Tuanku Nan Tuo

Infobox orangTuanku Nan Tuo
Biografi
Kelahiran1723 Edit nilai pada Wikidata
Ampek Angkek Edit nilai pada Wikidata
Kematian1830 Edit nilai pada Wikidata (106/107 tahun)
Data pribadi
Kelompok etnikOrang Minangkabau Edit nilai pada Wikidata
AgamaIslam Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanimam Edit nilai pada Wikidata
Murid dariTuanku Mansiangan Nan Tuo dan Abdoel Aziz Toeankoe Nan Ketjil Edit nilai pada Wikidata
Keluarga
AnakJalaluddin Faqih Shaghir Edit nilai pada Wikidata

Tuanku Nan Tuo (lahir di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Minangkabau, tahun 1723 - meninggal tahun 1830, pada umur 107 tahun) adalah salah seorang ulama Minangkabau terkemuka.[1] Ia dikenal sebagai ulama yang moderat, yang banyak melakukan pembaruan serta pemurnian Islam di kawasan Agam, Sumatera Barat. Selain sebagai seorang sufi, Tuanku Nan Tuo juga dikenal sebagai tokoh yang cukup berpengaruh dalam kelahiran kaum Padri. Meskipun begitu ia tidak setuju dengan pandangan radikal golongan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, salah satu muridnya.

Tuanku Nan Tuo memiliki anak bernama Jalaluddin gelar Fakih Shagir. Salah seorang cucu Jalaluddin, yakni Tahir Jalaluddin, seorang ulama ahli falak.[2]

Tuanku Nan Tuo sering disamakan dengan Tuanku Nan Tuo Koto Tuo IV Koto (nama kecil Abdullah Arif dan juga bergelar Tuanku Pariaman), moyang Hamka.[3]

Kehidupan

Tuanku Nan Tuo lahir di Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam, pada tahun 1723. Pada masa mudanya ia salah seorang remaja yang bersemangat dalam menimba ilmu-ilmu agama. Hampir keseluruhan cabang ilmu agama ia kuasai. Dia belajar ilmu agama dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo di Paninjauan, Tanah Datar. Memperoleh ilmu mantiq dan ma'ani dari Tuanku Nan Kaciak di Koto Gadang, Agam, mempelajari ilmu sharaf dari Tuanku di Talang, ilmu nahwu dari Tuanku di Salayo, serta ilmu hadits, tafsir, dan faraidh dari Tuanku di Sumanik.[4]

Pada tahun 1784, Tuanku Nan Tuo menjadi kepala surau Tarekat Syattariyah di Koto Tuo, IV Angkek, Agam.[5] Ketika menjadi kepala surau ia berhasil menarik ribuan murid dari nagari-nagari di sekitarnya. Salah satu muridnya yang cukup cemerlang, Haji Miskin, ikut bersamanya dalam menyebarkan syariat Islam di kawasan Agam Tuo. Selain itu, beberapa muridnya yang cukup militan juga ditugaskan untuk berdakwah keluar IV Angkek, terutama ke nagari-nagari yang menghalangi usaha perdagangan. Beberapa muridnya yang meneruskan usahanya dalam menanamkan syariat Islam di Minangkabau ialah Jalaluddin gelar Fakih Shagir yang mendirikan surau di Candung Koto Laweh, Agam. Kemudian Tuanku Bandaro dari Alahan Panjang, meneruskan pembaruan di Bonjol bersama Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao di Rao mengambil alih pimpinan nagari dan berdakwah di tanah kelahirannya, serta Saidi Muning bergelar Tuanku Lintau berdakwah di Lintau, Tanah Datar.

Pendidikan lainnya di surau Tuanku Nan Tuo ialah ilmu bela diri pencak silat. Ilmu ini diberikan agar setiap murid terampil dan mampu menggunakan senjata di medan laga. Berkat usahanya, menjelang tahun 1790-an di daerah IV Angkek, Agam, banyak mengalami kemajuan besar dalam pengaturan urusan dagang. Sejak saat itu ia dikenal sebagai "pelindung para pedagang".[6]

Referensi

  1. ^ Kaum Sufi dalam Sejarah di Minangkabau Diarsipkan 2013-12-11 di Wayback Machine. Harian Singgalang, 30 Maret 2012. Diakses 8 Desember 2013.
  2. ^ MA, Prof Dr H. Saifullah SA; M.Hum, Dr Febri Yulika, S. Ag (2017-12-01). PERTAUTAN BUDAYA - SEJARAH MINANGKABAU & NEGERI SEMBILAN. ISI Padangpanjang. ISBN 978-602-50846-6-9. 
  3. ^ https://books.google.co.id/books?id=tLYXAAAAIAAJ&q=%22Tuanku+Nan+Tuo+yang+kita+perkatakan+ini%22&dq=%22Tuanku+Nan+Tuo+yang+kita+perkatakan+ini%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiK27-XluXoAhWO-HMBHcjED54Q6AEIKDAA
  4. ^ Hamka, Antara Fakta Dan Khayal:Tuanku Rao, 1974:110-112,156-157, dari J J de Hollander: “Hikayat Syaich Djalaluddin”, E J Brill, Leiden, 1857
  5. ^ Dobbin, Christine (2008). Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 198. ISBN 979-3731-26-5. 
  6. ^ Christine Dobbin, Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784 - 1830, 1977