Hamengkubuwana VII
Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwana VII, 4 Februari 1839 – 30 Desember 1921) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun Behi dan Sultan Ngabehi (Sultan Sugih). Masa kecilNama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo[2], putra tertua Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Dia naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 13 Agustus 1877. Gusti Raden Mas Murtejo adalah putra dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan, permaisuri kedua dari Hamengku Buwono VI. Permaisuri pertama, GKR Hamengku Buwono, puteri Paku Buwono VIII dari Surakarta, tidak memiliki anak laki-laki. Setelah wafatnya Hamengku Buwono VI, GRM Murtejo naik takhta sebagai Hamengku Buwono VII.[3] Riwayat pemerintahanPada masa pemerintahan Hamengkubuwana VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar f 200.000,00 (f = florin, mata uang Belanda). Hal ini membuat Sultan sangat kaya sehingga sering memperoleh julukan Sultan Sugih.[1] Hamengku Buwono VI adalah salah satu Sultan Yogyakarta yang memerintah paling lama, yaitu selama 44 tahun. Pada tahun 1921, saat usianya mencapai 82 tahun, ia memutuskan untuk turun dari takhta dan tidak lama wafat di tahun yang sama. Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda. Penerapan liberalisme sejak 1870 memberikan keuntungan tambahan bagi Sultan dengan diperkenalkannya sistem Hak Sewa Tanah selama 70 tahun. Selain itu, untuk mendukung kebutuhan transportasi gula, dibangun jaringan kereta api dan lori pengangkut tebu, yang dimulai oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), perusahaan kereta api Belanda. Jalur kereta ini turut memberikan keuntungan finansial bagi keraton.[3] Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkotanya yang keempat (Gusti Raden Mas Sujadi, bergelar Gusti Pangeran Harya Purbaya) sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota yang pertama (Gusti Raden Mas Akhaddiyat, bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara I), yang seharusnya menggantikan ayahnya, tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Penggantinya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara II (kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Juminah, kakek dari seniman Indonesia, Bagong Kussudiardja), diberhentikan karena alasan kesehatan. Putra mahkota yang ketiga, Gusti Raden Mas Putro (bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara III), meninggal dunia tanggal 21 Februari 1913 akibat sakit keras setelah kembali dari Kulon Progo.[4] Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia. Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada cerita bahwa sang ayah diasingkan oleh putera mahkota yang keempat ke Pesanggrahan Ngambarrukmo di luar keraton Yogyakarta) Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah Hamengkubuwono VII yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII (meninggal dunia setelah menjemput putra mahkota, Gusti Raden Mas Dorojatun, dari Batavia) dan Hamengkubuwono IX (meninggal dunia di Amerika Serikat). Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Imogiri. Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandita (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarrukmo. Perkembangan Budaya dan PendidikanEra Hamengku Buwono VII adalah periode awal menuju modernisasi, di mana banyak sekolah mulai didirikan. Beliau juga mendorong pendidikan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi, termasuk mengirim beberapa di antaranya belajar ke Belanda. Di bidang seni tari, Hamengku Buwono VII memberi kesempatan untuk perkembangan tarian di luar keraton, mendukung anak-anaknya mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo, yang terbuka bagi siapa saja yang berminat belajar tari di Dalem Tejokusuman. Selain mendirikan sekolah, beliau juga memperkuat pertunjukan seni tari dan wayang, yang semakin populer sejak akhir 1918.[5] Di masa Hamengku Buwono VII, berkembang pula berbagai organisasi massa. Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam besar, lahir dari lingkup keraton pada masa ini. Diprakarsai oleh Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang merupakan abdi dalem keraton yang dikirim untuk belajar di Arab Saudi, Muhammadiyah fokus pada kegiatan amal dan pendidikan, berkembang dari kawasan Kauman.[6] Hamengku Buwono VII memiliki visi untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam organisasi politik sebagai cikal bakal Indonesia. Gedung Loji Mataram milik keraton di Jalan Malioboro, yang kini menjadi gedung DPRD DIY, dipinjamkan kepada Budi Utomo untuk mengadakan kongres pertamanya. Beliau juga memfasilitasi perayaan hari besar Islam berdasarkan kalender Hijriah, sementara upacara Garebeg masih mengikuti kalender Sultan Agungan.[3] Menjelang turun tahtaMenjelang usia ke-81 tahun, Hamengku Buwono VII merasa saatnya untuk turun tahta.[7] Pada 1920, ia menyampaikan keinginan ini kepada patih Danurejo VII dan pemerintah Hindia Belanda, memilih hidup sebagai pandhita di pesanggrahan AmbarukmoKeputusan ini tak lepas dari pengaruh pemerintah Belanda yang mengusulkan program reorganisasi agraria. Sultan merasa bahwa program tersebut akan membatasi peranannya, terutama karena penghapusan sistem apanage yang menyerahkan pengelolaan tanah kepada pemerintah Hindia Belanda melalui kas daerah. Secara politik, peraturan ini seolah menjadikan sultan sebagai bagian dari administrasi kolonial. Hamengku Buwono VII kemudian menunjuk GRM Sujadi sebagai penerusnya, demi kelancaran suksesi dan stabilitas pemerintahan di bawah pengaruh Belanda yang terus kuat.[8] Peninggalan Hamengku Buwono VIITidak hanya mencakup pabrik gula, jaringan kereta api, dan Pesanggrahan Ambarukmo, peninggalan Hamengku Buwono VII juga meliputi karya seni seperti tari Bedaya Sumreg, Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala. Pada masa ini pula, tari Bedaya beralih menggunakan kostum mekak dan tetap mempertahankan riasan paes ageng. Di bidang seni keris, ia dikenal dengan koleksi keris tangguh kaping piton yang berkualitas tinggi.[3] Pada masa Hamengku Buwono VII, Tugu Golong Gilig, yang rusak akibat gempa pada 1867, direnovasi di bawah pengawasan Patih Danurejo V dengan rancangan YPF van Brussel. Tugu yang ikonik bagi Yogyakarta ini diresmikan pada 3 Oktober 1889. Hamengku Buwono VII wafat pada 30 Desember 1921 (29 Rabingulakir 1851) dan dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.[3] Silsilah
Galeri
Pranala luar
Kepustakaan
|