Umar Wirahadikusumah lahir di Situraja, Sumedang, Keresidenan Priangan pada tanggal 10 Oktober 1924 dari pasangan Raden Rangga Wirahadikusumah dan Raden Ratnaringrum yang merupakan putra kelima. Umar dilahirkan sebagai keluarga bangsawan, ayahnya seorang Wedana Ciawi dan ibunya adalah putri dari Patih Demang Kartamenda di Bandung.[1]
Ibunya meninggal dunia ketika Umar masih kecil, oleh karenanya Umar dirawat oleh neneknya, Nyi Raja Juwita di Cicalengka. Umar sempat bersekolah di taman kanak-kanak hingga memasuki kelas satu di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan tidak sempat menyelesikan pendidikan di Cicalengka karena neneknya tidak lama meninggal dunia. Setelah kepergian neneknya, ayah Umar membawanya ke Ciawi antara tahun 1928-1929. Umar meneruskan pendidikan di ELS Tasikmalaya dan MULO Pasundan, ia menyelesaikan pendidikannya pada masa Pemerintah Kolonial Belanda.
Sebelum bergabung dengan kelompok pemuda, ia sempat bekerja sebagai pegawai perkebunan di Sumedang pada tahun 1940. Tiga tahun kemudian Umar diangkat sebagai Komandan Peleton Tasikmalaya pada tahun 1943, dengan Indonesia saat itu di bawah pendudukan Jepang.
Umar bersama dengan kelompok pemuda bergabung dengan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA).[1] Sebelum masuk PETA, ia mendapatkan pelatihan militer Dai Nippon, Seinendojo, di Tangerang, selama 4 bulan. Keputusan Umar yang bergabung menjadi prajurit tidak dikehendaki oleh keluarganya.[1] Kelompok-kelompok pemuda memberikan beberapa pelatihan fisik yang Umar melakukan. Hal ini diikuti pada Oktober 1944 oleh PETA, pasukan tambahan yang terdiri dari rekrutan Indonesia yang dimaksudkan untuk membantu Jepang dalam melawan Sekutu. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Umar, seperti banyak pemuda lain dari usia yang sama bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI.
Kehidupan masa kemerdekaan
Kemudian Umar mendapat amanat sebagai Komandan Peleton Pangandaran, tidak lama ia diangkat sebagai Komandan TKR Cicalengka dengan pangkat kapten pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 1947, ia diangkat menjadi ajudan Panglima Divisi III Siliwangi di Tasikmalaya, Direktur Latihan Operasi di Garut, dan Komandan Brigade I/III/V Cirebon.
Umar menikah dengan Karlina dan memiliki dua anak perempuan. Ia juga adalah paman dari Agus Wirahadikusumah, seorang perwira militer yang menjadi Panglima Kostrad.
Umar kemudian menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta.[2] Jabatan ini diperolehnya pada tahun 1959. Tanggung jawab militer yang diberikan kepadanya ialah keamanan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Peristiwa G30S
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik dari rumah mereka. Sebagai Panglima Kodam V/Djayakarta, Umar berkeliling kota untuk memeriksa keamanannya. Setelah mendengar tentang penculikan dan melihat pasukan tak dikenal menduduki Lapangan Merdeka, Umar mengirim kabar kepada Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto.
Umar menerima keputusan Soeharto untuk mengambil komando Angkatan Darat dan mendukungnya dalam usahanya untuk menindak usaha kudeta. Menjelang tengah hari, Umar menerima perintah dari Presiden Soekarno yang dicurigai berada di Halim, tempat di mana enam jenderal diculik. Soeharto khawatir bahwa ini adalah upaya untuk membunuh Umar dengan memerintahkanya ke Halim. Umar mengikuti permintaan Soeharto dengan menolak perintah Presiden Soekarno.[1]
Setelah Soeharto merebut kembali kendali situasi di Jakarta, Umar kemudian mengkonsolidasikan situasi. Dia memberlakukan jam malam dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi dan memonitor semua surat kabar ibu kota.
Ketika peristiwa diduga didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Umar menyetujui pembentukan gabungan aksi untuk membasmi Gerakan 30 September (KAP-GESTAPU).[3]
Orde baru
Meskipun ia bukan bagian dari lingkaran dalam Soeharto, Umar memenangkan kepercayaan besar dari Soeharto atas bantuan dan dukungan yang diberikan dalam menyelesaikan G30S.[4] Saat Soeharto mulai menjabat sebagai Pejabat Presiden, karier Umar juga melejit. Pada tanggal 12 Maret 1967, Soeharto mempercayakan Umar untuk menggantikannya sebagai Panglima Kostrad setelah ia menjadi pejabat presiden.[1] Pada tahun 1967, Umar menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat sebelum akhirnya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pada tahun 1969.[1]
Pada tahun 1973, karier aktif militernya berakhir dan ia menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 10 tahun. Sebagai Ketua BPK, Umar bertanggung jawab untuk memastikan bahwa departemen pemerintah, kementerian, dan badan pemerintahan menggunakan uang negara dengan baik. Selama masa jabatannya sebagai Ketua BPK, Umar membuat penilaian suram yang menilai bahwa tidak satu pun departemen pemerintah adalah bebas dari korupsi.[5]
Riwayat jabatan
Komandan Pleton TKR di Cicalengka (1945-1946).
