Ulama Minangkabau merupakan ahli-ahli agama Islam yang memiliki kaitan dengan Minangkabau secara genealogis. Mereka biasanya dipanggil syekh, tuanku, buya, atau ustaz.[1] Interaksi Minangkabau yang intens dengan Islam, setidaknya sejak abad ke-13, telah melahirkan tokoh-tokoh yang terlibat dalam penyebaran Islam di Nusantara. Di Minangkabau, ulama begitu populer karena pengaruh mereka dalam perubahan politik dan sosial. Mereka menggunakan majalah dan surat kabar serta berbagai bentuk penerbitan dalam penyebarluasan ide-ide mereka.
Pada awal abad ke-19, ulama Minangkabau memulai usaha membebaskan praktik Islam yang bercampur dengan praktik adat. Intervensi Belanda dalam konflik antara Kaum Padri dengan Kaum Adat berujung perang yang mengakibatkan Minangkabau berada di bawah kolonialisme Belanda. Pada awal abad berikutnya, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, diikuti oleh murid-muridnya, mengangkat kembali gagasan pemurnian Islam. Mereka, belakangan dijuluki sebagai ulama Kaum Muda, mencetuskan gerakan pembaruan Islam yang ditandai dengan maraknya penerbitan media massa Islam seperti Al-Munir dan pembukaan lembaga pendidikan modern seperti Sumatra Thawalib.
Gerakan pembaruan Islam sempat ditentang oleh ulama Kaum Tua yang berafiliasi dengan teraket dan Kaum Adat yang bertahan dengan hukum waris adat menurut garis keturunan ibu. Ketegangan antara Kaum Muda dengan Kaum Tua dan Kaum Adat segera melebur dalam usaha bersama melawan kolonialisme Belanda, kristenisasi, dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Seiring meleburnya Minangkabau ke dalam wilayah administratif Sumatera Barat pasca-kemerdekaan, istilah ulama Minangkabau bergeser ke ulama yang lahir maupun berkiprah di Sumatera Barat.
Kapan dan dari mana masuknya Islam di Sumatera Barat masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Terdapat indikasi bahwa pantai timur Sumatra telah disinggahi saudagar-saudagar Islam sejak abad ke-7,[2] sedangkan kronik TiongkokXin Tangshu menyebutkan bahwa pada tahun 675, orang-orang Ta-Shih (Arab) telah mempunyai perkampungan di pantai barat Sumatra.[3] Pihak yang mengatakan Islam masuk ke Minangkabau dari pantai timur Sumatra memperkirakannya masuk dari Siak, sementara pihak yang mengatakan masuk dari pantai barat memperkirakannya masuk dari Aceh.[4] Budayawan A.A. Navis berpendapat bahwa Islam telah masuk dari Aceh sejak abad ke-8.[5]
Para geografer muslim abad ke-9 dan 10, seperti Ibnu Khurdadzbih dan Al Biruni, menuliskan bahwa Sumatra (yang mereka sebut Zabaj) adalah bagian rute perdagangan mereka menuju Tiongkok.[6] Pengelana Venesia Marco Polo (1292)[7][8] yang singgah di Sumatra menulis bahwa penduduk pedalaman pada umumnya masih belum beragama Islam, sedangkan pengelana Maroko Ibnu Batutah (1345)[8]
menemukan bahwa Mazhab Syafi'i telah diamalkan oleh masyarakat Pasai. Pengelana Portugis Tomé Pires (1512-1515) secara khusus menyatakan bahwa hanya satu dari "tiga raja Minangkabau" yang saat itu telah memeluk Islam.[9]
