Sulaiman lahir di Candung pada 10 Desember 1871 dari pasangan Muhammad Rasul Tuanku Mudo dan Siti Buliah. Ia memperoleh pendidikan agama pertama dari ayahnya yang merupakan guru agama di Surau Tangah. Kakek Sulaiman dari pihak ayah, Tuanku Nan Paik, juga merupakan ulama di Candung.[2]
Pada 1902, Sulaiman kembali ke Canduang untuk mengajar di sana sampai ia berangkat haji pada 1903. Di Makkah, ia belajar kepada beberapa ulama di sana selama empat tahun. Beberapa ulama yang menjadi guru Sulaiman antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi, Syekh Mukhtar Atarid al-Bughuri, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syekh Ahmad Syata al-Makki, Syekh Ali al-Kalantani, Syekh Usman as-Sarawaqi, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Ahmad al-Fatani.[4][5]
Setelah menuntut ilmu di Makkah, Syekh Sulaiman kembali ke Minangkabau dan membuka halakah di Surau Baru, Candung pada 1908.[6] Pada 1923, Syekh Sulaiman kembali ke Batuhampar untuk bersuluk di bawah bimbingan Syekh Muhammad Arsyad. Dari Syekh Arsyad, Syekh Sulaiman memperoleh ijazah mursyidNaqsyabandiyah.[7]
Perjuangan
Masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang
Syekh Sulaiman ar-Rasuli pernah bergabung ke beberapa organisasi yang berkembang di Minangkabau waktu itu. Pada 1918, ia menjabat sebagai ketua cabang Syarikat Islam di Candung-Baso.[8] Pada 1921, ia ikut serta dalam pembentukan Ittihad Ulama Sumatera yang didirikan oleh Syekh Muhammad Saad Mungka bersama ulama Kaum Tua lainnya.[9]
Pada 1928, Syekh Sulaiman bersama Syekh Abbas Ladang Lawas, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan lain-lain mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Organisasi ini dibentuk sebagai wadah bagi beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) di Minangkabau, termasuk di antaranya adalah MTI Candung pimpinan Syekh Sulaiman.[10]
Setelah Jepang masuk ke Hindia Belanda, Syekh Sulaiman beserta beberapa ulama dari Kaum Muda dan Kaum Tua membentuk Majelis Islam Tinggi Minangkabau pada 1943. Susunan pengurus terdiri dari Syekh Sulaiman ar-Rasuli sebagai ketua umum, H. Abdul Gaffar Jambek sebagai ketua I, H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sebagai sekretaris umum, H. Mahmud Yunus sebagai ketua dewan pengajaran, serta H. Ahmad Rasyid St. Mansur sebagai perwakilan Muhammadiyah dan H. Sirajuddin Abbas sebagai perwakilan Perti.[11] Syekh Sulaiman juga hadir sebagai wakil Minangkabau dalam konferensi alim ulama di Singapura pada 1943.[8]
Masa kemerdekaan
Pada 22-24 Desember 1945, pengurus Perti mengadakan kongres di Bukittinggi. Kongres itu menghasilkan putusan untuk menjadikan Perti sebagai partai politik bernama Partai Islam Perti (PI Perti).[12] Pada saat kongres itu juga, Inyiak Canduang selaku Penasihat Tertinggi PI Perti membentuk Lasykar Muslimin Indonesia dan Lasykar Muslimat sebagai barisan pejuang Perti selama revolusi nasional.[13]
Pada Pemilu 1955, Syekh Sulaiman ar-Rasuli terpilih sebagai anggota Konstituante dari Perti.[14] Pada sidang pertama Konstituante tanggal 10 November 1956, ia terpilih menjadi ketua sidang tersebut.[15]
Syekh Sulaiman yang sebelumnya dikenal sebagai ahli fikih dan pernah menjadi kadi di Candung pada 1917-1944[8] dilantik menjadi Ketua Mahkamah Syar'iyah Sumatra Tengah oleh pemerintah di Bukittinggi pada 17 Januari 1947. Ia memegang jabatan tersebut sampai 1958.[16]
Syekh Sulaiman ar-Rasuli wafat pada 1 Agustus 1970. Ribuan pelayat hadir dalam pemakaman Syekh Sulaiman di MTI Candung. Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zain, menginstruksikan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda berduka cita.[17] Kepemimpinan MTI Candung selanjutnya dipegang oleh anaknya, Buya H. Baharuddin ar-Rasuli, yang sudah memimpin pesantren sejak 1965.[18]
Pandangan
Kaum Tua
Selama perdebatan Kaum Tuo-Kaum Mudo di Minangkabau, Syekh Sulaiman ar-Rasuli berada di pihak Kaum Tua. Kaum Tua berbeda dengan Kaum Muda dalam beberapa pendapat seperti kunutsubuh, kenduri kematian, barzanjimaulid Nabi, taklid mazhabSyafi'i, ziarah kubur, dan lain-lain.[19] Inyiak Canduang menulis beberapa uraian tentang uṣallī sebelum takbir,[20] penerjemahan al-Qur'an,[21] akidah Asy'ari[22] serta bantahan terhadap Ahmadiyah,[23] dan lain-lain.
Sebagai ulama Naqsyabandi, Syekh Sulaiman ar-Rasuli juga menjadi pembela tarekat tersebut. Ia menulis beberapa hujah dan dalil yang mendukung amalan rābiṭah dan zikir-zikir Naqsyabandiyah.[24][25] Di sisi lain, ia juga mengkritik beberapa pandangan tokoh tarekat lain yang tak sesuai dengan fikih dan akidahSunni, seperti dalam perseteruannya dengan Haji Jalaluddin, tokoh PPTI.[26]
Semasa hidup, Sulaiman Ar-Rasuli telah menikah 17 kali. Istri-istrinya yakni Shafiyah, Hasanah, Raudhah, Rawasah, N.N, Salehah, Lambok, Rakena, Rakimah, Fatimah, Dalipah, Nurilah, Rugayah, Jailan, Fatimah, Jalisam, dan Alamsiyah. Ke-17 istri itu tidak dinikahinya secara bersamaan, karena di antara mereka ada yang diceraikan, baik cerai mati maupun cerai hidup.[31][32]
Sulaiman Ar-Rasuli dikarunai 19 anak selama pernikahannya. Di antara anaknya yang menjadi ulama yakni Baharuddin Arrasuli, Syahruddin Arrasuli, dan Muhammad Noer Arrasuli. Kepemimpinan MTI Candung pada masa awal dipegang berturut-turut oleh keluarga Arrasuli sampai akhirnya jabatan tersebut diberikan kepada Buya H. Fauzi Damrah dari luar keluarga Arrasuli pada 2020.[33]