Amir Machmud
Jenderal TNI (Purn.) Amir Machmud (21 Februari 1923 – 21 April 1995) adalah seorang Jenderal Militer Indonesia yang merupakan saksi mata penandatanganan Supersemar, sebuah dokumen serah terima kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Awal kehidupanAmir Machmud lahir pada 21 Februari 1923 di Cimahi, Jawa Barat. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara dan ayahnya bekerja untuk sebuah perusahaan publik di bawah Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1940, Amir Machmud mulai memikirkan karier yang ia akan lakukan. Pada tahun 1941 ia mengambil kursus topografi, meskipun tidak pernah datang untuk itu. Karier militerPendudukan JepangPada tahun 1942, Pemerintah Kolonial Belanda dikalahkan oleh Tentara Kekaisaran Jepang dan Indonesia berada di bawah pendudukan Kekaisaran Jepang. Pada tahun 1943, dengan gelombang perang mulai berbalik melawan mereka, Jepang mendirikan Pembela Tanah Air (PETA). PETA merupakan kekuatan tambahan yang berisi orang Indonesia dan dirancang untuk meningkatkan jumlah pasukan untuk Jepang dan membantu mereka dalam melawan Amerika Serikat yang memutuskan untuk menyerang Jawa. Amir Machmud bergabung dengan PETA dan menjadi komandan peleton. KODAM VI/SiliwangiPada 17 Agustus 1945, pemimpin nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Hari kemudian, Sukarno menyerukan orang Indonesia yang berbadan sehat untuk mengumpulkan senjata dan kelompok sendiri dalam persiapan pembentukan Tentara Nasional Indonesia. Kelompok-kelompok milisi yang dikenal sebagai Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk dan Amir Machmud memimpin salah satunya ke Lembang, Jawa Barat. Pada tahun 1946, setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) didirikan, BKR Lembang telah diintegrasikan ke Kodam VI/Siliwangi (Divisi Siliwangi), sebuah komando regional militer yang bertanggung jawab atas keamanan Jawa Barat. Amir Machmud kemudian dipindahkan ke Bandung Utara, di mana ia membiarkan pasukannya dalam pertempuran melawan pasukan Inggris dan pasukan Belanda, yang sangat ingin mempertahankan wilayah kolonial mereka. Amir Machmud dan KODAM VI/Siliwangi kemudian dipaksa untuk meninggalkan Jawa Barat pada tahun 1948 setelah penandatanganan Perjanjian Renville. Berdasarkan perjanjian ini, Pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengakui wilayah yang telah diambil di bawah kontrol Belanda dan ini termasuk Jawa Barat. Di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution, KODAM VI/Siliwangi dipindahkan ke Jawa Tengah. Pada tahun yang sama, Amir Machmud bergabung dengan pasukannya dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Pada tahun 1949, ketika masa-masa awal Belanda untuk keluar dari Indonesia, Amir Machmud dan pasukannya kembali ke Jawa Barat. Disana, Amir Machmud terlibat dalam pertempuran melawan gerakan Darul Islam, kelompok separatis yang ingin mendirikan Indonesia yang teokratis di bawah agama Islam. Pada tahun 1950, Amir Machmud juga terlibat dalam penumpasan terhadap Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah kelompok militer yang masuk ke Bandung dan mulai membidik prajurit TNI. Setelah situasi mulai tenang, Amir Machmud memiliki karier militer yang relatif lancar dan menjabat sebagai Panglima Batalyon di Tasikmalaya dan Garut sebelum diangkat menjadi Kepala Staf Resimen di Bogor. Setelah mengabdi di Bogor, Amir Machmud menjabat sebagai Kepala Staf Panglima KODAM VI/Siliwangi. Markas Besar Tentara dan Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad)Pada tahun 1958, Amir Machmud dipindahkan ke Jakarta di mana ia bekerja sebagai anggota staf di markas besar Angkatan Darat selama dua tahun. Pada tahun 1960, Amir Machmud dikirim ke Bandung untuk menghadiri Seskoad. Di sana, ia belajar tentang politik dan ekonomi, mata pelajaran penting bagi seorang prajurit dalam ketentaraan, ia juga mendapatkan lebih banyak dan lebih terlibat dalam menjalankan pemerintahan. Amir Machmud juga berkenalan dengan Soeharto selama waktunya di Seskoad.[1] Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) dan Irian BaratSetelah ia menyelesaikan kursus Seskoad-nya, Amir Machmud diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Caduad.