Masyarakat Sulawesi juga pernah menerima para penyiar Islam Minangkabau ke tanah mereka. Lima orang datuk dari Minangkabau, Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, Datuk Patimang, Datuk Karama serta Datuk Mangaji telah menyiarkan agama yang mereka anut pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17.[14] Dalam Lontara Gowa, Lontara Tallo, dan Lontara Sukkuna Wajo, Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimang disebutkan berasal dari Koto Tangah, Payakumbuh.[14]
Agama Islam di Kerajaan Kutai juga disebarkan Datuk Ri Bandang bersama-sama Tuan Tunggang Parangan pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota, yang memerintah antara tahun 1525 hingga 1589. Sementara Datuk Ri Bandang kembali ke Sulawesi, Tuan Tunggang Parangan menetap di sana dan berperan besar dalam menyebarkan Islam sehingga rakyat Kutai, Kalimantan Timur akhirnya banyak yang memeluk Islam.[15][16]
Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro disebutkan juga sebagai dua orang tokoh yang membawa agama Islam ke Bima, Nusa Tenggara Barat.[17] Masyarakat Bima menyelenggarakan sebuah upacara bernama Hanta Ua Pua untuk memperingati Maulid Nabi dan masuknya Islam ke Bima oleh para penyebar agama tersebut.[17]
Jawa
Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa di tanah Jawa terdapat ulama keturunan Minangkabau. Masyarakat di kota Lasem, Jawa Tengah, mengenal seorang tokoh bernama Sultan Mahmud atau juga disebut Sultan Minangkabaui. Menurut cerita rakyat, Sultan Mahmud terdampar di Lasem, dan kemudian menjadi murid Sunan Bonang (1565-1525). Menurut cucu KH Ma’shum, Muhammad Zaim bin Ahmad, kakeknya merupakan keturunan dari tokoh Sultan Mahmud tersebut.[18]
Filipina
Tokoh Minangkabau telah tercatat dalam Tarsilah Sulu pernah sampai ke Sulu di Filipina Selatan, di antaranya Raja Bagindo (bahasa Sulu: Rajah Baguinda) yang sampai di Sulu[19] pada sekitar tahun 1397[20] setelah sebelumnya singgah di Zamboanga dan Basilan.[21] Selain Filipina Selatan (Mindanao), Raja Bagindo yang diperkirakan hidup pada akhir abad ke-14 itu disebutkan pula turut menyebarkan Islam ke Kalimantan bagian utara, yakni Brunei, Serawak, dan Sabah. Ia juga merupakan pendiri Kesultanan Sulu.[22]
Antropolog Mochtar Naim menyatakan bahwa seorang tokoh lain bernama Raja Sulaeman, yang diperkirakan keturunan Minangkabau, telah menyiarkan Islam sampai ke Manila (1570) sebelum kedatangan kolonialis Spanyol di sana.[23]
Tiga orang ulama yang kembali dari ibadah haji mereka pada tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik, menjadi penganjur gerakan puritanisme agama Islam di Sumatera Barat.[24] Mereka menyerang adat dan kebiasaan lama yang mereka anggap tidak sesuai, dan mendesak masyarakat untuk melakukan kewajiban formal agama Islam.[24] Terjadilah perang saudara antara Kaum Padri (kelompok pendukung) dan Kaum Adat (kelompok penentang) gerakan tersebut.[24]
Tuanku Imam Bonjol (1772–1864) adalah ulama dari Bonjol, Pasaman, yang kemudian menjadi salah seorang pemimpin dalam Perang Padri.[25] Ia menjadi pemimpin setelah wafatnya Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh yang memimpin Kaum Padri sebelumnya.[25] Tuanku Imam Bonjol kemudian mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia atas perjuangannya dalam melawan kolonialisme.[26] Selain Tuanku Imam Bonjol, dalam pergerakan ini bergabung pula Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao yang kemudian menyebarkan Islam di Tapanuli, Sumatera Utara.
