Keresidenan Priangan

Peta wilayah Priangan

Keresidenan Priangan[a] (bahasa Sunda: Karésidénan Priyangan) atau Keresidenan Kabupaten Priangan (bahasa Belanda: Residentie Preanger-Regentschappen) atau Keresidenan Parahyangan adalah sebuah keresidenan yang terletak di Jawa Barat dan ada pada zaman penjajahan hingga pascakemerdekaan. Keresidenan ini aslinya beribu kota di Cianjur, tetapi dipindahkan ke Bandung oleh Residen van der Moor setelah letusan Gunung Gede memporakporandakan Cianjur pada 1864.[1][2] Ketika van der Capellen menerapkan sistem cultuurstelsel pada 1821, keresidenan ini tertutup bagi orang asing, tetapi dibuka kembali untuk umum oleh Residen van Steinmetz pada 1852.[3]

Sejarah

Prasejarah

Pada abad ke-16 dan ke-17, wilayah Priangan (Parahyangan) adalah bagian Kesultanan Mataram.[4] Pada akhir abad ke-17 VOC bersekutu dengan Mataram, tetapi menuntut hak daerah dan dagang.[4] Pada saat ini, pengaruh dan kontrol VOC di Jawa Barat semakin meningkat.[4] Mataram akhirnya menyerahkan semua kuasa atas daerah Cirebon dan seluruh wilayah di selatannya, termasuk wilayah Priangan, pada tahun 1705.[4]Bagian timur dari daerah yang akan menjadi bagian dari keresidenan Priangan diperintah dari Cirebon di keresidenan bernama Cheribonsche Preanger Regentschappen, sementara bagian barat tetap di bawah kuasa bupati-bupati setempat. Keadaan ini terus berlanjut hingga pada tahun 1808, saat gubernur Hindia Belanda Timur Herman Willem Daendels melakukan reorganisasi wilayah Priangan menjadi sebuah daerah (Keresidenan Batavia dan Priangan) dan menghubungkannya dengan Batavia melalui jalan raya pos.[5]

Keresidenan

Pada 1818, setelah Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda pendek, wilayah keresidenan kembali didirikan oleh Belanda sebagai Keresidenan Kabupaten Priangan.[5] Keresidenan yang didirikan pada 1818 terdiri atas tiga pembagian wilayah utama:

Ibu kota keresidenan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1856, tetapi kursi residen tidak dipindahkan ke Bandung hingga 1864. Pada 1866, Limbangan dimekarkan menjadi daerahnya sendiri yang dipimpin oleh seorang asisten residen.

Pada awal abad ke-20, keresidenan ini memiliki banyak kebun teh di daerah pegunungannya, serta menjadi pusat produksi tepung tapioka di Hindia Belanda.[6] Keresidenan ini juga menjadi salah satu tempat penting awal industrialisasi Hindia Belanda.[7]Pada kala ini, Bandung menjadi tempat universitas utama di Hindia Belanda dan juga sebagai tempat kebanyakan tempat percetakan penting, termasuk surat kabar populer bernama De Preangerbode.[8]

Pada 1915, Kabupaten Garut dipindahkan dari Keresidenan Cianjur ke Priangan.Pada 1925, keempat keresidenan di Jawa Barat dimekarkan menjadi sembilan keresidenan baru.[5] Mantan Keresidenan Kabupaten Priangan dibagi menjadi tiga keresidenan yang lebih kecil, yaitu West-Priangan, Midden-Priangan dan Oost-Priangan.[5]Namun, pada tahun 1931 ketiga keresidenan tersebut diorganisasi kembali, dengan wilayah yang dahulunya merupakan bagian Keresidenan Priangan dibagi menjadi Keresidenan Buitenzorg dan wilayah yang dinamai Keresidenan Priangan kembali.[5]Batas wilayah tersebut dipertahankan oleh Jepang selama Perang Dunia Kedua, dan untuk beberapa saat oleh Republik Indonesia pula.[5]

Daftar Residen

  • Gerrit Willem Casimir van Motman: 18171819
  • Robert Lieve Jasper van der Capellen: 1819–1825
  • Pieter le Clereq: 1825–1827
  • Willem Nicolaas Servatius: 1827–1828
  • Otto Carel Holmberg de Beckfelt: 1828–1837
  • Pieter le Clereq: 1837–1839
  • Johan Frans Hora Siccama: 1839–1841
  • Jean Baptiste Cleerens: 1841–1846
  • Pieter Johannes Overhand: 1846–1850
  • Carl Philip Conrad Steinmetz: 1851–1855
  • Herman Constantijn van der Wijck: 1855–1858
  • Christiaan van der Moore: 1858–1874
  • Ferdinand Theodoor Pahud de Mortanges: 1874–1879
  • Jan Marinus van Vleuten: 1879–1884
  • Albert Gustaaf George Peltzer: 1884–1887
  • Johannes Heijting: 1887–1891
  • Johannes Diederik Harders: 1891–1894
  • Christiaan Willem Kist: 1894–1900
  • Eduard Thomas Theodorus Henricus van Benthem van den Bergh: 1900–1903
  • Gustaaf Adolf Frederik Jan Oosthout: 1903–1907
  • Willem Frederik Lamoraal Boissevain: 1907–1911
  • Gideon Jan Oudemans: 1911–1913
  • Tielus Jan Janssen: 1913–1917
  • Louis de Stuers: 1917–1920
  • Willem Pieter Hillen: 1920–1921
  • August Johan Herman Eijken: 1921–1925

Pada tahun 1925, Keresidenan Priangan dipecah menjadi Keresidenan Priangan Barat, Tengah, dan Timur. 6 tahun kemudian, Keresidenan Priangan Tengah dan Timur digabungkan untuk membentuk Keresidenan Priangan.

Rujukan

  1. ^ Patria, Teguh Amor (2014). Telusur Bandung. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 10. ISBN 978-602-02-3198-3. 
  2. ^ Caturwati, Endang (2000). R. Tjetje Somantri, 1892-1963: Tokoh Pembaharu Tari Sunda. Tarawang. hlm. 27. 
  3. ^ Patria, Teguh Amor (2014). Telusur Bandung. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 21. ISBN 978-602-02-3198-3. 
  4. ^ a b c d Cribb, R. B. (2000). Historical atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. hlm. 88–95. ISBN 0-8248-2111-4. 
  5. ^ a b c d e f Cribb, R. B. (2000). Historical atlas of Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. hlm. 123–6. ISBN 0-8248-2111-4. 
  6. ^ Commerce, United States Bureau of Foreign and Domestic; Fowler, John A. (1923). Netherlands East Indies and British Malaya: A Commercial and Industrial Handbook (dalam bahasa Inggris). U.S. Government Printing Office. hlm. 131–41. 
  7. ^ Commerce, United States Bureau of Foreign and Domestic; Fowler, John A. (1923). Netherlands East Indies and British Malaya: A Commercial and Industrial Handbook (dalam bahasa Inggris). U.S. Government Printing Office. hlm. 213. 
  8. ^ Commerce, United States Bureau of Foreign and Domestic (1932). Commercial Travelers' Guide to the Far East (dalam bahasa Inggris). U.S. Government Printing Office. hlm. 273–4. 

Catatan kaki

  1. ^ Cacarakan: ꦏꦫꦺꦱꦶꦝꦺꦤꦤ꧀ꦥꦿꦶꦪꦔꦤ꧀
    Aksara Sunda Baku: ᮊᮛᮦᮞᮤᮓᮦᮔᮔ᮪ ᮕᮢᮤᮚᮍᮔ᮪