Majalah ini menampilkan beberapa rubrik di antaranya: tajuk rencana seputar Islam, forum tanya jawab yang umumnya berkenaan hukum fikih, perkembangan pemikiran Islam di dunia, dan kronik yang biasanya diterjemahkan dari majalah-majalah Islam Timur Tengah. Namun, akibat kendala dana, majalah ini berhenti terbit pada 1915. Meski begitu, kelahiran Al-Munir segera disusul oleh penerbitan sejenis oleh berbagai gerakan Islam di Nusantara.
Al-Munir giat menyerukan kepada pembaca untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni. Secara khusus, majalah ini menjadi corong gerakan Kaum Muda dalam gelombang pembaruan Islam jilid kedua di Minangkabau pada awal abad ke-20.
Sejarah
Pada 1906, muncul majalah Al-Imam di Singapura di bawah asuhan Tahir Jalaluddin Al-Azhari. Majalah ini dalam sejarahnya mempunyai keterkaitan yang erat dengan Al-Urwatul Wusqa, majalah yang diterbitkan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, Prancis.[2] Majalah ini beredar di Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatra. Salah satu daerah yang mendapat pengaruh paling kuat dari penerbitan Al-Imam adalah Minangkabau.[4]
Setelah penerbitan Al-Imam terhenti pada 1909, delegasi Minangkabau Abdullah Ahmad segera menemui pimpinan majalah Al-Imam di Singapura. Dalam kunjungannya, Abdullah Ahmad menyampaikan maksud untuk menerbitkan majalah dengan visi dan misi dakwah yang sama.[5] Pulang dari kunjungan ke Singapura, Abdullah Ahmad dengan dukungan para pedagang lokal mulai merintis penerbitan Al-Munir di Padang.[6]
Al-Munir menyatakan maksud berdirinya saat terbit edisi perdana pada awal bulan April 1911, tertanggal 1 Rabiulakhir 1329 Hijriyah.[10] Menurut Masoed Abidin dalam Ensiklopedi Minangkabau, tujuan penerbitan majalah Al-Munir dapat terlihat dari namanya yang berarti lilin atau suluh.[10] Majalah ini terbit setiap hari Sabtu, pada awal dan pertengahan bulan dalam kalender Islam.[11] Sebagian besar edisinya berjumlah 16 halaman. Tulisan dalam Al-Munir menggunakan abjad Jawi, sebagaimana pada awal abad ke-20 sebagian masyarakat Minang masih banyak yang hanya pandai menulis dan membaca abjad Jawi. Namun, ejaan yang digunakan mengikuti standar ejaan yang dipakai pada sekolah-sekolah pemerintah kolonial.[8]
Untuk mendistribusikan majalah dan memungut uang langganannya, Al-Munir mempunyai 31 agen di berbagai daerah yang tersebar di Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[12] Faktor penyebab luasnya penyebaran majalah ini adalah karena memanfaatkan jaringan penyebaran majalah Al-Imam yang sudah berhenti penerbitannya.[13] Sejak penerbitan pertama, Al-Munir telah didistribusikan kepada pembaca di seluruh daerah Sumatra, Jawa dan Semenajung Malaya.[14] Dalam perkembangan selanjutnya terjadi penambahan dan perkembangan jumlah pembaca hingga Kalimantan dan Sulawesi.[15][16]
Dari segi isi, Al-Munir memiliki beberapa kesamaan dengan Al-Imam. Banyak masalah-masalah yang sudah dimuat dalam Al-Imam kembali dimuat dalam Al-Munir.[17] Isi majalah Al-Munir secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian; tajuk rencana, surat kiriman, tanya jawab, serta berita dalam dan luar negeri. Selain itu, terdapat pula ruangan terjemahan dari majalah-majalah Timur Tengah seperti Al-Manar dan Al-Ahram. Artikel-artikel yang ditulis dan jawaban-jawaban terhadap surat-surat pembaca banyak berkenaan dengan masalah-masalah fikih dan akidah.
