Islam di Papua adalah agama minoritas yang dipeluk oleh 14.57% penduduk dari total 4.310.000 penduduk Papua menurut Kementerian Dalam Negeri Indonesia (2021).[1] Mayoritas umat Islam tersebut adalah dari non suku asli Papua (439.337 jiwa, atau 15.51%), sedangkan sisanya adalah dari suku asli Papua (10.759 jiwa, atau 0.38%).[2]
Pendahuluan
Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Misool, Waigama, dan Salawati tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku. Berdasarkan cerita populer dari masyarakat Islam Sorong dan Fakfak, agama Islam masuk di Papua sekitar abad ke 15 yang dilalui oleh pedagang–pedagang muslim. Perdagangan antara lain dilakukan oleh para pedagang–pedagang suku Bugis melalui Banda (Maluku Tengah) dan oleh para pedagang Arab dari Ambon yang melalui Seram Timur.[3]
Hal ini dapat disimpulkan bahwa Islam Papua diawali oleh 4 kerajaan islam (kesultanan) besar Maluku yang disebut Moloku Kie Raha yang berisi kesultanan Jailolo, Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan. Keempat kerajaan tersebut membuat piagam kesiratan untuk membagi daerah rambahan penyebaran agama Islam. Lambat laun mereka berhasil memperluas hingga tanah Papua sebelah barat hingga Biak. Papua sebelah barat (Kepulauan Raja Ampat, Fakfak,Kaimana) menjadi gerbang masuknya islam di Tanah Papua. Hingga beberapa daerah di Papua disebut daerah jajahan keempat kesultanan tersebut dan ditunjuk raja-raja kecil (sangaji) untuk menjalankan kesultanan, maka dari itu hingga saat ini ada fam mayor, kapitan, sangaji, korano, kamara dan fam lain yang berasal dari jabatan yang kemudian melekat menjadi nama keluarga.[3]
Selain melalui jalur perdagangan, di daerah Merauke Islam dikenal melalui perantara orang-orang buangan yang beragama Islam, yang berasal dari Sumatra, Kalimantan, Maluku dan Jawa. Terdapat istilah yang populer di Merauke, yaitu "Jamer" (singkatan dari Jawa-Merauke), untuk menyebut orang-orang keturunan Jawa baik yang merupakan keturunan orang-orang yang dipindahkan pada zaman penjajahan Belanda ataupun keturunan penduduk program transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan Indonesia.[4]
Sejarah
Mengenai kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok yaitu mengenai tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara, sehingga Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing, kedatangan Islam di tanah Papua juga masih terjadi silang pendapat di antara pemerhati, peneliti maupun para keturunan raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni, di antara mereka saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya.[3]
Penelusuran sejarah awal Islamisasi di tanah Papua, setidaknya dapat digali dengan melihat beberapa versi mengenai kedatangan Islam di tanah Papua, terdapat 7 teori yaitu:
Teori Papua
Teori ini merupakan pandangan adat dan legenda yang melekat di sebagaian rakyat asli Papua, khususnya yang berdiam di wilayah Fakfak, Kaimana, Manokwari dan Raja Ampat (Sorong). Teori ini memandang Islam bukanlah berasal dari luar Papua dan bukan di bawa dan disebarkan oleh Kerajaan Ternate dan Tidore atau pedagang Muslim dan da’I dari Arab, Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi. Namun Islam berasal dari Papua itu sendiri sejak pulau Papua diciptakan oleh Allah Swt. mereka juga mengatakan bahwa agama Islam telah terdapat di Papua bersamaan dengan adanya pulau Papua sendiri, dan mereka meyakini kisah bahwa dahulu tempat turunya Nabi Adam dan Hawa berada di daratan Papua.
