Masjid Raya Sumatera Barat atau Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi terletak di Jalan Chatib Sulaiman, Kota Padang, Sumatera Barat. Pembangunannya diawali peletakan batu pertama pada 21 Desember 2007 dan dinyatakan tuntas pada 4 Januari 2019 dengan total biaya sekitar Rp330 miliar. Masjid ini didesain oleh Rizal Muslimin lewat proses sayembara yang diadakan pemerintah daerah pada 2006. Adapun rancang bangun rinci dikerjakan oleh Penta Rekayasa. Total Bangun Persada bertindak sebagai kontraktor pelaksana untuk lima tahap awal pembangunan (sampai 2014).[1][2]
Berdiri di lahan seluas 7,5 hektare, masjid ini memiliki denah berbentuk persegi yang melancip di empat sudutnya, terinspirasi dari bentuk bentangan kain yang digunakan Nabi Muhammad untuk mengusung Hajar Aswad. Bentuk bangunannya sekaligus merepresentasikan gonjong, atap rumah adat Minangkabau. Ruang utama yang berfungsi sebagai ruang salat terletak di lantai atas dengan elevasi enam meter dan dapat diakses melalui bidang miring yang membujur ke jalan.[1]
Menurut rencana induk, Masjid Raya Sumatera Barat disiapkan sebagai Islamic Center yang memiliki sejumlah fasilitas penunjang dengan total estimasi biaya Rp500 miliar. Kerajaan Arab Saudi pernah mengirim bantuan untuk pembangunan, tetapi karena terjadi gempa bumi pada 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalihkannya untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana. Pembangunan berlangsung lebih lama dari rencana semula karena keterbatasan anggaran daerah. Pada 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta anggaran pembangunan dipangkas sehingga penyelesaian masjid tidak sesuai rencana induk.[3][4][5][6]
Ide
Gagasan pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat bergulir sejak 2005. Padang selaku ibu kota provinsi dianggap tidak memiliki masjid yang representatif untuk menampung jemaah dalam jumlah banyak. Awalnya, GubernurZainal Bakar memutuskan cukup melakukan renovasi terhadap Masjid Nurul Iman.[7] Untuk tujuan ini, Masjid Nurul Iman mulai dibongkar pada 2005. Sementara itu, gubernur berikutnya, Gamawan Fauzi memperjuangkan perlunya sebuah masjid baru yang berfungsi sebagai Islamic Center.[8]
Bertolak dari peristiwa di Bukittinggi, pemerintah daerah dapat meyakinkan DPRD agar menyetujui rencana pembangunan masjid baru. Sewaktu pemilihan lokasi, sempat muncul usulan agar masjid baru dibangun di lokasi Kantor Gubernur di Jalan Sudirman. Lokasi akhirnya dipilih di ujung Jalan Chatib Sulaiman. Area ini merupakan lokasi Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Padang, yang nantinya dipindahkan ke lokasi baru di Lubuk Minturun.[12][13]
Pembangunan
Sayembara
Setelah pemilihan lokasi, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menggelar sayembara membuat rancangan masjid. Sayembara diikuti oleh 323 peserta dari berbagai negara. Sebanyak 71 desain masuk dan selanjutnya diseleksi oleh sebelas dewan juri, di antaranya Wisran Hadi, Eko Alvares, Syamsul Asri, Nasrun Haroen, dan Syamsul Bahri Khatib.[1] Pemenang utama sayembara diumumkan pada 18 September 2006 dan mendapatkan hadiah Rp150 juta dari total Rp300 juta.[12][13] Hasil sayembara dimenangkan oleh Rizal Muslimin.[14][15] Rancangannya berupa bangunan persegi yang alih-alih berkubah tapi justru membentuk gonjong.[16]
