Ndalem Jayadipuran
Ndalem Jayadipuran (bahasa Jawa: ꦢꦊꦩ꧀ꦗꦪꦢꦶꦥꦸꦫꦤ꧀, translit. Dalem Jayadipuran) atau Ndalem Dipowinatan adalah bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Brigjen Katamso No. 139, Kota Yogyakarta. Pada awalnya, Ndalem Jayadipuran berbentuk rumah klasik Jawa bergaya limasan yang dikenal dengan nama Ndalem Dipowinatan. Bangunan kuno ini memiliki peranan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya pada masa pergerakan. Pada saat ini, bangunan Ndalem Jayadipuran ditempati oleh kantor BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya) Yogyakarta. Melihat banyaknya pergerakan kebangkitan nasional yang dilaksanakan di Ndalem Jayadipuran, gedung ini disebut sebagai "rumah kebangkitan nasional". Riwayat kepemilikanNdalem Jayadipuran pada mulanya merupakan rumah tinggal dari salah satu abdi dalem Bupati Anom Kesultanan Yogyakarta[1] bernama R.T. (Raden Tumenggung) Dipawinata, yang diberi hak anggaduh tanah oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Bangunan ini dibangun pada tahun 1874 dan dikenal dengan nama awal Ndalem Dipowinatan, bahkan nama kampung tempat berdirinya bangunan ini juga dinamakan dengan nama Kampung Dipowinatan. Sampai saat ini, nama kampung tersebut tidak berubah, meskipun bangunan tersebut lantas ditempati oleh K.R.T. Jayadipura di kemudian hari.[2] Pada tahun 1911, R.T. Dipawinata meninggal dan kemudian diganti oleh R.T. Dipawinata II hingga tahun 1914. Selanjutnya, hak anggaduh tanah diserahkan kembali kepada pihak keraton. Pada tahun 1817, tanah Ndalem Dipowinatan beralih kepemilikannya karena pihak Kesultanan Yogyakarta menghadiahkannya kepada K.R.T. Jayadipura, yang pada waktu itu menjadi menantu Sri Sultan Hamengku Buwono VII.[3] K.R.T. Jayadipura sendiri lahir pada tahun 1878 dengan nama kecil R.M. (Raden Mas) Kobar. Ayahnya bernama R.T. Jayadipura yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Bantul, sedangkan ibunya bernama Nyai Riya Seganda. Ketika R.M. Kobar menjadi abdi dalem kadipaten, namanya diganti menjadi R.M. Prawiranadi. Berkat keterampilan, kecerdasan, serta kecakapannya, kedudukannya naik menjadi wedana dan dia diangkat menjadi Bupati Anom dengan nama baru K.R.T. Jayadipura.[4] Setelah Jayadipura mendapat hadiah Ndalem Dipowinatan, segala sesuatu yang berada di atas bangunan tersebut tentu menjadi hak miliknya. Pada waktu itu, kondisi bangunan Ndalem Dipowinatan tidak begitu baik karena lama tidak digunakan sebagai tempat tinggal. Sebagai seorang seniman dan arsitektur, Jayadipura kemudian memperbaiki dan merenovasi bangunan Ndalem Dipowinatan menjadi sebuah bangunan rumah Jawa tradisional dengan sentuhan bangunan gaya Eropa, seperti yang terlihat pada dinding sudut siku ruangan di pendapa, yang semula merupakan pringgitan kemudian dibangun sebuah ruangan untuk keperluan pentas. Adapun bentuk rumah bangunan itu sampai sekarang masih sangat baik dan kokoh dengan segala ragam hias yang ada di dalamnya. Nama Ndalem Dipowinatan lantas berubah menjadi Ndalem Jayadipura yang merujuk nama dari K.R.T. Jayadipura sendiri.[5] Selain aktif bergerak di bidang kesenian, K.R.T. Jayadipura juga berkecimpung di bidang politik. Dia mendirikan salah satu organisasi politik bernama Sangkara Muda yang merupakan singkatan dari Sang Kadang Ratu Mulyaning Dhatulaya.