Khalid Zeed Abdullah Basalamah dilahirkan di Ujung Pandang (kini Kota Makassar), Sulawesi Selatan pada 1 Mei 1975. Ia adalah putra dari ustaz Zeed Abdullah Basalamah (1940–2020), pendiri Masjid dan Pondok Pesantren Addaraen, Makassar.[3] Ibu kandungnya meninggal dunia pada 1979 saat Khalid berusia 4 tahun.[4] Sepeninggal istrinya, Zeed Basalamah menikah lagi sekitar dua atau tiga tahun kemudian.[4] Ibu tiri Khalid, dokter A. Kasmawati Tahir Z. Basalamah (lahir 1957),[5] pernah menjabat sebagai Anggota DPR-RI pengganti antar waktu periode 2004–2009 dari Partai Bintang Reformasi mewakili Sulawesi Selatan I menggantikan Andi Djalal Bachtiar.[6][7]
Karier
Dakwah
Pada tahun 1999, Khalid Basalamah mulai mengisi khotbah Jumat di tempatnya mengajar dan menempuh pendidikan untuk gelar master di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Ia kemudian lebih banyak memenuhi tawaran menjadi khatib dan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen. Setelah itu, ia juga mulai membuka kelas hadis secara gratis.[8][9]
Menurut Mohammad Muhtador dari IAIN Kudus, Khalid Basalamah menggabungkan pengetahuan akademisi berdasarkan kitab-kitab ulama terdahulu seperti Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-'Asqalani atau Minhajul Muslim karya Abu Bakar al-Jazairi, dengan penyampaian prasarana modern seperti YouTube dan media sosial lainnya.[10] Hal ini juga dibahas oleh Erwin Jusuf Thaib dalam bukunya yang membahas fenomena dai yang memanfaatkan media sosial sebagai media dakwah mereka pada periode 2010 belakangan.[11] Selain menyiarkan konten dakwah dalam gaya bahasa yang sederhana, Khalid juga membagikan aktivitas dakwah di media sosial untuk menjangkau khalayak yang luas.[12]
Pada Pertemuan Ulama dan Dai se-Asia Tenggara, Eropa, dan Afrika ke-3 pada tahun 2017, Khalid mendapatkan penghargaan "ulama dan dai kehormatan" dari Multaqo Adduat dan Ulama Asia Tenggara.[13]
Aktivitas lain
Khalid menekuni beberapa aktivitas bisnis, terutama melalui PT Ajwad, yang restoran hidangan Timur Tengah-nya mengadakan program tahfidz Alquran bagi karyawan dan tidak menyediakan pelayanan kepada tamu pada waktu salat.[14][15][16] Selain itu ia juga menekuni aktivitas lembaga sebagai Ketua Umum Yayasan Ats-Tsabat Jakarta Timur.[17] Ia mengadakan program sedekah kreatif antara lain program beasiswa, umrah gratis, sumur air bersih, dan motor dai.[16] Khalid menerbitkan sebuah buku, Palestina yang Terlupakan, pada tahun 2018.[16][18]
Kontroversi
Khalid pernah mengalami penolakan sehingga pengajiannya dibubarkan oleh GP Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama (NU), dan sayap paramiliternya Banser di Sidoarjo, Jawa Timur pada 2017 karena dianggap tidak selaras dengan praktik beragama (tradisi agama) Islam "kaum Nahdliyyin". Laporan-laporan tentang kejadian tersebut ditemukan kontradiktif sesuai dengan kepentingan masing-masing redaksi media, misalnya ArrahmahNews.com yang bersandar pada NU dan Kumparan yang tidak menunjukkan keberpihakan. Mahfud MD kala itu tidak menyetujui pembubaran yang dilakukan sedangkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menanggapi dengan posisi netral. Sebagai tanggapan balik, ketua umum GP Ansor tetap mempertahankan posisinya.[19] Dalam pembahasan anggapan bahwa dakwah yang dibawakannya bertentangan dengan budaya Islam NU, Khalid menolak pandangan bahwa ia mendapatkan sponsor dari negara lain.[9]