[1] Caduad, yang selanjutnya akan menjadi Kostrad adalah kekuatan strategis yang dirancang untuk bersiap setiap saat sehingga dapat dengan mudah dipanggil selama kasus darurat nasional. Caduad saat itu dipimpin oleh Soeharto. Pada tahun 1962, Presiden Soekarno menetapkan bahwa Indonesia akan menduduki Irian Barat dan membuat perintah perang untuk pembebasan Irian Barat. Untuk operasi ini, Soeharto diangkat menjadi komandan lapangan dan sekali lagi, ia menunjukkan kepercayaannya kepada Amir Machmud dengan menunjuknya untuk posisi Kepala Staf Operasional. Namun, setelah beberapa serangan militer kecil, Belanda berada di bawah tekanan dari Amerika Serikat dan menandatangani Perjanjian New York untuk menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, memberikan kesempatan diadakannya referendum, agar Irian Barat bisa memilih kemerdekaannya. KODAM X/Lambung MangkuratTugas pertama Amir Machmud sekarang sebagai Pangdam. Pada tahun 1962, ia diangkat sebagai Panglima KODAM X/Lambung Mangkurat, yang bertanggung jawab untuk keamanan Kalimantan Selatan. Selama menjadi Pangdam, G30S/PKI meletus, mereka membuat usaha kudeta di Jakarta pada 1 Oktober 1965. Pada siang hari, Gerakan G30S mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi yang mencakup Amir Machmud sebagai anggota. Amir Machmud, seperti banyak jenderal anti-komunis lainnya yang masuk dalam daftar, dengan cepat menyangkal tuduhan tersebut. Hari akan selesai dengan Soeharto mengambil kembali kendali situasi di Jakarta dan PKI dituduh sebagai penyebab di balik Gerakan G30S. KODAM V/JayaPada bulan Desember tahun 1965, Amir Machmud diangkat Panglima KODAM V/Jaya dan dia sekarang bertanggung jawab untuk keamanan Jakarta dan sekitarnya. Penunjukan Amir Machmud datang pada titik penting dalam sejarah Indonesia dan selama pengangkatannya itu Suharto mulai mengumpulkan dukungan politik dan momentum untuk menantang Sukarno. Amir Machmud, seperti kebanyakan rekan Angkatan Darat lainnya, melemparkan dukungan mereka di belakang Suharto. Pada awal tahun 1966, popularitas Sukarno menurun, cukup bagi orang untuk secara terbuka menentang dia melalui sarana protes. Yang paling vokal dari para demonstran adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang pada tanggal 10 Januari menuntut agar PKI dilarang, simpatisan PKI ditangkap dan harga harus diturunkan, tuntutan mereka tersebut dikenal dengan nama Tritura. Amir Machmud dan Tentara mendukung, mendorong, dan melindungi demonstran. Untuk membuat hal-hal lebih praktis, Amir Machmud bersama dengan Umar Wirahadikusumah (Pangkostrad) dan Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD) atas izin Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris untuk mengambil kendali dari pasukan mereka yang sekarang terkonsentrasi di Jakarta. Ada dualisme terhadap sikap Amir Machmud pada titik ini. Secara politis, dia bersama Suharto, Angkatan Darat, dan demonstran anti-Sukarno. Namun pada saat yang sama, ia merasa bertanggung jawab untuk mencegah kekacauan dengan semua protes dan demonstrasi di Jakarta. Pada bulan Februari, Amir Machmud sebenarnya melarang protes di Jakarta.[1] Larangan ini diabaikan. SupersemarPada 11 Maret 1966, Sukarno menggelar Rapat Kabinet dan mengundang Amir Machmud untuk menghadirinya. Sebelum pertemuan tersebut Sukarno bertanya kepada Amir Machmud tentang situasi aman atau tidak, Amir Machmud menjawab aman. Sukarno kemudian memulai pertemuan yang ditandai oleh ketidakhadiran Suharto. 10 menit pertemuan berlangsung, Amir Machmud didekati oleh Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa. Sabur mengatakan bahwa ada pasukan yang tak dikenal di luar. Amir Machmud mengatakan kepada Sabur untuk tidak khawatir tentang hal itu. Lima menit kemudian, Sabur mengulangi pesannya tadi, kali ini ia memberitahu Sukarno juga. Sukarno dengan cepat menangguhkan pertemuan tersebut dan meninggalkan ruangan. Bersikeras bahwa Sukarno akan aman, Amir Machmud membahas opsi pengamanan dengan Presiden dan memutuskan bahwa Bogor akan menjadi tempat yang cukup aman untuk menghindari situasi tegang. Pertemuan itu ditunda setelah Sukarno berangkat ke Bogor dengan helikopter dan Amir Machmud telah bergabung dengan Mayor Jenderal Basuki Rachmat, yang merupakan Menteri Dalam Negeri dan Brigadir Jenderal Mohammad Jusuf, yang merupakan Menteri Perindustrian. Jusuf menyarankan bahwa tiga dari mereka pergi ke Bogor untuk menyediakan dukungan moral bagi Sukarno. Dua jenderal lainnya setuju dan bersama-sama ke Bogor setelah meminta izin Suharto. Menurut Amir Machmud, Suharto meminta tiga Jenderal untuk memberitahu Sukarno tentang kesiapan untuk memulihkan keamanan harus dari perintah Presiden. Di Bogor, tiga jenderal tersebut bertemu dengan Sukarno dan sekali lagi Amir Machmud berkata kepada Sukarno bahwa situasi aman. Sukarno menjadi marah