[6] Dalam arus pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, K.R.T. Jayadipura memberikan bantuan kepada berbagai organisasi pergerakan untuk melaksanakan kegiatan politik (kongres, rapat, dan diskusi) di pendapa Ndalem Jayadipuran. Hal inilah yang menyebabkan Ndalem Jayadipuran sering digunakan sebagai tempat berlangsungnya berbagai kongres pada masa pergerakan, yaitu Kongres Jong Java (1919, 1923, 1924, dan 1928), Kongres Jong Islamieten Bond (1925), dan Kongres Pembubaran INPO untuk dilebur dalam Kongres Pemuda Indonesia (1927).[7] Selain itu, Ndalem Jayadipuran juga digunakan sebagai rapat umum PNI (Partai Nasional Indonesia) dimana Bung Karno berpidato pertama kalinya pada tahun 1927 dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya Kongres Wanita Pertama yang diketuai oleh Ny. Soekonto pada tahun 1928.[8] Semua ini dilakukan oleh Jayadipura tidak lepas dari jiwa kepahlawanan dan keinginannya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Setelah K.R.T. Jayadipura meninggal dunia pada tahun 1939, Ndalem Jayadipuran dirawat oleh kerabatnya karena satu-satunya putra Jayadipura sudah meninggal saat berusia masih bayi, sehingga dapat dikatakan bahwa Jayadipura tidak mempunyai putra. Pada tahun 1950-1983, Ndalem Jayadipuran disewa oleh Departemen Kesehatan yang digunakan untuk kantor dan balai pengobatan, terutama untuk Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit Framboesia dan Kelamin. Dari kerabat Jayadipura, kepemilikan bangunan ini beralih ke tangan K.R.T. Yudokusuma, lantas dibeli oleh Direktur Kedaulatan Rakyat bernama Soemadi Martono pada tahun 1983, dan selanjutnya dibeli oleh Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) melalui proyek dari BP3 (Balai Pelestarian dan Pemeliharan Peninggalan Sejarah dan Purbakala) Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1984, sesuai dengan akta pelepasan hak No. 36 tahun 1984 terhadap tanah persil No. 2501 yang terletak di Kampung Dipowinatan/Kecamatan Mergangsan Blok Nomor XII.[7] Ndalem Jayadipuran akhirnya dibeli oleh pemerintah dengan dana dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang kemudian dimasukkan pada anggaran proyek di BP3 Yogyakarta. Pada waktu itu, banyak ndalem-ndalem pangeran di wilayah Yogyakarta yang dijual dan jatuh ke tangan perorangan. Oleh karena itu, Bappenas terinspirasi agar pemerintah bisa membeli salah satu ndalem pangeran dengan ciri bangunan rumah Jawa tradisional yang masih lengkap. Dengan demikian, pemerintah akan memiliki salah satu kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Bappenas kemudian menunjuk BP3 Yogyakarta sebagai salah satu instansi yang melindungi dan melestarikan bangunan-bangunan lama untuk mencarikannya. Pada mulanya Ndalem Ngabean-lah yang akan dibeli oleh pemerintah, tetapi karena sudah dibeli terlebih dahulu oleh perorangan, pembelian Ndalem Ngabean dibatalkan. Pemerintah melalui BP3 Yogyakarta akhirnya menemukan Ndalem Jayadipuran. Dana dari Bappenas lantas dialihkan untuk membeli bangunan Ndalem Jayadipuran. Kebetulan Ndalem Jayadipuran mempunyai nilai-nilai sejarah, sehingga pemerintah semakin mantap untuk memiliknya. Dengan dana yang sudah disediakan oleh Bappenas, Ndalem Jayadipuran akhirnya dapat dibeli oleh pemerintah dan bisa digunakan oleh siapapun, terutama untuk instansi terkait. Mengingat bahwa ndalem ini merupakan salah satu ndalem yang mempunyai nilai sejarah atau sebagai salah satu bangunan bersejarah, dalam perkembangannya Ndalem Jayadipuran ditetapkan menjadi salah satu bangunan cagar budaya dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007 tanggal 26 Maret 2007.