Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga 'Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Tiga ing Ngayogyakarta Hadiningrat
Sri Sultan Hamengkubuwana III (20 Februari 1769 – 3 November 1814) adalah raja ketiga Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.[2]
Di tengah-tengah penjarahan Keraton Yogyakarta, sebuah upacara disiapkan untuk merayakan penobatan Hamengkubuawana III. Upacara yang dimulai dengan parade militer yang terdiri dari infanteri, pasukan berkuda, dan artileri medan berkuda dari Madras disusun menjadi lima belas barisan diperintahkan untuk memenuhi lapangan selebar hampir seratus meter yang membentang antara Benteng Vredeburg dan kediaman residen. Tepat sebelum parade militer dimulai, tembakan senapan menggelegar sembilan belas kali untuk memberikan salut dari arah benteng dan band militer pasukan berkuda penjaga sultan yang beranggotakan orang Indo dan Ambon semakin menegaskan aura militer untuk penobatan sultan yang baru.[3]
Kapten Wlliam Colebrooke RA, yang menyaksikan upacara itu menggambarkan upacara ini sebagai "upacara yang sangat mengesankan" yang ia tulis dalam sepucuk surat untuk ayahnya, Kolonel Paulet Colebrooke RA, di Kent, Inggris.[3]
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Karena Hamengkubuwana masih berusia 10 tahun, maka Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja.[4] Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.[2]
Bendara Raden Mas Samawijaya lahir dari BRAy. Puspitalangen, bergelar Bendara Pangeran Harya Hadinegara. Ia membantu Pangeran Dipanegara sebagai Patih.
BendaraPangeran Harya Surya Brangta lahir dari BRAy. Kalpikawati, juga bergelar Bendara Pangeran Harya Purbadiningrat.
Bendara Raden Mas Ambiya lahir dari BRAy. Dayapurnama, bergelar Bendara Pangeran Harya Hadisurya.
Bendara Pangeran Harya Hadisurya II lahir dari BRAy. Puspawati, juga dikenal sebagai Pangeran Ngah'Abdu'l Rahim.
Bendara Pangeran Harya Suryawijaya lahir dari BRAy. Widya.
Bendara Raden Mas Gerantul lahir dari BRAy. Madarsih, bergelar Bendara Pangeran Harya Natabrata dan Bendara Pangeran Harya Suryadipura. Ia dibuang ke Ternate tahun 1849.
Bendara Pangeran Harya Suryadipura II lahir dari BRAy. Sasmitaningsih. Ia ikut dalam pemberontakan Pangeran Dipanegara.
Bendara Pangeran Harya Suryadi lahir dari BRAy. Rangasmara.
Bendara Pangeran Harya Tepasana lahir dari BRAy. Mulyaningsih.
Bendara Raden Ajeng Murtinah lahir dari BRAy. Surtikawati. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanudiningrat, cucu Hamengkubuwana I dari pihak ibu.
Bendara Raden Ayu Wiranegara lahir dari GKR. Kencana. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Wiranegara, putra Raden Tumenggung Jayaningrat, Bupati Rename.
Bacaan lanjutan
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu