Jalan ini dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36, Herman Willem Daendels (m. 1808-1811) sebagai salah satu langkahnya dalam memodernisasi Jawa terutama dalam bidang pertahanan dan pemerintahan. Selanjutnya, jalan ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengangkut hasil bumi dan pos komunikasi karena dapat mempersingkat lama pengiriman surat saat itu.
Latar belakang
Sistem pengiriman pesan di Hindia Belanda pertama kali diperkenalkan di masa VOC. Saat itu, sudah ada korespondensi dari Hindia Belanda ke Belanda tetapi tujuannya dibatasi pada pejabat-pejabat resmi dan tidak boleh berisi aktivitas VOC di Hindia Belanda untuk menjaga kerahasiaan sumber rempah-rempah dari para pesaingnya. Sarana pengirimannya saat itu bergantung pada kapal perang VOC yang berlayar ke berbagai pulau dan belum ada sistem yang terorganisasi.[1] Kantor pos baru pertama kali didirikan pada 26 Agustus 1746 di Batavia oleh Gubernur Jenderal yang ke-26, Gustaaf Willem van Imhoff untuk menjamin keamanan surat-surat penduduk terutama bagi para pedagang yang berdagang di luar Jawa dan orang-orang yang pulang pergi dari dan ke Belanda. Empat tahun kemudian, kantor pos Semarang didirikan dan menggunakan rute yang melalui Karawang, Cirebon, dan Pekalongan.[2] Transportasi daratan sudah ada setidaknya pada sekitar 1750, yaitu jalan yang menghubungkan Batavia ke Semarang dan seterusnya ke Surabaya. Jalan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta juga sudah ada pada waktu itu. Namun, hujan tropis yang deras sering kali menghancurkan jalannya.[3]
Pada 28 Januari 1807, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang diangkat menjadi raja di Belanda semasa Peperangan Napoleon.[4] Cemas akan masa depan Jawa, khususnya setelah Isle de France (kini Mauritius) diserbu Inggris pada 1807, Louis memberi dua tugas utama dalam bentuk instruksi kepada Daendels, yaitu mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahannya.[5] Instruksi yang serupa juga diterimanya dari Napoleon Bonaparte saat bertemu di Paris, sesaat sebelum pergi ke Jawa.[6]
Pilihan Daendels untuk membangun Jalan Raya Pos mungkin diinspirasi oleh cursus publicus, sistem jalan pos Kekaisaran Romawi yang menghubungkan Roma dengan kota-kota yang ditaklukkannya.[7][8] Dengan begitu, Daendels berkeinginan untuk menerapkan konsep yang sama dengan menghubungkan Batavia dengan daerah-daerah di Jawa melalui Jalan Raya Pos.[9] Sumber lainnya mengatakan bahwa idenya untuk membangun sebuah jalan raya mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa. Saat itu, Inggris menguasai lautan dan memblokade Prancis untuk mengakses lautan sehingga memaksa Daendels harus melalui daratan Prancis terlebih dahulu dengan jalan raya yang dibuat oleh Napoleon.[3] Upaya membangun jalan ini didasarkan pada salah satu instruksi Louis yang mewajibkan Daendels untuk memperhatikan sarana (transportasi) yang paling sesuai dirancang, melalui kesepakatan dengan para bupati, yang dapat memperbaiki nasib pribumi Hindia Belanda.[10]
Pada awalnya, penggunanan jalan ini hanya digunakan untuk kebutuhan pos dan militer hingga akhirnya dibuka untuk umum pada tahun 1857. Selain itu, jalan ini juga tidak boleh dilewati oleh kendaraan milik orang Jawa yang harus menggunakan jalur khusus gerobak yang berada di sisi jalan. Jalan Raya Pos hanya dapat dilewati oleh kereta kuda Belanda yang dilengkapi oleh kusir dan kenek.[11]
Nama
Jalan tersebut dinamai demikian karena Daendels membangun sebanyak 50 kantor pos di antara Batavia dan Surabaya untuk mempercepat komunikasi dengan para pejabatnya.[12] Komunikasi saat itu dianggap hal yang berharga karena Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan mereka yang tersebar di seluruh Jawa dan lalu lintas laut yang bisanya digunakan untuk menyampaikan surat diblokade Inggris.[6]
Pembangunan