[9] Pada tahun tahun 1985 Ndalem Jayadipuran direhabilitasi oleh PT. Sri Krishna Manggala sebagai pelaksana rehab sesuai Surat Keputusan Nomor 653 B/P3KN/1/1985, melalui dana Proyek Javanologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebesar + Rp. 141.000.000,- yang pada waktu itu berada di bawah pemimpin proyek Prof. Dr. R.M. Soedarsono. Rehab ndalem ini dilakukan dengan tanpa mengubah bentuk asli, meskipun ada penggantian bahan. Semua rehabilitasi tersebut disesuaikan dengan aslinya, terutama pada ornamen ragam hiasnya. Rehabilitasi Ndalem Joyodipuran ini berlangsung hingga satu tahun lamanya.[10] Pada tahun 1986, rehabilitasi secara keseluruhan sudah selesai. Bangunan Ndalem Joyodipuran kemudian digunakan sebagai kantor Proyek Javanologi Depdikbud, yang semula kantornya menumpang di kantor Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Selanjutnya, pada tahun 1987, kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta yang semula menjadi satu dengan kantor Balai Bahasa Yogyakarta di Jalan I Dewa Nyoman Oka berpindah tempat dengan menempati Ndalem Jayadipuran. Di ndalem ini Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta berbagi tempat dengan Proyek Javanologi Depdikbud, yang sejak awal tahun 1986 sudah menempati ndalem tersebut. Proyek Javanologi Depdikbud menempati sisi barat sebagai kantornya, sedangkan sisi timur digunakan sebagai kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta yang ditambah dengan bangunan sisi selatan (bangunan yang berada di depan pendapa ndalem). Pada awal tahun 1990-an, Proyek Javanologi Depdikbud ditarik ke kantor pusat, sehingga ndalem ini seluruhnya digunakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta sebagai kantor sampai dengan saat ini dengan nama Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.[11] Bentuk bangunan ndalem masih utuh seperti semula, tetapi ruangan-ruangan yang ada sekarang sudah beralih fungsinya, misalnya: bangunan induk ndalem digunakan sebagai ruang kepala, sekretariat, dan keuangan. Beberapa bangunan di belakang ndalem induk juga dibangun untuk keperluan pengembangan dan kebutuhan para staf dan karyawan kantor. Selain digunakan sebagai kantor yang bergerak dalam bidang kebudayaan, sampai dengan saat ini bangunan Ndalem Jayadipuran juga difungsikan sebagai pengembangan dan pelestarian kebudayaan, seperti: seminar tentang kebudayaan, nasionalisme, pentas-pentas tari, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jiwa dari pemilik ndalem yang mencintai budaya terus melekat di tempat ini.[12] Aktivitas kebangsaanKongres Jong JavaPada awalnya, organisasi kebangsaan Jong Java bernama Tri Koro Dharmo[13] dan didirikan pada tahun 1913 atas prakarsa dari Dr. Satiman Wirjosandjojo (pelajar STOVIA) yang kemudian menjadi ketuanya, Wongsonegoro (wakil ketua), Sutomo (sekretaris), Muslich (anggota), Mosodo (anggota), dan Abdul Rahman (anggota).[14] Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mempersatukan para pelajar pribumi, menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional, serta memajukan pengetahuan umum untuk anggotanya. Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa, menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri Koro Dharmo. Cita-cita kesatuan nasional Jong Java sejajar dengan Budi Utomo dan dalam beberapa hal cocok dengan tujuan Java Instituut yang baru berdiri pada tahun 1919 di Surakarta.