Semula, wilayah Kotagede hanyalah bagian dari hutan Alas Mentaok yang diberikan oleh Sultan Adiwijaya, raja Pajang untuk Ki Ageng Pemanahan yang saat itu berhasil menaklukkan Arya Penangsang. Kelak wilayah tersebut menjadi ibukota sebuah kerajaan baru yang dibentuk oleh Sutawijaya, anak dari Ki Ageng Pemanahan yang menyatakan untuk lepas dari pengaruh Pajang. Sutawijaya yang kemudian menjadi penguasa dengan gelar Panembahan Senapati menamai wilayah tersebut dengan nama Kesultanan Mataram Kotagede kemudian menjadi ibu kota Mataram hingga masa kepemimpinan anaknya, Panembahan Anyakrawati.
Selanjutnya kerajaan itu terpecah menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755. Terpecahnya Mataram menjadi dua membuat kawasan keraton lama Kotagede ikut terpecah. Sebelum 1952 wilayah Kotagede terbagi menjadi dua bagian. Sebagian lain milik Kasunanan Surakarta (merupakan sebuah enklave), dan sebagian lain milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun setelah kemerdekaan, wilayah Kotagede Ngayogyakarta dilebur kedalam kota Yogyakarta dan dibentuk sebuah kemantren dengan nama yang sama. Sedangkan enklave Kotagede Surakarta dilebur kedalam wilayah Kabupaten Bantul.
Wilayah Kemantren Kotagede sebagian dulu merupakan bagian dari bekas kota Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya. Sedangkan bagian lain dari bekas kota Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Kondisi seperti itu kadang-kadang menyulitkan untuk membangun Kotagede dalam konteks sebagai bekas kota yang masyarakatnya mempunyai kesatuan sosiologis dan antropologis. Sampai sekarang masyarakat bekas kota Kotagede dalam kegiatan sosial sehari-hari masih sangat solid dalam kesatuan itu.
Kesulitan pembangunan oleh pemerintah muncul ketika penanganan dilakukan oleh stake-holder pemerintah di tingkat kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Pemerintah Kota Yogyakarta hanya mampu menyentuh wilayah bekas kota Kotagede yang masuk wilayah kota Yogyakarta. Demikian juga Pemerintah Kabupaten Bantul hanya bisa meneyentuh wilayah yang masuk Kabupaten Bantul.
Soliditas masyarakat tersebut mewujudkan sebuah kesatuan wilayah yang tak terpisahkan sebagaimana dulu batas wilayah kota Kotagede ini masih eksis. Wilayah bekas kota Kotagede harus ditangani oleh dua unit pemerintah yang berbeda. Dalam konteks otonomi daerah sekarang ini, ketika kewenangan tingkat kabupaten dan kota relatif besar, makin terasakan betapa mereka harus menghadapi 2 kebijakan yang berbeda untuk satu kesatuan wilayah tersebut. Salah satu contoh permasalahan yang segera dapat dilihat atau dirasakan masyarakat adalah bila menyangkut penanganan kawasan heritage. Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul mempunyai perbedaan prioritas. Maka masyarakat Kotagede harus atau lebih sering berinteraksi dengan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai kota tua bekas ibu kota kerajaan, kota Kotagede merupakan kota warisan (heritage) yang amat berpotensi bagi kemakmuran masyarakatnya. Namun hambatan pembagian wilayah pemerintahan akan terus menjadi permasalahan yang tak pernah dibahas dalam tingkat kemauan politik, kecuali masyarakatnya menghendaki.
Pemerintahan
Daftar kelurahan
Terdapat 3 kelurahan di Kemantren Kotagede.[2] Masing-masing yaitu:
Kompleks Makam Pasarean Mataram dan Masjid Besar Mataram
Suasana tradisional masih sangat terasa di kota ini, misalnya terlihat di kompleks Masjid Besar Mataram yang terasa masih seperti di lingkungan kraton, lengkap dengan pagar batu berelief mengelilingi masjid, pelataran yang luas dengan beberapa pohon sawo kecik, serta sebuah bedug berukuran besar.
Selain itu di Kotagede juga terdapat makam raja-raja Mataram bernama komplek Pasarean Mataram di mana terdapat antara lain makam Panembahan Senopati. Namun kemudian komplek makam raja-raja Mataram selanjutnya dipindahkan ke daerah Imogiri oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo saat masa pemerintahannya.
Daerah ini dikenal dengan kerajinan peraknya yang terletak di sepanjang Jalan Kemasan hingga pertigaan eks-Bioskop Istana.
Pasar Legi
Keluar dari Komplek Makam Raja-Raja pengunjung akan disambut oleh kemeriahan Pasar Kotagede yang selalu ramai setiap hari. Namun terdapat suasana lain apabila datang ke Pasar Kotagede di kala penanggalan Jawa menunjukkan hari pasaran Legi. Pasar Kotagede akan bertambah ramai dan sesak baik oleh penjual maupun pembeli, bahkan area pasar bisa bertambah hingga depan Kantor Pos/TK ABA. Oleh karena itu, oleh sebagian besar penduduk Kotagede, pasar ini lebih dikenal dengan nama Pasar Legi. Kipo dan yangko adalah makanan khas Kotagede yang bisa diperoleh di Pasar Legi dan sekitarnya.
^Sulistyowati, N. A., dan Priyatmoko, H. (2019). Toponim Kota Yogyakarta(PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 170. ISBN978-623-7092-08-7.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)