipun ia menghentikan ekspansi lebih lanjut ke arah timur, masuknya Islam di sejumlah kota di Transoxiana menghalangi penarikan pasukan Arab dari sana oleh Umar.[34][28] Selama masa pemerintahannya, pasukan Muslim di Andalusia menaklukkan dan membentengi kota pesisir Mediterania Narbonne di Prancis modern.[35] KematianDalam perjalanan kembali dari Damaskus ke Aleppo atau mungkin ke tanah miliknya di Khunasirah, Umar jatuh sakit.[36] Ia meninggal antara tanggal 5 Februari dan 10 Februari 720,[36] pada usia 37 tahun,[37] di desa Dayr Sim'an (juga disebut Dayr al-Naqira) dekat Ma'arrat an-Nu'man.[36] Umar telah membeli sebidang tanah di sana dengan dananya sendiri dan dimakamkan di desa tersebut, di mana reruntuhan makamnya, yang dibangun pada tanggal yang tidak diketahui, masih terlihat.[36] Setelah kematian Umar, Yazid II dinominasikan sebagai khalifah kesembilan.[22] WarisanSumber-sumber tradisional Muslim sepakat bahwa Umar adalah orang yang saleh dan memerintah seperti seorang Muslim sejati yang bertentangan dengan khalifah Umayyah lainnya, yang umumnya dianggap sebagai "perampas kekuasaan, tiran, dan pemimpin zalim yang [seolah] tidak bertuhan".[14] Tradisi tersebut mengakui Umar sebagai khalifah otentik, sedangkan Bani Umayyah lainnya hanya dipandang sebagai raja.[21] Dalam pandangan Hawting, hal ini antara lain didasarkan pada fakta sejarah dan watak serta tindakan Umar. Ia berpendapat bahwa Umar "benar-benar seperti yang ditunjukkan oleh semua bukti, dia adalah orang yang terhormat, bermartabat, dan seorang penguasa yang patut dihormati."[15] Karena masa jabatannya yang terbilang singkat, sulit untuk menilai pencapaian kekhalifahan dan motifnya.[21] Memang benar, Kennedy menyebut Umar sebagai "karakter paling membingungkan di antara para penguasa Marwaniyah."[14] Sejarawan modern sepakat bahwa Umar "adalah seorang individu saleh yang berusaha memecahkan masalah-masalah pada zamannya dengan cara yang dapat mendamaikan kebutuhan dinasti dan negaranya dengan tuntutan Islam".[21] Dalam penilaian H.A.R. Gibb, Umar bertindak mencegah runtuhnya kekhalifahan dengan "menjaga persatuan bangsa Arab; menghilangkan keluhan dari para mawālī"; dan mendamaikan kehidupan politik dengan klaim agama."[38] Silsilah
Referensi
Daftar pustaka
|