Surah Al-Ma'idah (bahasa Arab: سورة المائدة, translit. sūrah al-mā’idah, har.'hidangan') adalah surah ke-5 dalam Al-Qur'an. Surah ini terdiri dari 120 ayat dan termasuk golongan surah Madaniyah. Sekalipun ada ayat-ayatnya yang turun di Mekkah, tetapi ayat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammadhijrah ke Madinah, yakni sewaktu peristiwa Haji Wada'.
Surah ini dinamakan Al-Ma'idah (hidangan) karena memuat kisah para pengikut setia nabi Isa meminta kepada nabi Isa agar Allah menurunkan untuk mereka Al-Ma'idah (hidangan makanan) dari langit (ayat 112). Selain itu, Surah Al-Ma'idah juga disebut Al-Uqud (perjanjian), karena kata itu terdapat pada ayat pertama surah ini, yang memuat Allah menyuruh agar hamba-hamba-Nya memenuhi janji terhadap Allah maupun perjanjian-perjanjian yang mereka buat terhadap sesamanya. Dinamakan juga Al-Munqidz (yang menyelamatkan), sebab pada bagian akhir surah ini memuat kesaksian Isa Al-Masih terhadap kaum pengikutnya.
Isi
Janji prasetia kepada Allah dan penyempurnaan agama Islam (1–5)
Pengingkaran janji prasetia oleh orang Yahudi dan Nasrani (12–19)
Keengganan bangsa Yahudi menaati perintah Musa memasuki Palestina dan akibatnya (20–26)
Kisah Pembunuhan Pertama dan besarnya malapetaka akibat pembunuhan (27–32)
Hukum terhadap perusuh dan pengacau keamanan (33–40)
Pengingkaran orang-orang Yahudi terhadap Hukum Taurat dan keharusan memutuskan perkara menurut hukum yang diturunkan Allah (41–50)
Dilarang berteman akrab dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dan akibat melanggarnya (51–63)
Kutukan Allah kepada orang Yahudi (64–66)
Kewajiban Muhammad dalam menyampaikan agama (67–71)
Pernyataan Allah terkait kafirnya setiap orang yang menganggap Isa itu Tuhan (72–77)
Sebab-sebab kutukan Allah terhadap orang Yahudi (78–81)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani serta hubungan mereka terhadap orang-orang mukmin (82–86)
Peringatan kepada kaum muslimin terhadap adat istiadat jahiliah yang terlarang
Larangan mengharamkan makanan yang halal (87–88)
Sumpah dan kafaratnya (89)
Larangan meminum khamar, judi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah (90–93)
Menghormati Ka'bah sebagai sokoguru kehidupan manusia (94–100)
Larangan bertanya tentang hal yang menyebabkan kemudaratan (101–105)
Anjuran berwasiat dengan persaksian (106–108)
Salah satu peristiwa di hari kiamat (109)
Beberapa kisah tentang Isa (110–120)
Ayat-ayat penting
1–3 Hukum makanan halal/haram, bulan haram, dan Tanah Haram
Hewan-hewan yang dihalalkan dan diharamkan dalam Islam dibahas dalam ayat 1 hingga 3 Surah Al-Ma’idah. Hewan-hewan yang dihalalkan adalah seluruh hewan ternak, kecuali yang disebutkan dalam ayat ketiga surah tersebut. Hewan yang haram dalam ayat 3 surah tersebut terdiri atas bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan yang tercekik, terpukul, terjatuh, ditanduk, atau diterkam hewan buas kecuali yang sempat disembelih dengan menyebut nama Allah.[2]
Ayat ini juga membahas larangan melanggar kesucian bulan haram (Muharram, Rajab, Zulkaidah, dan Zulhijah), mengganggu hewan-hewan hadyu (hewan-hewan yang dikurbankan selama haji) dan qalaid (hadyu yang diberi tanda), serta mengganggu jamaah haji. Akan tetapi, berburu dibolehkan setelah haji selesai (tahallul).[3]
3 Kesempurnaan agama Islam
Ayat ini memuat kalimat sebagai berikut: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu."[Qur'anAl-Ma’idah:3] Ayat ini diturunkan di Arafah berdasarkan hadis shahih berikut:
Diriwayatkan dari 'Umar bin Khattab: Seorang Yahudi telah berkata, "Wahai pemimpin orang beriman! Sungguh engkau membaca suatu ayat yang andaikata diturunkan kepada kami pasti kami jadikan hari tersebut sebagai hari raya." Umar bertanya, "Ayat yang mana?" Orang Yahudi menjawab, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu (5:3)." 'Umar menjawab,"Sungguh aku tahu di mana ayat ini turun, yaitu pada hari Jumat saat Nabi ﷺ wukuf di Arafah."
Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, "Sungguh, aku pasti membunuhmu!" Dia (Habil) berkata, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan itulah balasan bagi orang yang zalim."
Ayat 33 membahas ayat Hirabah,[5] yang menjelaskan hukuman kepada "setiap orang yang menyatakan perang melawan Allah dan Rasul-Nya serta berbuat kerusakan di muka Bumi":[6] Bentuk nomina verbalnya (ḥirabah) digunakan dalam kitab fikih klasik dan kontemporer, tetapi kata ḥirabah atau akar katanya, ḥaraba tidak ada dalam Al-Qur'an.[7] (Yuḥāribūna adalah bentuk yang dipakai dalam ayat 33-4.)
Menurut sumber Islam awal, ayat tersebut diturunkan setelah sejumlah penduduk Urainah pura-pura masuk Islam untuk mencuri harta milik umat Muslim dan membunuh seorang penggembala muda yang diutus untuk mengajari mereka tentang iman. Mengingat bahasa ayat yang luas dan kuat, bagaimanapun, berbagai perwakilan negara mulai dari Bani Umayyah telah menegaskan bahwa itu berlaku untuk pemberontak pada umumnya.[8]
Akar kata triliteralnya, ḥ-r-b, bermakna "merampas kekayaan atau harta benda seseorang," serta "memerangi" atau "melakukan perbuatan dosa". Al-Quran "memaknainya sebagai kedua-duanya" pada ayat 2:279 dan 5:33-34.[9]
51 Jangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin/teman setia
Sejumlah Muslim garis keras menggunakan ayat ini untuk memutus persaudaraan terhadap kelompok nonmuslim[butuh rujukan] serta melarang nonmuslim untuk menjadi pemimpin di negara Muslim.[10] Akan tetapi, sejumlah ulama seperti Muhammad Shafi Deobandi hanya melarang "persahabatan yang sangat akrab" yang dapat merusak "ciri khas Islam", sementara semua hubungan lainnya diperbolehkan.[11]Ghamidi dalam tafsir Itmam al-Hujjah, membatasi target hanya kepada Yahudi dan Nasrani pada masa kenabian Muhammad.[12] Lainnya beranggapan bahwa ayat ini merujuk kepada nonmuslim yang berperang dengan Muslim.[13] Ayat 51 terlestarikan pada lapisan bawah manuskrip Sana'a.[14]
Terkait dengan penerjemahan auliya', terdapat dua versi terjemahan yang ada, yakni terjemahan lama tahun 1967 (sampai sekarang masih dicetak oleh Kompleks Percetakan Al-Qur'an Raja Fahd), serta terjemahan baru Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2002. Keduanya memiliki makna yang berbeda, dengan rincian sebagai berikut:[15]
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin yang bagi sebagian mereka yang lan. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Penerjemahan kata auliya' sebagai pemimpin pernah disorot oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pada tahun 2016 saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ahok menyatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak boleh dibohongi oleh orang yang memakai surah Al-Ma'idah ayat 51 untuk tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin.[17][18] Pernyataan kontroversial tersebut menjadi sebab terjadinya protes massa besar-besaran pada 4 November dan 2 Desember 2016 untuk menuntut penahanannya atas tuduhan menista dan menghujat al-Qur'an.[19]
Perbedaan terjemahan ini juga pernah memantik berita bohong yang tersebar di banyak grup WhatsApp pada tahun 2016, karena terjemahan Al-Qur'an versi baru ini dianggap sebagai "Al-Qur'an palsu" atau "telah di-edit". Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) mengatakan bahwa edisi revisi 2002 tersebut sudah memiliki tanda tashih dari LPMQ. Menteri Agama Indonesia saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, juga mengatakan bahwa Kemenag tidak pernah "menyunting" Al-Qur'an, seraya mengatakan melalui akun Twitter, "Tak benar kabar y(an)g nyatakan telah terjadi pengeditan terjemahan Al-Quran, apalagi atas instruksi Kemenag."[16]
54–55 Orang yang dicinta, Wali Allah
Ayat 54 juga berkaitan dengan apa yang dimaksud "sosok yang dicinta"; sejumlah hadis menyebutkan Abu Musa al-Asy'ari.[20][Qur'anAl-Ma’idah:54] Ayat 54 ini terlestarikan pada lapisan bawah Manuskrip Sanaa.[14]
Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.