Rizal adalah arsitek dari kantor konsultan arsitektur Urbane yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.[17] Desain hasil rancangannya terinspirasi dari bentuk gonjong rumah gadang dengan penyesuaian kebutuhan geometri ruang ibadah yang berdenah bujur sangkar. Secara personal, ia telah lama mengeksplorasi elemen-elemen arsitektur Minangkabau. “Kenapa saya bisa menghasilkan bentuk masjid yang bisa diterima banyak orang, karena saya sudah sejak lama suka pada arsitektur rumah gadang, tidak bisa dibikin-bikin. Dari hal yang disukai, akan muncul hal- hal yang baik, ...jadi elemen-elemen yang muncul dalam desain merupakan hal-hal yang sudah lama saya apresiasi.”[18]
Rancangan Masjid Raya Sumatera Barat hasil sayembara semula menuai kritik, terutama disuarakan oleh DPRD Sumatera Barat. Ketua DPRD Leonardy Harmainy menyebut rancangan masjid tidak lazim lantaran tidak memiliki kubah. Polemik sekaitan kubah mengakibatkan tertundanya pelaksanaan pembangunan.[12] Polemik baru mereda setelah terjadinya gempa bumi pada 13 September 2007. Di tengah beralihnya fokus publik pada gempa, Gubernur Gamawan Fauzi melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat pada 21 Desember 2007.[1]
Tahap awal
Tahap pertama untuk menyelesaikan struktur bangunan menghabiskan waktu dua tahun sejak dimulai pada awal tahun 2008. Tahap kedua dilanjutkan dengan pengerjaan ruang salat dan tempat wudu pada pertengahan 2010. Tahap ketiga selama tahun berikutnya meliputi pemasangan keramik lantai dan eksterior masjid. Tiga tahap pertama berjalan dengan mengandalkan tiga tahun APBD Sumatera Barat masing-masing sebesar Rp100 miliar (2007), Rp16 miliar (2008), dan Rp30 miliar (2009). Total biaya yang dihabiskan Rp146 miliar.[1]
Tahap keempat dimulai pada pertengahan 2012 dengan anggaran sebesar Rp25,5 miliar untuk menyelesaikan ramp, bidang miring yang terhubung ke jalan. Pekerjaan pembangunan sempat terhenti selama tahun 2013 karena ketiadaan anggaran dari provinsi.[1]
Alokasi APBD Sumatera Barat untuk pembangunan masjid semula direncanakan hanya sebagai dana stimulan. Pada awalnya, panitia pembangunan yang diketuai oleh Marlis Rahman sempat menghimpun sumbangan masyarakat untuk membantu pembangunan, selain melakukan kerja sama dengan pihak swasta dan negara Timur Tengah. Namun, bantuan dari masyarakat dan perantau, termasuk donasi via nada sambung hanya berjalan untuk tahap pertama. Total dana terhimpun dari masyarakat yakni sekitar Rp3,871 miliar.[1]
Meski tidak rutin, Masjid Raya Sumbar telah mulai digunakan untuk ibadah sejak awal tahun 2012, terutama Salat Jumat dan Salat Ied. Masjid ini mulai menjadi tuan rumah kegiatan keagamaan tingkat provinsi seperti tablig akbar dan pertemuan lainnya. Gubernur Irwan Prayitno menjadikannya tempat kegiatan wirid rutin PNS untuk memperkenalkan masjid.[22][23] Namun, frekuensi pemakaian masih terbatas karena belum rampungnya fasilitas listrik dan ketiadaan air bersih.[1]
Mengawali tahun 2014, Asosiasi Solidaritas Sosial Ekonomi Pasifik (PASIAD) yang berbasis di Turki mengirimkan bantuan karpet sajadah sepanjang 3.400 meter untuk mendukung penyelenggaran ibadah seiring kerja sama yang dibangun oleh pemerintah provinsi. Salat Jumat perdana menandai pembukaan Masjid Raya Sumatera Barat untuk salat rutin pada 7 Februari 2014. Masjid resmi dibuka untuk umum dengan frekuensi terbatas, karena belum rampungnya fasilitas listrik dan air bersih. Masjid Raya Sumatera Barat untuk kali petama digunakan sepanjang malam bulan Ramadhan.[1]