[15] Sifat jawasentris yang kental dalam Tri Koro Dharmo menimbulkan masalah intern di kalangan pemuda luar suku Jawa. Untuk menghindari perpecahan antara pemuda suku Jawa dan luar Jawa serta memudahkan para pelajar dari daerah lain masuk ke dalam organisasi ini, nama Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java dalam kongresnya yang pertama tahun 1919. Lahirnya Jong Java dijadikan contoh organisasi kedaerahan lainnya yang juga ingin mempersatukan dan berkumpul berdasarkan daerah asal mereka. Organisasi ini sangat aktif dalam proses pembentukan Jawa Raya yang bersatu serta mendapatkan dukungan dari para pelajar sekolah-sekolah menengah dari berbagai jurusan yang ada di Pulau Jawa.[16] Kongres Jong Java berturut-turut diadakan di kota Surakarta (1919, 1920, 1922, dan 1926), Yogyakarta (1919, 1923, 1924, dan 1928), Semarang (1927 dan 1929), dan Bandung (1921). Dalam Kongres Jong Java ke-II yang diselenggarakan di Ndalem Jayadipuran Yogyakarta tanggal 29 Mei-3 Juni 1919 berhasil mengambil putusan penting, yaitu: menyetujui seorang pemuda-pemudi untuk duduk dalam pengurus besar dan dalam redaksi majalah organisasi. Putusan tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia telah mendapatkan tempat dalam pimpinan suatu organisasi yang modern pada waktu itu.[17] Selanjutnya, Kongres Jong Java ke-VI yang diselenggarakan pada tanggal 23-27 Mei 1923 di Ndalem Jayadipuran Yogyakarta berhasil memutuskan soal-soal intern, yang salah satunya adalah menyetujui anggaran rumah tangga.[18] Setahun kemudian, dalam kongresnya yang ke-VII di Ndalem Jayadipuran pada tahun 1924, terjadi perbedaan pandangan dalam tubuh Jong Java. Ketua Jong Java waktu itu, Samsul Rizal mengajukan tiga usul, yaitu:
Sebelumnya, H. Agus Salim juga berpidato “Islam dan Jong Java” di sidang tersebut. Dia berpendapat bahwa nasionalisme Jong Java tidak subur karena kehilangan hubungan dengan para penduduk yang beragama Islam. Apabila Jong Java tetap berdiri dengan basis nasionalisme, organisasi itu akan kehilangan agama dan nasionalismenya bersama-sama. Gagasan politik yang disampaikan oleh Samsul Rizal maupun pidato dari H. Agus Salim ditolak oleh sebagian besar anggota pengurus Jong Java. Penolakan tersebut menyebabkan Samsul Rizal meletakkan jabatannya sebagai ketua. Dia lantas menjadi menjadi ketua organisasi baru yang merupakan pecahan dari Jong Java, yaitu Jong Islamieten Bond (JIB) dengan H. Agus Salim sebagai penasehat.[19] Di lingkungan Jong Java, paham kebangsaan Jawa masih terlalu kuat untuk dapat diserap ke dalam nasionalisme Indonesia, tetapi sejak kongresnya tahun 1926, 1927, dan 1928 dibicarakan langkah-langkah secara bertahap ke arah pelebaran dalam arus nasionalisme Indonesia. Kongres di Ndalem Jayadipuran pada tahun 1928 menerima peleburan dengan perbandingan suara 57 setuju dan 27 menolak. Panitia persiapan dibentuk untuk membuat rencana pembubaran organisasi ini dengan sub organisasi dan cabang-cabangnya. Itu berarti berakhirnya organisasi pelajar Jawa yang sangat dinamis ini untuk menuju pembentukan Indonesia Muda. Kongres Jong Islamieten BondJong Islamieten Bond di Yogyakarta dirintis oleh Raden Samsul Rizal (Mantan Ketua Jong Java), dengan penasehatnya H. Agus Salim. Jong Islamieten Bond mendapatkan perhatian dari gerakan Ahmadiyah dan Muhammadiyah, yang ingin menyatukan kaum Muslim terdidik melalui sekolah Barat. Majalah Jong Islamieten Bond berjudul Het Licht yang ditulis dalam bahasa Belanda berusaha menjadikan Islam yang dinamis dan modern sebagai landasan persatuan bangsa.