Pada tahun 1821, Kaum Adat meminta dukungan Belanda untuk mengatasi Kaum Padri.[27] Namun Belanda malah memanfaatkannya untuk memperluas daerah kekuasaannya sendiri sehingga pada tahun 1833, Kaum Adat bergabung bersama Kaum Padri melawan Belanda.[27] Meskipun pada akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh Belanda, sejarawan Merle Ricklefs berpendapat bahwa Perang Padri meninggalkan kesan yang mendalam di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.[28] Masyarakat menjadi berkomitmen terhadap ajaran Islam yang ortodoks, serta peranan Islam sebagai bagian dalam adat dan kebiasaan masyarakat menjadi amat kuat.[28]
Para ulama Minangkabau sejak tahun 1900-an cenderung lebih berfokus pada pendidikan dan aktivitas intelektual daripada perlawanan fisik. Gerakan modernisme Islam di Timur Tengah, yang antara lain digerakkan oleh Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha, juga berimbas pada alim ulama Minangkabau pada masa itu. Pada awal abad ke-20, mereka yang mendukung corak reformis disebut sebagai "Kaum Muda", sedangkan para ulama pendukung tradisi disebut "Kaum Tua".[24][30]
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860–1916) adalah seorang ulama kelahiran Koto Gadang, Agam, yang menjadi imam besar non-Arab pertama di Masjidil Haram, Mekkah.[31] Ia merupakan guru bagi ulama-ulama besar Nusantara pada zamannya, dan sangat kritis terhadap adat-istiadat dan praktik tarikat yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran agama.[31] Seorang sepupunya, Syekh Tahir Jalaluddin (1869–1956), juga banyak menganjurkan gagasan pembaharuan dan menerbitkan majalah reformisme Islam Al-Imam (1906) di Singapura yang isinya sejalan dengan majalah Al-Manar terbitan Rasyid Ridha di Mesir.[24] Setelah Ahmad Khatib, ulama Minangkabau lainnya yang berkiprah di Masjidil Haram ialah Djanan Thaib. Ia ditunjuk sebagai penghulu (ma'dzun syar'i) bagi orang-orang Nusantara di Mekkah.[32]
Syekh Muhammad Jamil Jambek (1860–1947) adalah salah seorang pelopor ulama reformis di Minangkabau.[30] Ia banyak menganjurkan pembaharuan dan pemurnian Islam melalui ceramah atau dakwah secara lisan, serta menulis buku-buku yang menentang praktik tarikat yang berlebihan.[30]Haji Abdul Karim Amrullah (juga dipanggil Haji Rasul atau Inyiak Dotor, 1879–1945) berasal dari Sungai Batang, Maninjau adalah tokoh lainnya yang mendirikan sekolah Islam modern Sumatra Thawalib (1919), dan bersama Haji Abdullah Ahmad (1878–1933) merupakan orang Indonesia terawal yang mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, Mesir.[33] Selain itu, Haji Abdullah Ahmad juga menerbitkan majalah Al-Munir (1911) di Padang, yang mengusung ide kesesuaian Islam dengan sains dan rasionalitas modern.[24][30] Ulama lainnya Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek, 1882–1963), berasal dari Parabek, Bukittinggi, turut mendirikan Sumatra Thawalib; di mana Syekh Ibrahim Musa mengelola sekolah cabang di Parabek, Bukittinggi, sedangkan Haji Rasul mengelola cabang di Padangpanjang.[30]
Syekh Muhammad Saad Mungka (1857–1942) adalah ulama pendukung tradisi tarikat, yang pernah dua kali mukim di Mekkah (1884–1900 dan 1912–1915).[30] Ia sezaman dengan Syekh Ahmad Khatib, dan keduanya terlibat polemik mengenai tarikat.[30]Syekh Khatib Ali dan Syekh Muhammad Dalil (juga dipanggil Syekh Bayang, 1864–1923) adalah tokoh-tokoh polemik ulama pendukung tradisi yang cukup menonjol. Di sisi lain, Syekh Abbas Qadhi dari Ladang Laweh melakukan modifikasi pendidikan surau, dengan mendirikan pendidikan dasar bersistem sekolah Arabiyah School.[30] Ia meminta Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (juga dipanggil Inyiak Canduang, 1871–1970) membuka sekolah pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga Syekh Sulaiman mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah untuk menampung lulusan Arabiyah School.[30] Syekh Sulaiman juga mengajak Syekh Abdul Wahid dari Tabek Gadang, Syekh Muhammad Jamil Jaho dari Padang Panjang, dan Syekh Arifin Al-Arsyadi dari Batuhampar untuk mengembangkan pendidikan bersistim sekolah.[30]Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (1930) kemudian menjadi organisasi wadah dalam mengembangkan pendidikan di kalangan mereka.[30]
