Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi al-Jawi al-Makki asy-Syafi'i al-Asy'ari. Ia dilahirkan di Koto Tuo, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (26 Juni 1860 M). Abdullah, kakek —atau menurut sumber lain, buyut— Khatib, adalah seorang ulama yang terkenal di daerah tersebut. Oleh masyarakat Koto Tuo, Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib.[1][4]
Pendidikan
Ketika masih tinggal di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Guru atau Kweekschool[4] dan menamatkannya pada tahun 1871 M. Di samping belajar di Kweekschool, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil belajar Al-Qur'an.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, Abdul Lathif, ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan, Abdul Lathif kembali ke Sumatera Barat, sementara Ahmad tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama Mekkah terutama yang mengajar di Masjidilharam.
Selama di Makkah, Ahmad kecil belajar dengan sejumlah guru, di antaranya adalah Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha al-Makki asy-Syafi’i, Utsman bin Muhammad Syatha al-Makki asy-Syafi’i, dan Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’i. Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Ahmad Khatib, yaitu:
Selain mempelajari ilmu agama, Ahmad Khatib juga mempelajari matematika, fisika, dan bahasa Inggris selama di Makkah.
Pernikahan
Di Makkah, Ahmad Khatib sering mengunjungi sebuah toko buku milik seorang pria bernama Shalih al-Kurdi. Shalih tertarik padanya, lalu menikahkannya dengan salah satu putrinya, yang menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar bernama Khadijah. Dari pernikahannya dengan Khadijah, Ahmad khatib dikaruniai seorang putra, yang diberi nama Abdul Karim (1300-1357 H). Pernikahan Ahmad Khatib dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia tidak lama kemudian.
Shalih, sang mertua, meminta Ahmad Khatib untuk menikahi putrinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Dari Fathimah, Ahmad Khatib dikaruniai beberapa orang anak:
‘Abdul Malik, yang kemudian menjadi ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di al-Hasyimiyyah (Yordania).
‘Abdul Hamid, seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Penulis Tafsir Al Khathib Al Makki dan Sirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Imam al-Adil
Ahmad Khatib digambarkan sebagai seorang ayah yang baik dan agamais, ia mengajarkan pendidikan Al-Qur'an dan ilmu-ilmu keislaman pada putra-putranya, dan dikatakan turut mewariskan ilmu pengetahuannya kepada mereka.
Imam Besar Masjidilharam
Ada dua versi mengenai sebab pengangkatan Ahmad Khatib sebagai Imam dan khathib utama Masjidilharam. Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih al-Kurdi, sang mertua, kepada Syarif Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Ahmad Khatib menjadi imam sekaligus khathib. Sedangkan versi kedua yang dicatat oleh Hamka dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra menceritakan bahwa Ahmad Khatib pernah mengikuti salat berjama’ah yang dipimpin langsung oleh Syarif Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata terdapat bacaan Rafiq yang keliru, dan Khatib kemudian membetulkan bacaan tersebut. Setelah salat selesai, Rafiq bertanya mengenai siapa yang memperbaiki bacaannya tadi, ia lalu ditunjukkan kepada Ahmad Khatib, menantu sahabatnya, Shalih. Bagaimanapun, Rafiq kemudian mengangkat Ahmad Khatib sebagai Imam Besar di Masjidilharam.
Pandangan
Meskipun Ahmad Khatib adalah seorang Muslim Sunni ortodoks, ia tetap berharap untuk mendamaikan sistem matrilineal di Minangkabau dengan hukum waris yang ditentukan dalam Al-Qur'an. Melalui murid-murid Minangkabau yang belajar di Makkah maupun yang diajarnya di Indonesia, ia mendorong modifikasi budaya Minangkabau berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.
‘Abduljabbar, ‘Umar. 1403 H. Siyar wa Tarajim Ba’dhi ‘Ulamaina fil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar lil Hijrah. KSA: Tihamah
Al-Hazimi, Ibrahim bin ‘Abdullah. 1419 H. Mausu’ah A’lamil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar wal Khamis ‘Asyar Al Hijri fil ‘Alam Al ‘Arabi wal Al Islami min 1301-1417. KSA: Dar Asy Syarif lin Nasyr wat Tauzi’
Al-Mu’allimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. 1421 H. A’lamul Makkiyyin min Al Qarn At Tasi’ ilal Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar Al Hijri. KSA: Muassasah Al Furqan lit Turats Al Islami
Steenbrink, Dr. Karel A. 1984 M. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
Dahlan, Dadang A. 2007. Cahaya dan Perajut Persatuan Waliullah Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Suprapto, Muhammad Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Glegar Media Indonesia
Amrullah, ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Ad-Dahlawi, ‘Abdus Sattar bin ‘Abdul Wahhab. 1430 H. Faidhul Malikil Wahhabil Muta’ali bi Anba’ Awailil Qarn Ats Tsalits ‘Asyar wat Tawali. KSA: Maktabah Al Asadi
‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyah, Ulama Syafi’I dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru
Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Dari Minangkabau untuk Dunia Islam). Yogyakarta:Gre Publishing
100 ulama Nusantara di tanah suci, hal.302-313, DR. Maulana La Eda, Aqwam, 2020, 368 hal