[20] Melalui cita-cita inilah, Jong Islamieten Bond pernah disebut sebagai "edisi baru Sarekat Islam bagi pemuda berpendidikan, seperti juga dalam banyak hal yang merupakan refleksi Budi Utomo".[21] Berdasarkan rapat pendahuluan yang dilaksanakan di sebuah sekolah Muhammadiyah Kauman, yang dihadiri oleh K.H. Ahmad Dahlan, H. Agus Salim, dan K.R.T. Jayadipura, disepakati bahwa Kongres Jong Islamieten Bond (JIB) dilaksanakan di Ndalem Jayadipuran. Kongres I Jong Islamieten Bond di Ndalem Jayadipuran Yogyakarta yang dilaksanakan pada tahun 1925 dihadiri oleh tokoh-tokoh terkemuka dalam kehidupan politik dan agama, antara lain: Tjokroaminoto, Soerjopranoto, Dwijosewoto, Suwardi Suryaningrat, H. Agus Salim, H. Fachrudin, dan Mirza Wali Ahmad Baiq.[19] Dalam kongres tersebut, Raden Samsul Rizal menjelaskan arah, tujuan, dan kegiatan dari Jong Islamieten Bond. Secara sistematis, dia membahas masalah kaitan agama Islam dengan kehidupan dunia modern. Selanjutnya, dia mengemukakan pendapat Jong Islamieten Bond tentang kedudukan pelajar wanita Islam, organisasi pemuda yang nasionalis, dan sikap Jong Islamieten Bond terhadap politik. Bagi Jong Islamieten Bond, Islam merupakan landasan ideologis dari nasionalisme keindonesiaannya dan persatuan Indonesia Raya merupakan salah satu tujuannya. Dalam perkembangannya, Jong Islamieten Bond mengadakan kongres lagi di Ndalem Jayadipuran Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927. Kongres tersebut membicarakan banyak hal berkaitan dengan keagamaan dan cita-cita persatuan. Dalam kongres tersebut muncul juga tema-tema, antara lain Islam dan Cita-Cita Persatuan, Perempuan dalam Islam, Islam dan Kebangsaan, serta Islam dan Sosialisme. Kongres tersebut dihadiri oleh banyak tokoh, yaitu R.M. Aryo Yosodipuro, dr. Soekiman, H. Sudja, R.M. Suryopranoto, dan tokoh-tokoh kebangsaan lainnya, termasuk dari PNI. Kongres ini juga membentuk Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIBDA), bagian wanita dari Jong Islamieten Bond. Motivasinya adalah Islam menempatkan kedudukan yang terhormat dan tinggi bagi wanita. Bagian wanita ini bertujuan untuk melatih para anggotanya menjadi wanita Islam sejati dan untuk membela wanita sesuai dengan ajaran Islam.[22] Sejak didirikan pada tahun 1927 hingga tahun 1930, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling berstatus semi otonom, tetapi berubah menjadi otonom sejak tahun 1931 hingga dibubarkan oleh Jepang. Anggotanya adalah wanita yang berumur antara 15 hingga 35 tahun. Pada umumnya, anggota Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling adalah pelajar atau mahasiswa dengan pendidikan Barat dan tidak ada yang berasal dari kalangan pesantren.[22] Pada saat masih berpusat di Jakarta, ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling adalah Ny. Datuk Tumenggung. Setelah kongres pertama, pusatnya dipindahkan ke Yogyakarta dengan ketua Sapartinah. Selanjutnya, dikarenakan Sapartinah pindah ke Surakarta, ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling dipegang oleh Sukaptinah dengan sekretaris Retno Hadi Suryopranoto.