Teori Aceh
Studi sejarah masukanya Islam di Fakfak yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten Fakfak pada tahun 2006, menyimpulkan bahwa Islam datang pada tanggal 8 Agustus 1360 M, yang ditandai dengan hadirnya mubaligh Abdul Ghafar asal Aceh di Fatagar Lama, kampong Rumbati Fakfak. Penetapan tanggal awal masuknya Islam tersebut berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan oleh putra bungsu Raja Rumbati XVI (Muhamad Sidik Bauw) dan Raja Rumbati XVII (H. Ismail Samali Bauw), mubaligh Abdul Ghafar berdakwah selama 14 tahun (1360-1374 M) di Rumbati dan sekitarnya, kemudian ia wafat dan di makamkan di belakang masjid kampong Rumbati pada tahun 1374 M.[3]
Teori Arab
Menurut sejarah lisan Fakfak, bahwa agama Islam mulai diperkenalkan di tanah Papua, yaitu pertamakali di Wilayah jazirah onin (Patimunin-Fakfak) oleh seorang sufi bernama Syarif Muaz al-Qathan dengan gelar Syekh Jubah Biru dari negeri Arab, yang di perkirakan terjadi pada abad pertengahan abad XVI, sesuai bukti adanya Masjid Tunasgain yang berumur sekitat 400 tahun atau di bangun sekitar tahun 1587.
Selain dari sejarah lisan tadi, dilihat dalam catatan hasil Rumusan Seminar "Sejarah Masuknya Islam dan Perkembanganya di Papua" yang dilaksanakan di Fakfak tanggal 23 Juni 1997, dirumuskan bahwa:
Islam dibawa oleh sultan abdul qadir pada sekitar tahun 1500-an (abad XVI), dan diterima oleh masyarakat di pesisir pantai selatan Papua (Fakfak, Sorong dan sekitarnya)
Agama Islam datang ke Papua dibawa oleh orang Arab (Mekkah).
Teori Jawa
Berdasarkan catatan keluarga Abdullah Arfan pada tanggal 15 Juni 1946, menceritakan bahwa orang Papua yang pertama masuk Islam adalah Kalawen yang kemudian menikah dengan siti hawa farouk yakni seorang mublighat asal Cirebon. Kalawen setelah masuk Islam berganti nama menjadi Bayajid, diperkirakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1600. Jika dilihat dari silsilah keluarga tersebut, maka Kalawen merupakan nenek moyang dari keluarga Arfan yang pertama masuk Islam.
Menurut Halwany Michrob bahwa Islamisasi di Papua, khususnya di Fakfak dikembagkan oleh pedagang-pedagang Bugis melalui banda yang diteruskan ke Fakfak melalui seram timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon. Michrob juga mengatakan bahwa cara atau proses islamisasi yang pernah dilakukan oleh dua orang mubaligh dari banda yang bernama Salahuddin dan Jainun, yaitu proses pengislamanya dilakukan dengan cara khitanan, tetapi dibawah ancaman penduduk setempat yaitu jika orang yang disunat mati, kedua mubaligh tadi akan dibunuh juga, namun akhirnya mereka berhasil dalam khitanan tersebut kemudian penduduk setempat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Teori Bacan
Kesultanan bacan dimasa sultan Mohammad Al-Bakir lewat piagam kesiratan yang dicanangkan oleh peletak dasar mamlakatul mulukiyah atau moloku kie raha (empat kerajaan Maluku: ternate, tidore, bacan, dan jailolo) lewat walinya ja’far as-shadiq (1250 M), melalui keturunannya keseluruh penjuru negeri menyebarkan syiar Islam ke Sulawesi, Philipina, Kalimantan, nusa tenggara, Jawa dan Papua.
Menurut Arnold, raja bacan yang pertama masuk Islam bernama zainal abiding yang memerintah tahun 1521 M, telah menguasai suku-suku di Papua serta pulau-pulau disebelah barat lautnya, seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati. Kemudian sultan bacan meluaskan kekuasaannya sampai ke semenanjung onin Fakfak, di barat laut Papua pada tahun 1606 M, melalui pengaruhnya dan para pedagang muslim maka para pemuka masyarakat pulau – pulau tadi memeluk agama Islam. Meskipun masyarakat pedalaman masih tetap menganut animisme, tetapi rakyat pesisir menganut agama Islam.
