Niat
Niat (Arab: نية Niyyat) adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah.[1] EtimologiSecara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti ‘sengaja’. Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian sesuatu yang dimaksudkan atau disengajakan. Sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat. Maka dari itu, barangsiapa yang menetapkan suatu definisi khusus yang berbeda dengan makna niat secara bahasa, maka orang tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan kuat yang bisa dipertanggungjawabkan.[2] Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Nawawi, ia mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya.”[3] Pendapat lain mengatakan “Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan.”[4] al-Khathabi mengatakan, “Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat hati.”[5] Dr. Umar al-Asyqar mengatakan, “Mendefinisikan dengan niat dan maksud yang tekad bulat adalah pendapat yang kuat. Definisi tersebut mengacu kepada makna kata niat dalam bahasa Arab.” Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlash. Hal ini bisa diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan suatu ibadah, dan terkadang pula maknanya adalah ikhlash dalam menjalankan suatu ibadah. Dua pendapat mengenai pelafalan niatMenurut Ibnu Rajab pada "Komentar hadits ke-40 Imam Nawawi: Hadits #1", tindakan dinilai menurut niat, "Umar bin Khattab meriwayatkan bahwa nabi berkata, 'Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.'"[6] Sejalan dengan itu, niat atau maksud seseorang adalah sangat penting di antara sebuah tindakan dalam beribadah. Ada perdebatan mengenai perlu atau tidaknya sebuah niat diucapkan. Kebanyakan ulama[7][8] setuju bahwa niat hanya dilakukan dalam hati atau membatinkan, dan tidak perlu diucapkan, termasuk para ulama bermahzab Syafi'iyyah.[9][10][11] Selain itu tidak ada bukti bahwa Nabi Muhammad atau para sahabat pernah mengucapkan niat ketika hendak salat atau ibadah lainnya.[12] * Pendapat pertama Qadhi Abu Rabi’ As Syafi'i seorang pembesar ulama bermahzab Syafi'i mengatakan, “Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukanlah bagian dari sunnah. Bahkan ini adalah sesuatu yang dibenci, jika ini mengganggu jamaah salat yang lain maka hukumnya haram.”[11] Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya. Menurut pendapat pertama ini adalah setiap ibadah seharusnya mengikuti tuntunan dari Nabi Muhammad (اَلْاِتِّبَاعُ al-ittiba’). Maka setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan (bid'ah) oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah (mukhlis). * Pendapat kedua Pendapat kedua memakai hadits dalil analogi (qiyas) ketika Nabi Muhammad sedang melakukan ibadah haji.[18] Menurut pendapat kedua niat memiliki aspek niat, di antaranya itu ada 3 hal:
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras. Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik. Referensi
Pranala luar
|