Pada 29 April 1808, agar lebih mengetahui permasalahan di Jawa lebih lanjut, Daendels melakukan perjalanan dari ke Semarang dan ujung timur Jawa. Setibanya di Semarang pada 5 Mei 1808, ia mengeluarkan perintah untuk membangun Jalan Raya Pos, dimulai dengan memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada sebelumnya. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) via Meester Cornelis dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing.[13]
Proyek ini dipimpin oleh Kolonel Zeni Balthazar Friedrich Wilhelm van Lützow dengan bantuan dari Komisi Negara dan dua insinyur militer. Van Lützow kemudian menyerahkan tanggung jawab sebagian pengerjaan, yaitu jalur Cisarua-Cianjur dan Parakan Muncang-Karangsambung, kepada dua insinyurnya. Masing-masing insinyur dibantu oleh dua bintara yang dipilihnya.[17][18] Daendels juga menetapkan jumlah pekerja dan upah yang berbeda untuk membangun jalan ini, mengingat kondisi medan yang berat yang dihadapi oleh para pekerja.[15]
Penetapan jumlah pekerja dan upah untuk Jalur Pertama[15]
Dari
Ke
Jumlah pekerja
Upah
(ringgit perak)
Cisarua
Cianjur
400 orang
10 per orang/bulan
Cianjur
Rajamandala
150 orang
4 per orang/bulan
Rajamandala
Bandung
200 orang
6 per orang/bulan
Bandung
Parakan Muncang
50 orang
1 per orang/bulan
Parakan Muncang
Sumedang
150 orang
5 per orang/bulan
Sumedang
Karangsambung
150 orang
4 per orang/bulan
Pada 28 Maret 1809, para pekerja dari Batavia dan Preanger yang membangun jalan antara Cianjur-Sumedang diberi bantuan berupa 1.5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam garam setiap bulan hingga jalan selesai dibangun. Sehari setelahnya, para pekerja juga diberi kapak dan peralatan lainnya. Kemudian, para pekerja yang didatangkan dari Cirebon dan daerah vorstenlanden yang membangun jalan di Sumedang akan diberi upah dua ringgit perak setiap bulan ditambah tiga gantang beras, sementara para mandor akan diberi upah tiga ringgit perak setiap bulan. Bantuan-bantuan ini merupakan kebijakan pemerintah atas beratnya medan yang harus ditembus, khususnya dalam pembuatan jembatan di jalur Cianjur ke Bandung dan pemotongan lereng gunung di jalur Parakan Muncang ke Sumedang.[19]
Lukisan dari abad ke-19 yang menggambarkan Jalan Raya Pos di Buitenzorg dengan latar belakang Gunung Salak.
Lukisan dari antara tahun 1860 dan 1900 yang menggambarkan Jalan Raya Pos antara Sindanglaya dengan Puncak
Sebuah pos di Cisokan, dekat Ciranjang, pada sekitar tahun 1870-an
Kondisi baru Jalan Raya Pos dekat Bandung antara tahun 1917 dan 1920
Dengan jalan raya yang sisanya dikerjakan oleh para bupati, Daendels tidak perlu membuat laporan rinci untuk jalan-jalan tersebut. Konsekuensinya, tidak ada arsip-arsip kolonial yang memuat laporan pembangunan jalannya. Satu-satunya informasi yang didapat yang melaporkan pembangunannya adalah korespondensi antara Daendels dengan Menteri Perdagangan dan Koloni saat itu, Paulus van der Heim [nl].[21]
Dalam budaya populer
Film dokumenterJalan Raya Pos - De Grotoe Postweg, disutradarai dan ditulis oleh Bernie IJdis, dirilis pada 1996. Film ini menceritakan tentang sejarah dan dampak modern dari Jalan Raya Pos. Pramoedya Ananta Toer, yang juga diceritakan kisah hidupnya semasa Orde Baru, mengisi narasi untuk film ini.[22]
Dampak
Kehadiran Jalan Raya Pos menandai dimulainya era modern Jawa yang terintegrasi. Seiring berjalannya waktu, Jalan Raya Pos menjadi daerah perkotaan yang sambung-menyambung dan menggantikan peran sungai-sungai besar yang awalnya menjadi jalur utama perekonomian yang membentang dari utara ke selatan, menghubungkan daerah pesisir dengan daerah pedalaman, menjadi dari barat ke timur melalui jalur darat sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Kehadiran Jalan Raya Pos juga mengubah konsep kosmologis dan konsep tata kota tradisional Jawa yang sebelumnya menghadap ke sungai atau pegunungan.[11]
Carey, Peter; A. Noor, Farish. Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN978-602-481-656-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)