Widjojo sering dianggap sebagai pemimpin Mafia Berkeley, julukan yang diberikan kepada sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto.
Riwayat
Masa muda dan pendidikan
Widjojo berasal dari keluarga pensiunan penilik sekolah dasar. Ayahnya adalah seorang aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra), yang menggerakkan Rukun Tani.[1] Ketika pecah Revolusi Kemerdekaan di Surabaya, ia baru duduk di kelas I SMT (setingkat SMA) di Santo Albertus, Malang. Pada tahun 1945, Widjojo bergabung dengan pasukan pelajar yang kemudian dikenal sebagai TRIP. Ia bertempur dengan gagah berani dan nyaris gugur di daerah Ngaglik dan Gunung Sari Surabaya.[1]
Seusai perang, Widjojo sempat mengajar di SMP selama 3 tahun. Ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan mengkhususkan diri pada bidang demografi.[2] Ketika masih menjadi mahasiswa di FEUI, bersama seorang ahli dari Canada Prof. Dr. Nathan Keyfiz, Widjojo menulis sebuah buku berjudul "Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia". Kata pengantarnya ditulis oleh Mohammad Hatta. Hatta menulis, "Seorang putra Indonesia dengan pengetahuannya mengenai masalah tanah airnya, telah dapat bekerja sama dengan ahli statistik bangsa Canada. Mengolah buah pemikirannya yang cukup padat dan menuangkannya dalam buku yang berbobot." Buku ini sangat populer di kalangan mahasiswa ekonomi.[1] Widjojo lulus dengan predikat Cum Laude.[1]
Saat Widjojo lulus dari UCB, Indonesia yang berada di bawah pemerintahan Presiden Soekarno menjalankan politik demokrasi terpimpin. Di bawah politik ini, perekonomian Indonesia cenderung mengarah pada sosialisme/komunisme yang mempercayai bahwa pemerintah mengetahui segalanya tentang perekonomian dan karenanya pemerintah harus memiliki kontrol penuh atas perekonomian—karena itu, mekanisme pasar diabaikan. Pemerintah Soekarno juga tidak mempercayai analisis-analisis ekonomi ala Barat, terutama AS. Soekarno bahkan dengan bangga bahwa ia benar-benar tidak paham (illiterate) tentang analisis ekonomi.[4]
Perekonomian Indonesia saat itu menjadi kacau, dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi. Harga barang rata-rata pada tahun 1965 adalah tujuh kali harga rata-rata pada tahun 1964.[4] Widjojo menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah untuk mengubah paradigma ekonomi Indonesia. Saat inaugurasinya sebagai profesor ekonomi Universitas Indonesia pada 10 Agustus 1963, Widjojo membacakan pidato berjudul "Analisis Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan."[4] Ia menyampaikan saran agar memasukkan analisis ekonomi dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Ia juga menyarankan adanya kombinasi mekanisme pasar dan intervensi pemerintah alih-alih membiarkan pasar terlalu bebas atau sebaliknya membuat pemerintah terlalu berkuasa.[4]
Namun secara politis, posisi Widjojo dan kawan-kawannya sebagai seorang lulusan asal Amerika Serikat—yang memiliki ideologi bertentangan dengan ideologi sosialis/komunis—sangat sulit. Keadaan diperparah dengan meningkatnya tensi antara Indonesia dengan AS, Inggris, Malaysia, dan Singapura. Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Federasi Malaysia karena menganggap negara itu sebagai negara boneka bentukan Inggris.[4] Pendapat Widjojo akhirnya tidak didengar oleh Pemerintahan Soekarno.[4]
Pada tahun 1966, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia dari Presiden Soekarno melalui Supersemar. Meskipun belum menjadi presiden hingga dua tahun berikutnya, Soeharto mulai membangun dasar-dasar pemerintahan yang nantinya akan disebut sebagai rezim Orde Baru. Pada akhir Agustus 1966, Soeharto mengadakan seminar di SESKOAD untuk mendiskusikan masalah ekonomi dan politik serta bagaimana Orde Baru akan mengatasi permasalahan itu. Ekonom-ekonom FEUI, yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro, mengikuti seminar itu.