Pada tahun 2014, pemerintah provinsi kembali menganggarkan dana Rp17,19 miliar untuk pembangunan tahap kelima, meliputi pengerjaan interior kubah. Selama pengerjaan, kegiatan ibadah diselenggarakan di lantai dasar. Penyelesaian ramp yang digunakan sebagai jalur evakuasi dikerjakan dengan memanfaatkan anggaran sebesar Rp14,5 miliar dari APBD provinsi pada tahun 2015.[24] Kontraktor tender tahap keenam dimenangkan oleh PT Putra Giat Pembangunan (sementara lima tahap sebelumnya dikerjakan oleh Total Bangun Persada). Memasuki pertengahan 2016, penyelesaian fasad dan lantai atas masjid dilanjutkan dengan menggunakan alokasi dana Rp37,2 miliar. Akibatnya, masjid ditutup untuk kegiatan ibadah sejak 19 September.[25] Pengerjaan dilakukan oleh kontraktor PT Marlanco. Sampai tahun 2016, ketujuh tahap pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat telah menghabiskan anggaran Rp240,751 miliar.[26]
Penyelesaian
Pada 2016, pemerintah Sumatera Barat mendapat bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum RI sebesar Rp10,1 miliar yang digunakan untuk pembangunan pekarangan.[27] Pada tahap kedelapan, kelanjutan pembangunan dibiayai melalui penerimaan dana bantuan keuangan khusus dari dua provinsi yakni Jawa Barat dan Papua dengan total sebesar Rp12,5 miliar.[26] Anggaran bersumber dari pemerintah provinsi Papua sebesar Rp5 miliar dan Jawa Barat sebesar Rp7,5 miliar. Bantuan tersebut digunakan untuk penyelesaian lantai dasar masjid dan beberapa ruang kantor.[28] Tender pekerjaan dimenangkan oleh PT Istana Intan Raya.
Penyelesaian mihrab pada lantai atas dan area parkir menurut rencana akan didanai dari APBD Sumatera Barat 2017.[29] Setelah penetapan APBD 2017, Masjid Raya Sumatera Barat kembali mendapat penambahan anggaran sebesar Rp19,5 miliar untuk pembangunan satu menara, berubah dari rancangan awal sebanyak empat menara. Pekerjaan menara dikerjakan oleh PT Marlanco. Bersamaan dengan itu, Kementerian Pekerjaan Umum RI kembali memberi tambahan dana untuk penyelesaian taman dan area parkir masjid sebesar Rp30,3 miliar.[30][31]
Pada 2018, pemerintah daerah memberikan perpanjangan waktu kepada kontraktor untuk menyelesaikan menara karena molor dari target yang ditetapkan. Pembangunan menara sampai pada 31 Desember 2017 memakan biaya Rp14,4 miliar,[32] sementara sisa biaya sebesar Rp5,1 miliar dianggarkan kembali pada APBD 2018 yang digabungkan dengan biaya penyelesaian interior masjid dan menara. Biaya penyelesaian pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat yang dianggarkan pada APBD 2018 yakni sebesar Rp11,4 miliar.[33] Tender dimenangkan oleh PT Resik Gunamaju. Adapun dari pemerintah pusat, terdapat tambahan dana Rp920 juta untuk pembangunan pagar yang belum selesai.[34]
Selama pengerjaan interior, kegiatan ibadah dipindahkan ke lantai dasar, terhitung sejak 16 Juli 2018.[35] Pada awal tahun 2019, lantai atas masjid kembali dibuka untuk umum yang ditandai dengan salat Jumat perdana pada 4 Januari 2019. Pembukaan ini sekaligus menandai tuntasnya pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat.[36]