padanya, bertanya bagaimana bisa situasi akan aman ketika protes sedang terjadi. Sukarno kemudian mulai mendiskusikan pilihan dengan Basuki, Jusuf, dan Amir Machmud sebelum akhirnya meminta mereka bagaimana ia bisa mengurus situasi. Amir Machmud menyarankan agar Sukarno memberi Suharto beberapa kekuatan dan memerintah Indonesia dengan dia sehingga semuanya dapat diamankan. Pertemuan tersebut kemudian dibubarkan lalu Sukarno mulai mempersiapkan sebuah Keputusan Presiden. Saat senja dekret yang akan menjadi Supersemar itu akhirnya disiapkan dan menunggu tanda tangan Sukarno. Sukarno memiliki beberapa menit keraguan terakhir tetapi Amir Machmud, dua Jenderal lainnya, dan lingkaran dalam Sukarno di kabinet yang juga telah membuat perjalanan ke Bogor mendorong dia untuk menandatangani. Sukarno akhirnya menandatangani dan menyerahkan Supersemar ke Basuki yang akan diteruskan kepada Suharto. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, Amir Machmud diminta untuk membaca Supersemar dan tampak terkejut mengetahui bahwa isi surat itu adalah penyerahan kekuasaan ke Suharto.[1] Dia kemudian akan mengklaim bahwa Supersemar adalah keajaiban. Pada 13 Maret Sukarno memanggil Amir Machmud, Basuki, dan Jusuf. Soekarno marah karena Suharto telah melarang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tiga jenderal mengatakan Supersemar tidak mengandung instruksi tersebut. Sukarno kemudian memerintahkan untuk membuat sebuah surat untuk memperjelas isi dari Supersemar tetapi tidak ada yang pernah datang selain dari salinan-salinan yang mantan Duta Besar Kuba, AM Hanafi kumpulkan. Karier politikMenteri Dalam NegeriKetika Soeharto menggantikan Soekarno dari kekuasaannya sebagai Presiden pada tahun 1967, Amir Machmud masih terus menjadi Panglima Kodam V/Jaya. Pada awal 1969, Basuki Rahmat, yang menjadi Menteri Dalam Negeri meninggal mendadak. Amir Machmud kemudian dipindahkan dari jabatannya sebagai Panglima Kodam V/Jaya untuk mengambil tempat Basuki sebagai Menteri Dalam Negeri. Selama masa jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud mengembangkan reputasi sebagai orang yang "menyapu" oposisi dan pembangkang pemerintah. Hal ini membuatnya mendapatkan julukan "Buldoser". Amir Machmud juga menangani dengan keras orang-orang yang masuk penjara karena diduga menjadi terlibat dengan PKI. Pada tahun 1981, ia memerintahkan bahwa mantan narapidana mesti diberi pengawasan khusus. Amir Machmud juga membantu memperkuat kontrol Suharto di Indonesia. Pada tahun 1969, ia melarang PNS untuk terlibat dalam politik, tetapi mendorong mereka untuk memilih Golkar pada Pemilu Legislatif sebagai tanda kesetiaan kepada pemerintah.[1] Pada tahun 1971, Amir Machmud berpengaruh dalam pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU)Selain menjadi Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud juga Ketua LPU. Pemilihan legislatif 1971, 1977, dan 1982 diselenggarakan di bawah pengawasannya. Ketua MPR dan DPRPada tahun 1982, Amir Machmud terpilih sebagai ketua MPR dan seperti semua pimpinan MPR lainnya, ia juga merangkap sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Amir Machmud memimpin Sidang Umum MPR 1983 yang menghasilkan Suharto terpilih untuk masa jabatan ke-4 sebagai Presiden dengan Umar Wirahadikusumah terpilih menjadi Wakil Presiden. Di bawah kepemimpinannya, MPR juga menganugerahi Suharto gelar "Bapak Pembangunan" atas apa yang telah diraihnya. Di DPR, Amir Machmud memimpin lewat undang-undang reorganisasi struktur MPR, DPR, dan DPRD, menetapkan aturan untuk partai politik, dan meletakkan pedoman untuk referendum. Pensiun dan meninggalAmir Machmud pensiun setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Ketua MPR/DPR. Beliau meninggal pada tanggal 21 April 1995 di usia 72 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. KeluargaAmir Machmud menikah dengan Siti Hadidjah, dan ia memiliki dua anak, Anon Badariah dan Bambang Permadi Amir Machmud. Jenderal bintang empat ini memiliki 10. Ketika Siti meninggal, dia menikah lagi dengan Shri Hardhani Sadat Siswojo. TriviaAmir Machmud menjadi teman dekat dengan sesama saksi penandatanganan Supersemar lainnya, M. Jusuf. Sebelum meninggal, Amir Machmud meminta agar Jusuf menghadiri pemakamannya. Permintaan ini tidak pernah dipenuhi Jusuf, ia tidak dapat menghadiri pemakamannya. Amir Machmud juga meninggalkan Jusuf sebuah surat rahasia. Kutipan
PenghargaanSelama hidupnya, beliau menerima berbagai tanda kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[2]
Referensi
Pranala luar
|