Dalam seminar, para ekonom mempresentasikan ide mereka serta rekomendasi kebijakan kepada Soeharto. Soeharto kagum akan ide mereka dan dengan cepat meminta mereka untuk bekerja sebagai Tim Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan.[5] Pengangkatan ini menjadi awal karier Widjojo di dunia politik. Di kemudian hari, tepatnya pada tahun 1970, ia dan beberapa ekonom lulusan University of California at Berkeley lainnya dituduh sebagai Mafia Berkeley yang dibentuk oleh CIA untuk menanamkan paham ekonomi liberal di Indonesia.[6]
Tahun 1984, Widjojo menerima penghargaan dari Universitas Berkeley, California, AS, yakni Elise Walter Haas Award. Perhargaan tradisi tahunan universitas tersebut diberikan kepada bekas mahasiswa asing yang jasa-jasanya dianggap menonjol. Dan Widjojo merupakan orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan ini.[1]
Pada awal tahun 1980-an namanya sempat mencuat sebagai bakal calon wakil presiden periode 1983-1988. Ia dicalonkan oleh Forum Studi dan Komunikasi (Fosko), suatu organisasi beranggotakan bekas aktivis angkatan 66. Namun ia menolak.[1]
Pengaruhnya melemah pada era kepemimpinan Habibie, yang pemikiran ekonominya bertentangan dengan perekonomian Widjojo. Ia kembali ke pemerintahan sebagai Penasehat Ekonomi Presiden setelah pertanggungjawaban Habibie ditolak oleh MPR.
Ketika Abdurrahman Wahid/Gus Dur menjabat Presiden, Widjojo diminta untuk memimpin Tim Ekonomi Indonesia pada pertemuan Paris Club pertengahan April 2000. Misi tim ini adalah membicarakan penjadwalan kembali pembayaran utang RI, untuk priode April 2000 hingga Maret 2002 senilai 5,9 miliar AS. Permintaan tim ini disetujui kelompok donor yang beranggotakan 19 negara itu. Ekonom Profesor Mohammad Sadli memuji peranan Widjojo Nitisastro dalam keberhasilan tim itu. Menurut Sadlli, 95 persen kerja delegasi Indonesia adalah arahan Widjojo.[1][7]
Pada ulang tahunnya yang ke-84, 23 September2011, ia meluncurkan sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan dan pidato yang diterbitkan dalam bahasa Inggris berjudul "The Indonesian Development Experience: Collection of Writing and Speeches By Widjojo Nitisastro". Sebelumnya, buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan diharapkan menambah pengetahuan bagi generasi muda untuk lebih mengetahui perekonomian Indonesia. Pada saat peluncuran, Widjojo tidak bisa menghadirinya karena sedang terbaring sakit dan tengah dirawat secara intensif di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Pemikiran ekonomi
Pemikiran ekonomi yang dianut Widjojo berdasar dari pemikiran Keynes yang menyarankan kombinasi antara mekanisme pasar dan intervensi pemerintah.[4] Konsep ekonomi Widjojo—yang kerap disebut pers sebagai Widjojonomics—menekankan prinsip kehati-hatian yang "sangat" (prudent).[1] Pemikiran Widjojo diuraikan dalam buku Pengalaman pembangunan Indonesia: Kumpulan tulisan dan uraian Widjojo Nitisastro (2010).[8]
^Widjojo Nitisastro (2010), Pengalaman pembangunan Indonesia: Kumpulan tulisan dan uraian Widjojo Nitisastro, Kompas Penerbit Buku, Jakarta. Ada ringkasan dalam karangan Peter McCawley, 'Review article: Widjojo Nitisastro and Indonesian development', Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(1), April 2011, pp. pp. 87-103.
^Kuncoro, Ananta, Anwar, Ari, Aris, Mohammad Arsyad, ed. (2010). Esai dari 27 negara tentang Widjojo Nitisastro penghargaan dari para tokoh. Jakarta: Kompas. hlm. 9. ISBN9789797094553.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); line feed character di |title= pada posisi 47 (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)