Berdiri (bahasa Arab: قيام, translit. qiyām) adalah bagian integral dari ibadah Islam salat. Salat dimulai dengan posisi berdiri dan beberapa salat hanya boleh dilakukan dalam keadaan berdiri, seperti salat jenazah.
Dalam al-Qur'an
"Berdiri untuk Allah" terkadang dipakai dalam al-Qur'an dalam rujukan kepada salat Islam.
Peliharalah semua salat dan salat wusṭa. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk.
Satu rakaat dimulai dari takbir (takbiratulihram) yakni ucapan الله أَڪْبَر (Allahu-akbar, Allah Maha Besar). Tangan diangkat di muka dada atau sampai ke bagian atas kedua telinga, dengan jari-jari sedikit renggang, tidak terlalu renggang tetapi tidak dirapatkan.[1][2] Dalam posisi berdiri ini surah-surah al-Qur'an dibacakan.[1]
I'tidāl adalah bangun dari rukuk. Punggung ditegakkan lagi dan diucapkan سمع الله لمن حمده (Sami' Allahu liman hamidah, “Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya”).[1][2] Kemudian diikuti bacaan ربنا لك الحمد (Rabbanaa wa lakal-hamd, “Ya Tuhanku! Bagi-Mu segala puji”).[2] Takbir diucapkan lagi dan jamaah sujud.[2]
Menurut jenis salat
Hampir seluruh salat termasuk salat lima waktu maupun salat sunah, memiliki qiyām sebagai bagian dari rakaat salat. Salat jenazah hanya dilakukan dalam keadaan berdiri.
Posisi tangan
Posisi tangan dalam qiyām berbeda-beda menurut mazhab, serta menimbulkan perdebatan.[3] Di antara para ulama Sunni, sejumlah hadis menunjukkan bahwa sedekap (qabd) dapat digunakan, tetapi sadl (berdiri tegak tanpa sedekap) masih dipraktikkan oleh mazhab Maliki.[4] Persoalan ini banyak dibahas di negara dengan mayoritas bermazhab Maliki, seperti di Nigeria bagian utara, karena pengaruh mazhab Sunni yang lain.[5][6]
Sunni
Hanafi
Pada mazhab Hanafi, laki-laki bersedekap di bawah pusar. Wanita bersedekap di dada.
Maliki
Berbeda dengan Sunni yang lain, tetapi mirip Syiah dan Ibadi, beberapa penganut mazhab Maliki berdiri tegak tanpa sedekap. Dasar dari praktik salat mazhab Maliki ini berawal dari masyarakat Madinah yang hidup pada zaman nabi Muhammad, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik bin Anas: "Menurut Imam Malik salat dapat dilakukan tanpa sedekap, ia mempertimbangkan bahwa bersedekap tidak dianjurkan dalam salat fardu, tetapi dibolehkan dalam salat Nafl.”[7] Akan tetapi, praktik ini tidak universal, karena ulama Maliki Qadi Ayyad, contohnya, berpendapat dalam Qawa'id al-Islam, bahwa praktik ini "tidak didukung oleh hadis-hadis yang lebih sahih".[8][9]
Syafi'i
Pada mazhab Syafi'i, orang salat dengan bersedekap di atas pusar dan di bawah dada.
Hambali
Pada mazhab Hambali, orang salat dapat bersedekap dengan menempatkan kedua tangannya baik di bawah pusar seperti Hanafi, atau di atas pusar seperti Syafi'i.
Salafi
Kebanyakan bersedekap di dada, tetapi boleh mempraktikkan salat dengan sedekap mengikuti mazhab Hambali, Maliki, Syafi'i, atau Hanafi.[butuh rujukan]
Sama seperti Syiah dan mazhab Maliki, penganut Ibadi berdiri tanpa sedekap.[butuh rujukan]
Merapatkan saf
Perintah merapatkan saf disebutkan dalam hadis.[10] Contohnya, diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah (ﷺ) pernah bersabda: "Rapatkanlah saf kalian, rapatkanlah barisan kalian, luruskanlah pundak-pundak kalian. Demi Allah, Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku melihat setan mengisi celah-celah saf seperti anak kambing."[11][12]
Selain itu, diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah (ﷺ) pernah bersabda, "Tutuplah setiap celah saf kalian, karena setan akan mengisi celah-celah tersebut, seperti anak kambing."[12][13]
Asy-Syaukani menjelaskan maksud dari "luruskan pundak": "Meluruskan seluruh bagian tubuh antara orang yang satu dengan orang yang lain sehingga pundak-pundak berada segaris lurus dalam satu saf."[12][14]
^Roman Loimeier (2013). Muslim Societies in Africa: A Historical Anthropology. Indiana University Press. hlm. 23–4. ISBN9780253007971.
^Marloes Janson (2013). Islam, Youth and Modernity in the Gambia: The Tablighi Jama'at (edisi ke-illustrated). Cambridge University Press. hlm. 83. ISBN9781107040571.
^Gomez-Perez, Muriel, ed. (2005). L'islam politique au sud du Sahara: identités, discours et enjeux. KARTHALA Editions. hlm. 344. ISBN9782845866157.
^Roman Loimeier (2011). Islamic Reform and Political Change in Northern Nigeria (edisi ke-illustrated, reprint). Northwestern University Press. hlm. 79–83. ISBN9780810128101.
^Sharh e Muslim, volume 1, page 590, by Allama Ghulam Rasool Sa’eedi, Lahore
^Ibrahim Ado-Kurawa (2000). Shariʼah and the press in Nigeria: Islam versus Western Christian civilization. Kurawa Holdings Ltd. hlm. 219. ISBN9789783091078.
^Zachary Valentine Wright (2015). Living Knowledge in West African Islam: The Sufi Community of Ibrāhīm Niasse. BRILL. hlm. 227. ISBN9789004289468.