Arsitektur
Masjid ini menampilkan arsitektur modern yang tak identik dengan kubah. Dalam persentasi sayembara, Rizal Muslimin menyebut cikal bakal desainnya adalah bentuk bentangan kain pada kisah Muhammad memimpin pemindahan Hajar Aswad lima tahun sebelum kenabiannya. Dikisahkan dalam Sirah Nabawiyah, empat kabilah suku Quraisy di Mekkah berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak memindahkan Hajar Aswad ke tempat semula setelah renovasi Ka'bah. Muhammad, yang diminta untuk menengahi konflik, meletakkan Hajar Aswad di atas bentangan kain sehingga dapat diusung bersama oleh perwakilan setiap kabilah.[1]
Meskipun inspirasi awalnya datang dari bentuk kain pada kisah Hajar Aswad, desain Masjid Raya Sumatera Barat pada akhirnya diinterpretasikan secara beragam oleh publik. Salah satu pendapat yang banyak mengemuka adalah bentuk atapnya merupakan modernisasi gonjong. Rizal Muslimin menyebut interpretasi yang muncul merupakan pertanda masyarakat menerima dan membangun sense of belonging. "Saya belajar ketika karya saya sudah ditentukan menjadi pemenang, ia bukan lagi milik saya... Kalau memang ada interpretasi yang mereka rasa lebih kena bagi mereka, kenapa tidak?" ujarnya dicatat jurnalis Rahmat Irfan Denas.[1]
Bangunan utama Masjid Raya Sumatera Barat terdiri dari tiga lantai. Ruang utama yang dipergunakan sebagai tempat salat terletak di lantai atas dengan luas 4.430 meter persegi Lantai ini berada di elevasi enam meter dan dapat diakses melalui ramp atau bidang miring dari Jalan Chatib Sulaiaman dan Jalan Ahmad Dahlan. Lantai dua berupa mezanin berbentuk leter U memiliki luas 1.832 meter persegi. Gabungan lantai dasar dan mezanin dapat menampung sekitar 5.000 jemaah.[1]
Konstruksi bangunan dirancang menyikapi kondisi geografis Sumatera Barat yang beberapa kali diguncang gempa berkekuatan besar. Pondasi bangunan terdiri dari 96 titik bored pile berdiameter 80 cm dan 561 titik spun pile berdiameter 50 cm. Rangka atap menggunakan baja degan penutup material almunium Kalzip. Gaya vertikal beban atap didistribusikan oleh empat kolom beton miring dan dua kolom lengkung bersilang.[37]
Pengelolaan dan perawatan
Setiap tahun, Masjid Raya Sumatera Barat membutuhkan biaya operasional sekitar Rp4,2 miliar untuk mekanikal, petugas, dan perawatan konstruksi.[36] Dari jumlah itu, beban listrik dengan daya 276.000 Waat membutuhkan setidaknya Rp2,4 miliar. Sementara itu, APBD hanya menggaggarkan biaya petugas meliputi tenaga kemanan dan kebersihan berkisar Rp1-2 miliar.[38][1]
Perawatan konstruksi dibutuhkan untuk selubung bangunan yang menggunakan material fibre-reinforced plastic (FRP) di bagian orrnamen dan aluminium composite panel (ACP) di bagian perimeter. Cat FRP akan memudar seiring waktu karena cuaca sehingga harus dicat ulang demi mengembalikan warnanya. Pengecetan ulang FRP terakhir dikerjakan pada pertengahan 2023. Sementara itu, ACP perlu dibersihkan secara berkala untuk menghilangkan jejak-jejak debu. Namun, pembersihan ACP sejauh ini belum dilakukan.[1]
Penghargaan
Penghargaan Abdullatif Al Fozan untuk Arsitektur Masjid periode 2017–2020.[39][40]
^ abcYusra, Abrar (2006). Wartawan Berintegritas Bung Nasrul Siddik. Teras. hlm. 291–294.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)