Dari sumber – sumber tertulis maupun lisan serta bukti – bukti peninggalan nama – nama tempat dan keturunan raja bacan yang menjadi raja – raja Islam di kepulauan raja ampat. Maka diduga kuat bahwa yang pertama menyebarkan Islam di Papua adalah kesultanan bacan sekitar pertengahan abad XV. Dan kemudian pada abad XVI barulah terbentuk kerajaan – kerajaan kecil di kepulauan raja ampat itu.
Teori Maluku Utara (Ternate-Tidore)
Dalam sebuah catatan sejarah kesultanan Tidore yang menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M Sultan Ibnu Mansur ( Sultan Tidore X atau sultan Papua I ) memimpin ekspedisi ke daratan tanah besar ( Papua ). Setelah tiba di wilayah pulau Misool, raja ampat, maka sultan ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar putra sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan dikepulauan Raja Ampat tersebut adalah kerajaan Salawati, kerajaan Misool/kerajaan Sailolof, kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo. Dari Arab, Aceh, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain – lain.
Di peluknya Islam oleh masyarakat Papua terutama didaerah pesisir barat pada abad pertengahan XV tidak lepas dari pengaruh kerajaan – kerajaan Islam di Maluku ( Bacan, Ternate dan Tidore ) yang semakin kuat dan sekaligus kawasan tersebut merupakan jalur perdagangan rempah – rempah ( silk road ) di dunia. Sebagaimana ditulis sumber – sumber barat, Tomé Pires yang pernah mengunjungi nusantara antara tahun 1512-1515 M. dan Antonio Pegafetta yang tiba di tidore pada tahun 1521 M. mengatakan bahwa Islam telah berada di Maluku dan raja yang pertama masuk Islam 50 tahun yang lalu, berarti antara tahun 1460-1465. Berita tersebut sejalan pula dengan berita Antonio Galvao yang pernah menjadi kepala orang – orang Portugis di Ternate (1540-1545 M). mengatakan bahwa Islam telah masuk di daerah Maluku dimulai 80 atau 90 tahun yang lalu.
Namun kesultanan Tidore hanya sampai di sekitar Kepulauan Raja Ampat tetapi berhasil meluas sampai ke arah utara dan timur. hal ini dikarenakan saat Armada Honggi yang dikerahkan kesultanan Tidore untuk memungut pajak ke arah Timur Papua (Biak). Pajak yang diberikan masyarakat Biak membuat adanya hubungan erat antara orang Biak dan Maluku (Tidore). Menurut F.C Kamma apabila masyarakat biak membayar pajak, maka dihadiahi gelar Kerajaan Tidore seperti Sangaji, Dimara, dan Karano.
Proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren dan lain sebagainya, akan tetapi jalur yang paling utama dalam proses Islamisasi di nusantara ini melalui jalur perdagangan, dan pada akhirnya melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas hanya di sekitar kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru itu.
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua ini, sebagai berikut:
Terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.
Tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid kuno.
Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno brhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
Masjid Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe.
Pengaruh Islam
Pengaruh Islam terhadap penduduk Papua dalam hal kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru. Islam mengisi suatu aspek budaya mereka, karena sasaran pertama Islam hanya tertuju kepada soal keimanan dan kebenaran tauhid saja. Oleh karena itu, pada masa dahulu, perkembangan Islam sangatlah lamban selain disebabkan pada saat itu tidak ada generasi penerus untuk terus mengeksiskan Islam di pulau Papua, dan mereka pun tidak memiliki wadah yang bisa menampungnya. Selain itu para raja di Maluku, Fakfak, dan Kaimana masih membatasi peredaran agama Islam karena jangkauan saat itu masih susah dicapai.[5]
Namun perkembangan Islam di Papua mulai berjalan marak dan dinamis sejak berintegrasi dengan Indonesia. Pada saat ini, mulai muncul pergerakan dakwah Islam, berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebaran Islam yang cepat di seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, LDII, dan pesantren-pesantren dengan tradisi ahlussunah waljama'ah.
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama BpsPapuaIslam
^ abcdMashad, Dhurorudin (2020). Muslim Papua: membangun harmoni berdasar sejarah agama di bumi cendrawasih (edisi ke-Cetakan pertama). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. ISBN978-979-592-881-2.