Pada tahun 1648 pemerintah koloni VOC memberikan sebidang tanah kepada Anthonij Paviljoun. Kemudian Paviljoun mengembangkan rumah-rumah peristirahatan kecil yang dinamainya Weltevreden.
Pemilik tanah Paviljoun berikutnya adalah Cornelis Chastelein, seorang anggota Dewan Hindia (1693). Ia termasuk orang pertama di Indonesia yang berusaha mengembangkan sebuah perkebunan kopi di tengah-tengah kota Jakarta saat itu dengan memanfaatkan budak-budak yang diambilnya dari Bali. Pada 1733, Yustinus Vinck membeli sebagian tanah Weltevreden dan membuka dua pasar besar, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Pada tahun 1735, ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.
Pemilik berikutnya, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1704-1761), membangun rumah mewah di tikungan Ciliwung. Mossel juga menggali Kali Lio untuk memudahkan sekoci kecil mengangkut kebutuhan pasar. Pada 1767, rumah Weltevreden dibeli Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra. Tanah itu kemudian dijual kembali pada Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten. Sejak masa itu, Weltevreden menjadi kedudukan resmi gubernur jenderal dan pemerintahannya.
Untuk latihan militer, Daendels mengalokasikan lapangan Buffelsveld (lapangan kerbau) yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional. Lapangan itu juga biasa disebut Champs de Mars. Sesudah masa kuasa sementara Inggris (1818), lapangan itu diberi nama baru lagi, yakni Koningsplein (lapangan raja). Lapangan itu dikelilingi oleh Museum Gajah, Istana Merdeka, serta Stasiun Weltevreden (sekarang Stasiun Gambir). Pada tahun 1821 didirikan di Theater Schouwburg Weltevreden, yang sekarang disebut Gedung Kesenian Jakarta.
Pada tahun 1937, pemerintah kolonial mengesahkan sebuah rencana induk kota Batavia dengan Koningsplein (Lapangan Monas) sebagai pusatnya. Rencana induk itu sendiri merupakan tindak lanjut dari dikukuhkannya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 dan berbagai ordonansi tentang kewenangan lokal dalam pengaturan kota. Berbagai prasarana kota dalam skala makro pun mulai digarap. Saluran pengendali banjir (banjir kanal) mulai dibangun dari Karet-Tanah Abang terus ke laut. Pembangunan Banjir Kanal telah direncanakan sejak 1870, tidak lama setelah Batavia dilanda banjir besar dan baru selesai pada tahun 1920. Sementara itu, rel kereta api juga mulai dikembangkan. Dimulai dengan jalur tengah dan timur, kemudian ditambah jalur barat melalui Manggarai - Tanah Abang - Duri - Kota.