Wakil Kepala Staf Operasi Resimen XI Divisi Siliwangi, Tasikmalaya (1946-1947).
Ajudan Panglima Divisi Siliwangi merangkap Direktur Latihan Perwira Divisi serta Komandan Batalyon 1 Resimen 5 Brigade III / Kian Santang (1947-1948).
Komandan Batalyon IV Brigade XIII / Kian Santang Divisi Siliwangi (1948-1949).
Komandan Co Troep Divisi Siliwangi (1949).
Komandan KMK Cirebon Brigade "C" Divisi IV / Siliwangi (1949-1950).
Kepala Staf Urusan Ex-KNIL Divisi IV / Siliwangi kemudian T&T III / Siliwangi (1950-1951).
Kepala Staf Operasi T&T III / Siliwangi (1951-1952).
Kepala Staf Brigade "C" T&T III / Siliwangi (1952).
Komandan Resimen Infanteri 11 T&T III / Siliwangi (1952-1953).
Inspektur Jenderal T&T III / Siliwangi (1953-1955).
Asisten Operasi Kepala Staf T&T III / Siliwangi merangkap sebagai Komandan Resimen Infanteri 10. (1955-1958).
Komandan RTP 1 / Siliwangi (1958-1959).
Komandan KMKB Djakarta Raja (1959-1960).
Panglima Komando Daerah Militer V / Jayakarta (1960-1966).
Pada bulan Maret tahun 1983, Umar mencapai puncak kariernya. Soeharto, yang telah dipilih untuk masa jabatan keempat sebagai Presiden berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memilih Umar untuk menjadi wakil presidennya. Pemilihan ini dianggap menjadi pilihan yang agak tak terduga mengingat karier Umar dalam politik di Indonesia tidak lebih memucat dibandingkan dengan dua pendahulunya, Hamengku Buwono IX dan Adam Malik. Meskipun kepribadian rendah hati, Umar memiliki reputasi yang baik dan dihormati secara luas.
Sebagai wakil presiden, Umar menjadi salah satu dari sangat sedikit dalam rezim Soeharto yang memilih untuk memberantas korupsi. Sebagai orang yang religius, Umar berharap bahwa agama dapat digunakan untuk mengubah koruptor untuk melakukan perbuatan yang benar. Umar juga melakukan inspeksi kejutan (kadang-kadang penyamaran) ke kota-kota dan desa-desa daerah untuk memantau bagaimana kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap rakyat. Selama menjadi Wakil Presiden Umar juga mengadakan pelayanan doa di Istana Wakil Presiden.
Karier Umar sebagai Wakil Presiden berakhir pada Maret 1988 ketika ia digantikan oleh Sudharmono. Banyak yang kecewa melihat dia tidak melanjutkan untuk masa jabatan kedua sebagai Wakil Presiden. Hal ini menjadi bukti reputasi yang baik bahwa Sudharmono ingin memastikan penerimaan Umar untuk tidak melanjutkan sebagai Wakil Presiden untuk periode selanjutnya.[7]
Wafat
Setelah masa jabatannya selesai sebagai Wakil Presiden tahun 1988, ia tidak lagi aktif di politik.[1] Umar Wirahadikusumah menghembuskan napas terakhir pada hari Jumat 21 Maret 2003 sekitar pukul 07.53 WIB di Rumah Sakit Pusat TNI-AD Gatot Soebroto. Umar meninggal karena masalah jantung dan paru-paru.[1] Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[8]
Sosok Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam V/Jayakarta dengan pangkat Mayor Jenderal TNI di saat meletusnya G30S/PKI ditampilkan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karya sutradara Arifin C. Noer, diperankan oleh aktor Doddy Sukma.
^Djarot, Eros. Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-1st). Tangerang: PT Agromedia Pustaka. hlm. 19.Parameter |origmonth= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Salam, Solichin (1994). Umar Wirahadikusumah : Pengabdian Seorang Prajurit. Jakarta: CV. Gema Salam.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Daftar Makam Tahun 2002-2004". Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-15. Diakses tanggal 7 Januari 2022.