Al-Munir giat menyerukan kepada umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan menghapuskan taqlid serta menentang praktik bi'dah dan khurafat.[18][2] Selain itu, majalah ini mengargumentasikan kesesuaian Islam dengan sains dan rasionalitas modern. Melalui Al-Munir, para ulama dari Kaum Muda mengemukakan ijtihad mereka terhadap beberapa masalah yang sebelumnya diharamkan oleh ulama tradisional, seperti dibolehkannya berfoto atau memakai dasi dan topi.[10]
Berhenti terbit
Al-Munir berhenti terbit pada 1915.[19] Pada edisi terakhir tertanggal 15 Rabiulawal 1333 [Kalender Masehi: 31 Januari 1915] ditampilkan karangan perpisahan dengan judul "Khatama". Dalam karangan itu dinyatakan bahwa "Al-Munir tak dapat dilanjutkan lagi. Namun, kepada pembaca dan masyarakat Islam dianjurkan agar terus menambah ilmunya dengan rajin membaca."[20] Terhentinya penerbitan majalah ini diduga akibat kekurangan dana. Pada edisi-edisi terakhir, berkali-kali dimuat pengumuman kepada agen-agen dan langganan agar mengirimkan uang langganannya. Di sisi lain, para ulama yang mengelola majalah ini sama sekali tidak mempunyai latar belakang sebagai pedagang. Penerbitan pada waktu itu diadakan hanya untuk tujuan dakwah, tanpa dibarengi kemampuan bisnis dan profesionalitas.[21]
Tiga tahun setelah berakhirnya Al-Munir, Sumatra Thawalib (atas usulan Abdul Karim Amrullah) menerbitkan majalah dengan nama Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang pada 1918.[11] Majalah ini dipimpin oleh cendekiawan Muslim Zainuddin Labay El Yunusi, yang merupakan kakak dari Rahmah El Yunusiyyah. Namun, majalah ini hanya bertahan selama enam tahun. Penerbitan Al-Munir Al-Manar terhenti setelah kematian Zainuddin Labay El Yunusi pada 1924.[3]Al-Munir Al-Manar kerap disebut sebagai kelanjutan majalah Al-Munir.[15] Sama dengan Al-Munir, majalah ini terbit dua kali sebulan, pada awal dan pertengahan bulan.
Penerimaan
Oplah Al-Munir berkisar 2.000 eksemplar. Daerah jangkauannya meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Di antara pembaca setia, termasuk Ahmad Dahlan, yang kelak mendirikan Muhammadiyah. Ahmad Dahlan bahkan minta izin menyalin tulisan-tulisan Haji Rasul di Al-Munir ke dalam bahasa Jawa untuk disebarkan kepada murid-muridnya.[22]
Kehadiran Al-Munir disusul banyak majalah berbasis Islam di berbagai daerah Minangkabau. Adabiyah School di Padang menerbitkan majalah Al-Akhbar. Jaringan Sumatra Thawalib di berbagai daerah menerbitkan majalah yang diedarkan terbatas, seperti Al-Bayan di Parabek, Al-Basyir di Sungayang, Al-Ittiqan di Maninjau, dan Al-Imam di Padang Japang.[23] Begitu pula kalangan ulama konservatif, yang belakangan dijuluki Kaum Tua, menerbitkan majalah tandingan, seperti Suluh Malayu di bawah pimpinan Syekh Khatib Ali, dan Al-Mizan di bawah pimpinan Haji Abdul Majid dan Hasan Basri.[20]
Pada 1916, Abdullah Ahmad bekerja sama dengan Ketua Sarekat IslamTjokroaminoto untuk mendirikan majalah Al-Islam di Surabaya.[7] Majalah ini menandai dimulainya penerimaan kaum Muslim Nusantara terhadap penggunaan huruf Latin, selain tetap menggunakan huruf Jawi.[24][18]
Ahmat Adam (1995). The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913). ISBN 978-0-87727-716-3.
Burhanuddin Daya (1990). Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam. Jakarta: Tiara Wacana.
Christine Dobbin (1987). Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy. London: Curzon Press.
Deliar Noer (1982). Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002). "Ensiklopedia Islam, Jilid 4". Departemen Agama Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. ISBN 979-8276-65-5.