Menurut tafsir Syiah, Allah menggunakan bentuk tunggal waliyyukum yang menyiratkan wilayah (wali orang beriman) atau "wali Allah". Dengan demikian, kata wali dalam konteks ayat ini tidak bisa berarti "teman setia" karena tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an yang menyatakan Rasul Allah adalah "teman setia" atau "penolong". Andaikan ayat tersebut mengimplikasikan wilayah dalam arti "teman setia" atau "penolong", maka bentuk tunggal waliyyukum tidak akan digunakan tetapi bentuk jamak auliya'ukum akan tepat karena "kesetiaan" Allah itu khas.[butuh rujukan]
Ketika seorang peminta-minta datang kepada Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu sedang salat sunnah, beliau tinggalkan cincinnya dan diserahkannya kepada si peminta-minta. Maka turunlah ayat ini (Al-Maidah ayat 55) yang mengemukakan beberapa ciri pemimpin yang wajib ditaati.
Pada The Quran: An Encyclopedia tertulis, "Al-Qur'an memandang orang-orang Nasrani adalah pelaku syirik, karena menyembah Isa, Maryam, dan orang-orang saleh serta menyekutukan dan merendahkan Allah. Juga dianggap kafir bagi siapa saja yang meyakini Allah salah satu dari yang tiga, karena Isa sama sekali tidak pernah mengajarkan konsep ketuhanan seperti itu."[22]
Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itulah Al-Masih putra Maryam." padahal Al-Masih (sendiri) berkata, "Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.
Ayat ini memuat haramnya berjudi, khamr, berkorban atas nama selain Allah, dan mengundi nasib dengan anak panah.
Referensi
^Departemen Agama RI.2007.Al-Qur'an dan Terjemahannya Al-Jumanatul 'Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur.Bandung:J-Art
^Jajuli, S. (2018). Ekonomi dalam Al-Qur'an. Yogyakarta: Deepublish. hlm. 94. ISBN9786024536923.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Hamka (2020). Tafsir Al-Azhar Jilid 2: Diperkaya dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf, Ilmu Kalam, Sastra, dan Psikologi. Prestasi. hlm. 588–589.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^El Fadl, Khaled Abou (2006). "Rebellion". Dalam Jane Dammen McAuliffe. Encyclopaedia of the Qurʾān. 4. Brill. hlm. 364. Q 5:33 [...] The verse (known as āyat al-hirāba)
^Amin, ElSayed (2014). Reclaiming Jihad: A Qur'anic Critique of Terrorism. Kube Publishing. hlm. 133. ISBN9780860375982. Diakses tanggal 9 November 2015. Neither the word hirabah nor the triliteral root verb haraba occurs in the Quran, although the verbal noun form (i.e. hirabah) is frequently used in classical and modern books of Islamic jurisprudence.
^El Fadl, Khaled Abou (2006). "Rebellion". Dalam Jane Dammen McAuliffe. Encyclopaedia of the Qurʾān. 4. Brill. hlm. 364.
^Shafi, Muhammad. Ma'ariful Qur'an. hlm. 187. Muslims can deal with non-Muslims in the spirit of tolerance, sympathy, goodwill, equity, justice, favour and kindness, almost every-thing within that line of conduct. In fact, they should do that for they have been taught to do that. But, what is not permitted is the kind of fast friendship and indiscriminating intimacy which may garble the distinctive hallmarks of Islam. This is the issue known as the 'Tark al-Muwālāt' to refrain from deep (friendship) in Islamic terminology.