Keprihatinan atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi pasca-kemerdekaan Indonesia dan di Sumatera Barat pada khususnya, membuat ketegangan antara kedua kelompok ulama tersebut kemudian memudar.[34] Kedua kelompok kemudian bertemu tanggal 10 Desember 1950, disusul dengan konferensi besar mubaligh dan alim ulama pada 21–23 April 1951.[34] Konferensi ini dihadiri wakil-wakil ulama dari hampir semua daerah di Sumatera Barat, serta sedikit dari Riau dan Jambi, yang umumnya adalah ulama yang berasal dari atau pernah belajar di Sumatera Barat.[34] Diputuskanlah misi bersama untuk mencerdaskan kehidupan para pemuda melalui pendidikan Islami, sehingga mereka bersatu dan mendirikan suatu sekolah tinggi Perguruan Tinggi Islam Sumatra Tengah.[34] Para pemuka kedua kelompok, seperti Ibrahim Musa Parabek, Sulaiman Ar-Rasuli, Mansoer Daoed Dt. Palimo Kayo, Darwis Dt. Batu Besar, Nazaruddin Thaher, Sa'adoeddin Djambek, dan A. Malik Sidik, bersama-sama terlibat dalam kepengurusannya.[34]
Masa pergerakan hingga kemerdekaan
Menantu dan anak Haji Rasul, yaitu AR Sutan Mansur (1895–1985) dan Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka, 1908–1981), menjadi ulama terkenal pada masa pergerakan hingga setelah kemerdekaan Indonesia. AR Sutan Mansur pernah memimpin Muhammadiyah.[35] Sementara itu, Hamka selain menjadi pemimpin Muhammadiyah (1953–1971), juga dikenal sebagai ulama internasional dan sastrawan. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.[33]
Mohammad Natsir (1908–1993) adalah seorang ulama sekaligus tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia kelahiran Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok.[36] Ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se-Dunia, Ketua Dewan Masjid se-Dunia serta pemimpin partai politik Masyumi, serta pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia.[36] Natsir dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, meskipun sebelumnya pernah bergabung dengan PRRI tahun 1958 untuk menentang Demokrasi Terpimpin pada masa Orde Lama, dan sebagai pembangkang penanda-tangan Petisi 50 pada masa Orde Baru.[36][37][38]
Syekh Yasin Al-Fadani (1915–1990) adalah salah seorang ulama keturunan Minangkabau yang lahir di Mekkah, Arab Saudi. Semasa hidupnya ia aktif memberi kuliah di Masjidil Haram, serta ia merupakan penulis buku Islam yang produktif. Bukunya banyak dibaca para ulama dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam di Arab Saudi maupun berbagai pondok pesantren di Asia Tenggara. Syekh Yasin adalah seorang ahli sanad hadist, ilmu falak, serta pendiri Madrasah Darul Ulum al-Diniyyah, Mekkah. Karyanya yang paling terkenal, Al-Fawaid al-Janiyyah, menjadi materi dalam mata kuliah ushul fiqih di Fakultas Syariah Universitas Al-AzharKairo.[40]
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif adalah ulama abad ke-21 kelahiran Sumpurkudus, Sijunjung, yang pernah memimpin Muhammadiyah. Ia pernah menjabat sebagai President World Conference on Religion for Peace (WCRP), serta pernah dianugerahi Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina.[41] Buya Syafii Maarif menempuh pendidikannya di Universitas Cokroaminoto Surakarta, IKIP Yogyakarta, Ohio State University, serta Chicago University.[42]
^ abBoestami, dkk. (1981). Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, Padang. Hlm. 20.
^Shiv Shanker Tiwary & P.S. Choudhary, Encyclopaedia Of Southeast Asia and Its Tribes, 2009
^Majul, Cesar Adib, (1981/1987), Islam in the Philippines. Manila: University of the Philippines (ed. ke-4), 1981. Terjemahan Indonesia: Moro, Pejuang Muslim Filipina Selatan, Jakarta: Al-Hilal, 1987.
^PhD, Dr dr Adi Teruna Effendi, SpPD; Sumarlan, Sutrimo; Saptomo, Bunyan; Jabbar, Rahim; Yusuf, Mukhtar; Pharmanegara, Lalu; Sadikin, Prof Dr dr Mohammad. Jejak Islam di nusantara. PT Penerbit IPB Press. ISBN978-623-256-245-5.
^ abShobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. ISBN 979-17785-0-7.