[19] Cabang-cabang Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling terdapat di hampir seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar (Ibu kota propinsi atau karesidenan). Di luar Pulau Jawa, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling terdapat di Kotaraja, Medan, Padang, Bukit Tinggi, Palembang, Makasar, Gorontalo, Manado, dan Ambon. Tokoh-tokoh Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling antara lain: Sapartinah, Sukaptinah, Markisa Dahlia (Ny. Roem), Ny. Sh. Suparto, sedangkan tokoh-tokoh Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling daerah antara lain: Hafni Zahara, Siti Roedjilah, Ny. Emma Putradireja, Mariati Purwa, Mien Awiguno, dan lain-lain. Kegiatan Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling antara lain: menyelenggarakan kursus keagamaan, keterampilan wanita, olahraga dan kepanduan yaitu Nationale Indonesische Padvinderij (NATIPIJ).[23] Kongres Wanita Indonesia PertamaKongres Wanita Indonesia Pertama diselenggarakan di Ndalem Joyodipuran Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928.[24] Kongres tersebut terlaksana atas inisiatif dari 3 tokoh pemrakarsa, yaitu Ny. R.A. Sukonto dari Wanito Utomo sebagai ketua, R.A. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantara) dari Taman Siswa sebagai wakil ketua, dan Ny. Suyatin Kartowiyono dari Putri Indonesia sebagai ketua pelaksana serta tujuh organisasi wanita, yaitu Wanito Utomo, Putri Indonesia, Aisyiyah, Taman Siswa, JIBDA, Jong Java Meisjeskring, dan Wanito Katolik.[25] Pelaksanaan Kongres Wanita Indonesia Pertama dilangsungkan di Yogyakarta atas dasar lokasi tempat tinggal dari ketiga tokoh pemrakarsa. Walaupun ketiga wanita itu merupakan anggota organisasi non-keagamaan, tetapi mereka juga menjalin kerja sama dengan organisasi keagamaan wanita lain dalam menyiapkan kongres ini.[26] Menurut catatan kongres, selain diikuti oleh tujuh organisasi wanita yang menjadi pemrakarsa, ada 30 organisasi wanita lain yang mengirimkan utusan, tetapi dalam kenyataannya ada beberapa organisasi yang merupakan cabang dari organisasi yang sama, yaitu:
Utusan-utusan lain dari organisasi laki-laki yang hadir dalam kongres ini antara lain: Jong Islamieten Bond (hoofdbestuur), Jong Java (Jakarta), Jong Java (Yogyakarta), Muhammadiyah (hoofdbestuur), Pemuda Indonesia (hoofdbestuur), Pemuda Indonesia, (afdeeling), Perhimpunan Indonesia (hoofdbestuur), Walfajri (hoofdbestuur), PNI (hoofdbestuur), PSII (Yogyakarta), Budi Utomo, Jong Madura, Sangkara Muda, CPPPBD, INPO, MKD, PAPI, PAPIM, PSD, PTI, dan SIAP. Selain itu, wakil dari pemerintah dan pers juga hadir dalam kongres ini.[27] Pihak pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik terhadap pelaksanaan kongres, bahkan ada pers yang menulis materinya secara luas, seperti surat kabar lokal Jawa bernama Sedijo Tomo yang menyatakan kagum terhadap hasil-hasil kongres. Kongres juga mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi yang tidak dapat hadir. Organisasi-organisasi tersebut tidak dapat hadir dikarenakan beberapa sebab, tetapi mereka tetap mengirimkan telegram. Organisasi-organisasi itu antara lain Serikat Kaum Ibu Sumatera, Kautaman Istri Sumatera, Wanita Utama Bogor, Putri Pemuda Sumatera dan Jakarta, Perserikatan Marsudi Rukun Jakarta, Dewan Pimpinan Majelis Ulama, serta Pemuda Sumatera dan Jakarta.[28] Lihat pula
Rujukan
Daftar pustakaBuku lama
Buku
Jurnal
Majalah
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Ndalem Jayadipuran. |